9. Frustrated Dadda
ANDREAS
"Seatbelt, please."
Aku dibikin pusing tujuh keliling oleh bocah yang duduk tanpa ekspresi di sampingku ini. Dia datang tadi malam dengan dua buah tas besar, menyerahkan selembar akte kelahiran dengan nama yang sama denganku, mengaku sebagai anakku, dan tidak ada satu orang pun di rumah yang menyangkal pengakuannya kecuali aku.
Sayangnya, begitu dia menyebut Mariana, sangkalanku seketika itu juga surut.
Bagaimana mungkin aku lupa nama itu? Bagaimana mungkin aku melupakan cuping hidung lebar milik Mariana atau bagian bawah daging bibirnya yang membelah dua di wajah bocah ini? Nama yang mengingatkanku kepada cinta pertama yang kulepaskan karena harus pindah ke Jakarta mengikuti Ayah? Gadis pertama yang kusayangi dan dicintai juga oleh sahabatku? Aku memutuskan meninggalkan drama cinta SMA karena Yoseph bilang dia akan menjaganya. Kenapa Mariana, mau pun Yoseph, tidak berusaha mencariku kalau ternyata dia hamil?
Aku mendesah sambil menjalankan mobil. Setelah Mariana, rasanya aku kehilangan kemampuan untuk mencintai lagi. Bahkan Erica yang menjalin hubungan cukup lama denganku dan sempat diambil alih Prasetyo dulu, aku merebutnya kembali karena egoku yang terluka, bukan hatiku. Mungkin aku memang mencintai dan menginginkan Kikan, tapi aku nggak yakin perasaan itu ada karena aku memang menyayanginya, atau karena dia mencintai Prasetyo. Selalu ada pria-pria lebih baik yang berjodoh dengan perempuan-perempuan yang pernah kumiliki.
Kakiku otomatis menginjak rem secara perlahan karena lampu menyala kuning di depan, mobil berhenti tepat saat lampu berganti merah. Perhatianku kembali teralihkan dari jalanan kepada Yoga. Kami saling diam duduk bersisian dan pikiran itu kembali mengusikku.
Dia gay?
Apa itu kutukanku? Aku yang nggak pernah paham apa menariknya pria lain selain yang terpantul di cermin, yaitu diriku sendiri.
Akhirnya aku punya pertanyaan untuk kuajukan. "Kamu pasti benci sama aku, ya?"
Fantastic. Finally I caught his attention. Bocah itu menggerakkan wajahnya ke arahku. "Kenapa?"
"I abandoned you. Aku nggak ngasih kontribusi apa-apa ke hidup kamu. Bukannya kamu seharusnya benci karena aku nggak mengambil peran yang cukup sebagai seorang Ayah?"
Yoga mengerutkan alis. "I don't want any Daddy like you. So, no. I don't hate you," katanya, yang bikin jantungku berhenti berdetak satu detik. Well, itu aneh yang barusan. Kami baru bertemu semalam, nggak seharusnya emosiku terusik. Puas memperhatikan sisi kanan wajahnya, mendapati bulu-bulu mata panjang menaungi matanya yang menatap lurus ke depan, aku sengaja menyuarakan napas yang kuembuskan lewat mulut sambil mengalihkan konsentrasi kembali ke kemudi.
Lampu hijau menyala, aku mengganti persneling dan menginjak gas.
"Apa Mama kamu tahu? Kamu gay."
Dia menggeleng.
"What makes you gay?" tanyaku. Aku nggak peduli meski kedengaran konyol.
Aku sudah cukup paham bahwa orientasi seksual bukan lah sebuah fase, atau terjadi pada diri kita atas pengaruh sesuatu, tapi terus terang saja, akalku nggak pernah sampai ke sana. Aku jarang menyentuh sesuatu hal yang di luar nalarku. Masalahnya, aku merasa kali ini harus.
Seperti dugaanku, reaksi Yoga adalah ekspresi yang jelas sekali ingin bilang bahwa aku tolol.
"Seriously?" lengkingnya karena aku nggak meralat pertanyaan.
"Serius."
Mobil berhenti di depan SMP dan SMA Pemuda Pancasila, sekolahnya. Aku menyanggupi permintaan Bunda supaya ikut masuk ke ruang guru dan menyerahkan Yoga secara resmi kepada wali kelas karena ini hari pertamanya masuk sekolah.
Sambil membuka sabuk pengaman, aku terus berkotek. "Aku cuma mau memastikan kamu bukan gay karena faktor lain. You know seperti pelecehan seksual saat kamu masih kecil, misalnya. Kamu kan nggak punya Ayah, kamu juga bilang saudara-saudara Mariana mengabaikan kalian, itu berarti kamu nggak punya pelindung. Kalau memang ada, bilang aja. Aku akan membantumu."
Yoga masih diam.
"Hal itu bisa saja mempengaruhi psikologismu, alam bawah sadarmu atau gairah seksualmu yang malah menginginkan lebih setelah kekerasan seksual berlalu. Well. It happened to some people and some of them are ... healed."
Matanya melihat ke arahku dalam diam seperti patung. Detik berikutnya setelah aku yakin dia menyumpah dalam hati, dia putar bola mata. "I was born this way," katanya seperti berkumur. "Di jidatku ada tulisannya sejak aku bayi. It says HOMO! Bayi homo. Do you get it?"
"Nggak usah sinis," kataku. Kuulurkan tangan untuk membantunya melepaskan safety belt. Dia hanya diam dan sepertinya nggak berniat melanjutkan pembicaraan lebih jauh.
Aku yang berminat. "Aku tahu apa itu gay. Aku tahu orientasi seksual itu nggak bisa dikendalikan, bukan penyakit, dan da di da di lainnya. Tapi yah ... kalau-kalau kamu ngerasa butuh psikiater untuk bertukar pikiran atau apa, siapa tahu kamu bisa, yah ... you know ... ng ...."
"Lo nggak usah ikut campur urusan gue," potongnya kurang ajar.
Senyuman miring langsung terbit di bibirku. "What did you just address me?" tanyaku tersinggung.
"Gue nggak mau pura-pura sopan di depan lo. Terutama kalau kita cuma berduaan aja. Gue pikir gue akan bisa respect ke lo, di luar kenyataan bahwa lo laki-laki nggak bertanggung jawab, atau memang Mama yang bodoh, gue nggak peduli. Hidup gue simpel. Gue nggak mau main sandiwara. Gue sopan kalo lo sopan, gue respek kalo lo respek. Meski lo memang ayah biologis gue, face the reality, you were never a father and never will be. Gue di sini karena Mama yang mau, karena kerabat gue nggak akan mau gue repotin. Tapi apa menurut lo penerimaan keluarga lo udah gue perkirakan sebelumnya? Nggak. Jadi kalo lo mau tahu, gue udah punya rencana dengan hidup gue, which you can stay out of."
Aku menarik wajahku dan mengerjap beberapa kali mendengar kalimat panjang lebarnya. Oke. Apa itu artinya aku nggak perlu mengubah diri hanya karena tiba-tiba aku punya anak berusia tujuh belas tahun (yang ternyata urakan)?
Saat aku masih asyik melongo menyadari bahwa anak ini tidak mudah disetir, dia keluar begitu saja dari mobil. Dengan sigap, aku melompat turun dan berjalan cepat menyusul langkahnya. Kusentuh bahunya saat kami beriringan. Hidungnya membuat dengusan keras seraya menggelengkan kepala pelan.
"I am sorry," ucapku.
Nggak ada jawaban.
"Tapi bisa nggak kamu nanti bilang ke Bunda bahwa kita nggak ada masalah? Cuma kalau dia nanya aja."
Masih nggak ada jawaban juga. But I take that as a yes.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top