8. Coming Out
YOGA
"Bunda ngomong apa ke dia? Bunda jangan gampang percaya, Bun. Kita belum tahu benar sebelum tes DNA. Aku bakalan selidikin dulu kebenaran beritanya. Kita kan baru dengar dari sisi bocah itu aja. Bisa aja dia punya maksud buruk sama keluarga kita!"
Gue menahan geram.
Kalau bukan permintaan terakhir Mama, gue juga nggak mau nyari dia dan tinggal di sini. Kalau Bunda enggak menerima gue tanpa banyak persyaratan, gue ingin sekali mengoyak mulutnya yang kurang ajar itu. Dia pikir gue takut apa sama dia? Lihat aja badannya yang kerempeng itu, atau wajahnya yang kelewat halus, dan bola matanya yang terus-terusan berputar tiap kali dia dengar sesuatu yang nggak sesuai sama pendapatnya. Belum suaranya yang mendayu-dayu dan gaya bicaranya yang manja terutama kalau sama Bunda. Takut apa gue sama cowok flamboyan kayak dia?
"Tes DNA itu mahal, Ndre. Kamu kan baru kehilangan pekerjaan. Gimana kamu mau bayar?" seloroh Bunda sambil diam-diam melirikku.
Lagi-lagi gue dibikin lupa sama kekesalan gue, seolah Bunda tahu gue udah mau meledak sepersekian detik sebelumnya.
"Papa kamu barusan melakukan tindakan bodoh yang bikin Bunda nggak akan terkejut kalaupun ternyata anaknya di seluruh Indonesia ini nggak hanya kamu, Yoga!" imbuh Bunda.
Gue ketawa dalam hati.
Bunda beranjak sambil membawa piring berisi dua keping roti. Gue mengikutinya sambil membawa piring bekas makan. Karena kata Bunda akan ada orang yang bersih-bersih, dia melarang gue mencuci piring. Sewaktu gue kembali ke tempat duduk, Andre sudah duduk di seberang gue sambil mmbentangkan koran pagi sampai menutup wajahnya.
Gue tahu dia nggak sepenuhnya menyangkal bahwa gue anaknya. Semalam, sewaktu gue sebut nama Mama, gue melihat air mukanya berubah. Saat mendengar bahwa Mama udah meninggal, dia tampak terguncang selama beberapa detik. Matanya menatap kosong jauh melewati puncak kepala gue yang hanya setinggi bibirnya.
Bunda benar, gue memang memiliki garis wajah laki-laki ini. Kalau dia 17 tahun lebih muda, wajah dan tingginya mungkin nggak akan jauh berbeda dari gue. Mata kami bentuknya sama, hidungnya hanya sedikit lebih ramping dari milik gue, tapi tingginya sama, ketebalan rambut hitamnya, struktur helaiannya, tinggi dahi dan lebar bibir kami juga menyerupai satu sama lain. Tentu nggak sepenuhnya sama, tapi ketika gue melihatnya, gue mengenalinya ada di dalam diri gue. Gue yakin dia juga menemukan fakta yang sama saat dia melihat gue untuk pertama kalinya.
Meskipun kami sangat mirip, tetap saja gue kikuk. Alis gue nggak berhenti berkerut mengingat bagaimana gue diterima dengan sangat cepat dalam keluarga ini. Maksud gue, sebejat apa dia sampai-sampai ketika seorang pemuda seusia gue datang mengetuk pintu dan mengaku sebagai anaknya, semua orang percaya?
Dalam bayangan gue, paling nggak mereka akan lapor polisi atau mengusir gue pergi di malam pertama. Tante Diana sudah menyewakan tempat kos tak seberapa jauh buat jaga-jaga seandainya mereka ngusir gue.
Sepiring roti bakar diletakkan di depan Andreas. Sejurus kemudian, koran yang menutup wajahnya dirampas oleh Bunda. Andreas hanya merengut dan mendecap kesal, mungkin karena dia jadi nggak punya alasan buat menghindari tatapan gue. Sambil mengunyah, dia menerima secangkir kopi dari Bunda.
"Kalau di rumah, Yoga dibikinin sarapan nggak sama Mama?" tanya Bunda.
"Oh ya ampun, Nda!" serobot Andreas. "Kayak Bunda bakal ngasih aja toaster atau alat dapurnya aku sentuh! Emang aku nggak tahu arah pertanyaan Bunda kemana?"
Bunda menggerakkan bahu.
"Kamu udah kelas 3 gini pindah sekolah, emang nggak apa-apa?" Andreas beralih ke gue.
"Kelas 2," ucap gue, meralat.
"Bukannya udah tujuh belas lebih?" imbuhnya sambil menyeruput kopi.
"Pernah tinggal kelas sekali tahun lalu," jawab gue.
Dahi Andreas mengerut. "Kenapa?"
"Berantem," tukas gue, padahal bohong.
Gue tinggal kelas karena kebanyakan bolos buat nungguin Mama di rumah sakit, nilai gue turun banyak, absensi gue nggak mencukupi buat naik kelas. Nggak tahu kenapa, gue pengin aja bikin Andreas kesal.
Bunda mengekeh mendengar jawaban gue.
Andreas tentu saja nggak tertawa, sebaliknya, dia kelihatan kurang suka. "Berantem kenapa?"
"Boys stuff," kata gue singkat.
Kerutan di dahi Andreas terukir makin dalam, mulutnya mengunyah roti dengan saksama, perlahan, seperti gerakan slow motion. "What kind of boys stuff?" gumamnya. "Masalah cewe?"
"Aku nggak suka cewek, jadi bukan masalah cewek."
Waktu gue ngomong gini, gue sambil mengangguk ke arah Pras yang barusan masuk dapur menghampiri Bunda.
Prasetyo melambaikan tangan membalas anggukan gue.
"Mana ada cowok nggak suka cewek," ucap Andreas, membuyarkan perhatian gue yang sempat tersita oleh kehadiran Pras.
"Maksudnya nggak keranjingan kayak kamu, Ndre!" kelakar Bunda, disambut tawa Pras.
Andreas melengos, lalu menghabiskan sisa toast dalam sekali gigit. Mukanya kesal, tapi kelihatannya udah terlalu malas untuk membalas.
Pras mendekati meja makan sambil nanya ke gue, "Yoga udah punya cewek?"
Gue menggeleng.
"Ih padahal ganteng." Bunda nyeletuk. "Seusia kamu dulu, Papah kamu pacarnya ganti melulu seminggu sekali. Bunda sampe pusing!"
Gue hanya mengulum senyum masam.
"Eh maaf, Sayang, maksud Bunda nggak kayak gitu," kata Bunda setelah melihat perubahan ekspresi gue.
"Nggak apa-apa, Bunda," ucap gue tulus, tapi entah dari mana, sambil menggigit bibir bawah gue, tiba-tiba saja ide itu datang, dan menyerang kepala gue dengan membabi buta.
Gue ingin sekali coming out.
Gue selalu ingin memberitahu perihal jati diri gue.
Kenapa enggak sekarang ketika gue menjajaki kehidupan baru?
Gue berkata tanpa pikir panjang, "Aku gay. Makanya nggak suka cewek ...."
Ya. Siapa yang nggak ingin coming out? Itu impian gue yang tak pernah terwujud saat bersama Nenek dan Mama. Sekarang setelah gue sendirian, gue bisa bebas. Sebelum gue merasa terlalu takut akan menyakiti mereka yang kemungkinan akan menjadi orang-orang terdekat gue berikutnya, gue rasa sekarang adalah saat yang tepat. Let them accept me the way I am or toss me away. It won't hurt me.
Hening menyelimuti ruangan sampai beberapa saat kemudian. Semua wajah tampak tegang menatap gue.
Kemudian, terdengar tawa pendek dari bibir Pras. "Well. Kamu memang anaknya Andre, Yoga! Welcome home!" katanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top