5. Cheese Cake

ANDREAS

Prasetyo hanya diam, merokok.

Aku nggak suka kalau ada orang merokok di dalam rumah. Aku sudah lama berhenti merokok, mungkin malah belum bisa disebut perokok. Aku hanya mencoba dan langsung kurang suka. Kenapa? Karena aku nggak pantas merokok. Aku beda sama Prasetyo yang slenge'an. Lihat aja kancing kemeja kantornya, atau kerah bajunya yang kusut, dia cocok berpose cool dengan sebatang rokok terjepit di bibirnya yang hampir-hampir berwarna ungu. Aku selalu menjaga penampilanku, bibirku harus tetap segar dan aku sangat concern dengan aroma tubuh. Nikotin bercampur dalam darah, otomatis akan sangat memengaruhi aroma asli tubuh seseorang. Aku memuja aroma dasar tubuhku yang sensual dan mengundang lawan jenis untuk bercinta, aku nggak akan dengan konyol merusaknya dengan kebiasaan yang juga merugikan kesehatan. Plus, aku nggak mau impoten. It's my biggest fear. Oh God. Cabut saja nyawaku kalau sampai aku impoten.

Jadi, Pras hanya mengisap dan mengembuskan asap mengotori udara, sementara yang ribut bukan main adalah Bunda dan Kikan. Mereka menghentikan langkahku, menyeretku ke dapur untuk dihakimi.

Aku duduk menyilangkan kaki sambil makan potongan cheese cake dari Bunda. Namanya juga ibu-ibu, walaupun marah, dia tetap peduli dengan kondisi perutku.

Bukannya masa bodoh dengan semua yang sudah terjadi, tapi aku nggak tahu harus berkata apa lagi. Menyesal? Aku udah bilang ribuan kali, meski sebenarnya nggak menyesal-menyesal amat. Buat apa? Gito itu diam-diam selingkuh dari istri tuanya, sengaja memanfaatkan posisi sebagai tulang punggung keluarga dan bertindak seenak hati. Si istri tua nggak punya pilihan karena dia bergantung sepenuhnya kepada laki-laki itu. Aku yakin perempuan yang juga hadir di kantor polisi tadi malam—istri yang selalu dibawanya ke pesta perusahaan, seorang wanita anggun dengan wajah keibuan seperti Bunda—berterima kasih kepadaku. Aku lihat kok bagaimana dia tersenyum. Senyum puas seorang wanita yang nggak punya daya buat membalas perbuatan suaminya. Anggap saja ada malaikat yang membalaskan sakit hati sang nyonya. Malaikatnya sih belum tentu turun dari surga. But who cares anyway?

Ngomong-ngomong cheese cake dari Harvest ini enak banget. Berapa kalorinya, ya? I don't have problem with gaining weight, tapi aku sudah harus mulai memikirkan kadar gula dalam darah, kolesterol, dan kandungan lemak jenuh dari apa yang aku makan. For some cases, terutama untuk cheese cake, aku susah untuk peduli. Aku terus memotong dan menlijat garpu sampai bersih.

Bunda melotot.

"Apa sih yang ada di otak kamu, Ndre?" Kikan mengangkat wajahnya dari pelukan Pras yang sudah berhenti merokok.

"Udah dong, Sayang ..." bisik Pras, tapi aku bisa mendengarnya. "Ngapain juga sih kamu marah-marah? Udah terlanjur. Pak Gito juga pasti tahu, kok, kalau kamu nggak ada sangkut pautnya sama hal ini. Kalau dia nggak mau datang karena ada Andreas, itu pasti bukan karena dia nggak mau menyaksikan pernikahan kita."

Bener itu!

Kikan makin berang, "Pak Gito itu udah kayak papah aku sendiri, Pras. Aku malu!"

Aku mengernyitkan alis. "Kamu nggak malu selama ini udah ikut nyembunyiin belangnya dia?"

"Aku nggak pernah nyembunyiin belangnya!" bentak Kikan. Matanya merah karena menangis, suaranya bergetar menahan angkara murka.

Aku mengembuskan napas terang-terangan, bukan bermaksud melecehka. Aku beneran udah ngerasa salah barusan ngomong gitu. Kikan kan nggak salah. Kenapa aku jadi menyeret dia dalam perasaan bersalah yang seharusnya ditimpakan kepadaku?

"Aku minta maaf," ucapku. "Aku nggak bermaksud ngomong gitu. Aku minta maaf sudah bikin kamu malu, oke? Tapi, kamu mau nangis dan marah kayak gimana juga nggak akan mengembalikan segala sesuatu seperti sebelumnya."

"Oke. Cukup." Bunda angkat bicara. "Bunda minta maaf atas nama Andreas, ya?" katanya.

Aku putar bola mata. Aku kan udah minta maaf, kenapa harus ada lagi seseorang yang meminta maaf atas namaku? Tapi karena ini Bunda, wanita tidak terbantahkan, aku hanya bisa mencacah sisa cheese cake dalam diam. Well. Dan gerutuan.

I am 35. I don't need my mother to stand up for me. Untung kemarin aku ke kantor polisi sendiri. Kalau Bunda sampai ikut, polwan itu pasti ngetawain aku.

"Bunda nggak tahu lagi sampai kapan dia akan bersikap kayak anak umur belasan," Bunda melirikku. Aku buang muka yang jauh. "Kita tunggu aja nanti. Biar dia lihat sendiri apa yang akan terjadi kalau suatu hari dia jatuh cinta sama orang dan orang itu berbalik mengkhianati dia. Bunda mau lihat, apa dia masih bisa menghadapi orang yang jengkel sama kelakuannya sambil makan cheese cake sesantai itu?"

What?

Bunda! I am your son. Tega banget dia nyumpahin aku gitu. And by the way, apa yang dia maksud itu karma? Karma did touch me once or twice, Bunda. Donita juga selingkuh, kalau dia mau tahu. Makanya kami bercerai. Apa aku bilang sama Bunda? Nggak. Aku biarin saja dia ngatain aku nggak menghargai mahligai pernikahan. Apa dia tahu Donita selingkuh karena menurutnya aku bawel ngebatasin kehidupannya setelah menikah? Karena aku ingin punya anak juga dan dia menolak mentah-mentah? Gimana perasaanku coba Bunda pikir ketika Kikan—mantan tersayangku—justru nikah sama adik tiriku? Apa karena aku makan cheese cake saat dihakimi lantas aku nggak bisa sakit hati?

"Gini aja deh," kataku jengkel. "Kalau Kikan takut Gito nggak mau datang ke pernikahan kalian, bilang aja kalau aku nggak akan datang. Aku sih nggak masalah."

Aku merapikan celanaku yang agak berkerut sehabis menyilangkan kaki, kemudian beranjak dari kursi. Tentu aku nggak sungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku cuma capek saja dan malas meladeni lebih jauh. Percuma. Ujungnya juga aku yang terpojok. Mendingan aku ngapain kek gitu. Berendam untuk mengendurkan otot dan sarafku yang tegang, misalnya. Hariku sudah sangat melelahkan. Aku kehilangan pekerjaan, terancam menghadapi interogasi selanjutnya dengan pihak berwajib, dipermalukan lumayan parah oleh tatapan mata para staf kantor sewaktu mengemasi barang-barangku. Mereka nggak ngomong apa-apa, tapi cara mereka memperlakukanku benar-benar bikin aku meradang.

Bayangin, waktu aku perlu menggandakan beberapa dokumen buat mengurus pengunduran diri (paksa), nggak seorang pun mau memberiku bantuan. Akhirnya, aku harus mengoperasikan sendiri mesin fotokopi selama lima belas menit. Gila, kan? Nggak ada yang menawariku kopi, apalagi mengajakku bicara. Bahkan Chester dan Gerard dengan nggak sopannya keluar masuk ruanganku buat pake mesin fax. Kalau bukan karena aku menunggu surat rekomendasi (mereka memberiku pilihan diberhentikan nggak terhormat atau mengundurkan diri. Aku memilih yang kedua sebab aku membutuhkan surat rekomendasi untuk apply pekerjaan lain. Meski dengan begitu aku harus melepaskan pekerjaan tanpa kompensasi apa-apa), aku nggak akan berlama-lama berada di sana. Cuma Tiwi, mantan asisten Kikan yang sekarang menggantikan posisinya sebagai Senior Copy Writer, yang mau duduk semeja denganku di kafetaria.

Aku butuh telanjang bulat, tenggelam dalam air hangat dan bau sabun. Nah begini. Hangatnya sudah pas, tinggal aku bubuhin bath foam dan wewangian yang menenangkan. Sambil meluruskan kaki dan menimang segelas anggur oleh-oleh rekan kerja dari Italy, aku mengambil ponsel dan memeriksa akun media sosialku.

Scroll. Scroll. Nggak ada yang menarik jadi aku menyerah. Sejak kapan sih Facebook menarik? Isinya gosip artis yang nggak bermutu, isu politik yang saling menjatuhkan, atau hoax. Ini lagi. LGBT. Aku ketawa. Orang Indonesia pakai segala ikut-ikutan ngomongin ginian. Mana mereka ngerti?

Aku suka lihat lesbian. Makes me want to interrupt.

Oh, pop up inbox messenger. Aku menenggak habis anggur dalam gelasku supaya bisa mengetik dengan mudah.

Amanda Thalia Guritno: Kak Andre online nggak?

Andre Ed Prayoga: Iya.

Amanda Thalia Guritno: Katanya Kak Andre dilaporin polisi? Gimana ceritanya, Kak?

Andre Ed Prayoga: Males ah nyeritainnya. Kamu lagi di mana sekarang, Cantik? Kak Andre kangen pengen peluk kamu.

Amanda Thalia Guritno: Kak Andre ini nggak tahu situasi lagi genting.

Andre Ed Prayoga: Ya udah, oke ..., oke ... kamu gimana kabarnya? Diceraiin nggak sama Gito BTW?

Amanda Thalia Guritno: Iyalah, Kak. Kepalang malu Bapak sama istrinya.

Andre Ed Prayoga: Perjanjian pranikah nggak sih?

Amanda Thalia Guritno: Nggak. Dapat rumah, sih, Manda. Tapi nggak dapat mobil. Cuma motor yang dikirim ke adik di Bandung. Kak Andre dipecat, ya?

Amanda Thalia Guritno: Terus Kak Andre gimana?

Andre Ed Prayoga: Ya nganggur.

DOK DOK DOK!!!

"Ndre!"

Suara Pras. Ngapain dia? Males jawab.

"Ndre, buka pintunya dan lekas turun kebawah," perintahnya.

"Aku lagi mandi, Praaas ...!"

"I swear to God you need to come downstair right in an instant!" desisnya intimidatif.

"Kalau Bunda nyuruh makan, aku udah kenyang."

Ya, Tuhan. Kulitku berkerut kena air. Buru-buru aku berdiri dan mulai membilas. Sambil agak berteriak ke Pras, aku menyalakan shower dan mulai membasahi rambut. "Kalian aja duluan aku gampang!!!"

"Bukan," dengus Pras. Nyaris nggak kedengeran. "Ada orang nyariin kamu."

"Siapa?"

"Andreas Edward Prayoga namanya. Anak kamu dia bilang!"

Hah?

Apa dia bilang? Prasetyo ini lama-lama suka nggak jelas. Maksudku, dia itu kalo ngomong udah kayak orang kumur-kumur, yang diomongin kayaknya nggak perlu-perlu banget gitu. Nyuruh aku turun makan aja pake announcement nggak bermutu gitu. Memangnya ini cerita sinetron anak yang tertukar sampai tiba-tiba ada such imaginary thing for the sake of disturbing my me-time??

Karena Pras terus mengetuk, aku jengkel juga. Aku pake baju dalam bersih yang udah kusiapin sebelum mandi. Sambil ngeringin rambut, aku bukain dia pintu.

"Turun," perintahnya.

"Ada apa, sih?"

"Sejak kapan sih lo tidur sama perempuan?" tanyanya aneh bin ajaib.

Pertanyaan macam apa kayak gitu? Kayak sebelumnya aku tidur sama laki-laki aja gitu. Atau sapi, atau kerbau. Aku ketawa.

"Sejak gue habis sunat, gue gituannya ya sama perempuan. Nanyanya bisa yang kurang ajar dikit, nggak? Yang bisa bikin gue sekalian diusir sama Bunda gitu karena dianggap nyari gara-gara sama lo!" tantangku kesel. "Lo mau ngomong apa sih, sebenarnya?"

"Mendingan lo turun, deh!" sambarnya.

Aku nggak menyahut apa-apa, kuputuskan dia nggak sedang main-main. Kututup kembali pintu di depan hidungnya buat ganti baju. Setelah kupilih selembar kaus katun berwarna coral dan boxer buat tidur, aku keluar kamar. Yang mengejutkan, Pras masih berdiri di sana.

"Lo kenapa sih, Pras! Serem tahu, nggak! Kayak habis ngeliat hantu!"

Lebih-lebih, apa yang dia teriakin waktu aku masih di kamar mandi tadi? Aku kurang jelas sih dengernya, tapi dia nyebut-nyebut soal anak? Anakku? Yang bener aja, sejak kapan aku ML nggak aman? Nggak ada ceritanya!

Kayaknya aku nggak pernah ceroboh sejak ....

Ya, ampun. Sejak kapan bahkan aku lupa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top