3. The Young, Wild, and Free
Yoga
Gue kesal sama orang ini.
"Yoga kenapa sih?" tanyanya sambil mengelus pipi gue. "Kok kasar banget sama Om, hmm?"
"Om nggak suka?" balas tanya gue. "Bukannya Om suka yang rough, ya? Kadang Yoga yang risih kalo harus mukulin Om pake cambuk."
Namanya Christian Sembiring, maunya dipanggil Om Christ.
Om Christ tertawa senang mendengar gerutuan gue. Orang ini memang agak nggak beres otaknya. Fantasi seksnya selalu seputar menjadi botty tua rapuh yang diperkosa top berusia muda. Dia sendiri baru 27, masih pantas gue sebut Kakak. Tubuhnya tegap, besar, dan kekar. Jauh dari kesan Om-Om.
Memang dia pure bot, tapi dari sosoknya yang gagah dan jabatannya sebagai direktur utama perusahaan otomatif milik keluarga, seiyanya orang tahu dia gay, nggak akan ada yang percaya dia menjerit seperti banci di atas tempat tidur.
Setelah gue berhasil membuatnya senang pada pertemuan pertama, kami jadi sering janjian bertemu. Setiap kali jadwal padat Om Christ longgar, dia pasti akan menghubungi gue. Saking seringnya kami menghabiskan waktu berdua satu tahun terakhir ini, gue mulai ngerasa nggak nyaman. Dalam artian yang positif.
Gue jatuh hati.
Benar aja. Minggu lalu, saat dengan entengnya dia bilang mau nikahin cewek pilihan orang tuanya, hati gue sakit.
Gue sayang dia. Gue berharap kami jadian, tapi gue nggak pernah tega mengungkapkannya. Bisa-bisa dia menganggap gue konyol. Gue masih sekolah, usia gue sepuluh tahun di bawahnya. Mana mungkin dia menerima cinta gue? Yet, mendengarnya mengatakan 'Santai aja, Yoga sayang... Kita masih tetep bisa bareng, kok. Uang jajan Yoga nggak akan putus meski Om udah nikah nanti,' membuat hati gue ancur.
Itu yang bikin gue kesal setengah mati. Tadi dari rumah, gue udah bertekad hanya akan mampir selama beberapa menit untuk memutuskan hubungan.
"Yoga marah ya, Om mau nikah?" Dia memeluk gue.
Gue diam dalam dekapan lengannya yang berotot. Botty manly sebenarnya bukan selera gue sama sekali. Gue lebih suka yang chubby-chubby. Ken, teman sekelas gue, misalnya. Gue selalu suka setiap kali pipi gembulnya bergerak-gerak kalau dia tertawa. Gue pernah menggodanya, tapi dia nggak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia homo.
Alasan utama gue menjalani hubungan tanpa status adalah duit. Sejak Mama sakit, gue harus mencukupi kebutuhan sendiri. Gue nggak menganggapnya sebagai pekerjaan sih, tapi gue memang nggak mungkin sekolah sambil kerja. Sepulang sekolah, gue harus langsung ke rumah sakit buat merawat Mama. It's an easy money. Sialnya, gue malah jatuh sayang sama Om Christ. Gue udah memaksa diri supaya bisa memilah antara perasaan dan kebutuhan, tapi nggak bisa. Hubungan gue dan Om Christ udah terlalu dalam, seenggaknya buat gue.
"Yoga sudah bosen sama Om!" kata gue dingin.
Pelukan Om Christ melonggar, "Yoga kenapa?" bisiknya manja. "Om boleh minta sesuatu nggak sama Yoga?"
Oke. Ini saatnya gue harus bangkit dan pergi, atau gue akan luluh dengan suara manjanya. Namun, Om Christ bergerak cepat, bergelayut di bahu gue sebelum gue sempat berdiri. "Om mau apa?" tanya gue ketus.
"Om mau Yoga jujur sama Om ..." ucapnya lirih.
Gue mendengkus, "Soal apaan sih, Om?"
"Soal perasaan Yoga ke Om ...."
"Om mau Yoga ngomong apa?"
"Apa aja asal jujur."
"Emang apa yang Om rasain?"
"Om ngerasanya Yoga berubah sama Om. Sejak Om kasih tahu kalau Om mau nikah ...."
"Yoga nggak mau jadi perusak rumah tangga orang, Om. Lebih baik kita berhenti saling ketemu. Kalau Om masih mau senang-senang, silakan sama orang lain aja."
"Kalau Om maunya sama Yoga?"
"Ya Om jangan nikah ...!"
"Yoga egois dong?"
"Kok egois? Om dong yang egois. Om masih mau sama Yoga, tapi Om mau nikah sama orang lain."
"Om kan udah kasih tahu Yoga alasannya."
"Yoga juga udah kasih tahu Om kan alasan Yoga nggak mau nerusin hubungan ini? Yoga nggak minta Om jadi pacar Yoga, kok. Yoga tahu diri, Om. Tapi kalau Om suruh Yoga ngelanjutin ini sementara ada orang lain yang milikin Om, Yoga nggak mau. Yoga memang gay, Om, tapi Yoga punya perasaan. Punya harga diri. Yoga nggak mau. Titik."
"Yoga sadarkan posisi kita kayak mana sekarang? Om nggak mungkin selamanya kayak gini."
"Ya udah ...," gue mengentakkan wajah Om Christ dari bahu gue dan berdiri. "Yoga nggak nyuruh Om selamanya kayak gini. Yoga hanya bilang Yoga nggak bisa nerusin hubungan kalau Om mau nikah. Om tahu kan bedanya?"
Christ menatap gue nanar. Matanya mulai berkaca-kaca, sementara tangannya masih mengambang, memeluk udara kosong. Sampai beberapa detik, akhirnya kedua tangan itu jatuh di atas pahanya sendiri. Gue memalingkan wajah darinya selama gue sibuk mengenakan kembali satu per satu pakaian gue.
"Yoga cinta sama Om?" Om Christ meraih tangan gue yang sedang sibuk mengancingkan kemeja.
Gue nggak menjawab. Gue kibas tangan Christ yang mencengkeram pergelangan tangan gue dengan gerakan halus. Gue berjalan menjemput sepatu, duduk kembali di tepi kasur dan mengenakannya. Gue nggak menyangka perpisahan dari hubungan tanpa status ini bisa begitu menyesakkan dada. Gue nggak ingat kapan mulainya, tiba-tiba saja gue udah punya perasaan cemburu yang membuat gue jadi sentimental.
"Yoga ...," panggilnya.
"Menurut Om gimana?"
Mata gue dan matanya bertemu. Saling menyelami. Gue langsung tahu Om Christ juga sama, punya perasaan sayang ke gue. Dia hanya nggak mungkin memilih salah satu antara gue dan pernikahannya. Mungkin dia benar, gue egois. Paling nggak, gue nggak memaksanya.
"Om masih ingin kita sama-sama. Bukannya dulu kita udah sepakat hubungan kita hanya sekadar hubungan saling membutuhkan?"
"Iya. Tapi nggak ada kan kesepakatan kapan salah satu dari kita boleh meninggalkan hubungan ini, Christ?"
"Yoga!" hardiknya karena gue nggak lagi memanggilnya Om.
"Kita udah nggak memainkan peran lagi, Christ. Gue udah memutuskan untuk menghentikan permainan. So ... gue udah bukan lagi keponakan tengil dalam imajinasi lo. The game is over. Gue nggak melarang lo menikah, tapi gue nggak mau melanjutkan permainan kalau lo menikah. Gue pikir gue cukup adil. Kita nggak terikat perjanjian apa pun, gue bukan budak lo. Thanks for everything, Christ and good bye!"
Gue berdiri diam mengatur napas, bertekad nggak akan menitikkan air mata. Gue berbalik setelah beberapa detik dan tersenyum kepadanya yang hampir menangis.
"Promise me you'll be happy, Yoga..." pesannya. Matanya semakin merah berkaca-kaca. Air matanya menggenang tapi tidak sampai menitik di pipinya.
"Lo juga," senyum gue. "Semoga lo bahagia dan punya banyak anak. Jangan kasih nama gue ke anak lo nanti. Takutnya jadi gay, nanti lo repot mesti jodoh-jodohin dia sama perempuan, persis kayak lo sekarang."
Christ mengulas senyum pengertian. Gue yakin senyum itu palsu, tapi gue bisa apa? "Kamu bakal nyari Om baru?" Christ bertanya hati-hati sembari perlahan menggerakkan tubuhnya beranjak dari atas kasur.
"Ini perpisahan," ujar gue, tahu apa yang akan dilakukannya. "Gratis" Gue menyebut miris.
"Aku nggak pernah menganggap apa yang aku kasih ke kamu itu bayar jasa, Yoga..." Christ melirik gue sekilas kemudian menilik ke dalam dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu yang diserahkannya ke gue. "Jumlahnya udah nggak genap tiga juta. Kamu pakai, ya? Kalau kamu butuh apa-apa, kamu kasih tahu aku. Deal?"
Gue nggak langsung menerimanya seperti biasa, melainkan mempertimbangkan lebih dulu baik dan buruknya. Mata gue menatap bergantian antara uang di tangan Christ dan wajahnya yang sungguh-sungguh berharap supaya gue menerima pemberiannya.
Gue tahu Christ. Uang yang nggak genap tiga juta nggak akan membuat masalah di kemudian hari, yang gue pertanyakan adalah harga diri gue. Gue udah nggak lagi melakukan semua ini atas dasar uang dengannya, gue melakukannya karena gue sayang. Gue juga nggak meninggalkannya karena gue udah nggak sayang lagi kepadanya, apakah uang itu pantas gue terima?
"Kalau kamu nggak terima uang ini, aku nggak akan berhenti nyari kamu," ancam Christ. Matanya menajam menusuk manik mata gue. "Kecuali kamu memang berharap aku nyari kamu, Yoga...," lanjutnya lebih mirip orang mengeluh.
Uang di tangannya kini beralih ke tangan gue, tersimpan dalam kantung jaket kulit yang dihadiahkannya sepulang dari trip ke Hongkong beberapa bulan lalu. Gue memeluknya erat. Selamat tinggal cinta pertama gue. Semoga lo bahagia dengan pilihan lo. Christ mengecup kening gue dan membiarkan gue berjalan ke arah pintu.
Gue juga nggak punya bayangan seperti apa hidup gue nantinya, tapi yang jelas gue nggak akan mau melanjutkan merajut cinta yang terbagi. Mama selalu bilang ke gue, cinta yang terbagi jauh lebih menyakitkan daripada berjuang sendiri. Mama menjalani hidupnya hanya berdua dengan gue. Tanpa pria brengsek yang tidak pernah mau tahu mengenai nasibnya. Tanpa keluarga yang mau menanggung malu akan putrinya yang hamil di luar nikah. Gue juga harus bisa memegang prinsip itu. Maafin gue, Christ, tapi terima kasih. Lo yang membuat gue merasakan cinta pertama kali dan gue akan mencari cinta-cinta gue selanjutnya.
Selamat tinggal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top