29. I am not totally useless, I can be used for a bad examples
Andreas
"Bunda nggak mau tau!" Bunda nyaris menjerit, bikin aku tercekat. "Kamu ngomong apa sama dia? Sampai dia lari dari rumah? Pokoknya kamu enggak usah pulang kalo kamu nggak pulang sama Yoga! Bisa enggak sih, kamu concern dikit sama perasaan Bundamu ini? Nggak bisa kamu biarin orang lain bahagia, gitu? Jangan hukum orang lain dong kalau kamu enggak bisa bahagia!"
Ih, Bunda kesurupan, ya? Aku sampe melongo.
Kikan berlarian keluar dan mengajak Bunda kembali masuk, meninggalkan aku dan Prasetyo sendiri di halaman. Tanpa ngomong apa pun kayak orang bisu, Pras mengangsurkan selembar kertas kepadaku. Aku juga enggak ngomong, hanya kubentangkan kertas itu dan kubaca.
"Yoga minggat gara-gara lo," beritahu Pras.
"Ngapain lo kasih suratnya kalo lo kasih tahu duluan?" sungutku sebal.
"Gue nggak kuat nahan buat ngasih tahu aja," dengus Pras santai. "Lo nggak pernah berubah."
Aku melirik dan membalas dengusnya. "Ini mesti gue baca nggak, sih?"
"Baca!" Pras bersidekap.
"Ya udah lo jangan ngajak gue ngomong melulu. Shut up!" Kembali aku memusatkan konsentrasi kepada sepucuk surat yang diberikan Pras. Untuk mencegahnya cerewet, aku sengaja baca keras-keras. "Bunda, aku minta maaf karena aku udah ngerepotin. Harusnya aku enggak dengerin kata Mama untuk datang ke rumah Papa. Aku cuma jadi beban buat Papa. Apalagi dengan orientasi seksku yang bikin Papa malu, tapi please, apa enggak sebaiknya hal kayak gitu dibicarain sama aku? Enggak langsung disebarkan ke teman sekelasku. Aku malu. Mending aku keluar dan berhenti jadi beban kalian. Yoga."
Eh?
Alisku nggak sengaja mengerut sendiri.
"Why do I smell a rat?" gumamku.
"Maksud lo?" Alis Pras ikut mengerut, direbutnya kertas di tangan gue lalu dia baca ulang tulisan Yoga. "Gue nggak ngerti maksud lo apa. Gue hanya mendapat kesan bahwa lo udah nyakitin hati seseorang yang lukanya belum sembuh. Ndre! He's just a kid, lo itu obsesif kompulsif terhadap kebahagiaan seseorang, ya?"
Ya ampun. Please. Aku yakin kok Pras ngerasa aneh juga dengan surat itu. Dia hanya lagi nge-bully aku aja, nyalah-nyalahin aku selagi ada kesempatan. Aku ngerebut balik surat Yoga. Ini sih jelas dia lagi ngadu domba. Terlepas dari apakah dia beneran jengkel sama kelakuanku atau enggak, bocah ini lagi balas dendam. Biar aku dapat balasan dari perbuatanku, misalnya dari Bunda gitu. Pinter juga dia, dalam beberapa minggu tahu aja dia kelemahanku. Ya, meski orang cuma butuh sepuluh menit buat tahu sih sebenernya.
Dia berhasil, omong-omong. Waktu aku mencoba bicara dengan Bunda, mengambil hatinya, aku diusir. Aku. Anaknya. Sehebat apa pun aku berantem sama Pras, Bunda nggak pernah semarah ini kepadaku. Dia selalu maklum meski panjang omelannya kalau ditulis dengan font Cambria Heading ukuran 10 bisa sepanjang Jakarta Bandung.
Keputusan Bunda sudah bulat, nggak akan ngasih aku masuk rumah kalau nggak sama Yoga.
Makanya aku di sini, di depan rumah Karenina. Setelah nyaris tiga jam muter-muter nggak tentu arah, aku menyerah. Aku enggak punya siapa pun untuk ditanyain tentang Yoga kecuali si gendut Kevin. Wajah marah Bunda memaksaku memencet bel rumah Karen, mengabaikan rasa maluku.
"Mau ngapain kamu?" tanya perempuan itu ketus. Galak aja cantik dia, gimana senyum? Malam ini dia mengenakan tank top dan legging, tatapan matanya bengis. Jengkel sekali kelihatannya. Dasar perempuan. Aku ya yang kena tampar di depan umum. Harusnya aku yang kesel.
"Aku nyari Yoga. Apa dia di sini?"
"Nggak ada," jawabnya sambil ngedengus.
"Kevin?" Aku menahan Karen yang berniat menutup pintu. "Please. Yoga left the house. He left us a note and my mom got panick she almost killed me...."
"Apa?" Karen melongo sebentar. "You lived with your Mum?"
Kutarik wajahku. "Iya. Kenapa?"
Ada senyum geli terbayang di wajah Karen. "How old are you anyway?" kekehnya.
Napasku terembus berat, aku sedang nggak berminat menanggapi lelucon yang ujung-ujungnya akan bikin hubungan kamui makin buruk. If said something, I'd spit it out even ruder. Aku sedang buru-buru, aku nggak punya waktu buat berantem.
"Emangnya kenapa kalau aku tinggal sama Mamaku? Aku single. We lived in the same neighborhood, why not?" Aku bersungut, lalu mendesaknya, "Enough about me. Kamu tahu sesuatu nggak soal Yoga? Kalau nggak, let me talk to Kevin."
"It passed his bed time," ujar Karen setelah menimang-nimang.
"Please, Karen...." Aku memohon. "Kevin pasti tahu sesuatu, kan? Kalau kamu nggak mau aku ngomong sama dia, coba kamu tanyain. Aku nggak bisa pulang kalau nggak bawa dia. Besides, dia mau ke_mana di Jakarta ini?"
Meski agak jeda beberapa saat, Karen akhirnya membuka pintu lebih lebar. "Masuk dulu, deh. Biar aku lihat Kevinnya udah tidur atau belum."
"Thanks." Aku masuk dan duduk di sofa, menunggu Karen yang menghilang ke dalam rumah. Mataku tentu saja beredar ke_mana-mana meski aku duduk manis. Rumah ini cukup bagus, meski nggak sebagus rumah Manda. Bedanya, aku mencium bau keluarga beneran di ruang tamu rumah ini. Bukan rumah simpanan gitu maksudku. Semua foto Karen dan almarhum suaminya masih terpajang di meja hias dan dinding, beberapa foto di antaranya, mereka berpose bersama Kevin.
Seperti dugaanku semula, Karen memang perempuan baik-baik. Dia cerdas dan punya karakter kuat, mirip Kikan. Alasannya menikahi duda beranak satu pasti berbeda dengan motif Manda menikahi Gito. Karen sepertinya tipe wanita yang hanya menikah karena cinta, bukan karena kasihan seperti Manda. "Soalnya Bapak kayaknya sayang banget sama Manda, nggak bisa hidup tanpa Manda, ya udah Manda nggak tega kalau udah ada yang ngomong gitu. Jadi Manda mau diajak nikah."
For your information, aku melongo lima menit penuh mendengar itu.
Bukannya aku nggak percaya, justru aku sangat percaya sama Manda. Dia memang bukan tipe penggoda suami orang, sebaliknya, dia menarik pria dengan kepolosannya. Sama seperti bagaimana aku tertarik kepadanya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bikin aku menangkap kesan panas dan inosen sekaligus.
Karen muncul bersama Kevin.
Aku berdiri dengan serta-merta, mendekat ke arah Kevin yang menekuk muka gendutnya. Bagaimana dia bisa segemuk itu? Secara kilat aku sempat bertanya-tanya, ini akibat pola makan, atau memang genetis? Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup dengan badan sebesar itu? Bagaimana kalau dia butuh lari? Bagaimana kalau dia sedang buru-buru dan butuh menyelinap di kerumunan manusia? Bagaimana jika suatu hari dia terjebak dalam elevator yang macet, lalu kekurangan suplai oksigen? Well, eum, tentu saja dia meninggal. Aku juga pasti akan meninggal kalau diterjebak di lift dan kekurangan oksigen. Dan oh, Bagaimana kalau dia harus naik pesawat? Apa tempat duduknya muat?
How did my son fall in love with this boy?
My son....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top