28. Plan Works(?)


YOGA

"Ya pasti gue akan bilang gitu," gue puter otak lagi. "Tapi gue ini paling nggak bisa nolak permintaan cowok gue. Gue orangnya kalo udah sayang bisa ngelakuin apa aja, gue nurut asal hubungan gue sama cowok gue langgeng. So, let's hope dia nggak akan sebel aja kalo ngerasa gue ngeduain dia."

"Ih kok kesannya kalian pacarannya nggak asyik banget, sih? Emang hidup lo nanti akan sama dia selamanya gitu sampe lo ninggalin semua temen lo, hm?"

"Ya gue kan gay. Gue sih berharapnya kalau ada satu orang yang gue cinta dan dia juga cinta gue, kami bisa bersama dalam long term relationship, gue akan pertahanin. Lo mungkin nggak tau how tough being gay, nggak mudah nyari pasangan yang setia sama pacarnya. Kebanyakan gay maunya seneng-seneng aja. Christ ini proud gay, dia beda. Dia nggak akan ninggalin gue asal gue nurut mau dia."

Kevin mulai lambat menyahut. "Dulu kalian putus kenapa?"

"Karena gue nggak mau ngejauhin temen gue," jawab gue cepat. Saat gue ngejawab itu, mata gue dan dia bertemu. Gue jelas ngelihat gundah di bola matanya yang jernih. Did I get him already?

"Gue bingung," gumamnya gamang.

"Kenapa?"

"Gue ingin lo bahagia, tapi gue juga ingin lo temenan sama gue," katanya lirih, seolah nggak ditujukan ke gue. Oh, gimana gue nggak jatuh cinta sama dia?

Gue suka something yang pure—murni—dan tulus. Seumur hidup, gue diajarin Mama untuk menghargai sebuah perasaan yang tulus. Mama bilang harta benda nggak akan menjamin kita bahagia, tapi jika kita bisa menghargai perasaan yang tulus dari orang lain sudah pasti kebahagiaan adalah milik kita.

To be born as a gay, di antara banyak gay yang menjalin hubungan buat seeking pleasure, ketulusan dan kejujuran adalah harga yang sangat mahal. Jarang gue temukan. Lihat aja hubungan gue dan Christ, penuh kebohongan, tanpa landasan kuat, hanya saling mencari kenikmatan. Di depan Kevin, gue merasa diri gue lucu. Gimana mungkin gue sempat berpikir untuk macarin Christ, bahkan berharap dia berhenti memaksakan diri untuk diterima keluarganya meski dengan menjadi pembohong seumur hidup?

"Eh, lagian lo kan belum tentu balikan juga sama cowok itu, kan?" Wajah Kevin ceria kembali.

Nggak akan, sih. Gue udah nggak minat, tapi gue nggak ingin lo tenang-tenang sendirian sementara gue nahan perasaan.

"Nggak tahu juga," kata gue. "Christ udah ngajak gue balikan dari lama. Selama ini gue selalu menghindar, tapi kalau posisinya gue lagi butuh bantuan kayak gini...."

"Lo nggak bisa dong nge-mix perasaan cinta sama balas jasa kayak gitu. Emang lo orangtuanya?" kibas Kevin sengit.

Gue diam, menanti.

"Lo masih sayang sama dia?" tanyanya lagi.

Gue menggerakkan bahu.

"Ih, lonya aja kurang jelas. Lo mesti tegas dong, nggak adil juga buat dia kalo lo nerima perasaannya karena utang jasa gitu!"

Prejudice duluan! Tandanya lo ada perasaan nggak ingin gue dimilikin orang lain, kan, Ndut?

"Ehm ... by the way, gue boleh nanya?" Kevin menggigit bibir, gue mengangguk. "Dia kan kayaknya jauh lebih tua daripada lo. Em..., Kalian kan sama-sama punya kenti, yaaa... Em... siapa yang jadi ceweknya, hm?"

"Dialah! Gue kan top!" sambar gue tegas.

Kevin melotot. "Artinya?"

"Artinya gue yang make. Dia yang dipake."

Gue lihat jakunnya naik turun, menelan ludah. "Dia mau?"

"Mau. Kenapa? Aneh, ya?"

"Emang nggak sakit, ya?"

Gue nggak langsung menjawab, gue sih nggak tau. Christ kan satu-satunya orang yang pernah gue ewe dan dia pure bot. Sekali pun, kami nggak pernah tukeran sex role. "Lo jangan nanya gue." Gue senyum. "Gue belum pernah bottoming."

Kevin mencondongkan kepalanya, berbisik. "Emang lo nggak bisa lihat dari ekspresi dia?"

"Kalau dari ekspresi dia sih, enak. Waktu awal masuk, memang ada dia ngeluh sakit, tapi dia kan udah terbiasa. Jadi ya, enak kalo kata dia. Buktinya dia nggak ada pernah pengen nusuk gue, dia bilang prostate orgasm itu a bottom absolute pleasure. Nggak akan dia bagi sama gue atau siapa pun partner seksnya. Kenapa sih? Lo curious banget?" goda gue.

"Ya nggak gitu sih," cicitnya. "Gue penasaran aja."

Gue mengangguk-angguk.

Takut-takut mukanya, Kevin nanya lagi. "Kalo jadi top?"

"Enak," jawab gue pendek.

"Lo udah sering ngeseks, ya, pasti?" tuduhnya.

"Sama Christ? Ya ..., setiap ketemu."

"Sama orang lain?"

Gue menggeleng. "Belum pernah. He's my first and only sex sejauh ini. Kalau lo gimana? Siapa aja partner sex lo?"

Kevin mengembuskan napas. "Nggak ada. Mana ada yang mau sama gue?"

Gue mau! Oh shit. Gue setengah ereksi di bawah sini, ngebayangin habis ini Kevin nggak bisa tidur mikirin gay sex. Dia pasti mikirin, gue jamin. Dia kan virgin, anything about sex will make him curious. Karena nggak ada lagi komentar dari dia, gue menopang dagu menikmati ekspresinya yang penuh tanda tanya. Gelas milkshake kosong itu terus disedotnya, meski isinya tinggal cairan es batu.

"Yoga!"

Seseorang memanggil gue, membuat gue dan Kevin sama-sama mencari arah datangnya panggilan. Gue menemukan sosok Christ mendekat ke meja kami. Karena gue nggak sepenuhnya membual soal Christ, gue langsung bisa melihat kilat tidak senang di mata cowok itu saat tahu gue nggak sendirian. Christ memang sangat posesif.

"Udah lama nunggu?" tanya cowok itu dingin, nggak melirik kepada Kevin meski sekilas pun.

"Baru aja, kok," jawab gue, sengaja gue bikin suara halus dan mesra.

"Cabut sekarang?" tawar Christ, mengangkat ransel gue dari kursi. "Udah aku booking-in hotel."

Christ beneran nggak nyapa Kevin, setelah gue iyain tawarannya, cowok itu ngeloyor pergi gitu aja keluar. Thanks, Christ, you help me a lot without I have to ask. Dalam hati, sorak kemenangan gue makin terdengar gegap gempita.

Kevin mengernyit kesal ketika gue berpamitan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top