25. The World's Worst Father
Andreas
"Memangnya Kak Andreas ngomong apa sama Karen, sih? Kok dia kayaknya marah banget gitu?" Manda melucuti bajunya dan duduk di pangkuanku. "Hayoooo.... Kalian gituan ya di belakang Manda?"
"Sembarangan!" cetusku.
"Teruuus... kok sampe gini pipinya ditampar Karen? Berantem kenapa, sih?"
Aku masih belum bisa mengurai kerutan di alis, pun menjawab Manda, karena masih jengkel. Pipiku masih berdenyut karena tamparan purse Karenina tadi siang. Sekarang, aku belum berani pulang karena Yoga pasti bakalan ngajak berantem. Aku lagi males! Akhir-akhir ini aku kurang bersenang-senang. Rasanya, terlalu banyak kesengitan terjadi dalam hidupku. Aku tegang dan intensively stressful, selain karena kehilangan pekerjaan, hubungan asmara yang nggak jelas, juga karena tiba-tiba entah kenapa aku ingin sekali menghancurkan hidup pemuda itu.
Ya ampun. What the fuck is happening with me?
Aku menatap Manda yang menatapku heran. Kenapa aku nggak puasin diri aja dengan mengeksploitasi perempuan ini? Kenapa aku susah-susah ngejar perempuan lain? Kenapa aku nggak biarin Yoga senang (mungkin) untuk pertama kali dalam hidupnya?
Aku sudah dengar dari Bunda, bagaimana anak itu merawat Mariana. Dia mengorbankan masa remaja yang seharusnya menyenangkan dengan pura-pura bahagia karena nggak mau Mamanya menderita, dipandang sebelah mata oleh orang-orang karena tidak punya ayah, sekarang ketika akhirnya dia memperoleh kebebasannya, kenapa aku mesti ganggu hanya karena aku naksir Mama pacarnya?
I am the worst father.
"Kak Andre kenapa sihhhh...?" lenguh Manda. Manja. Bola matanya yang besar dan bening menelisik mataku. "Lagi ada masalah, ya? Cerita dong!"
"Nggak ada apa-apa, kok," kataku.
"Pasti karena anak yang ngaku-ngaku anak Kak Andre itu, ya? Memangnya dia beneran anak Kak Andre bukan, sih?" Manda membelai dan merapikan rambutku.
Aku mengangguk lesu.
"Karen kemaren cerita," ujarnya lirih di telingaku, bikin aku cepat-cepat menanggalkan kemejaku. Sambil menempelkan payudaranya yang bulat ke dadaku, Manda mencium bibirku lembut. "Biarin aja sih Kak kalo dia gay juga, memangnya kenapa?"
Masalahnya bukan itu, keluhku. Masalahnya aku ingin beginian sama Karenina. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku sudah ngerasa lain aja sama dia. Sewaktu pipiku digampar sama purse tadi siang apalagi, aku horny sebenarnya. Makanya aku nelepon Manda. Kayaknya aku punya fetish sama cewe galak: Kikan, Kenya, lalu Karenina. Kenya nggak ah, terlalu liar. Terlalu muda. Stamina sih bagus, tapi tekniknya so so. Aku juga nggak ada chemistry sama Kenya, sama kayak dengan Manda ini. Nggak ada keinginan untuk menjadikannya hak milik.
"Kak Andre jangan stres-stres ah," bujuk Manda, seraya menjatuhkan tubuhku di kasur. "Manda nggak suka kalo Kak Andre sedih, nanti keluarnya cepet. Ew!"
"Eugh!" timpalku.
Kubiarkan Manda menciumiku dari bibir turun hingga ke perut, menggelitik pusarku sambil melepaskan ikat pinggang dan celanaku. Bibir tebal dan lidahnya yang basah menggelitiki penisku yang masih terbungkus celana dalam. Aku mengerang, kulucuti diriku sendiri, batang kelaminku teracung ke wajah Manda.
Aku selalu suka wajah polos Manda. Kulitnya putih, mulus, seperti porselen. Bibirnya tebal, pink, basah, dan tampak rapuh. Kalau penisku masuk mulutnya, kadang aku ngeri kalau-kalau bibir manis itu robek, atau kemaluanku menembus tenggorokannya. Pokoknya kesannya beda antara bercinta dengan Manda yang berdandan dan yang enggak. Saat dia tampil polos, aku ngerasa kayak lagi ngerjain remaja di bawah umur.
"Manda, kesiniin pantatnya, dong!" perintahku.
Manda menurut. Setelah melepaskan celanaku seluruhnya, Manda memutar tubuh sintalnya. Pantatnya yang bulat, bersih, dan seksi ada di depan wajahku kini. Aku menggarisnya dengan ujung lidahku dari puncak klitoris sampai ke lubang dubur, sementara Manda sibuk mengulum dan mengocok urusannya sendiri.
This is what we call it rimming. Menjilat dan memakan pantat. Aku sih jarang ngelakuin ini, sebab perempuan biasanya jijik. Aku juga nggak melakukannya ke sembarang orang. Manda ini lain, kami sudah bercinta puluhan kali. Apa pun yang kuminta diberikannya, sepertinya angan-anganku buat memerawani pantatnya yang menggairahkan akan terwujud sore ini.
"Manda cukup!" seruku sekonyong-konyong, nggak terencana. Kalau biasanya otak dalam kepalaku yang memerintah bibir untuk bicara, kali ini sepertinya kepalaku yang lain yang melakukannya. Dia berkedut hebat, dan aku nggak ingin muncrat di mulut Manda.
Kutarik tubuhku dan kubalik pinggul Manda, membalik posisiku menjadi mendominasinya. Aku mencium bibirnya, menjelajahi mulutnya dengan lidahku. Sama-sama nggak peduli meski mulut kami barusan berada di tempat yang tidak seharusnya.
"Kak Andre mau nagih janji Manda, ya?" tanyanya saat kulepaskan ciuman.
"Boleh nggak?"
"Boleh deh, tapi pelan-pelan, ya? Kalau nggak enak, Manda nggak mau dipaksa!"
Asyik! Aku salto mendekat ke nakas, mengambil tube pelicin yang sebelumnya sudah kubeli tapi Manda menolak menggunakan.
Pada akhirnya, aku nggak tega. Manda menjerit-jerit kesakitan, padahal baru masuk tip-nya aja. Ujung banget, jangankan sebatang-batang, kepalanya aja nggak bisa masuk. Sempit. Meski sudah kubanyakin gel, baik di pantat atau di penisku, tetap sakit katanya. Wow. Aku jadi kepikiran Yoga. Hebat juga kalau gitu, berarti dia udah pernah berhasil mendobrak pantat seseorang. Satu kosong, Andreas! Sial.
"Maaf ya, Kak..." Manda mengeratkan pelukannya di leherku.
Aku tersenyum, beneran aku nggak marah, kok. Aku nggak suka menyakiti fisik perempuan. Kalau dia nggak bisa menikmati apa yang aku nikmati, buat apa?
"Soalnya sakit banget..." ringkik Manda. "Waktu dimasukin jari sih Manda bisa tahan, tapi punya Kak Andre ngeri banget!"
Kuusap kepala Manda, kusimpan lebih dalam di leherku. Lebih daripada anal seks yang gagal, kerelaan Manda menyerahkan lubang pantatnya membuat hatiku tergerak. Perempuan ini mau-maunya melakukan sesuatu sejauh itu untukku yang bukan siapa-siapanya. Apakah dia menyukaiku?
Aku mencubit dagu Manda hingga wajah kami bertemu. Kukecup ujung hidungnya yang bagus, kemudian kudaratkan lagi kecupan di keningnya yang mulus. Manda memejamkan mata, menerenyuhkan hatiku saat kulihat bulu-bulu mata lentiknya menempel di pipinya yang merah merona.
"Kak Andre..." panggilnya, matanya masih tertutup. "Manda mau ngomong, tapi sambil merem."
Aku tertawa. "Kenapa?"
"Soalnya Manda malu, Manda mau ngaku jujur sama Kak Andre. Kak Andre kan suka ngejek orangnya. Kalo diejek, Manda mau bunuh diri aja!" katanya.
Tawaku makin keras, kukecup bibir penuhnya.
"Manda bohong waktu bilang Manda nggak mau ada ikatan sama Kak Andre," bisiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top