21. Don't Know How

Andreas

Well..., waktu Damian diusir keluarga istrinya karena ketahuan selingkuh dan butuh kerjaan, aku nggak bantuin. Padahal, waktu itu ada lowongan lumayan bagus di kantor yang kukelola, aku males bawa-bawa orang yang udah cacat nama baiknya. Atau ketika Ginnie memohon supaya proyeknya di pelelangan yang melibatkan perusahaanku dimenangkan, aku juga nggak menyampaikannya ke atasanku. Padahal, aku tahu dia lagi butuh duit buat nutup utang usaha suaminya. Aku nggak banyak menolong orang. Bukan karena apa-apa, memang bukan instingku aja.

Ini adalah aku.

Jika ada akibat yang harus kutanggung, semua itu adalah buah yang dulu kutanam. Aku yang memutuskan untuk meninggalkan segala kepekaan di masa lalu. Aku nggak mungkin mengulang begitu banyak hal yang sudah lewat hanya karena akhirnya aku mengalami kepedihan. Aku bukan orang pongah yang memalukan, aku orang pongah yang punya harga diri. Ini hanya soal pekerjaan. Aku masih punya aset yang bisa dijual, tapi aku hanya punya satu harga diri yang nggak akan kujual murah.

Yang jelas, aku sudah nggak mungkin kerja di luar negeri. Bukan karena Rob kecewa dulu aku memutuskan pulang, dia sih pasti mau menerimaku kembali. Masalahnya, Bunda mengancam atas nama Yoga. Katanya, aku harus mendampingi tumbuh kembang anak tengil itu dan mulai take responsibility sebagai seorang Ayah.

Memangnya dia balita mesti diawasin tumbuh kembangnya? Datang-datang udah begitu wujudnya, mau digimanain lagi, coba?

Lagian, emangnya tanggung jawab sebagai Ayah itu seperti apa? Perasaan dulu aku dibiarin aja sama Ayah. Dia lebih sering bepergian ke sana kemari, pulang sesekali, jarang ngobrol, sama aja kayak nggak ada Ayah. Aku bahkan nggak punya gambaran jelas mengenai sosok ayah kandungku. Yang kuingat saat mengingatnya adalah ..., hamparan pantai. Sepertinya kenanganku bermain di pantai bersamanya menjadi satu-satunya pengingat. Aku sendiri nggak ingat pantai apa, kapan kami ke sana, yang kuingat ..., hanya tebaran pasir yang berkilauan di tempa sinar mentari dan air laut yang berkerlip di bawah panas yang terik.

Aku jadi ingin ke pantai ....

Aku yakin kami punya kenangan berlibur ke pantai, meski Bunda tidak pernah berhasil mengingatnya. Mungkin aku harus mengajak Yoga ke pantai suatu hari nanti. Nanti. Kalau dia sudah bertekuk lutut dan mengakui bahwa aku lebih berkuasa, karena akulah ayahnya. Bukan sebaliknya!

Begitulah. Aku tidak pernah merasakan hangatnya memiliki sosok ayah, bagaimana aku harus ngasih Yoga contoh sebagai seorang Ayah?

Satu-satunya momenku memiliki Ayah adalah saat Bunda nikah sama Bapaknya Pras. Dia Ayah yang baik, memang, tapi aku tetap saja nggak merasa pernah mendapat perlakuan istimewa ayah dah anak. Aku hanya mengamati, dan yah ..., aku menikahi Donita karena kupikir aku akan bisa jadi ayah sebaik bapaknya Pras.

Nyatanya aku bercerai.

Is that what Bunda trying to tell me? Aku harus menunjukkan contoh yang baik untuk Yoga?

Pfffffttt! Memangnya kalau tiba-tiba aku berubah jadi orang yang bertanggung jawab terhadap piring kotorku, misalnya, atau pergaulanku, bahkan perkataanku, mereka nggak akan menganggapku aneh?

Aku ingat saat aku bilang aku mau menikah, Bunda bilang aku pasti hanya bercanda. Ketika pernikahanku berakhir, beliau bilang itu sudah bisa dia duga. Sekarang, Bunda ingin aku memberi contoh yang baik? Apa aku nggak akan jadi bahan lelucon mereka? Memberi contoh yang baik seperti apa? Bekerja? Bangun pagi? Ngasih nasehat tentang orientasi seksnya? We always end up fighting.

Aku selalu ngerasa anak itu menahan dirinya saat menghadapiku. Apa, ya, yang bikin dia begitu? Jelas-jelas dia nggak suka ide ber-ayah dan anak denganku, tapi kenapa dia sepertinya diam-diam saja? Dipancing beberapa kali pun, santai aja. Datar. Kalau saja dia lebih memperlihatkan emosinya, mungkin aku nggak perlu bertindak sejauh ini.

Semalam itu impulsif, pagi tadi itu juga. Aku nggak bisa bilang aku sengaja. Sebagian besar hal buruk yang kulakukan biasanya kulakukan tanpa pikir panjang, seperti insting saja begitu. Tiba-tiba saja ..., aku sudah menghancurkan hidup orang lain.

Ah tapi turn out, orang-orang yang kujaili jadi lebih bahagia daripada aku. Kikan dan Pras, misalnya. Apakah Yoga dan pacar gendutnya bakal gitu? Shit. Harusnya aku nggak kepancing dengan sikap acuh tak acuh anak ingusan.

Oh siang ini aku duduk-duduk di Kafe Kopi, janjian sama Karen. Aku yang ngajak dia keluar. Rasanya semalam aku bicara terlalu banyak dan dia setuju kami membicarakannya kembali hari ini. Ini sudah beberapa belas menit lewat dari janji. Tapi, Karen memang sudah lebih dulu ngasih tahu kalau dia akan telat. Jadi, aku menunggu dengan segelas kopi dingin.

Nah. Itu dia si cantik datang.

Aku selalu suka perempuan berbusana rapi, selain berbusana seksi, well ..., atau telanjang sama sekali. Oh nggak, nggak semua wanita bagus kalau telanjang, if you know what I mean. Dia turun dari mobil, mengenakan setelan kerja berwarna pastel, dan kaca mata hitam, dengan rambut panjang tergerai alami. Sekarang, dia menyerahkan mobilnya ke valet. Seraya mencangking hand bag di pergelangan tangan kanan, tangan kirinya melambai anggun ke arahku. Aku memang duduk di teras supaya dia bisa menemukanku dengan mudah.

Sejak kejadian di rumah Manda, kami hanya berkomunikasi via group chat di Line. Bertiga Manda. Selain chat grup, baru semalam kami berbincang di telepon.

Bodohnya, aku membeberkan semuanya.

Padahal, siapa tahu dia hanya ingin kenal lebih dekat denganku? Yah meski kemungkinannya kecil. Manda sih udah cerita bahwa hubungan kami nggak seperti yang dipikirkan Karen, tapi aku yakin Karenina ini punya penilaian sendiri. Berbeda dari Manda yang manja, Karen ini mandiri dan pintar. Dia tipe perempuan yang menikah atas dasar cinta. Dia setia. Buktinya, anak mantan suaminya saja dia urus sungguh-sungguh. Dia bahkan se-concern itu terhadap pertumbuhan Kevin, si gendut.

"Hai. Maaf ya telat banget," sapanya dengan raut bersalah—tapi tetap cantik jelita. Pipinya menyentuh pipiku bergantian. Aku menyesap aroma bunga dari tubuhnya.

"Aku belum lama, kok," kataku.

Kami memang sudah jauh lebih akrab dibanding pertemuan pertama dulu berkat group chat. Jadi, ketika kami berjumpa lagi, suasananya hangat. Tidak canggung.

Setelah memesan minuman, Karen mengusulkan untuk pindah ke dalam.

"Kirain bakal sama Manda," ucapnya sambil mengulum senyum.

"Sama Manda?" Aku mengerutkan alis.

Kalau nggak salah, ini kan namanya memancing. Dia ingin aku menegaskan kalau aku dan Manda nggak ada apa-apa, makanya kami bebas ketemuan tanpa gadis manja yang pintar blow job itu. Aku menggeleng. "Ngapain mesti sama Manda? Kecuali kalo aku jadian sama dia, baru...," ucapku. Sengaja membalikkan umpan.

Karen mengaduk minumannya, "Manda itu kalau berdua sama aku, yang diomongin Kak Andre melulu. Kak Andre ini, Kak Andre itu... mukanya kalau ngomongin si Kak Andre ini beda banget, day-dreamy, sweet kayak remaja sedang kasmaran."

Aku diam.

Ah, maaasa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top