19. IDGAF
Yoga
Gue mulai gerah sama Christ. Tiba-tiba dia datang, menghilang, sekarang dia mulai menghubungi ponsel gue lagi. Merengek minta bertemu.
Gue mengaduk lontong sayur, membiarkan ponsel berkedip-kedip karena sengaja gue silent. Setelah kemunculannya di sekolah waktu itu, dia menghilang tanpa jejak. Gue mencoba menghubungi karena bagaimanapun juga, malam itu dia minta gue jadi pacarnya dan gue mengiakan begitu saja. Fuck. Dia pikir gue siapa bisa dia hubungi tiap dia butuh di-entot? Dengan jelas gue udah menegaskan kalau dia mau kembali ke kehidupan gue, hubungan kami nggak akan sama seperti dulu lagi. Tapi nggak ada yang berubah. Dia tetap menganggap gue seseorang yang bisa dia datangi kapan saja. Di belakang gue, dia tetap aja berusaha ngemis-ngemis minta pengertian keluarganya. Gue yakin, dia belum rela ketahuan, apalagi disisihkan, dan mungkin selama dia nggak muncul dihadapan gue, bisa aja dia sedang memohon supaya diizinkan jadi successor keluarganya. Dengan kata lain, kawin sama perempuan.
Gue nggak ngelarang. Tapi, maaf, gue nggak sudi dijadiin substitute! Gue menolak panggilan Chris dan konsentrasi ke lontong sayur.
"Donatku mana, Bun?" Andreas baru bangun tidur. Sambil menguap, dia berdiri di balik island table, mengacak rambutnya. Sepertinya, dia selalu tidur tanpa mengenakan baju. Setiap kami bertemu di pagi hari, dia selalu berantakan, telanjang dada, hanya bercelana piama, kadang sambil menggaruk selangkangan.
Karena malas berurusan dengannya, gue buru-buru menyendok sisa lontong sebelum dia mulai ngebahas hal-hal yang nggak penting. Misalnya kayak nyinggung-nyinggung gosip Saipul Jamil atau Indra Bekti di meja makan. Meski gue putar bola mata sampai sakit kepala, Andreas sedikit pun nggak mengurangi kejahilannya. Di rumah ini, gue nggak ngerasa ada seorang ayah, tapi seorang rival cari perhatian. Perhatian siapa? Perhatian semua orang!
Syukurlah sebentar lagi motor gue nyampe, jadi gue punya alasan untuk nggak dianterin ke sekolah. Dianterin Andreas atau ikut mobil jemputan sama aja menurut gue, memalukan. Maksud gue, gue udah hampir delapan belas. Diantar Ayah lo ke sekolah atau nebeng mobil jemputan yang isinya anak SD dan SMP artinya lo pecundang. Sepertinya sekarang gue memang udah dicap pecundang, sih. Iya. Gara-gara gue makin dekat sama Kevin.
Gue nggak keberatan selama Kevin mau mesra sama gue. Malahan lebih bagus. Semakin dia ngerasa gue sama dengannya, semakin dia akan ngerasa nyaman. Gue bisa makan siang berduaan, ngeliatin dia ganti baju karena dia nggak keberatan sebilik sama gue (Kevin malu ganti baju di kelas seperti cowok lain. Soalnya sering diledekin: kok nggak pake be-ha, padahal susunya udah cup 36B), atau ngebantu dia berenang gaya punggung. Dia paling lemah gaya punggung. Biasanya, dia akan meminta gue menahan pinggulnya. Berat banget sih, bahkan di dalam air, tapi enak. Gue bisa curi-curi pegang pantatnya.
Senyuman gue mengembang begitu aja di atas kuah opor. Bisa gue rasakan seseorang mengernyit di seberang gue.
"Kenapa sih kamu?" tanyanya risih.
"Nggak apa-apa." Gue menjawab cepat.
"Semalem aku ditelepon Mamanya Kevin," dia ngibul.
Mana mungkin Mamanya Kevin nelepon dia? Apa urusannya?
"Kevin?" Bunda menyahut sembari meletakkan susu murni di samping tangan kanan gue. Baru gue mau protes karena males minum susu, Bunda udah buka suara lagi. "Siapa itu? Minum susunya sampe habis ya, Sayang? Biar kamu tambah tinggi!"
"Temen dia," jawab Andreas sambil mengangkat dagu, nunjuk gue. "Kan aku suka ketemu mamanya si Kevin ini kalo nganter dia sekolah," imbuhnya.
Bener juga, sih, tapi kenapa?
"Mamanya takut kalo anaknya jadi gay!" kata Andreas dengan kikik yang mengakhiri kalimatnya. Bikin gue menahan geram karena menurut gue itu nggak lucu. Sebelum Bunda menimpali, Pras masuk ke dapur. Cowok itu bergabung di meja makan dengan pakaian kerja yang sudah rapi, duduk di samping gue. Untuk beberapa saat, pembicaraan tertunda karena Bunda nanyain Pras mau sarapan apa. Pras minta toast selai jeruk.
"Memangnya gimana kok bisa Mamanya temen Yoga punya ketakutan seperti itu?"
Sial. Kenapa sih Pras pake ngelanjutin topik barusan?
Gue mengaduk makanan lebih cepat. Begitu Bunda nggak memperhatikan, gue menajamkan tatapan ke arah Andreas yang tersenyum mengejek sambil mengunyah donat. Entah apa yang dipikirkannya. Dalam hati, gue berharap dia hanya bersikap konyol seperti biasa, nggak serius.
"Coba aja suruh Yoga cerita." Andre melempar ke gue.
Gimana ceritanya sih Mama bisa kenal sama orang kayak begini? Terlebih, dihamilin. Gue penasaran, apa menariknya laki-laki di hadapan gue ini selain penampilannya? Semudah itukah cewek-cewek terbuai dengan penampilan semata? Dia benar-benar gatal mulut dalam artian sesungguhnya. Nggak ada figure of speech dalam kalimat gue. Mulutnya literally gatal kayak lubang dubur botty yang minta diewe. Sial. Apa sih maunya?
Pras menelengkan kepalanya ke gue, otomatis, gue menggerakkan bahu.
"Lo asal ngomong lagi ya, Ndre?"
Lagi? Jadi memang udah kebiasaannya, gitu?
"Nggak, lah!" Andre menelan kunyahan terakhir donat di mulutnya. Rautnya sesengit dia biasa kalo ngehadapin Pras. Sambil mencomot donat kedua, matanya melirik penuh ejekan ke arah gue. "Semalem gue memang ditelepon kok sama Mamanya bocah gendut ini. Dia kan ngondek. Ya, kan, Yog?"
"Ngondek? Banci?" Bunda menyahut.
"Iya, ngondek itu semacam banci gitu, Bun," timpal Pras santai. "Maksudnya melambai atau suka pakai rok sih ngondek itu?"
Andreas terbatuk. "Kalau pakai rok namanya waria!"
"Berarti melambai? Belum tentu gay, dong? Indra Bekti melambai juga punya anak," cetus Pras lagi. Gue dan Andre kompak putar bola mata tiga kali putaran.
"Kevin nggak banci," ralat gue. "Tapi kalo dia gay, bagus buat gue!"
Andre melotot.
"Oh kamu naksir Kevin?" Pras menyerobot.
"Kalo bukan gay mah jangan, Dek!" Bunda nambahin. "Nanti kamu dituduh pelecehan seksual. Serem tahu."
Andreas batuk lagi. "Bunda memangnya nggak apa-apa dia gay, ya?"
Pras dan gue tersenyum geli, Bunda menaikkan bola matanya, seakan dia berpikir kenapa dia harus keberatan. What a family! Gue sepertinya akan jauh lebih betah lagi. Masalah gue hanya satu: playboy tua kekanak-kanakan yang nggak terlalu didengarkan pendapatnya di rumah ini. Gue rasa gue bisa menanganinya dengan baik.
"Jadi Bunda nggak apa-apa?"
Gue bahkan nggak melanjutkan sarapan . Sambil bersiul riang, gue bawa piring dan gelas bekas ke tempat cuci piring. Gue buang sisa makanannya dan gue letakkan di kitchen sink seperti biasa. Setelah beres, gue berpamitan. Meninggalkan Andre yang masih belum puas menjelaskan mengenai gay dan teori-teori yang udah nggak mempan lagi mengintimidasi gue. I don't care. I don't give a fuck with what people say about being gay anymore. Sewaktu gue menderita sendiri, nggak ada seorang pun yang peduli. Sekarang, ketika gue akhirnya mendapatkan kebebasan coming out, mereka nggak ada hak ikut campur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top