15. He Comes Back
Yoga
"Lo kenal?"
Waktu Kevin berbisik di telinga gue, darah gue rasanya berdesir. Gue mengalihkan fokus secara otomatis, menoleh dan mendapati wajahnya berada tepat di depan wajah gue. Gue menelan ludah, menahan diri untuk nggak mengecup bibir mungil yang terhimpit lemak pipi itu.
Dalam beberapa hari, Kevin sudah begitu lengket dengan gue. Dia bahkan mengajak tour ke klub-klub ekstrakurikuler yang menurutnya asyik, salah satunya yang kemudian gue ikutin karena dia bergabung di sana, Baking Club. Don't ask why.
Oke. I will tell you why.
Saat gue melangkahkan kaki masuk ke ruangan Baking club, hidung gue mengendus aroma harum roti yang sangat kuat. Gue memejamkan mata membayangkan lezatnya roti hangat yang baru saja keluar dari oven, dan membuat gue ingat Mama. Oh tapi bukan itu yang bikin gue bergabung, wajah berseri Kevin saat menatap barisan oven_lah yang menggerakkan hati gue. Air liur yang terbit di sudut bibir, dan binar mata bulatnya saat menemukan tumpukan kukis hangat. Itu alasan gue.
Gue ingin melihat wajah penuh cinta itu lagi dan lagi. Gue ingin melihat Kevin menyentuh dada tebalnya yang berdebar ketika hidungnya mengendus uap keju yang meleleh di atas piza berulang kali. Setiap hari kalau perlu.
Meski kelihatannya dia lebih ahli makan daripada memasak, nggak apa-apa. Gue yang akan bikinkan kue paling enak supaya terus bisa melihat kebahagiaan di wajahnya setiap hari. Gue bisa masak, kok. Gue kan biasa sendiri, kadang gue memaksakan diri untuk memasak sesuatu di rumah. Siapa tahu kalau gue sering bikinin dia sesuatu, dia jatuh cinta sama gue. Lalu mau gue entot dan jadi pacar gue.
"Yoga!"
Siku Kevin menyodok rusuk gue pelan, tapi efeknya luar biasa. Hampir aja gue terhempas, untung dia menahan gue.
Shit. Ngapain Christ ada di sini? Gue sudah nggak melihatnya sejak kami putus beberapa bulan lalu. Dia setuju untuk nggak menghubungi gue lagi, bahkan sama sekali nggak muncul di pemakaman Mama. Kenapa dia menampakkan batang hidung di saat gue sudah bisa melupakannya? Terlebih, dia menatap gue dengan tatapan seperti itu. Tatapan yang diberikannya jika kami lama nggak bertemu, tatapan rindu yang dulu selalu meluluhkan hati gue.
Nggak ada jawaban untuk pertanyaan Kevin. Gue bingung, bergeming karena nggak tahu apa yang harus gue lakuin, juga takut kalo Christ melakukan tindakan bodoh. Dia berantakan. Rambutnya acak-acakan, dasinya longgar, dan kemejanya nggak rapi seperti biasa.
"Yoga..." sebutnya lemah. "Can we talk?"
Gue meminta Kevin menunggu, sebab gue nggak berniat berlama-lama dengan Christ. Kami masuk ke dalam mobil sesudah gue mengancamnya untuk nggak menyentuh gue, atau gue langsung akan pergi tanpa mendengarkannya bicara.
"Dia pacar kamu, Yoga?" tanyanya sebelum memulai.
"Bukan," sanggah gue. "Ngapain sih lo ke_sini? Dari_mana lo tau gue ada di sini?"
"Aku ke sekolah lama kamu."
"Buat apa lo nyari gue, hm?"
"Aku pengen ketemu kamu. Aku nggak jadi nikah, Yoga...," beritahunya.
Gue menoleh. Memastikan adakah yang salah dengan apa yang gue dengar. Namun Christ mengangguk seakan mengiyakan keraguan gue, membuat mata gue mendelik. Mau nggak mau, gue menerka-nerka apa yang Christ mau dengan mencari gue.
Meski gue yakin dia ingin gue comforting dia, gue berharap dia nggak mengucapkannya. Sebab akan sangat sulit bagi gue untuk menolak, sementara hati gue sudah nggak ada buatnya. Gue ingin cinta, yang gue rindukan bukan hanya tubuh seseorang, tapi hati untuk gue cintai. Semua itu tidak akan gue dapatkan dari seorang gay yang mau menikahi perempuan for the sake of being normal.
"Tapi kenapa?" tanya gue—sewaktu kata cinta terlintas di kepala gue tadi—timing-nya_tepat dengan bertemunya mata gue dan mata Kevin di spion mobil. Kevin tengah resah menunggu di depan gerbang sekolah. "Gue ditungguin temen gue, Christ."
Christ mendesah, "Kalau aku mau ngobrol banyak sama kamu, nggak bisa?"
"Nggak bisa sekarang," tukas gue.
Kali ini, Christ menggusak rambutnya sendiri frustrasi. "Pernikahan aku dibatalin. Calon istri aku tahu semuanya. Semuanya! Sekarang seluruh keluargaku, keluarganya, udah tahu kalau aku suka main laki-laki!"
Sebenarnya, gue nggak terlalu peduli. Buat apa juga? Tapi, ngelihat Christ menangis, gue ngerasa kasihan. Christ bahkan rela mengorbankan diri buat jadi penipu seumur hidup demi membahagiakan keluarganya, demi menjadi penerus perusahaan keluarga, dia nggak menikah atas dasar cinta. Gue tahu bukan hatinya yang terluka karena kegagalan pernikahan itu, melainkan harga dirinya.
Demi tangisnya dan masa lalu kami, akhirnya gue nanya, "Apa aja tepatnya yang mereka tahu?"
"Semua. Nggak hanya tentang kamu. Mereka tahu semua hubungan-hubunganku yang lalu. Mereka bahkan menemukan foto, video, entah dari_mana. Aku hancur, Yoga! Hancur!!!" isak Christ. Bahu lebarnya berguncang karena tangisnya nggak terbendung. Gue mengusap bahunya, mencoba meredakan tangis pria itu. "Papahku marah sekali. Aku dikata-katain di depan semua orang. Claudia juga sialan! Aku punya kecurigaan bahwa dia ada andil di balik semua ini. Dia mungkin sengaja supaya pernikahan kami gagal. Dia punya pacar mungkin. Aku udah membujuknya supaya tenang, ngeyakinin dia bahwa aku udah berubah. Dia nggak percaya. Dia ngotot minta semuanya dibatalkan. Artinya semua rekan bisnis Papah akan tahu kalo aku gay! Aku bisa diusir, Yoga! Aku bisa kehilangan semuanya!"
"Tenang dulu, Christ ...," bujuk gue. Christ nggak mau dengar sama sekali. Cowok itu makin histeris, meraung sambil memukul-mukul kemudi di hadapannya. Kalau nggak gue paksa berhenti, mungkin kepalanya jadi sasaran ketololan selanjutnya. Sebab, berkali-kali dia menggumam di sela isak tangisnya kalau dia lebih baik bunuh diri.
Sepertinya, gue nggak punya pilihan selain mengantarnya ke suatu tempat supaya dia lebih tenang. Karena itu, gue keluar dari mobil dan menemui Kevin yang mulai lelah. Wajah gembul yang semula manyun itu lantas tersenyum ceria melihat gue menghampirinya.
"Temen gue lagi kacau," gue bilang.
Bibirnya membentuk huruf 'O', alisnya kembali turun. Dia kecewa. Gue udah menyanggupi ajakan buat main ke rumahnya tadi, kalimat gue barusan jelas membuat harapannya kandas. Duh. Gue lebih ingin bersama Kevin, demi apapun. Gue udah jatuh hati dengan kepolosan dan keterus-terangannya. Dia mau gue ngelindungin dia, katanya. Sebagai bayaran, dia akan traktir gue makan siang dua hari sekali. Gue pura-pura setuju dengan bayaran itu, supaya dia nggak curiga. Dia terus ngerasa aneh karena gue mau berteman sama dia. Jadi, ketika dia butuh alasan, gue kasih. Kalau aja dia tahu gue gay dan gue ingin sekali menyodok pantatnya, dia pasti akan mengerti kenapa gue melakukannya.
Tentu saja gue nggak akan memakai cara kasar kalo nggak diperlukan. Gue akan main halus, sampai dia nggak bisa hidup tanpa gue. Sampai dia jatuh cinta sama gue, jadi pacar gue, dan lubang pantatnya nggak bisa enak kecuali pake kontol gue.
Oh shit.
Jangan ereksi sekarang, Yoga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top