14. Caught in The Act
ANDREAS
Sayangnya, aku nggak menemukan seorang pun di sekolah. Tentu saja. Ini sudah hampir jam delapan malam. Penjaga sekolah bilang semua kelas dan ruangan lain udah dicek dan kosong. Sesuai aturan dari kepala sekolah, kegiatan yang melibatkan pihak dan ruangan di dalam sekolah harus dibubarkan maksimal jam enam petang. Aku lebih dulu mengirim pesan ke Bunda sebelum kembali mengendarai mobil. Aku mencoba sekali lagi mengelilingi area luar gedung sekolah dan merasa nggak akan mungkin anak itu masih berkeliaran di sini. Dilihat dari pembawaannya yang tenang dan kemandiriannya pun, aku yakin dia nggak akan kesulitan menemukan jalan pulang.
Pukul setengah sembilan, aku mulai berkendara menuju arah pulang dengan kecepatan rendah sampai aku bisa menghitung berapa pejalan kaki yang kulewati sepanjang perjalanan kalau aku mau. Of course I am not counting, instead, aku melamunkan Amanda.
Aku harusnya nggak nyakitin perasaannya, kan? Maksudku, dia kan habis dipukul, apa yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan dalam keadaan kalut seperti itu? Menangis, tentu saja.
How could I say something so cruel?
Bagaimanapun kelihatannya, Amanda hanya serang gadis lemah yang berada di bawah ancaman. Dia pasti ketakutan sekali. Aku hampir yakin, daripada benar-benar menuntutku dan mempermalukan diri di depan koleganya, Gito akan lebih menekan Amanda. Aku hanya nggak berpikir Gito serendah itu sampai menggunakan tangan putranya.
Aku cukup kenal Gito, dia pria yang baik. Dia pernah bilang kepadaku, being unfaithful was not his nature. Dia memang jatuh cinta kepada Amanda, karena itu dia menikahinya. Sembunyi-sembunyi sih awalnya, tapi kemudian dia mengumpulkan keberanian untuk berkata jujur kepada istrinya. I am not against it myself, but I will not do that. Pernikahanku dengan Donita berakhir setelah beberapa hal yang rumit, justru bukan lantaran pihak ketiga. Pihak ketiga itu baru hadir menenangkan Donita setelah segala kerumitan itu datang. Aku nggak menyalahkannya kalau dia nggak bahagia sama aku, kan?
Apa yang terjadi terhadap aku, Amanda, dan Gito jauh berbeda dari itu. It was just sex. Gito aja yang take it personally. Seharusnya, kalau dia mau berpikir jernih, dia bisa menganggap seks antara aku dan Amanda sebagai kritik. Amanda merayuku karena dia nggak puas sama kehidupan seksnya, bukan karena cinta. Gito seharusnya memperbaiki seksnya, bukan menceraikan Amanda.
Take critics seriously, don't take it personally.
Kepalaku sudah penuh dengan Amanda. Sebelum aku sadar, aku sudah membunyikan klakson di depan gerbang rumahnya.
"Aku minta maaf," kataku begitu kami bertatap muka.
Mata Amanda masih bengkak dan merah, tapi bekas tamparan di pipinya sudah berkurang. Dia nggak menjawab permintaan maafku, hanya berbalik dan berjalan kembali masuk. Aku mengikutinya.
"Manda tadi visum," katanya ngasih tahu.
Aku duduk di sampingnya di sofa dan menerima kepalanya di dadaku. Kuusap rambutnya dan kukecup keningnya.
"Nanti Manda mau pake buat ancam Bapak."
Suaranya masih terdengar ringan dan seakan mengapung di udara, nggak setegas dan seberani biasanya.
"Biar tuntutannya ke Kak Andre dicabut. Buat mastiin aja, meski Manda sih yakin Bapak nggak ngelakuin itu. Dia pasti malu. Kemaren itu Bapak ngelapor karena emosi sesaat aja."
"Iya. Aku juga yakin kok dia nggak akan berani," bisikku di telinga Manda.
Kuusap tengkuknya dengan ujung hidungku dan kupererat pelukanku di pinggangnya yang ramping. Aroma bunga dari bath foam yang dipakainya berendam menguar dari tubuhnya. Nggak ada geliat manja seperti biasa dari Amanda. Kelihatannya, perlakuan anak-anak Gito jauh lebih mempengaruhi psikisnya daripada perceraian itu sendiri. Aku memutuskan untuk memijatnya dengan sensual. Mulai dari bahu, tengkuk, merambat ke punggung dan pinggulnya. Kali ini, Amanda melenguh beberapa kali karena nyaman.
"Mau digendong ke kamar?" Aku menawarkan, siapa tahu dia ingin melanjutkan pijatan ini dengan seks supaya lebih rileks.
"Di sini aja," kata Manda. "Nggak ada orang kok...."
"Si bibi kemana?"
"Pulang kampung."
Amanda berbaring tengkurap di sofa. Aku menciuminya dari ujung jari kaki hingga betis. Sambil menggulung piama tidurnya, aku melanjutkan ciumanku hingga bibirku bertemu pantatnya yang penuh, kencang dan bersih dalam keadaan polos. Saat aku kembali sampai di tengkuknya yang harum, piama tadi sudah tanggal dari tubuhnya yang licin seperti porselen. Aku mengusap punggung dan bahu Manda, memijat pelan di balik ketiak yang lengannya terangkat menahan kepalanya. Wajah cantik Manda berpaling ke samping, aku bisa melihat dia menggigit bibir penuhnya setiap kali jariku berhenti memijat untuk membelai titik-titik sensitif di tubuhnya.
"Enak?" tanyaku.
Dia mengangguk.
Aku ikut menanggalkan baju dan merebahkan dadaku mengambang di punggungnya.
"Temen Manda mau datang sebentar lagi," kata Manda, sesaat setelah kami terengah kelelahan.
"Aku juga mau langsung pulang."
"Padahal mau Manda kenalin, ini sahabat Manda, kok. Eh, Kak, ponsel Kak Andre bunyi, tuh."
Diberi tahu Manda, aku sigap menyahut ponsel di atas meja. Pesan dari Bunda, katanya Yoga udah sampe rumah. Setelah membalas seperlunya, aku beranjak dari kursi dan mencari pakaianku.
Manda sudah menghilang dari ruangan untuk membersihkan diri sementara aku masih kebingungan mencari ceceran pakaian dalamku. Aku membalik bantalan sofa, nggak ada juga. Di kolong, tetap nggak ada.
Saat aku hampir lelah dan putus asa, aku kembali duduk dan menoleh ke arah pintu.
Nah itu dia!
Pasti ikut ketarik sama Manda waktu dia pakai baju tadi. Aku berdiri menghampirinya tanpa repot-repot menutup bagian terlarangku. Pikirku, toh kami hanya berdua. Kalau ternyata tiba-tiba ada orang masuk dan memekik kaget melihatku telanjang bulat, itu di luar perkiraanku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top