12. Bully

YOGA

Is he gay? Kalo ngeliat ngondek-nya, harusnya sih gay. Tapi gue nggak boleh gegabah. Dari caranya approach gue, gue ngerasain betapa inosen-nya dia, juga ketulusannya buat making friend.

Kevin berdeham memecah kebisuan. "Lo nggak nanya hobi gue apa?"

"Jadi lo nanya karena ngarep gue tanyain balik?"

Kevin mencebik. "Nggak! Gue just wanna make a smooth convo, you know!" Dia mengibaskan tangannya. "Lo kan anak baru. Either lo akan di-bully atau lo akan bergabung sama itu tuh ... geng populer cowok-cowok ganteng yang ikut klub futsal. Atau geng-nya Ito yang berandalan. Atau dikejar cewek-cewek yang akan bikin laci meja lo penuh surat cinta dan boneka Teddy Bear pas Valentine, atau ulang tahun. Sebelum itu terjadi, gue hanya mau ngajak lo ngobrol ajaaa ...."

Gue mengangguk-angguk. "Itu berarti antara gue ganteng dan atletis, tampang gue berandalan, atau gue cute dan disukai cewek-cewek, dong?"

Kevin ketawa. "Iya. Tipe yang nggak akan bisa bergaul dengan orang kayak gue!"

Oh really? Try me, then.

"Kenapa lo senyum-senyum? Gila, ya?"

Gue senyum? Bener juga, gue senyum. Bahkan, senyum gue entah kenapa nggak bisa gue hentikan. Terbit begitu aja kayak matahari pagi, nggak ada yang mau, nggak ada yang nyuruh, tiba-tiba aja terus mengembang sejak Kevin nyebutin namanya dan bikin tawa gue menyembur berkali-kali.

"Gue nggak nyaman jadi salah satu yang lo sebutin itu," kata gue, daripada dianggap gila.

"Oh gue tahu!" serunya sambil menjentikkan jari. "Lo loner, ya?"

"Nggak juga, ah."

"Temen lo ada berapa?"

Gue diam. Mulai menikmati alunan suaranya yang menurut gue sangat cute. How to say? Suaranya kecil seperti terjepit, agak kurang jelas di hampir semua kata yang mengandung huruf 'R' dan hela napas di setiap kalimat panjangnya membuat gue membayangkan sedang bermanja-manja dengannya. Fatty selalu jadi fettish gue, yet, gue belum pernah sekali pun ngedapetin spesies itu buat jadi pacar gue. Semoga dia nggak ngerasa kalau bola mata gue naik ke atas bukan lantaran gue menghitung berapa teman yang gue punya, melainkan mikirin seandainya dia people like us dan kami pacaran.

"Ih tuh kan nggak punya temen!" Kevin menyimpulkan setelah gue nggak kunjung punya hitungannya. "Lo loner pasti. Zodiak lo apa?"

"Aries."

Mendengar jawaban gue, dua lengan Kevin jatuh ke permukaan meja, "Tuh kan!!!" serunya lagi. Melengking. "I knew it. Gue udah yakin lo Aries. Gue bener berarti lo loner!"

"Emang Aries loner?" tanya gue tersipu, sambil menurunkan jarinya yang teracung di depan hidung gue dengan menyentuh punggung tangannya yang greasy dan empuk.

"Nih. Denger ya. Gue buka Daily Horoscope dulu." Kevin mengeluarkan ponsel dari saku kemeja, mengutak-atik dan mengetik sebentar, lantas mulai membaca dengan ritme pelan. Supaya gue memperhatikan apa yang dia baca.

"Aries usually only have little genuine friends. That is because an Aries seldom talk understandable by others like they were having their own style of conversation despite Mercury differences. Aries are straight-forward, blunt, harsh, intimidating. That's one of the reason Aries being treated as jerk." Dia ngelirik gue sebentar, sepertinya memastikan gue mendengarkannya atau nggak. "Somehow, an Aries can rally others even to those who they don't get along at first. Maybe that's why Aries are called as Natural-leaders. The horoscope said not every Aries are all loners, but all like to have alone time sometime, away from the crowd"

"Oke. "

"Lo bisa bahasa inggris, kan?"

"Lumayan."

"Ini artinya Aries itu kebanyakan loner. Suka punya alone time gitu, meski bukan anti-sosial. Kalo gue Sagitarius. The happy go lucky one dan enak dijadiin teman!"

"Lo lagi promosiin diri lo buat jadi temen gue, ya?"

Kevin tertawa kecil, malu-malu dia menjawab. "Well ... I don't mind ..." Bibirnya membuat cengiran lebar yang bikin dagunya menyatu semakin rapat dengan leher. Namun sebelum cengiran itu berakhir, gue dan Kevin tersentak kaget karena sebuah benda ringan melayang mengenai keningnya. Gue menoleh ke arah lemparan gumpalan kertas itu berasal, menemukan Ito dan beberapa pengikutnya berjalan melintas tepat di balik punggung gue.

"Hei gendut! Nyari body guard baru lo, ya?" celetuk salah seorang dari mereka sebelum keempatnya meninggalkan kantin dengan tawa mengejek.

"Udah biasa, keleus!" Kevin putar bola mata, meredam emosi gue. "Palingan Ito targetin lo!"

"Maksudnya?"

"Buat jadi the next member-nya, kayak Denovan. Tadinya Denovan temen gue dari kecil. Sejak gabung sama Ito, kami jauhan. Nanti kalo lo gabung mereka, jangan bully gue yaaaa ...!"

"Nggak ah. Gue nggak tertarik jadi ANGGOTA geng. Kan lo yang bilang gue natural leader, kecuali kalo gue jadi leader geng-nya sih gue mau!"

"Huh, Ngimpi lo!"

Gue tertawa lagi.

"Denovan juga dulu bilangnya gitu." Kevin murung, mengaduk soto yang tinggal kuahnya aja. "Jadi Denovan itu anak teman Papa aku. Kami dari dulu disekolahin di tempat yang sama. Dari PAUD, ngaji bareng, main bareng, dia selalu ada sama gue. Semua berakhir setelah godaan popularitas itu dateng. Yah, gue nggak bisa nyalahin sih. Siapa yang nggak mau populer, kaaan?"

Gue nggak menjawab, sebab gue sih enggak kayak gitu. Gue mau punya satu orang aja yang jadiin gue cowok populer di hatinya, satu orang yang juga menjadi orang paling populer di hati gue.

"Ih diem aja!" sungut Kevin sebal karena gue membisu.

Senyum gue mengembang melihatnya menghabiskan separuh gelas es sirop dalam sekali teguk.

"Lo ada romantic feeling ya ama dia?" pancing gue.

Kevin meletakkan gelasnya, lalu menatap gue dengan aneh. "Maksud lo romantic feeling?"

"Bromance gitu," jelas gue.

"Oh...." Kevin diam. "Yah, gue emang orangnya gitu, kalau udah sama satu orang temen atau kelompok orang, gue akan stay sama dia terus. Ples, gue udah menganggap Denovan istimewa. Mungkin karena itu gue agak kecewa sewaktu dia diem aja gue jadi target bully Ito, padahal gue tahu mereka satu team basket. Gue nggak apa-apa kalau dia deket sama temen lain, gue kan nggak posesif, tapi kenapa pake ngelupain temen lama, sih? Ya, kan?"

Gue mengangguk mengerti. So, dia bisa punya romantic feeling sama temennya yang seorang cowok. Itu bagus. "Ya udah, sih. Sekarang lo deket-deket sama gue aja. Gue kan udah bilang gue nggak mau jadi anggota geng," kata gue enteng. "Dan karena gue cowok, I mean what I said."

Kevin melongo. Sedetik kemudian, dia tersenyum menatap gue. Tanpa gue duga, dia mengulurkan tangan gemuknya. "Jadi kita temenan, yaaa?"

Gue membalas senyum dan menjabat tangannya.

Wow! My first day at school was great. I found somebody yang akan bikin gue semangat masuk sekolah. Gue ... jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan, pada bincang-bincang pertama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top