11. Kevin Kelana

YOGA

Gue mengernyitkan alis.

Seriously? Ini hari pertama gue di sekolah baru dan seseorang udah berusaha menjatuhkan gue di kantin sebanyak dua kali. Satu kali pada istirahat pertama dan satu kali pada istirahat kedua. Gue menyeringai untuk tindakan bodoh tersebut, tapi cowok yang selalu dikelilingi dua atau tiga orang pengikut itu hanya mengangkat bahu.

Gue dijauhi di sekolah sebelumnya, bukan karena gue jago berantem, atau punya pengikut, melainkan karena menurut mereka gue terlalu nekat. Terlebih sejak Mama sakit, nggak seorang pun berani deketin sebab gue seperti nggak ada takut-takutnya. Puncaknya adalah ketika gue menonjok muka Delon sampai berdarah.

Gue udah peringatkan agar dia berhenti jepretin kolor swim wear temen sebangku gue, Ken, di kelas berenang, tapi dia nggak mengindahkan peringatan gue sama sekali. Bukannya jadi pahlawan, Ken justru ikutan takut sama gue. Nggak ada yang berani ngelaporin kejadian itu, bahkan Delon mengaku jatuh saat ditanya guru olah raga. Secara teknis, gue memang senior karena gue pernah tinggal kelas, jadi ya wajar kalau gue disegani. Lebih pantasnya, ditakuti. Segan itu biasanya buat orang-orang terhormat.

"Namanya Ito."

Gue mendongakkan kepala dari mangkuk soto.

"Cowok yang gangguin lo tadi."

Bukan itu sebenarnya yang bikin gue bengong. Cowok yang memberi tahu nama pengganggu itu adalah temen sekelas yang terlambat datang tadi pagi.

Untuk keramahannya, gue tersenyum dan menyilakannya duduk semeja dengan gue. Cowok itu gemuk dan gue tahu kenapa. Baki di tangannya bermuatan dua buah mangkuk soto dan bakso, satu piring lauk-pauk, dua bungkus kerupuk, dan dua gelas es sirup.

"Gue laper banget," katanya seolah bisa menebak apa yang gue pikirkan. "Tadi pagi nggak sempat sarapan. Istirahat pertama terlalu cepet buat gue makan nasi goreng atau bubur ayam, jadi gue tadi Cuma makan dua keping roti bakar di koperasi sekolah. Sama dua kotak susu, sih. Gue kan paling nggak bisa lapar, tadi pagi aja gue pingsan tahu nggak?"

Gue mengangguk, dan dia pun mulai makan.

"Nama gue Kevin." Dia membersihkan mulutnya yang berminyak dengan punggung tangan. Sigap, gue dorong tisu gulung ke arahnya.

"Thank you," ucapnya manis. "Tapi tisu gulung itu bukan buat lap mulut, itu buat cebok!"

Punggung tangan juga bukan buat lap mulut kali, buat nabokin orang, batin gue.

"Gue nggak ngerti, ya, mungkin alasan ekonomis kali di kantin-kantin itu selalu nyediainnya tisu gulung. I mean like, apa, ya? Itu kan nggak sesuai dengan tujuan diciptakannya tisu gulung, right? Mending tisu makan yang suka ada di kotak makanan itu. Meski nggak nyaman juga buat lap mulut, tapi mendingan, daripada yang buat cebok. Tisu makan itu juga aneh, udah tahu pasti ujungnya buat lap mulut, kenapa desainnya harus so kasar? Eh. Ehm. Nama lo siapa?"

Gue baru mau buka mulut buat nyebut nama, tapi diduluin sama dia yang sibuk meraba kantong celana abu-abunya. Jadi gue nunggu dia siap mendengarkan daripada gue harus mengulang sekali lagi. Kevin mengeluarkan sapu tangan.

"Siapa nama lo tadi? Gue nggak denger?"

"Yoga."

"Yoga siapa? Gue Afriandus Kevin Kelana. Kelana itu nama Papa gue. Kenapa muka lo kayak mau kebelet gitu?"

Gue ketawa. "Afri-anus?"

Kevin menyabet muka gue dengan sapu tangan, mukanya cemberut menggemaskan.

"AFRIANDUS! DUS! ADA 'D'-NYA! Kurang ajar ketawa! Ihh lo sama aja deh kayak anak-anak yang lain, suka bully nama gue!"

"Sori. Sori. Gue Andreas Edward Prayoga. Panggil aja Yoga. Aga. Apa aja asal jangan Andreas atau Andre."

Mata Kevin mendelik seperti mau copot, gue sempat mengira itu gara-gara dia masukin bulat-bulat sebutir bakso besar ke mulutnya, tapi nggak.

"Kayak gue dong," katanya sambil megap-megap. "Gue juga nggak suka dipanggil nama depan gue. Some people call me Afrian, Afri, ew sounds so banci—gue maunya dipanggil Kevin, kayak Kevin Aprilio aja gimana. Oke gue panggil lo Yoga, ya?"

Oh gue ketawa lagi dengan nggak sopannya, membikin Kevin menggertakkan rahang karena jengkel. Gue udah memohon maaf, tapi dia masih ngambek dan pipinya menggembung. Alhasil, gue ketawa lebih kenceng.

"Lo ngapain pindah sekolah? Di tengah semester gini pun? Nggak takut nilai lo anjlok? Lo makan soto doang? Kenyang? Badan lo kan tinggi harusnya lo makan banyakan. Pantesan kurus!"

"Tadi pagi gue sarapan lumayan banyak. Gue pindah ikut Papa setelah Mama nggak ada."

"Nggak ada?" serunya.

Ouch! Dia mendelik lagi. Kok gue tiba-tiba mulai ngerasa dia cute, ya?

"Maksudnya meninggal?"

"Bukan. Menghilang ditelan gelombang," canda gue. Muka Kevin mengerut lagi.

"Papa gue juga habis meninggal." Kevin menepikan mangkuk bakso dan beralih ke mangkuk soto. "Ini masih enak nggak ya udah agak dingin, mestinya tadi gue beli sotonya habis kelar makan bakso, ya?—Ya ampun kita samaan, ya, nasibnya? Tapi kayaknya lebih mengerikan gue, deh. Gue tinggal sama istri Papa yang baru, sementara Mama gue baru bisa jemput nanti waktu gue kenaikan kelas. Lo bisa bayangin nggak sih harus tinggal sama orang asing?"

Pretty much the same actually, tapi gue nggak berencana untuk menanggapi. Terlalu complicated buat diceritain di pertemuan pertama, meski gue nggak keberatan kalau dia mau cerita urusan pribadinya. Gue ... perlahan, tapi pasti, mulai menikmati renyah suaranya.

"Oh nggak usah ngomongin itu, deh. Kebiasaan gue kebanyakan ngomong, lo nggak sebel kan?"

Gue menggeleng kemudian mengingatkan. "Dimakan, dong, sotonya. Nanti dingin."

Bahu Kevin bergerak kaget karena peringatan gue—seperti teringat kembali dengan mangkuk sotonya—padahal gue mah yakin dia sama sekali nggak lupa. "Hobi lo apa?"

"Makan bakso," jawab gue asal.

"Ih becanda melulu! Nah tadi kenapa makan soto?"

"Lagi pengen aja."

"Seriusan. Hobi lo apa?"

"Menggambar."

"Serius?"

"Enggak."

Ekspresi Kevin be like -_____-.

Gue ngakak karena dia ngelakuin itu dengan mulut penuh kunyahan nasi soto dan bibir yang berminyak. Gue ngerasa utang penjelasan atau dia akan beneran kesal sama gue. "Gue suka ngegambar, tapi jarang juga gue latih. Itu namanya hobi, bukan?"

Kevin mengerutkan alis. "Iya! Kenapa nggak dilatih? Gambar apa sih? Manga? Atau yang realis-realis kayak di abang-abang pelukis pinggir jalan? Atau abstrak? Gue nggak ngerti lukisan abstrak, tahu nggak, sih?"

"Realis."

"Really? Cool!"

"Katanya tadi kayak yang di pinggir-pinggir jalan?"

"Gue nggak bilang yang di pinggir jalan itu nggak cool, yaaaaaa. Puhlease! Jangan prejudice, dong."

Oh shit. Jantung gue skip beat beberapa detik menyadari betapa gay-nya cowok manis ini. Gue harus buru-buru mengalihkan perhatian, nggak lucu kalau gue salah tingkah menghadapi makhluk seimut ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top