T.L.O.L | TUJUH

"Apa sekali saja dalam hidupmu, kau pernah merasakan rasa sakit yang bahkan menutupi indera perasamu karena kehilangan?" –Dominick Payne

Dengan perlahan Elena berjalan menuruni tangga apartemen Dom setelah merawat pria itu dan tanpa sadar menabrak seseorang. "Maafkan aku" gumamnya pelan dan nafasnya tersentak ketika menyadari siapa yang ditabraknya.

Lilya...

"Kau..." bisik Lilya pelan menatap kearah Elena dengan tatapan tidak percaya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Elena tidak menjawab dan dengan cepat menutupi tas berisi kotak makanan yang di bawanya kebalik punggungnya, namun gerakan itu malah diketahui oleh Lilya. Gadis itu mengernyit sekilas dan tersenyum sinis kearah Elena. "Berusaha menyogok kakakku dengan makananmu yang bahkan tidak pantas untuk di konsumsi manusia?"

"..."

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengganggu kakakku?"

"Aku tidak bermaksud untuk—"

Dengan kasar Lilya mendorong bahu Elena dengan kasar ke tembok, "terakhir kali kau bersikap seperti kelinci yang ketakutan, jadi kenapa sekarang kau kembali setelah kakakku menderita?"

"Ini sama sekali bukan urusanmu, Lil. Dan aku tidak pernah bermaksud untuk mengganggu Dom"

"Kau menyakiti kakakku dan itu membuat urusan ini menjadi urusanku!"

Elena tahu bahwa cepat atau lambat ia akan bertemu dengan Lilya, dan gadis yang tadinya sangat dekat dengannya ini kini membencinya. Fakta bahwa tidak ada satupun orang yang mendukungnya, ternyata sangat menyakitkan. Tapi memang inilah yang diinginkannya, Elena merasa sangat pantas mendapatkan perlakuan ini. Karena inilah yang dibutuhkannya...

"Kehadiranmu tidak diinginkan Dom—lagi. Jangan ada permainan, El" Lilya mendekati Elena dan mengancungkan satu jari telunjuknya pada bahu kecilnya dan gadis itu menggeram, "sakiti dia lagi dan aku akan menghancurkanmu seperti serangga. Aku tidak akan melihatmu sebagai sosok yang pantas untuk di tatap, El"

"Aku mencintainya" ucap Elena pelan

Tentu saja itu tidak membuat perbedaan. Elena tidak ingin membuat perbedaan apapun dan sebenarnya ia mengutuk dirinya sendiri kenapa dengan mudahnya ia membiarkan hatinya mengungkapkan perasaannya sendiri.

Lilya menatap Elena dengan pandangan kosong, "semua tahu bahwa ucapanmu adalah ucapan kosong, El"

"Lil..."

"Sama kosongnya seperti sebuah cangkang. Indah namun tidak berguna. Aku dan Dom tidak lagi menginginkan kau menghancurkan keluarga kami lebih dalam lagi. Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, tapi aku tidak mau melibatkan dirimu di masa depan kami lagi"

Ucapan itu menyakitkan, lebih menyakitkan daripada saat ia berusaha menghancurkan kamarnya yang terisolasi dengan ia berada di dalamnya.

"Perasaanmu sama sekali tidak berarti, El, karena kau tidak pernah benar-benar mencintai kakakku"

Kali ini, entah untuk yang keberapa kalinya Elena tahu kalau ia kalah. Sama seperti tujuh tahun yang lalu di mana ia mati-matian mendobrak pintu kamarnya sendiri ketika seluruh keluarganya mengisolasi dirinya selama hampir enam minggu bahkan setelah persidangan Dom selesai.

Ia kalah dan selalu kalah. Pertanyaannya adalah... kenapa?

Hentakkan kaki tegas Lilya menjauh, sementara tubuh Elena beringsut dari tembok, dan ia mulai memeluk tubuhnya lagi. Jangan menangis Elena, kau sama sekali tidak pantas menangis!

"Aku bertemu dengan gadis itu"

Dom mengernyit ketika adik perempuannya mengatakan hal segamblang itu. Dan ia merasa harus menjawab ucapan adiknya walaupun Dom tidak yakin apa yang sebaiknya dikatakannya. "Jadi?"

"Dom, katakan padaku dengan jujur bagaimana perasaanmu pada El?"

"..."

"Kau mencintainya" bisik Lilya pelan. Sebenarnya ia sudah tahu tapi ketika kenyataan berada di depan matanya, ia tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dengan pelan ia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, "setelah dia membiarkanmu menghabiskan tujuh tahun di balik jeruji tanpa satu kalipun berusaha untuk menemuimu, kau masih mencintainya, Dom?"

"..."

"Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan perasaan Pa dan Ma yang memikirkanmu, Dom? Bagaimana bisa kau tetap mencintai gadis itu sementara kau tahu seperti apa dia sebenarnya?!"

Lilya menghela nafas panjang dan menggeleng lemah, "kau tidak menginginkannya, bukan? Kau mencintainya tapi tidak terlalu bodoh untuk menginginkannya kembali bukan?"

"Aku tidak pernah bilang kalau aku menginginkannya kembali, Lil"

Ketika kakaknya mulai membuka suara, Lilya terdiam di tempatnya dan membiarkan Dom mengucapkan apa yang ingin di dengarnya. "Seperti apapun perasaanku, aku yang sekarang tidak lagi memikirkan perasaan dia. Perasaanmu, Pa dan Ma adalah yang terpenting bagiku. Apakah ini yang ingin kau dengar dariku, Lil?"

"Perfect" bisik Lilya

"Jangan ungkit masalah ini lagi, biarkan Elena melakukan apa yang dia suka dan aku akan melakukan apa yang aku sukai, yang pasti tidak akan ada yang kembali, Lil. Kami tidak akan pernah kembali kalau itu meresahkanmu"

Sebenarnya Lilya tidak menginginkan kata-kata itu diucapkan begitu dingin tanpa perasaan dari bibir kakaknya, namun bukankah selama ini Dom telah menderita karena gadis itu? Dan kenapa ia merasakan setitik rasa bersalah dari dalam dirinya? Ia merasa bahwa semua ini salah?

Lilya merenung dan mengingat apa yang diucapkan Ma beberapa waktu yang lalu. Lil, cinta bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Bukan karena sebuah kebiasaan ataupun karena pandangan pertama, cinta adalah sesuatu yang kita bahkan tidak tahu darimana asal perasaan itu. Ketika kau mendapati sosok itu, kau hanya bisa mengetahui bahwa kau jatuh cinta. Sesimple itu dan sesulit itu untuk di pahami.

"Aku membencinya" bisik Lilya pelan

Ia tahu kakaknya tidak ingin membahas apapun lagi, karena kini yang dilakukan Dom adalah melipat kembali pakaian yang sudah rapi—sesuatu untuk menghindari pembicaraan yang biasa di lakukan Dom—tapi Lilya tahu bahwa ia sudah seharusnya mengatakan hal ini kepada Dom.

"Aku membencinya karena dia menyakitimu. Aku membencinya karena dia telah membiarkan orang lain memisahkan kalian" bisik Lilya lagi. "Dan aku membencinya karena dia tidak membalas perkataanku"

"Lil..."

"Kau mencintainya, Dom dan apa dia mencintaimu? Apa kau tidak ingin mengetahui hal itu?"

Dom mengernyit dan memutar kepalanya kearah Lilya dengan bingung, ia melepaskan genggamannya pada pakaian di atas sofa, alih-alih melakukan sesuatu, Dom malah duduk di sofa dan menghela nafas panjang. "Aku tidak mengerti apa yang sedang menjadi masalahmu sekarang, Lil. Bukankah kau menginginkanku untuk tidak kembali padanya karena kau membencinya? Dan sekarang kau bertanya kepadaku apakah aku mencintainya dan apakah dia mencintaiku? Apa kau menginginkanku menjawab pertanyaan bodohmu, Lily?"

"Apa kau akan menjawabnya?"

"Tidak. Tapi aku akan menjawab bagianku. Dan Tidak, aku tidak ingin tahu apakah dia masih mencintaiku atau tidak. Dia bebas memilih pria lain dan menjauh dariku, semakin ia menjauh maka aku akan semakin bahagia. Kau tahu kenapa Lily?"

Lily tidak menjawab.

"Karena aku ingin menghilangkan masalah ini dari benakku, selamanya! Tanpa dia, tanpa jeruji, tanpa pengadilan, tanpa nama baik dan tanpa—" Dom terdiam ketika ia hampir saja berkata 'tanpa cinta'

"Bagaimana kalau mendadak ia menghilang, Dom?" tanya Lilya pelan seolah berbisik.

"Dia bebas melakukannya"

"Dom—"

Ketika Dom mengangkat sebelah tangannya, Lilya terdiam. "Hentikan pembicaraan ini dan pulanglah kerumah Lil. Aku lelah dan seluruh tubuhku masih sakit karena alergi serbuk sialan ini, okay? Aku akan mengunjungi Ma dan Pa setelah semaunya membaik. Aku janji"

Selama hampir dua minggu kemudian, Dom merasa sangat menyesal karena mengucapkan hal seperti itu. Karena setelah itu, ia tidak lagi melihat Elena di manapun, tidak di tempat kerjanya, tidak di jalan dan tidak juga di depan pintu rumahnya. Sebagian dari pikiran Dom yang masih waras mensyukuri hal ini, namun hati gilanya tidak.

Percaya atau tidak, matanya terus mengitari setiap ia berjalan. Jendela demi jendela, jalanan demi jalanan, rumah demi rumah. Tapi ia tidak melihat keberadaan gadis itu. Elena seolah bergerak menjauh, namun ada satu hal yang masih sama seperti saat gadis itu berada di dekatnya.

Dom menyadari selalu ada makanan hangat di atas meja makannya, pakaian bersih yang tertumpuk sempurna di atas sofa, kamar rapi, sampah yang dibuang pada tempatnya. Dan sialnya, Dom menikmati semua ini—perhatian ini. Seolah ini adalah satu-satunya keberadaan Elena yang terakhir. Satu-satunya bukti bahwa gadis itu masih memperhatikannya.

Dengan lelah Dom keluar dari tempat kerjanya dan berjalan dengan cepat. Dan ketika ia merasa telah masuk ke dalam sebuah cahaya remang-remang di bawah pantulan sinar lampu jalan, ia menyadari adanya sesosok manusia yang berdiri di salah satu sisi kegelapan itu.

"Siapa?" tanya Dom dengan kasar

"Tidak perlu sekasar itu" jawab bayangan itu dengan nada sinis yang mampu menyamai kesinisannya. "Selamat sore, Dom"

"Emily? Apa yang kau lakukan di sini?"

Gadis itu mengendikkan bahunya dan mengangkat sebelah alisnya, ia menatap pria bertubuh tinggi dan beberapa otot di tangannya yang mulai memperlihatkan hasil dari kerja selama beberapa bulannya sebagai salah satu staff bangunan. "Kita harus bicara" bisik Emily pelan

"Tidak perlu. Karena aku tidak ingin mendengar apapun"

"Kau tidak mau mendengar apapun, atau kau takut untuk mendengar, Dom?" tanya Emily dengan penuh sarkasme.

Dom mengusap tengkuknya dengan pelan dan merasa sangat lelah. Ia hanya ingin pulang dan makan lalu beristirahat, rutinitas yang sudah dilakukannya selama dua minggu terakhir. "Katakan apa yang ingin kau katakan, lalu pulanglah, Em"

"Bagaimana perasaanmu pada kakakku?"

"..."

"Tidak, aku akan mengganti pertanyaanku padamu, Dom. Apakah kau masih mencintai kakakku?" tanya Emily pelan. Ia menatap Dom dengan tatapan kosong, kedua tangannya berada di sisi tubuhnya sementara pria itu seolah enggan menatapnya. "Aku tebak, jawabanmu adalah tidak?"

"Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Kami sudah berakhir dan tidak akan pernah kembali lagi seperti dulu"

"Kenapa?"

Dom menatap kearah Emily dengan sengit, seakan-akan gadis kecil itu adalah sosok gadis yang sudah menyakitinya. Ia menatap tidak percaya dan mendengus, "apa kau harus bertanya lagi? Oh, ataukah kau sengaja menanyakan hal itu untuk mengingatkanku dengan kebodohanku sendiri?"

"Aku ingin kita berbicara secara beradab setelah—"

"Setelah apa? Setelah mantan kekasih kakakmu keluar dari penjara?!" teriak Dom. Lalu ia menunjuk kearah Emily dengan satu jarinya, "stay away from me, Em. Aku mungkin menyayangimu sama seperti aku menyayangi Lilya, but enough is enough. Segalanya sudah berupa masa lalu, Em. Kau dan kakakmu adalah masa lalu"

"Masa lalu yang cukup besar untuk mengubahmu menjadi pria picik, arogan, dan berpikiran sempit?!"

Nafas Dom memburu dan hanya Tuhan yang tahu kenapa sampai sekarang ia masih bertahan di tempatnya. Dan Emily bukan gadis bodoh yang tidak mengetahui kalau pria besar di depannya bersikap seakan memusuhinya.

Arogan, picik?

Dom membiarkan ketiga kata-kata yang disematkan oleh Emily untuknya terus terngiang di benaknya, membuat seluruh tubuhnya bergetar karena amarah. Bukan, ini bukan marah tetapi sesuatu yang lain yang ditakutinya. "Jangan buat aku menyesali perbuatanku, Em"

"Kau akan menyesali perbuatanmu sendiri, Dom, selain dari kenyataan bahwa kau ingin mencekikku sampai mati. Kau adalah pria bodoh yang berpikiran sempit! Kalau kau mengira Elena meninggalkanmu karena tidak ingin membantumu, maka kau adalah bajingan bodoh! Dan aku akan terus mengatakan hal itu kepadamu hingga kau sadar!"

"Kalau begitu beritahu aku mengapa dia tidak datang pada hari itu, dan kenapa dia mengunjungiku di penjara setelah enam bulan aku mengharapkan dia untuk menenangkanku?! Jelaskan kenapa dan mengapa!" teriak Dom memukul beton keras di sisi kirinya. Kepalannya terasa sakit dan memerah, bahkan bekas pukulan itu mulai menyerupai bilur biru yang kontras dengan kulit coklatnya.

"Apa yang bisa aku jelaskan padamu tentang hal itu?"

"Segalanya. Dan aku sangsi kalau kau bisa melakukannya, Em" Dom berbalik dan memasukkan kepalan tangannya kedalam saku, ia memejamkan mata, menghirup udara sebanyak yang bisa dilakukannya untuk menetralkan emosi yang meledak-ledak di dalam dirinya. "Kalian tidak akan bisa melakukannya karena tidak ada yang bisa kalian lakukan untuk menjelaskan hal itu. Apa yang dilakukan Elena bukanlah pengkhianatan, Em"

"..."

"Apa yang dilakukan Elena jauh dari pengkhianatan. Dia lari dari situasi di mana hubungan kami sedang di uji. Dia meninggalkan semuanya, dan dia meninggalkan aku bersama situasi keparat itu" jelas Dom pahit.

Benar, yang membuat Dom marah bukan karena gadis itu tidak datang pada hari pengadilan, bukan karena gadis itu hampir di perkosa. Dom bahkan tidak perduli dan akan tetap menerima Elena kalaupun pemerkosaan itu telah terjadi, tapi bukan itu masalahnya.

Elena-lah masalahnya.

Gadis itu meninggalkannya, bahkan tidak datang saat seminggu setelah ia masuk ke dalam penjara, lingkungan menakutkan yang baru. Dan gadis itu datang ketika Dom telah kehilangan seluruh harapannya selama enam bulan, namun tidak satu kalipun gadis itu berusaha menenangkan hatinya dengan membela dirinya.

Aku salah, aku salah.... hanya itu yang dikatakan gadis itu. Tapi bukan itu yang ingin di dengar oleh Dom. Bukan itu!

Berkali-kali selama sesi kunjungan yang diberikan sebanyak lima belas menit setiap harinya, Dom menahan dirinya untuk tidak mengguncang tubuh kecil Elena dan ia telah berusaha untuk tidak mencumbu gadis itu di ruang tamu markas kepolisian. Ia ingin membuat gadis itu mengaku dan menjelaskan kepadanya mengapa hari itu Elena memutuskan untuk meninggalkannya, mengapa bahkan ketika ia dipaksa masuk ke dalam mobil polisi untuk pertama kalinya, Elena tidak mengatakan apapun.

Mengapa setelah ia menolong gadis itu, Elena tidak memeluk dirinya, tidak menangis di pelukannya, melainkan menjauh dan meninggalkannya?

Kenapa... dan selalu pertanyaan itu yang hadir di benaknya. Mengapa hubungan mereka menjadi seperti ini?

"Dia meninggalkanku dan aku mengerti betapa menyakitkannya hal itu, Em. Kali ini aku yang akan melakukannya—meninggalkannya. Dan memperlihatkan padanya rasa sakit yang telah ia torehkan padaku pada hari itu"

Rasa sakit yang bahkan bisa menutup indera perasanya. Hari itu, ia telah mati dengan sempurna karena rasa kehilangan yang begitu besar.

TBC | 04 November 2016

Vomment?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top