T.L.O.L | SEMBILAN BELAS - TURN OUT WRONG (2)
Ketika Elena berjalan kearah Metro Rail dan masih dengan segala pemikirannya, di tempat lain ada dua pria yang tengah menatap kearah layar monitor dimana salah satu dari mereka hampir saja menjadi gila karena panik sementara yang satu lagi seakan pasrah.
"Ini pertama kalinya aku ingin memukul bokongnya keras-keras. Wanita-mu itu sudah gila, Dom!" gerutu Christian sambil melepas headphone yang di kenakannya.
"Aku tahu"
"Coba kau pikirkan, apa gunanya kau meminta pisah kalau dia masih membahayakan dirinya sendiri? Dia membuat segalanya menjadi rumit" Christian mendesah dan menaikkan kacamatanya lebih tinggi di tulang hidungnya, "apa yang kau lakukan?" tanya Christian ketika melihat Dom mengenakan long coat hitam
Dom tidak menjawab.
"Jangan bilang kau hendak mengikuti Elena ke Metro rail?"
"Aku tidak perlu menjelaskannya kepadamu, Chris" jawab Dom sambil mengenakan sepatunya dan bergegas keluar dengan mengenakan topi.
Ketika Dom hendak membuka pintu kantornya, Christian menghentikannya dengan berteriak, "dia bisa saja membunuhmu, idiot!" tapi bukan itu yang membuat Christian kesal, tapi karena sahabatnya itu malah menatapnya dengan tatapan kosong yang tidak bisa diartikannya. "jangan berbuat bodoh, Dom, kita akan mencari cara lainnya, kita bisa membawa polisi atau—"
"Dan membuat keselamatan Elena terancam?" Dom menggeleng, "kau tahu aku tidak bisa melakukan hal itu, Chris"
"Kau juga tidak bisa melakukannya sendirian!"
"Aku bisa melakukannya sendirian!"
"Kau bisa membuat dirimu terbunuh, lalu apa yang akan selesai? Pria itu akan menang. Camkan kata-kataku, pria gila itu akan menang dan bersenang-senang di atas dirimu!" teriak Christian dan berjalan kearah Dom dengan marah. Kakinya menghentak lantai keramik dengan amarah yang tidak di tutupinya, "kau mau mati?!"
Tapi Dom tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menghela nafas panjang dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Katakan padaku, apa yang ingin kau lakukan sekarang? Sejujur-jujurnya sebelum aku yang membunuhmu di sini, sekarang juga!"
Dom menatap Christian yang masih menatapnya dengan menggebu-gebu, "menyelamatkan Elena, hanya itu yang ingin kulakukan sekarang, Chris. Aku belum bisa memutuskan hal lain yang ingin kulakukan"
"Walaupun mungkin saja hal itu bisa membunuhmu? Dia pasti akan mencari kesempatan yang ada hanya untuk membunuhmu"
"Dia bisa melakukannya dan aku tidak perduli, Chris. Masalahnya..." Dom mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya dan ia dengan panik melihat kearah Christian yang masih berdiri tegap di hadapannya, "...masalahnya, aku bisa bertahan hidup karena Elena, aku tidak bisa menemukan satupun alasan mengapa aku harus hidup kalau gadis itu tidak berada di sisiku"
Lalu Dom menghilang dari kantor, berlari dan meninggalkan suara berdebam di seluruh lorong.
Christian menghela nafas, mengacak rambutnya dan mengumpat. "Sialan!" kemudian dengan sedikit memaksa, ia berlari mengikuti sahabatnya yang masih diam-diam diumpatnya sebagai orang paling bodoh di dunia sekaligus pria teromantis di dunia.
Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, di mana ponsel Elena mati karena terinjak, diam-diam Dom telah memasukkan signal pemancar untuk melacak di mana gadis itu berada sehingga dimanapun Elena berada, Dom akan mudah melakukannya.
Sebuah kejahatan memang, tapi Dom tidak peduli.
Dan ketika ia melihat signal pemancar tersebut perlahan-lahan melemah di suatu tempat dekat Metro rail, Dom takut ada sesuatu buruk yang akan terjadi kepada wanita itu. Lalu signal tersebut menghilang tidak lama setelah ia berpikir mengenai situasi buruk yang akan terjadi, ia harus mengubah kata-katanya, bahwa sesuatu telah terjadi.
"Please, please, jangan dia. Bawa aku tapi jangan dia... jangan lukai dia sama sekali" bisik Dom pelan sambil melajukan Harley-nya secepat yang dapat di lakukannya.
∞
Elena tahu ia telah melakukan hal yang gila, dan ia juga tahu kalau Dom sampai mengetahui apa yang sedang dilakukannya maka pria itu akan marah dan mungkin memakinya keras-keras.
Pikiran itu membuatnya mendengus dengan sangat keras. Dom telah meninggalkannya, dan pria itu tidak berhak untuk marah terhadap apa yang dilakukannya.
Ia telah sampai sepuluh menit dan tidak ada tanggapan apapun. Luke telah memberikan pesan bahwa pria itu akan menemuinya di Metro Rail bawah tanah, ketika Elena menuruni tangga menuju halte bawah tanah ia sempat ingin berpaling dan pulang ke apartemennya sendiri.
Tempat tersebut gelap dan hanya tersisa satu kereta terakhir. Dan itu semakin membuat jantungnya berdebar kencang.
Kemudian ponselnya berdering.
"Katakan kau dimana dan selesaikan masalah ini lebih cepat, Luke!" bentak Elena kesal.
"Kau tidak perlu marah-marah kepadaku, El, tentu saja aku sudah melihat kedatanganmu dengan sangat jelas. Hanya saja, bukankah kita harus memainkan permainan secara adil? Aku selalu menunggumu dan kini giliranmu untuk menungguku"
"Jangan gila, kau tahu kenapa aku datang"
"Dan kenapa kau datang?"
Elena mendesis kesal dan menatap ponselnya seakan tidak percaya, pria ini seolah-olah sengaja memancing emosinya. "Aku pulang kalau kau tidak ingin berbicara. Selamat tinggal, Luke"
"Kalau kau pergi sekarang, aku bisa saja membuat kekasihmu meninggal saat ini juga Elena" sahut Luke dingin.
"Kau akan ditangkap kalau melakukan hal itu, kali ini aku akan memastikan dirimu masuk ke balik jeruji kalau sampai melakukannya. Aku bersumpah, aku akan membuat hal itu terjadi"
"Dengan apa tepatnya kau akan melakukan hal itu? Bagaimana bisa kau memastikan seluruh kota Houston kalau aku adalah pembunuhnya sedangkan aku sama sekali tidak turun tangan untuk melakukan hal kotor tersebut, El" Luke tertawa sinis dan berdehem kecil, "akui saja El, kau tidak akan pernah menang melawanku. Tidak kemarin dan juga tidak sekarang"
"..."
"Kau sudah kalah. Kalian berdua tidak akan pernah menang melawanku, jadi kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan bukan, El?"
Elena menoleh ke lorong kereta bawah tanah dan perasaannya mulai tidak enak, karena dua pria bertubuh tinggi tegap tengah berjalan kearahnya dengan aura tidak bersahabat. Dan ia tahu siapa mereka berdua. Pria suruhan Luke.
"Pengecut, kau tahu itu, Luke?"
"..."
"Perintah apa yang kali ini kau berikan kepadanya selain membakar dinding dan juga seluruh lukisanku di dinding apartemen? Apa kali ini kau menyuruh mereka untuk membunuhku karena kau tidak bisa mendapatkanku? Sekarang kau memilih untuk melenyapkanku, begitu?"
"..."
Baik Luke maupun Elena sama-sama tidak mengatakan apapun dan mendadak Luke berkata dengan suara sinis yang bercampur dengan arogan, "aku membiarkanmu memilih untuk kali ini, El, siapa yang kau pilih? Aku atau Payne?"
"Kau tahu jawabannya, Luke"
"Kau tahu seperti apa situasi yang sedang kau hadapi El, jangan bodoh. Aku bisa saja dengan mudah menyuruh mereka mematahkan lehermu yang cantik. Pikirkan baik-baik, siapa yang kau pilih"
Pada situasi normal atau kalau bisa dikatakan, kalau semua ini terjadi pada wanita normal pada umumnya tentu saja ia akan memilih berada di tangan penjahat—untuk menyelamatkan nyawanya. Tapi bukan itu masalahnya.
Masalahnya ia telah memberikan segalanya kepada pria lain. Elena memberikan segalanya dan walaupun hanya untuk menyelamatkan nyawanya, ia tidak bisa memberikan hatinya kepada Luke. Itulah permasalahannya, karena ia tidak lagi memiliki satupun hati yang bisa diberikan.
Elena tersenyum kecil dan berbisik halus seolah menjawab sekaligus meminta dewa kematian mendekat kepadanya, "sayangnya, aku bodoh, dan wanita bodoh ini tidak bisa mencintaimu Luke, seperti ucapanku dulu dan juga sekarang. Aku hanya mencintainya dan tidak ada satupun hati yang bisa kuberikan kepadamu. Aku bisa saja minta maaf kepadamu mengenai hal itu, tapi kau tidak akan mau menerimanya bukan?"
"Yang kuinginkan hanyalah jawabanmu, bukan permintaan maafmu"
"Dan aku sudah menjawab"
"Kalau begitu selamat tinggal, Elena, aku mencintaimu" ucap Luke dari seberang telepon. Sementara dua pria itu semakin mendekat dan satu diantara mereka mulai mengulurkan tangan seolah ingin mencekiknya di tempat.
TBC | 01 DESEMBER 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top