T.L.O.L | SEMBILAN BELAS - TURN OUT WRONG (1)
Theme song : Selfish - N'sync
Elena bangun dan menatap studio-nya, ia telah mengitari tempat ini selama beberapa kali seolah mencari bukti bahwa pria itu masih ada. Namun ia tidak bisa mendapatkan satupun bukti nyata bahwa Dominick Payne pernah berada di sini, di sampingnya, di tempat seharusnya pria itu ada.
Ataukah beberapa hari ini hanyalah mimpi?
Ia marah dan juga kecewa, namun sepertinya marah menjadi urutan pertamanya dan kecewa berada di urutan terakhir.
Elena merebahkan tubuhnya di tengah-tengah studionya, memejamkan mata dan berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Kemudian ia bangkit, berjalan ke kamar mandi dan menatap sebuah parfum dan aftershave yang sepertinya lupa di bawa oleh pria itu.
Seperti orang tidak waras, ia menyemprotkan parfum tersebut ke pergelangan tangan, menggosokkannya ke leher lalu menuangkan cairan aftershave berwarna bening ke telapak tangan, mengusapnya ke rahang dan membiarkan aroma itu menguak keluar.
Masih sebelah tangan membawa sebotol parfum dan Elena berjalan kembali ke tengah studio. Terdiam sebentar, ia mendongakkan kepala ke langit-langit, dan sialnya hal itu membuat air matanya tumpah.
Kemudian ia menyemprotkan parfum itu ke seluruh ruangan, terdiam sebentar dan kembali merebahkan tubuhnya kembali diatas lantai. Sementara air matanya mengalir, ia mengangkat kerah kemeja yang tengah di pakainya hingga menutupi rahangnya. Elena memeluk tubuhnya sendiri dan meringkuk seperti bayi.
Ini kedua kalinya ia melakukan hal ini, yang pertama kali adalah saat ia tahu Dom tidak mau lagi melihatnya dan yang kedua... saat sekarang ini, ketika pria itu memilih untuk meninggalkannya hanya untuk menyelamatkannya.
"Aku masih mencintaimu, idiot" bisik Elena pelan.
Namun tidak ada yang mendengarnya, ia tahu tidak ada yang mendengarnya sama sekali, bahkan tidak pada serangga yang mungkin menempel di suatu sudut ruangan studionya. Dan hal itu membuatnya terisak lebih keras dari sebelumnya hingga kali ini setidaknya isak tangisnya memenuhi ruangan kosong di studionya-setidaknya ia tidak merasa sendirian.
∞
Dom mendengar segalanya, bukan hanya mendengar, ia juga merasakan hal yang sama. Ketika ia memutuskan untuk meninggalkan Elena, itu bukan semata-mata karena ia tidak menginginkan gadis itu-justru karena ia terlalu mencintainya.
Semua ini seperti omong kosong baginya, kenangannya dan juga ciuman-ciuman kecil yang dilakukan mereka. Segalanya bagaikan mimpi yang terlalu indah untuk dijadikan kenangan.
Perlahan Dom menempelkan keningnya di depan pintu studio Elena, membiarkan telinganya mendengar isak tangis gadis itu, nafasnya memburu dengan sangat cepat sementara kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Dan si idiot ini juga masih mencintaimu, El. It never change..." bisik Dom pelan.
Masih dengan kening menempel, Dom merasakan serangan perih di kedua matanya. Pria tidak menangis, ia tidak pernah melakukannya. Namun sekarang ia melakukannya, dan ternyata ini sangat menyakitkan alih-alih memalukan.
Apakah mencintai seseorang akan terasa semenyakitkan ini? Apakah melepaskan seseorang akan sesulit ini?
"Dom, kau baik-baik saja?"
Dom mengusap kedua matanya dengan cepat sebelum menegakkan tubuh dan berbalik untuk menatap adiknya-Lilya-"I'm fine, Lil"
"Kau sakit, sama sepertinya Dom, tidak bisakah kalian berdua menghadapi hal ini bersama-sama?"
"Tidak ada jalan keluar, Lilya dan kau yang paling tahu hal itu. Hanya ini yang bisa kulakukan untuknya. Setidaknya, Luke tidak akan menyakitinya kalau aku menjauh dan menjaga jarak"
"Sampai kapan?" tanya Lilya memelankan suaranya, "sampai kau tidak bisa lagi bernafas? Sampai kapan kalian berdua akan saling menyakiti satu sama lain, Dom? For God Sake, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri Dom. Kau membutuhkannya, kau mencintainya. Apa yang salah dengan semua itu?!"
Dom menatap Lilya dengan pahit dan Lilya tahu bahwa Dom menderita sama seperti jeritan yang didengarnya dari balik pintu. "Kau akan membunuh dirimu sendiri, Dom" bisik Lilya dan itu terdengar seperti sebuah pernyataan.
Setelah diam sejenak, Dom berjalan melewati Lilya dan langkahnya terhenti, kepalan tangannya terus berada di sisi tubuhnya. Butuh seluruh mental yang dimiliknya untuk menahan dorongan terdalam yang diinginkannya-menculik Elena dan mengatakan pada wanita itu betapa ia mencintainya-tapi ia tidak akan melakukannya, setidaknya tidak sekarang.
"She's my breath, Lil. Guess, what if I lose my breath away?" bisik Dom dan ia tertawa dengan suara yang cukup menyedihkan di telinga Lilya, "simply, I can't breath and I'm die"
"Dom..."
"Selama dia masih hidup, maka aku masih berusaha untuk hidup, Lilya. Sepenting itulah arti dirinya bagiku"
Ucapan itu cukup membuat Lilya menangis. Ia hanya mampu melihat kakaknya melangkah meninggalkan lorong apartemen dengan punggung yang menyiratkan pahlawan yang kalah dalam medan perang, dalam hal ini Dom telah kalah melawan kekuasaan yang begitu besar. Ia bukanlah siapa-siapa...
Ia tidak pernah setuju dengan keputusan Dom yang menurutnya malah memperkeruh suasana. Tapi ini adalah keputusan mereka-keputusan Dom tepatnya. Lilya merasakan rasa kasihan yang begitu besar dan juga kesedihan yang mendalam ketika mendengar suara lirih dari balik pintu.
Dengan gemetar ia mengambil ponsel dari sakunya dan menekan nomor yang dihapalnya di luar kepala. "Don't get me wrong. I just..." Lilya menarik nafasnya dalam-dalam dan berkata,"aku menerima tawaranmu, asalkan kau membantuku Cas..."
∞
Satu minggu kemudian
Gila memang, tapi Elena sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk membuat pria itu menghilang dari benaknya walaupun untuk sementara, dan sepertinya ia telah gagal dalam melakukannya selama seminggu terakhir.
Elena masih dengan setia memasakkan makan siang yang kemudian terpaksa dihabiskannya sendirian di dalam studionya.
Ia juga telah menolak beberapa pelanggannya yang meminta tembikar bergaya eksotis, Sialan... Elena benar-benar tidak bisa lagi membuat tembikar dengan gaya eksotis, persetan dengan eksotis, lebih mudah menghancurkan tembikar dibanding membuatnya-untuk sekarang.
Kemudian ponselnya berbunyi dengan lantang.
Elena menatap ponselnya yang tidak diketahui siapa ID Caller-nya, ia menghela nafas panjang dan ingin memarahi Emily yang sepertinya ikut campur dengan masalahnya. Ia mengangkat ponselnya ke telinga dan siap berteriak, "kalau kau masih saja-"
"Hallo Elena"
Sapaan dari seberang telepon membuat seluruh tubuhnya menegang, kalau dalam keadaan biasa, Elena mungkin akan merasa ketakutan lalu seluruh tubuhnya akan gemetar. Sayangnya ia sedang marah dan juga sedih, sehingga tidak lagi merasa ketakutan.
Ia mengencangkan genggamannya pada ponsel dan berteriak dengan suara yang diharapkannya bisa memekakkan telinga si pendengar, "berani-beraninya kau menghubungiku, dasar pengecut! Pembunuh!"
"Jangan histeris seperti itu, El, ini sama sekali bukan gayamu"
"Oh, dan aku seharusnya duduk diam setelah kau berusaha mencelakaiku dua kali?" tanya Elena dengan nada sinis. "Jangan menggangguku lagi, atau kali ini aku yang akan menerormu, Luke. Kau hanya penjahat kelamin yang memiliki gangguan kejiwaan"
"Dari cara bicaramu, sepertinya bisa kuasumsikan kalau kau sudah berpisah dengan Payne?"
Kali ini Elena tidak menjawab, melainkan menahan deru nafasnya dan juga dorongan besar untuk membanting ponselnya. Brengsek, pria ini benar-benar tidak pantas hidup! Setelah apa yang dilakukannya, Luke bisa bersikap seakan-akan tidak ada satupun yang terjadi?
"Yes or no, El?" tanya Luke dari seberang dengan nada yang jelas-jelas tidak sabar.
"Itu sama sekali bukan urusanmu"
"Kau tahu kalau ini telah menjadi urusanku, El, sampai kapan kau mau jatuh cinta pada pria yang tidak memiliki apapun selain tubuh yang bisa dibanggakan? Kau memilikiku, Elena. Asalkan kau mau menjadi milikku, aku bisa memberikanmu apapun yang kau inginkan. Apapun, El"
"Kau gila dan tidak seharusnya aku berbincang denganmu, Luke. Kau tidak pernah mencintaiku, kau hanya tergila-gila pada ego-mu sendiri dan marah karena aku satu-satunya wanita yang pernah menolakmu. Stay away from me, kau dan juga pemikiran gilamu, Luke!"
"Jadi kau menolak untuk menerimaku sekarang, El? Kau pikir, berapa banyak kesabaran yang kumiliki untukmu? Tentunya kau tidak berpikir kalau aku akan memaafkanmu terus menerus bukan?"
Suara itu terdengar dingin dari seberang, Elena tahu seharusnya ia berhati-hati dan bukannya malah marah-marah terhadap pria berbahaya itu. Karena bukan hanya keselamatannya yang dipertaruhkan, tetapi juga keselamatan Dom. Luke pasti akan melakukan apapun untuk melukainya-dan itu adalah Dom.
"Aku tidak melakukan apapun sehingga kau harus memaafkanku, Luke. Dan aku tidak perduli dengan pendapatmu mengenai pria yang mengandalkan tampang, Dom adalah segalanya untukku dan kau tahu kalau kau tidak pernah menjadi segalanya untukku. Tidakkah kau bisa berpikir lebih dewasa?"
"Wrong answer, El. Aku hanya bertanya apakah kau mau menjadi milikku atau tidak" Suara Luke terdengar mengintimidasinya, begitu berat dan dalam.
"Never"
Selama satu menit tidak ada ucapan apapun yang terucap ataupun yang didengarnya, ia berpikir kalau pria itu telah menutup sambungan telepon mereka hingga akhirnya ia mendengar suara yang serak dan penuh kebencian dari seberang telepon, "then you will see him dead"
"Kau tidak akan melakukan itu, Luke" bisik Elena pelan.
"Coba berikan satu alasan kepadaku mengapa aku tidak bisa melakukannya? Aku bisa membunuh siapapun, sama seperti kau yang terus membunuh perasaanku, El"
Elena menarik nafas panjang dan matanya kini telah berair, "pertunangan itu tidak pernah ada, dan tidak pernah ada kita. Kenapa kau terus menerus mengatakan hal yang tidak pernah ada, Luke? Kenapa kau-"
"Aku berada di Metro rail. Kalau kau mau kita membicarakan semua ini baik-baik, kau harus datang ke sini tanpa diikuti satu orangpun. See you, El"
"Wait-"
Lalu telepon terputus begitu saja sebelum ia bahkan bisa menanyakan atau berkata lebih jelas lagi kepada Luke. Sialan, semua ini semakin gila. Elena tidak lagi bisa mengerti apa yang sedang terjadi, ia kehilangan Dom dan sekarang ia harus berurusan dengan pria gila itu sendirian?
Apapun yang tengah dipikirkannya, Elena hanya bisa mendapat satu jawaban yang pasti. Dengan ia menemui Luke, ia bisa bernegosiasi dengan pria itu untuk keselamatan Dom. Sudah cukup dengan apa yang dilakukan pria itu kepada Dom, Elena tidak bisa melihat pria yang disayanginya terluka lebih jauh karena dirinya.
Jadi, hanya ada satu hal yang bisa dilakukannya sekarang, menemui Luke
TBC | 30 NOVEMBER 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top