T.L.O.L EMPAT BELAS-2
Dom, bagaimana kabarmu? Apa di sana dingin? Apa di sana mereka memperlakukanmu dengan baik? Apa kau kekurangan sesuatu? Apa... kau merindukanku? Aku merindukanmu—sangat. Bisa kau pikirkan bagaimana rasanya, kau pasti akan menertawakan perasaanku ini seperti sebelumnya, dan aku bisa tersenyum membayangkan wajah sinismu ketika mengatakan aku berlebihan.
Aku merindukanmu Dom
Aku kesepian, aku ketakutan dan aku menyesal. Kenapa saat itu aku tidak mampu melompat dari jendela untuk mendatangimu di pengadilan? Kenapa saat aku mengunjungimu, aku tidak mampu mengatakan kepadamu bagaimana perasaanku?
Dan kenapa... aku merasa segalanya sudah berubah?
Kau benci padaku, kau marah padaku dan kenyataan itu membuatku membenci diri sendiri. Kukatakan pada diriku sendiri kalau semua ini hanyalah sementara. But i can't, i just can't.
Perlahan, Dom membuka lagi sebuah surat dengan sampul yang sama—coklat, tanpa pengirim ataupun alamat. Ia membukanya dengan cepat dan mulai membacanya kembali.
Dom, ini malam anniversary kita yang keempat dan ini sudah dua kali kulewatkan tanpa dirimu. Ternyata lampu di pohon cemara yang sering kita lihat, tidak seindah yang kita lihat sebelumnya. Apa karena saat itu aku melihatnya bersamamu?
Kursi batu yang sering kita duduki terasa dingin, bukankah sekarang sedang musim panas? Tapi aku merasa suasana ini sangat berbeda dengan tahun yang kita lewati berdua. Aku bodoh ya?
Ia selalu ingat, bagaimana mereka berjalan di bawah Christmast Tree, di mana Elena sangat suka bertingkah seperti anak kecil dengan memeluk pohon tersebut dan berpose seakan-akan gadis itu adalah bagian dari pohon tersebut.
Dan Dom juga ingat bagaimana gadis itu berjalan di belakangnya dan langsung melompat di punggungnya, sementara ia akan menertawai tingkah laku menggemaskan gadis itu. Lalu mereka akan berakhir dengan tertawa dan berciuman di bawah pohon—sesuatu yang disukai mereka. Karena itulah Dom merasa sesak dan begitu banyak dorongan baginya untuk menangis tetapi ia tidak mau melakukannya—ia berusaha untuk tidak melakukannya.
Kemudian Dom membuka surat ketiga dengan cepat, tanpa memikirkan amplop yang dirobeknya dengan kasar maupun tangannya yang gemetar ketika membuka surat tersebut. Matanya mulai memerah ketika ia membaca surat tersebut, ia menarik nafas terlalu kencang hingga Dom merasa sedikit sesak di dalam dadanya.
Dom, bagaimana kabar alergimu? Apa kau membutuhkanku untuk berada di sisimu? Aku mungkin akan menganggumu agar sulit beristirahat ya?
Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa bernafas, aku ingin mengatakannya kepadamu Dom, aku ingin... kau berada di sisiku. Aku egois ya?
Aku takut. Aku takut kau tidak bisa menerimaku lagi, aku takut kau membenciku karena kejadian yang menimpaku, aku takut... aku takut Dom. Aku takut pria itu mendekatiku lagi, aku takut menjalani malam-malamku, dan juga siang, dan juga sore. Aku tidak normal, aku bukan lagi aku yang dulu.
Please... jangan benci aku, karena hanya keberadaanmu yang bisa membuat pikiranku sedikit normal.
Bukan dia yang tidak memberitahumu Dom... bukan, kau hanya tidak memberinya kesempatan untuk memberitahumu. Kau. Kaulah yang membuat segalanya menjadi sulit. Dom meremas surat tersebut sehingga membentuk lipatan tak berbentuk sementara pandangannya kosong.
Apa yang sudah kulakukan?
Perlahan ia mulai mengingat bahwa kemarahannya-lah yang sudah membuat segalanya menjadi buruk. Ia menolak Elena, menolak ajakan wanita itu dan menolak ketika Elena berusaha memberikan alasan karena ia tidak mau mendengar. Karena baginya cukup sekali merasa tersakiti.
Ia menunggu, setiap hari dan setiap menit yang di laluinya di balik jeruji, diam-diam ia menunggu kehadiran gadis itu, Dom menunggu Elena mengatakan sesuatu—selain permintaan maaf. Ia tidak membutuhkan maaf, Dom tidak perduli walaupun ia harus menghabiskan seumur hidupnya berada di balik jeruji selama gadis itu tersenyum di depannya, mengatakan apa yang tengah di risaukan oleh gadis itu—hanya itu.
Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, tangisanmu adalah pukulan telak bagiku. Dan karena setiap kali ia melihat Elena diam-diam menangis—tanpanya—Dom merasakan ratusan pukulan menyakitkan diseluruh tubuhnya, tidak terlihat namun ia selalu merasakannya.
Mendadak ia merasa pukulan ringan di lengannya dan tanpa sadar ia menoleh kearah asal pukulan tersebut. Lilya menatap Dom dengan pandangan geli sementara ia memukul kakaknya dengan keras, "kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan. Memangnya badan besarmu hanya berguna sebagai hiasan?"
Dom ingin menjawab namun ia tidak mampu
"Go and find her, Dom. Kau tahu di mana bisa menemukannya, kau selalu tahu" bisik Lilya pelan seolah mendorong kakaknya untuk bergerak.
"Aku bodoh dan aku tidak akan mengulanginya lagi, Lil"
"Kau memang bodoh dan aku akan terus mengingatkannya kepadamu apa yang seharusnya kau lakukan, kak" Lilya tersenyum lebar dan memukul punggung Dom dengan satu tamparan keras, "lakukan apa yang ingin kau lakukan. Ikuti hatimu, kak"
Aku mencintainya...
Ia ingin berteriak seperti itu, namun tidak di depan adiknya. Dom menoleh kearah ayah dan ibunya yang tersenyum lebar. Ia memang bodoh, bagaimana mungkin ia bisa berpikir kalau kehilangan gadis itu akan menjadi lebih baik? Bagaimana bisa ia bepikir kalau Luke akan melepaskan Elena kalau ia menjauh? Bagaimana bisa ia membiarkan wanita itu menghadapi bajingan itu sendiri?
Bagaimana bisa ia berpikir bisa hidup tanpa gadis itu?
Dom memasukkan surat tersebut ke dalam saku celana sembarangan dan berjalan membuka pintu depan lalu berlari menghilang dari pandangan kedua orangtuanya serta adiknya.
"Aku selalu bilang kalau kakakku adalah pria yang idiot, Ma, Pa" bisik Lilya
Lindsey tersenyum dan berjalan mendekati putri kesayangannya lalu mengecup puncak kepalanya dengan bahagia, "Ma tahu kau sangat menyayangi kakakmu, dan hanya kau yang tahu apa yang paling diinginkan Dom"
"Dom memang idiot dan memiliki temperamen yang buruk seperti sekarang, dia terlalu mengandalkan ego-nya" jawab Lilya dan ia tersenyum kecil kearah ayah dan ibunya, "namun ia tidak akan melakukan kesalahan yang kedua, itulah Dom"
Dia hanya berusaha melindungi gadis yang disayanginya serta hatinya sendiri, karena pria bodoh yang jatuh cinta selalu mencari cara bodoh yang terbaik baginya. Karena ia hanya terlalu mencintainya...
∞
Di lain pihak, Elena merenung dan tidak dapat memutuskan apa yang ingin di lakukannya, haruskah ia pergi? Tapi kemana?
Walaupun ia belum bisa memutuskan apapun, tapi tanpa sadar Elena masukkan beberapa pakaian bersihnya ke dalam tas besar. Dan walaupun ia tidak tahu harus kemana, ia tetap berjalan menelusuri ruangan studio dan berdiri tepat di hadapan tulisan penuh ancaman berwarna merah.
Berulang kali Elena ingin menghubungi Dom, lucu memang. Dulu dia adalah wanita yang paling mengetahui pria itu, tetapi sekarang ia adalah wanita yang tidak mengetahui apapun. Ia bagaikan orang asing dengan segala memori mengenai Dom yang bisa di ingatnya.
Seketika ia merasa sangat bodoh.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekat ke pintu dan mengulurkan tangan untuk membuka pintu tersebut, dan mendadak ia mendengar suara dari dalam hatinya. Apakah kau bisa hidup tanpa dia di sisimu?
Elena tidak bisa menjawabnya.
Sebelum ia hentak menyentak pintu tersebut hingga terbuka, mendadak pintu itu telah terdorong ke belakang sehingga ia termangu sementara diam-diam merasa terkejut dan takut. Namun tidak satu gerakanpun yang dapat di lakukannya.
∞
Dom menyentak pintu hingga terbuka, berusaha mengambil nafas sebanyak-banyaknya akibat berlari sementara ia membiarkan tatapannya menelusuri puncak kepala hingga ujung kaki Elena dan tatapannya berhenti pada tangan wanita itu yang menggenggam sebuah tas besar.
Dia akan pergi...
Pernyataan itu masuk begitu saja kedalam benaknya dan ia tidak menyukai gagasan tersebut. Sambil berusaha menenangkan hatinya, ia bertanya dengan suara berat dan sedikit terdengar kasar, "apa kau hendak pergi?"
"Tidak... aku..." dengan cepat Elena berusaha menyembunyikan tas tersebut ke belakang punggungnya namun gagal.
Tangan Dom dengan cepat menarik tangan kanan Elena dan menyentak tas tersebut hingga terlepas dari genggaman wanita itu. "Aku sedang bertanya kepadamu, El"
"Dan aku tidak harus menjawab" bisik Elena pelan
"El..."
"Please, jangan membuatnya menjadi lebih sulit. Ini sudah menyulitkanku, tidakkah kau mengerti?" bisik Elena pelan, tanpa sadar air matanya mengalir—padahal tidak seharusnya ia melakukannya. "Tolong, jangan tanyakan apapun padaku, jangan ucapkan kata apapun yang menyakitkan. Aku telah menerima pesanmu dengan sangat baik"
"Dan pesan apa memangnya yang sudah aku sampaikan padamu?"
"Segalanya"
Kepala Dom mulai menggeleng dan Elena bisa melihatnya melalui keramik yang di bawah kakinya, walaupun samar ia tetap bisa melihatnya namun tidak mengatakan apapun. Bertahanlah, Elena.
"Aku bahkan belum mengatakan apapun. Kau tidak mau mendengarnya?" tanya Dom pelan
Nafas Elena tersentak, ia memejamkan mata sekilas sementara kedua tangannya bergetar tanpa bisa di hentikannya. Ia mulai menggelengkan kepalanya dan membiarkan air matanya mulai berjatuhan dari pelupuknya, "tolong... jangan hari ini"
"Aku ingin kau mendengarnya, El"
"Aku sudah mendengarnya. So, please... hari ini saja, hanya satu hari ini saja aku tidak bisa mendengarnya, Dom..."
"Kenapa? Karena kau mau melarikan diri? Karena besok kau tidak akan berada di sini sehingga aku tidak perlu lagi berdebat denganmu? Karena aku—"
"Aku tidak pernah melarikan diri!" teriak Elena kencang memutuskan ucapan Dom. Ia mengangkat kepalanya dan memperlihatkan wajah kacaunya, Elena memukul dada Dom dengan keras namun pastinya pria itu bahkan tidak merasakan apapun dari pukulan tersebut, "hentikan semua ini! Jangan mengatakan hal yang tidak kau ketahui!"
"..."
"Selama ini... selama ini aku juga ada perasaan yang aku tutupi! Aku juga memiliki masalah yang tidak kau ketahui! AKU juga!"
Dom membiarkan gadis itu meluapkan emosinya dan ia hanya berdiri diam, tetap tegap di hadapan gadis itu sementara Elena tetap memukul dadanya dengan kepalan tangan kecilnya.
"Aku juga memiliki perasaan! Dan kau tidak berusaha mengetahuinya! Semua orang... semua orang menghakimiku seenaknya—termasuk kau!" Elena mengangkat tangannya yang lain dan memukuli kembali dada tegap Dominick, namun lambat laun pukulan tersebut melemah dan hanya tersisa isak tangis dari bibirnya. "Aku juga... aku juga sakit, Dom..."
Kemudian Dom menangkap pergelangan tangan Elena dan menghentikan pukulan itu, perlahan ia mendekat sementara tangannya menelusuri pergelangan tangan menuju lengan atas dan berhenti untuk menumpukan kedua telapak tangannya pada sisi wajah Elena. Jemarinya mengelus beberapa kali, menghapus jejak air mata di kulit mulusnya dan mendaratkan kecupan ringan di bibir ranum Elena, seraya berbisik menenangkan.
"Kalau begitu katakan..."
"..."
Dom membuka matanya dan menempelkan kening mereka, tangannya menarik lengan gadis itu agar melingkar di pinggangnya, "katakan apa yang kau risaukan, apa yang kau takutkan, apa yang kau pikirkan. Katakan kepadaku dan aku akan mendengarnya"
"Kau tidak mau mendengarnya" bisik Elena lirih
"Aku akan mendengarnya. Kali ini, aku akan mendengarnya. Just say it" Dom menempelkan pipinya ke sisi wajah gadis itu, mengecup ringan daun telinga Elena dan kembali berbisik, "kalau kau mengatakannya, aku akan menyerap semua sakit yang kau rasakan, El, just don't leave me again, kita bisa berjuang bersama. Kita, bukan kau ataupun aku, tapi kita..."
∞
TBC | 20 NOVEMBER 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top