T.L.O.L | DUA BELAS
Theme song : Wherever you'll go by Boyce Avenue
Sepanjang hari itu, Dom menghabiskan harinya dengan bekerja, berkeringat namun anehnya ia merasa bahagia. Ia tidak bisa menjelaskan dengan tepat apa yang membuatnya bahagia, tapi Dom bisa menyelesaikan pekerjaannya tanpa merasa lelah dan ia merasa energinya tidak pernah habis.
Bahkan ketika mandornya menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan pekerjaannya, ia sama sekali tidak menolak.
Dom merenggangkan tubuhnya, mulai merasa lelah namun matanya berkilat penuh semangat, kemudian mendadak Dom di kejutkan dengan teriakan yang kencang dari belakangnya, "Kak Dom!"
"Jesus!" teriak Dom sambil mengelus dadanya berulang kali seraya memutar tubuhnya, ia mengumpat beberapa kali dan menghela nafas, "apa kau ingin membunuhku, Lil?!"
"Jangan di besar-besarkan, sebuah teriakan mana mungkin sanggup untuk membunuhmu"
"Itu bukan berarti kau bebas berteriak dari belakang orang dengan suara yang sangat kencang! Itu sama sekali tidak sopan dan kalau Ma sampai tahu, kau akan di hukum, mengerti?!"
Lilya mengangkat sebelah alisnya dan dagunya menantang tak acuh, "Ma tidak ada di sini jadi dia tidak akan tahu kecuali kalau kau melapor kepadanya"
"Kau tahu aku tidak akan pernah melakukan hal itu, Lil"
"Kalau begitu apa permasalahannya?" tanya Lilya cuek. Sikap adik perempuannya yang seperti inilah yang membuat Dom terkadang merasa hampir mati karena berusaha untuk tidak kehilangan kesabarannya. Ia menghela nafas panjang dan mengelus tengkuknya, rasa lelah mendadak mulai menghantamnya.
Dan Lilya yang seakan tidak mengerti tanda itu, mengapit lengan Dom dengan lengannya sendiri. "Hari ini kau harus pulang kerumah, karena aku sudah janji dengan Ma dan Pa untuk menculikmu"
"Aku sudah bilang, Lil, aku akan pulang kalau aku sudah siap"
"Memangnya kapan kau pernah siap?"
Dom tidak menjawab
Lilya tersenyum licik kepada Dom dan berkata dengan suara lirih, "kalau kau tidak mau ikut denganku, aku bisa saja berteriak di sini dan membuat semua rekan kerjamu membantuku untuk memaksamu pulang kerumah"
"Lil, jangan main-main"
"Aku akan berteriak bahwa kau meninggalkanku sendirian di sini dan tidak mau menemaniku pulang. Atau aku juga bisa bilang kalau kau berusaha untuk memperkosaku"
"Lil, lelucon ini tidak lucu!"
"Baiklah, aku juga sebal dengan lelucon barusan. Bagaimana kalau aku bilang kau suamiku dan karena kau sedang marah denganku jadi sudah beberapa bulan ini kau menghindar dariku. Jadi mereka akan—"
"Oke, oke! Stop it! Aku akan pulang bersamamu! Puas adik kecil?" gerutu Dom sambil mengacak-acak tatanan rambut Lilya namun adiknya tidak tampak kesal dengan perlakuan tersebut. Gadis itu malah tersenyum dan mengangguk berulang kali
"Let's go!"
Tentu saja Dom tidak benar-benar kesal dan Lilya tidak benar-benar sedang mengancam kakaknya. Namun mereka tahu kalau salah satu dari mereka tidak melakukan hal tersebut, tidak akan ada satu orang dari mereka yang setuju untuk mengikuti saran satu sama lain.
Perdebatan mereka akan di tunda hingga mereka berada di tempat yang tepat, tapi saat ini, membawa kakaknya pulang akan menjadi prioritas utama Lilya. Dan ia ingin Dom berada di rumah seperti sebelumnya, karena keluarga harus menjadi sebuah keluarga utuh walaupun masalah sedang menerpa mereka, bukan?
Perlahan ia mengeratkan pelukannya pada lengan Dom dan berjalan menelusuri malam, di bawah lampu remang-remang yang menenangkan.
∞
Elena berharap bisa bersantai di studionya dengan merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakannya sendirian—namun sebuah cat berwarna merah terukir di dinding studionya yang besar. Ia tahu siapa yang melakukan hal ini, yang tidak bisa di pikirkannya adalah bagaimana bisa pria itu mendapatkan kunci apartemennya.
Tadi Elena berjalan sambil bersiul senang, masuk ke dalam apartemennya dan merencanakan untuk diam-diam masuk ke dalam tempat tidur Dom tengah malam, dan ia juga merencanakan untuk mengenakan lingerie yang pernah di belinya. Namun ketika masuk ke dalam studionya yang gelap, ia tidak menyadari apapun hingga mendadak kakinya menginjak sebuah kaleng semprotan cat yang digunakan oleh artistic jalanan.
Ketika ia menyalakan saklar lampu, Elena terkejut dan terdiam selama beberapa menit seolah mencerna apa saja yang baru terjadi.
Tulisan besar dengan huruf cetak tertera jelas di sana, "Leave him or you'll never see him again"
Elena menatap tulisan itu dengan hati gemetar, ia tertawa kecil dan menggeleng tidak percaya. Ini gila, apa pria itu pikir dia adalah tokoh utama di dalam sebuah cerita, dan seharusnya ia takut dengan ancaman seperti ini lalu menjauhi Dom?
Never!
Celakanya, walaupun batin Elena berkata seperti itu, otak dan tubuhnya tidak setuju dengan pemikiran tersebut, sebab kedua kakinya tidak mampu menopang tubuhnya, sehingga ia berlutut di depan tulisan itu seraya memeluk tubuhnya yang mulai bergetar.
Elena bukan takut dan memikirkan apakah pria itu akan melukainya seperti dulu, bukan... yang di takutinya jauh dari semua ini. Ia takut pria brengsek itu akan menyakiti Dom,setelah semua yang di alaminya... Elena tidak ingin Dom merasakan hal buruk lagi.
Kemudian ponselnya bergetar.
Perlahan Elena mengangkat ponselnya ke telinga dan bergumam pelan setelah terdiam sejenak, "halo?"
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan, El, leave him or lost him" ucap pria di seberang telepon dengan suara yang dingin
Elena berusaha memusatkan pikirannya namun tubuhnya tidak berhenti bergetar, ia tidak takut dengan ancaman. Seharusnya yang ditakuti Elena hanyalah pria itu menyakiti Dom atau melakukan hal gila lainnya. Seharusnya...
Dan jauh di lubuk hatinya Elena meringis. Ia merasa takut, sangat takut apabila kejadian tujuh tahun yang lalu akan terulang kembali. Bagaimana kalau ternyata Luke akan mencoba untuk memperkosanya alih-alih melukai Dom? Bagaimana kalau Luke memilih untuk menjadikannya target untuk melukai Dom? Bagaimana kalau—
"I said once again, Elena. Leave him or you'll never find out the body of him"
Ponsel tersebut terjatuh begitu saja dari genggamannya, dan perlahan-lahan ketakutannya mulai terkuak. Elena merasa sebuah kotak Pandora di dalam hatinya, yang telah berhasil di rantai erat olehnya mulai terbuka begitu saja. Seolah-olah pria yang baru saja meneleponnya memiliki kunci yang pas dengan gembok yang terpasang pada rantai Pandora tersebut.
Ia bahkan bisa merasakan bagaimana kilat hitam dari kotak tersebut terbuka dan mulai merambat di pori-porinya, pembuluh darahnya dan menggenggam erat dadanya hingga ia tidak bisa bernafas. Tuhan...
Dalam posisi tubuh yang masih berlutut dan tubuh yang masih bergetar ia terus melaungkan satu nama yang biasanya mampu membuat kegelapan ini lenyap. Dominick...
∞
Bukannya Dom tidak suka dengan acara makan malam keluarga, sebenarnya ia sangat merindukan hal ini semenjak tujuh tahun yang lalu. Namun ia sempat berpikir keluarganya akan memarahinya karena pada terakhir kali sidang Dom sama sekali tidak melihat kemarahan ataupun rasa kasihan di mata keluarganya. Bukankah itu artinya ia telah di benci dan diasingkan?
Tetapi ketika ia datang lima belas menit yang lalu bersama Lilya, kedua orangtuanya—Pa dan Ma, mendekatinya lalu memeluknya. Pa hanya menepuk pundaknya dengan erat seolah hanya hal itulah yang bisa dilakukannya.
"Kalau kau tidak datang hari ini, Ma berniat menyuruh Pa untuk menculikmu, Dom" bisik Lindsey—ibunya dengan rasa sayang yang tidak di tutupi
"Dan aku sudah bilang akan membopong anak kurang ajar ini kembali kerumah sayang, yang perlu kau lakukan hanyalah membiarkanku melakukannya" jawab Scott –ayah Dom dengan senyum kecil yang tersungging di wajahnya
Lindsey menoleh kearah suaminya seraya melepaskan pelukannya, "Dan aku harus membiarkanmu untuk mengikat putra kesayanganku di bagasi mobil? Kau akan memperlakukannya sebagai musuh dan bukannya putra, Scott!"
"Itu adalah hukuman kecil yang bisa kuberikan untuk membuatnya sadar bagaimana pria Sicilia bertindak"
"Itu sama sekali tidak membantu, kau ayah bodoh!" bentak Lindsey, perlahan ia menatap kearah Dom sekali lagi dan berkata dengan suara lembut,"Ma sudah menyiapkan sup jagung kesukaanmu, Dom, kau akan makan di sini bukan?"
"Coba saja kalau dia berani menolak, aku akan menembak kepalanya" jawab Scott seenaknya, walaupun sebelah tangannya masih menepuk sayang di atas pundak Dom
Lilya menggeleng kepalanya dan berkacak pinggang, "jangan bercanda! Aku sudah susah payah membawa si otot ini kesini, dan apa kalian hanya akan berdebat di depan pintu masuk tanpa membiarkan kak Dom makan atau mungkin duduk?" lalu ia menatap kearah ayah dan ibunya kemudian mendengus kencang
Sementara Lilya masuk ke dalam rumah, Ma menyentuh tangan Dom yang berotot dan besar, ia berbisik, "you'll come home, did you?"
Dari tadi Dom hanya terdiam, bukan karena tidak suka. Ia hanya... terkejut, mengenai betapa keluarganya menyapanya dengan ramah seolah menginginkannya. Atau Dom telah salah? Dom menelan susah payah saliva-nya dan matanya mulai memerah karena menahan rasa pedih yang sedaritadi menusuk matanya.
Selama Tujuh tahun ia berpikir keluarganya tidak lagi menginginkannya. Dan apakah semuanya salah?
"Kenapa... padahal aku pikir kalian tidak lagi menginginkanku. Aku pikir..." bisik Dom dan tertelan oleh saliva-nya sendiri
Ma menepuk rahangnya dengan pelan sementara air matanya mengalir deras, "jangan bodoh, anak nakal. Kalau Ma tidak menginginkanmu dan tidak mengakuimu sebagai anak, siapa lagi yang akan peduli dengan Ma?"
"Kau terlalu banyak berpikir, Son, dan kau sudah gila"
"Scott!" teriak Lindsey mengingatkan
Suaminya mengangkat bahunya tak acuh namun pandangannya masih terpaku pada putranya yang tidak di lihatnya selama tujuh tahun terakhir. Ia berusaha dan hanya Tuhan yang tahu betapa ia merindukan pertengkaran kecil ini. "Dia memang anak yang gila, darimana kau memiliki pemikiran gila bahwa kami tidak lagi menginginkanmu?"
Scott merangkul putranya dan tubuhnya bergetar menahan tangis.
"Kami menginginkanmu, Son, selalu dan tidak akan pernah berubah. Bukankah Pa selalu mengatakan kepadamu apa arti keluarga?"
"Kalian tidak mengunjungiku selama tujuh tahun. Bagaimana bisa ajaran Pa masih melekat? Aku... bahkan tidak tahu kemana lagi arahku, Pa. Segalanya abu-abu dan aku..."
Lindsey menutup mulutnya dengan punggung tangan, membiarkan air matanya mengalir. Keluarganya lengkap dan itu sudah lebih dari cukup. Hal apapun yang dipikirkan oleh putranya akan perlahan-lahan menghilang. Namun ia harus mengatakannya, karena ia yakin suaminya tidak akan memberitahu Dom mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
"Kita harus bicara, Dom"
Ketika putranya menatap kearahnya, ia menggeleng pelan, "tidak di sini, di dalam. Kita akan membicarakan apapun yang kau inginkan. Percayalah, pembicaraan ini tidak semudah yang kau pikirkan"
Scott menggenggam erat pundak putranya dan menghela nafas, "Ma benar, masuk-lah Dom. Kita akan membicarakannya di dalam. Kau membutuhkan penjelasan bukan? Dan kami akan menjelaskannya, setelah itu kau bisa berpikir langkah apa yang harus kau ambil"
∞
Ketika mereka duduk di sofa ruang tamu, dengan Dom berada di satu sofa besar sementara Ma dan Pa lalu Lilya duduk di seberang Dom seolah hendak menyatakan dosa terbesar yang mereka lakukan—tapi bukan itu yang hendak di lakukan mereka.
Pertama dari Scott yang menghela nafas dan berkata dengan tegas, "aku rasa seharusnya aku yang memulai percakapan ini bukan?" tanyanya ke kiri dan kanannya, Lilya dan Lindsey mengangguk karena mereka tidak sanggup untuk mengatakan apapun
"Pertama, kau bertanya mengapa kami tidak mengunjungimu selama tujuh tahun ini bukan?" tanya Scott pelan sementara kedua tangannya terkatup di depan tubuhnya
Dom mengangguk pelan
"Untuk apa?" tanya Scott pelan, "untuk apa kami mengunjungi putra tersayang kami yang jelas tidak melakukan kesalahan apapun berada di balik jeruji dingin? Kalau kami datang mengunjungimu, maka aku seolah menyetujui pada dunia bahwa pria yang berada di balik jeruji memang anak yang kubanggakan. Padahal tidak. Kau tidak pernah menjadi bagian dari penjara itu Dom. Kau tidak bersalah"
Nafas Dom tersentak dan ia mendongak kearah Scott.
"Kami tahu, kau tidak bersalah. Kau tidak membunuh, kau tidak melakukan apapun. Kami tahu semuanya"
"Darimana kalian tahu? Aku jelas tidak mengatakan apapun pada pengacara, aku bahkan tidak membuka suara di hadapan hakim, bagaimana—"
"Menurutmu darimana?"
Dom terdiam. Ia tidak ingin menjawab karena hal itu akan memecah belah perasaannya, jadi ia memilih untuk diam.
"Elena datang kesini bersama kedua orangtuanya setelah empat bulan, kekasihmu menangis seperti orang gila. Kami berpikir bahwa Elena memang sudah tidak waras" gumam Scott, "Seluruh warga di kota menghakimi kami, dan mulai mengatakan hal buruk. Kau tahu, Lilya di keluarkan dari sekolah karena masalah ini, well, aku sendiri dipecat dan Ma..." Scott melirik kearah istrinya dan tersenyum kecil, "kami mulai digunjingkan seperti sampah. Selama empat bulan penuh penderitaan. Kami... mulai membenci tempat ini"
"Pa..."
"Biarkan aku bicara sampai selesai, Son" bisik Scott.
Scott menghirup nafas sebanyak-banyaknya dan berkata dengan suara pahit, "kemudian Elena datang, menangis dan melempari warga yang menghina kami dengan batu. Ia terus meraung dengan tubuh gemetar, gadis itu... bukan Elena yang aku kenal—yang kami kenal, atau yang kau kenal" ia menatap Dom yang terpaku.
"Elena berubah. Gadis itu tidak lagi hidup, bukan seperti dalam artian yang buruk tentu saja, tetapi gadis itu tidak hidup Dom. Gadis itu seolah... kehilangan sesuatu yang berharga" perlahan baik Scott, Lindsey maupun Lilya menyadari bahwa tubuh Dom menegang ketika mendengar nama gadis yang selama ini berada di dalam hatinya mulai terbuka lapis demi lapis, semua kesalahpahaman yang terjadi, semuanya mulai terungkap dan Scott tahu, dialah yang harus mengungkapnya.
Perlahan ia menatap kearah putranya yang tengah mematung di hadapannya.
"Dia kehilanganmu dan itu membunuhnya...."
Lalu ia mulai menceritakan apa yang terjadi pada malam hujan deras itu, hari yang memilukan itu. Matanya mulai terpejam dan kemudian membukanya kembali. Dom harus tahu.
∞
TBC | 14 NOVEMBER 2016
Vomment 1k?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top