T.L.O.L | DELAPAN BELAS - THIS TIME TO SAY GOODBYE
"Aku terlalu mencintaimu untuk membiarkan dirimu dalam bahaya. Kehilanganmu bukanlah akhir dari segalanya karena jika kau tersenyum, maka itu adalah kebahagianku"- Dominick Payne
"For God sake, Elena! Kau bisa melakukannya, ini sama sekali tidak sesulit bayanganmu!" teriak Jennifer di tengah ruangan make-up sementara salah satu penata riasnya memprotes karena gerakan tidak perlu gadis itu yang menyebabkan roll rambutnya terjatuh. "kau hanya perlu mengajaknya ke pesta ini, that's it! Dan kau tidak bisa melakukannya?!"
"Aku sudah bilang kalau aku tidak bisa melakukannya, Jen"
Jennifer mendelik dan merasa marah untuk sahabatnya, "katakan pada pria itu kalau aku akan menghajarnya sampai babak belur jika bertemu dengannya"
"Dan aku akan berdoa mulai hari ini agar kau tidak pernah bertemu dengannya, Jen"
Tentu saja Jennifer tidak benar-benar melakukannya. Ia hanya kesal karena Dominick Payne bersikap brengsek kepada sahabatnya dan ia benar-benar tidak menyukai pria itu. Dasar keparat tampan!
Dengan pelan Jennifer berpura-pura mendesah, "kau sudah tidur dengannya, dan dia tidak membiarkanmu melakukan apa yang kau inginkan? Walaupun hanya menemanimu ke pesta dansa di reuni sialan ini?"
"Aku sudah meminta, dan aku sangat menghargai keputusannya untuk tetap pergi kerja, Jen. Dia akan datang, Dom berjanji kepadaku"
"Oh ya? Tapi kapan? Setelah si brengsek Peter datang dan mengajakmu berdansa?" Jennifer menatap Elena dari ujung kepala hingga kaki, "kau mengenakan gaun yang kita beli waktu itu"
Itu setengah benar dan setengah tidak. Bagaimanapun, karena percintaannya kemarin, Dom akhirnya mengalah dan berjanji akan datang ke acara ini walaupun sepertinya pria itu akan terlambat karena mengikuti meeting untuk kliennya atas tuntutan mengenai perselingkuhan-yang sudah menjadi trend masa kini.
Elena menatap pakaiannya di depan cermin dan tersenyum penuh sesal. Gaun yang di pakainya tidak terlalu modern ataupun mengikuti trend, namun ia menyukainya dan Elena sangat yakin kalau Dom akan menyukai gaun ini. Gaun simple yang berwarna ungu gelap yang kontras dengan rambut pirangnya, sementara belahan dadanya yang rendah dan menyempit membuat belahan dadanya terlihat dan penuh.
Dulu Jennifer-lah yang mendorongnya untuk berani mengenakan dan membeli gaun ini-untuk Dom katanya. Dan ia tidak menyesal karena baru sekarang Elena mengenakannya.
Akui saja, kau mengenakannya karena kau berpikir Dom akan datang ke pesta ini. Kau datang untuk mengundangnya, Elena-dengan gaun ini.
Pemikiran itu membuatnya tersenyum geli, ia memang berniat melakukannya-menggoda. Tetapi sayangnya ia tidak memiliki banyak kemampuan untuk melakukan hal itu. Diam-diam ia melirik sahabatnya yang mengenakan gaun berwarna merah terang yang melekat erat pada tubuh langsing Jennifer.
"Apa kau yakin akan mengenakan pakaian itu, Jen? Kau terlihat... sangat fantastis"
Jennifer mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum lebar, "malam ini aku akan memastikan pria itu tidak menganggu harimu, sayang. Kau bisa pastikan itu"
"Jen, itu tidak perlu. Sungguh, lagipula kau memiliki kekasih. Aku tidak ingin mengganggumu dengan-"
"Jangan bilang kau sedang membicarakan pria itu. Sudahlah, El, aku tidak menginginkan pria itu lagi. Pria bajingan itu bukan siapa-siapa bagiku" jelas Jennifer memotong ucapan Elena dengan cepat. Ia melirik kearah sahabatnya melalui kaca dan mengangkat sebelah tangannya, "I'll married soon, El"
Ketika Jennifer melakukan hal itu, ia memperlihatkan sebuah cincin berlapis emas dengan permata single di tengah, sangat elegan dan mewah namun tidak berlebihan. Beberapa permata kecil menyerupai lingkaran pada permata single di tengah.
"Cantik..." bisik Elena pelan, masih terpukau dengan cincin tersebut.
"Iya 'kan?"
Elena menatap Jennifer dan mendadak bertanya, "kau akan menikah dengan pilihan orangtuamu? Jen, kau pernah berkata kalau kau tidak setuju dengan pertunangan di mana kau hanya sebagai pengganti kakakmu-Sasha-dan kau juga pernah bilang kalau-"
"Kalau aku tidak bisa menikah dengan orang selain Cassius" ucap Jennifer pelan, Elena bisa melihat wajah sedih pada mata hijau sahabatnya namun gadis itu segera menutupinya dengan senyuman. "Ayolah, El, ini sudah tujuh tahun berlalu dan Vincent pasti bisa membahagiakanku di bandingkan Cassius. Aku bahagia, dan orangtuaku bahagia, apa lagi yang kurang?"
"Kau. Permasalahannya adalah kau yang tidak bahagia, Jen dan aku tidak suka"
"Aku bahagia-aku akan bahagia, El" jawab Jennifer bersikeras, lalu mendadak ia bangkit dan menatap kearah penata riasnya, "sudah selesai 'kan? Aku mau ke ballroom" dan Jennifer tersenyum kepada Elena dengan penuh arti sebelum berkata, "kadang El, kita harus merelakan masa lalu yang tadinya sangat berharga, demi sesuatu yang bisa membuat kita bahagia. Karena apa yang kita pertahankan, bukan berarti bisa membuat kita bahagia"
"Jen..."
"Vincent akan membuatku bahagia, kalaupun aku tidak bahagia, kau bisa melakukannya. Kita memiliki perjanjian bukan?" tanya Jennifer dengan senyum masih berada di bibirnya.
Kemudian Jennifer keluar dari ruang rias, sementara Elena mengingat apa yang pernah di janjikannya beberapa tahun yang lalu. Mereka memang telah berjanji, janji kanak-kanak yang terdengar naïf namun itulah yang masih dipertahankan mereka.
Janji padaku, kalau kau akan bahagia. Kalau aku tidak bisa bahagia, setidaknya kau bisa bahagia. Salah satu dari kita harus bahagia, bukankah ini yang namanya sahabat? Aku menyayangimu El, jadi, kau harus bahagia. Okay?
Dan Elena tidak bisa menepati janji itu-sampai sekarang.
∞
Acara reuni yang diadakan pada sebuah hotel Ritz di Texas, terlihat sangat megah dan elegan-dengan Jennifer sebagai pembawa acara ini. Elena menatap pesta dansa dari balkon di ballroom di lantai dua, diam-diam merasa kagum karena segala sesuatunya berjalan dengan sangat sempurna.
Kemudian Elena mau tidak mau mengingat hal yang sempat terjadi pada apartemen kesayangannya, yang tentu saja kini telah kembali seperti semula. Entah bagaimana tapi Lilya mampu membantunya mendapatkan kembali apartemennya dalam dua hari. Ini gila, sehingga ia terus bertanya kepada Lilya siapa orang ini yang hanya dijawab senyuman kecil dari gadis itu. Lalu suara tawa gaduh di ballroom membuyarkan lamunannya.
Elena mendengar teman-temannya tertawa dengan gelas sampanye di tangan kanannya, sementara beberapa di antara mereka memisahkan diri di ujung ruangan, beberapa yang lain berdansa di tengah ballroom dengan lagu romantis, lalu tatapan Elena berhenti pada sosok pria yang berdiri di tangga ballroom, seolah menunggunya.
Luke.
Elena menelan saliva-nya dan berdiri di tangga teratas, ia membiarkan benaknya berpikir mengenai apa yang akan di lakukannya. Namun ia telah bersumpah, tidak akan membiarkan pria itu mengetahui ketakutan terbesarnya-tidak setelah ancaman tak bermakna di studionya.
Ia berjalan perlahan-lahan menuruni tangga, dan Luke menaiki tangga. Mereka berhenti tepat di tengah tangga ballroom dengan Luke berdiri tepat di hadapannya. Wajah pria itu terlihat ramah, mata birunya berkilat seolah memuja Elena. "Kau cantik" bisiknya pelan
"Dan kurasa aku harus mengucapkan terima kasih atas pujianmu?"
"Nada sarkastik tidak cocok untukmu, El" ucap Luke pelan, ia mengulurkan tangan mengusap lengan atas Elena dengan gerakan yang sangat lembut sehingga membuat bulu kuduknya meremang.
"Jangan menyentuhku, Manton" bisiknya dengan nada rendah
"Apa kau akan mendorongku di sini?"
"Kenapa aku harus melakukannya?"
Luke tersenyum kecil, melihat kearah bawah tangga di mana seluruh peserta acara tengah berbincang, minum dan berdansa tanpa memperhatikan mereka sama sekali. Kemudian tatapannya beralih pada Elena. "Mungkin saja kau ingin membalas apa yang sudah kulakukan pada kekasih barbar-mu"
"Aku bukan dirimu, Luke, dan aku tidak mau melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan"
"Dan apa tepatnya yang sudah kulakukan?"
"Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, karena hanya orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang kau lakukan. Kau adalah seorang bajingan, sayangnya tidak semua orang mengetahui hal itu" ucap Elena dingin. Ia menatap Luke dengan perasaan benci, "kau bajingan dan tidak pantas hidup"
"Dan memangnya kau pikir Payne pantas hidup?"
"..."
"Perlu kuingatkan kalau pria barbar kesayanganmu telah membunuh adikku?" Luke menaiki satu undakan tangga, menarik lengan Elena dengan kasar agar mendekat dan berbisik di telinga gadis itu dengan dingin,"pria itu telah mendapatkan belas kasihan dariku karena dirimu El, aku membiarkannya hidup padahal aku bisa saja membunuh Payne. Tidakkah kau seharusnya berterima kasih padaku?"
Elena mendorong tubuh Luke dan menghentakkan tangannya dari genggaman pria itu, matanya memincing marah, "kau tidak akan melakukannya, Luke. Kau tidak bisa melakukannya. Karena jika kau melakukannya, masa depanmu akan terancam. Kau tidak akan-"
"Tidak akan apa?"
Wajah Luke tanpa ekspresi malah membuatnya takut, seluruh tubuhnya bergetar. Elena tahu kalau pria itu tidak sedang berbohong, pria itu tidak sedang bercanda atau sekadar untuk membuatnya takut. Tidak... mata itu terlihat serius-sama seriusnya ketika pria itu mencoba untuk memperkosanya.
"Don't do it. Kau sudah merusakku, kau sudah merusaknya, tidakkah semua ini cukup bagimu? Satu nyawa telah hilang di sini, Luke"
"Semua ini karena dirimu. Kau dan selalu dirimu, bukan begitu? Peter meninggal karena dirimu, Payne di penjara juga karena dirimu. Hanya aku yang menginginkanmu" bisik Luke pelan lalu wajahnya terlihat memerah seolah menahan amarah, "dan kau memilih bajingan itu daripada diriku"
Tubuh Elena mulai bergetar, dan mendadak seluruh ballroom gelap gulita lalu berganti menjadi remang-remang dan lagu mulai menyeruak memenuhi kegelapan yang memang sengaja di persiapkan untuk dansa, Luke berjalan naik satu undakan dan berhenti di samping Elena dan berbisik pelan, "kau pernah mengatakan padaku, kau tidak bisa hidup tanpa Payne-itulah kata-katamu ketika menolakku setelah aku memberikanmu seluruh perasaanku, El"
"Please, don't do it, Luke"
"Dan aku juga akan mengatakan hal yang sama kepadamu, El. Dirimu atau tidak ada dirimu sama sekali"
Sedetik kemudian Elena menyadari tubuhnya melayang dari tangga dengan tubuh terhuyung kedepan, ia tidak sempat menjerit namun tubuhnya lebih cepat bereaksi. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya untuk menangkap apa saja yang berada di depannya, dan seseorang meneriakkan namanya dengan begitu lantang.
Tidak lama kemudian, lampu yang padam mulai terang kembali sementara musik telah berganti menjadi pop style.
Sementara yang lain sibuk bersorak sorai, Elena harus menenangkan jantungnya yang berdebar seperti orang gila. Ia terlalu takut untuk bergerak seolah satu gerakan saja bisa membunuh dirinya. Paru-parunya mengambil nafas sebanyak mungkin, ia mengangkat kedua tangannya yang gemetar dan menelan saliva-nya.
"Kau baik-baik saja, El?"
Elena memaksa dirinya untuk tersenyum kearah seorang gadis yang berada di hadapannya, dengan sebelah tangan mengelus punggungnya dengan lembut. "Thanks" bisiknya parau.
"Tadi benar-benar bahaya sekali, ya? Apa ini karena kau mengenakan heels tinggi? Kalau saja aku tidak kebetulan menaiki tangga, kau bisa saja mematahkan lehermu tanpa sengaja, El" ucap gadis itu yang merupakan salah satu temannya di universitas-Prudence.
"Thanks once again, Pru. Kau baru saja menyelamatkan leherku-kurasa"
Prudence tersenyum lebar dan berdiri lalu mengibas gaun pink-nya dengan hati-hati, "kau harus lebih hati-hati kalau mengenakan heels, El, jangan melamun! Itu kebiasaan burukmu yang harus kau ubah"
"Well, aku berhutang nyawa kepadamu, Pru"
Gadis itu mengibaskan tangan kesembarang arah,"jangan bodoh. Kau tidak bergabung dengan Jennifer di bawah? Kau baik-baik saja bukan? Karena kalau tidak-"
"Aku baik-baik saja, Pru, thanks" jawab Elena cepat, berusaha agar nada suaranya tidak lemah dan jantungnya tidak berdebar seperti orang gila. Ia tersenyum kepada Prudence dan berkata senormal mungkin,"kalau begitu aku akan bergabung dengan Jennifer kalau kau tidak keberatan"
"Oh, baiklah. Aku juga akan keatas dan melakukan beberapa aktivitas kecil"
Prudence terkekeh dan mengedipkan sebelah matanya sebelum meninggalkan Elena di bawah tangga. Itu bukan karena heels, Elena bersumpah itu bukan karena heels. Luke mendorongnya. Tapi ia tidak bisa mengatakannya secara gamblang.
Ketika mengingat hal itu, mendadak ia merasakan sengatan di lengan atasnya, Elena terkejut ketika menyadari bahwa lengan atasnya terdapat bercak kemerahan bergambar sebuah tangan yang besar. Luke? Bukan...
Dominick...
Pernyataan itu keluar begitu saja dari benaknya dan dengan cepat ia melempar pandangannya keseluruh ruangan. Pria itu ada di sini, menolongnya tanpa di sadarinya. Dan hal itu entah kenapa membuat jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
Elena berjalan dengan semponyongan dan beberapa detik kemudian berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Ia berjalan dan tanpa sadar menabrak Jennifer, "I'm sorry, Jen"
"Kau baik-baik saja, El? Kau tampak pucat"
"Yeah, I-" Elena tidak mengucapkan sepatah kata lagi ketika tatapannya terpaku pada sosok pria yang berada di salah satu pintu yang terbuka lebar, pria itu berdiri di belakang tirai besar yang menyapu seluruh wajahnya, membuat siapapun tidak mengetahui siapa pria itu sebenarnya-tapi Elena tahu.
Perlahan ia mendekati pria itu dan tersenyum lega. Namun senyumnya memudar ketika melihat mata abu-abu itu redup dan itu merupakan salah satu pertanda buruk yang sangat di hafalnya.
Dengan cepat Elena berjalan menghampiri Dom yang masih berdiri di balik tirai, dan ketika pria itu mulai berbalik ia menangkap salah satu lengan pakaian formalnya.
∞
Ia tahu kalau semua ini salah, Dom tahu kalau semua ini terjadi karena dirinya. Separuh dirinya yang masih waras memaksa logikanya untuk bertahan di tempat sementara sebagian lagi memaksanya untuk membunuh pria itu.
Dom tahu ada yang salah dengan Elena yang berdiri berhadapan dengan Luke di tengah tangga Ballroom. Ia tahu dan tidak bisa melakukan apapun.
Bisa saja saat itu Dom berlari kearah Elena dan menarik gadis itu menjauh dari Luke tapi ia tidak bisa melakukannya. Bukan karena ia takut, tetapi karena tatapan dingin dari Luke yang di perlihatkannya tepat ketika mata biru itu menyapu seluruh Ballroom dan berhenti menatapnya.
Walaupun samar-sama tapi Dom bisa membaca apa yang disampaikan pria itu dalam diam. "Kalau aku kehilangannya, maka kau juga akan kehilangannya" seketika tubuh Dom terpaku dan seolah membeku.
Menit kemudian ia melihat seluruh ruangan menjadi gelap gulita dan samar-samar ia bisa melihat Luke mendorong Elena dari tangga, ketika tubuh kecil itu mulai terhuyung kedepan, Dom bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya-ketakutan dan kekhawatiran.
Dom berlari melewati kumpulan lautan manusia yang terdiri dari dua ratus lima puluh peserta acara, selama ia berlari mendekat, jantung dan paru-parunya tidak bekerja dengan baik. Nafasnya memburu, jantungnya berdebar dan paru-parunya mengambil nafas sebanyak mungkin, saat itu Dom berlari seolah itulah satu-satunya yang harus dilakukannya.
Ia merasa seperti seorang predator yang berjuang untuk menjaga makanannya, ia berjuang seperti pejuang yang berada di medan perang. Dom takut-itulah masalahnya.
Jadi ketika ia berhasil menarik lengan gadis itu sementara satu lengannya yang lain memegang logam dingin yang terdapat pada sisi tangga, nafasnya kembali normal. Setelah memastikan Elena selamat, Dom berjalan mundur dan meninggalkan gadis itu di sana-tempat dimana seharusnya ia membiarkan gadis itu.
Tempat aman.
Dom tidak bisa berada di samping Elena, tidak perduli seberapa besar perasaannya. Ia tidak akan membiarkan perasaannya menjadi alasan yang egois dan mempertaruhkan nyawa wanita yang dicintainya.
Ketika ia bersiap untuk pergi. Dom berkali-kali mengatakan kepada dirinya sendiri. Hanya untuk sekali, kemudian ia akan pergi tanpa di ketahui Elena. Itulah rencana awalnya, sampai dimana Elena menangkap lengannya dan menghentikan langkahnya.
Ia tidak bisa bergerak dan juga tidak bisa menatap wajah Elena. Karena jika ia melakukannya, akan semakin sulit bagi Dom untuk melakukan apa yang seharusnya memang di lakukannya-meninggalkan Elena.
Dom terlihat tampan dalam setelan formal, namun wajahnya tetap saja memperlihatkan tampang pemberontak yang membuat beberapa gadis terbirit ketakutan-dan membuat Elena bergairah. "Kau tidak akan menemuiku dan langsung pulang, Dom?" tanya Elena dengan nada senormal mungkin.
"Aku hanya akan mampir sebentar dan pulang"
"Kapan kau sampai?"
"Baru saja" jawab pria itu tanpa melihat kearahnya.
Ia tahu ada yang salah, dan semua ini berhubungan dengan kejadian yang baru saja terjadi. Elena menatap wajah Dom, mengulurkan tangan kearah pria itu, memaksa agar mata abu-abu itu melihat kearahnya. "Apa ada yang salah? Dom, please, kita berjanji akan mengatakan apapun bukan?"
"Tidak ada yang perlu di katakan, El. Aku... hanya belum siap"
"Apa maksudmu?"
Dom tidak menjawab.
"Apa maksudmu, Dom?" tanya Elena sekali lagi. Ia berusaha untuk tidak menaikkan nadanya namun gagal. "Kau... menolongku, iya 'kan?"
"Kita tidak bisa-aku tidak bisa, El"
Elena menggeleng kepalanya dengan panik. Ia tahu apa yang akan di katakan oleh pria itu selanjutnya dan tidak sanggup untuk mendengarnya. Dengan cepat ia menahan lengan Dom dan menggenggam tangan besar itu dengan gemetar,"jangan katakan hal itu, please" ia mendongakkan wajahnya dan menggeleng pelan, "kita berjanji untuk melaluinya bersama, remember?please Dom. Don't do this to me. Just... please"
"Aku tidak bisa membahayakanmu"
"Aku bisa melaluinya!" teriak Elena
"Dan apa? Kau tetap akan terluka, kau tidak bisa berada di sampingku, El. Aku yang tidak bisa melihatmu terluka. Tidakkah kau mengerti kalau hubungan ini tidak akan berhasil?"
Perlahan Elena melepaskan genggamannya dan menggeleng tidak percaya, ia menelan saliva-nya dan menahan dorongan untuk tidak bersikap seperti orang gila. "Kau berjanji untuk selalu berada di sisiku"
"Aku tidak bisa membahayakan nyawamu, janjiku tidak sepenting itu, El" jawab Dom berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja sementara kepalan tangannya mengerat di sisi tubuhnya. Inilah yang terbaik, Dom
"Apa yang ingin kau katakan sebenarnya, Dom?"
Dom menatap mata biru Elena dan menahan dirinya untuk tidak menarik tubuh gadis itu kedalam pelukannya, bersamanya wanita itu tidak akan aman, setidaknya inilah yang bisa dilakukannya sekarang. "I just wanna say goodbye, El"
"Don't make this way, Dom..."
"Maafkan aku" bisik Dom pelan
Dengan marah Elena mendorong pria itu dengan kesal hingga pria besar itu bergerak sedikit dari tempatnya berdiri, "you're coward. Kau melepaskan aku karena kau adalah pengecut, Dom. Kau tidak mau memperjuangkanku jadi kenapa aku harus memperjuangkanmu!?"
Elena menahan air matanya untuk tidak mengalir dari pelupuknya, sementara hatinya seolah terbakar. Ia tahu Dom hanya melakukan hal yang terbaik untuknya, hanya saja bukan ini yang diinginkannya.
Tapi hari ini Elena tidak sanggup mengatakan apapun, jadi ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuruni tangga ballroom yang menuju hall, berusaha menahan perih yang menyeruak keluar.
Apakah memang inilah yang seharusnya mereka lakukan? Berpisah demi keselamatan mereka? Dan apakah ucapan cinta mereka kemarin adalah bukti bahwa mereka pernah bersama?
I just wanna say goodbye
∞
TBC | 29 November 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top