Part 3
"Give you a chance is one thing that I couldn't do"—Dominick Payne
Sejenak Dominick hanya terdiam mematung ditempatnya berdiri. Ia tidak bisa mengatakan apapun, walaupun hal pertama yang ingin dilakukannya adalah memeluk Elena ke dalam dekapannya. Bukan itu yang diinginkan gadis itu dan bukan itu juga yang diinginkan olehmu, Dom.
Tujuh tahun yang lalu ia telah memberikan segalanya, termasuk masa depannya, bahkan hingga keluarganya. Dan kini apa yang diharapkannya?
Aku mencintaimu, Dom dan akan selalu mencintaimu.
Kau tidak mencintaiku, El, yang kau rasakan hanyalah rasa bersalah. Dom menghela nafas panjang, matanya tertuju pada tas berisi makanan yang di lemparnya ketempat sampah. Ia membungkuk dan mengambil tas kecil itu, mengibaskan kotoran tak kasat mata sebelum kembali ke meja makan.
Dom membuka tas kecil itu, matanya memanas dan nafasnya tercekat ketika melihat apa yang disukainya. Kopi hitam kental dengan gula satu sendok tanpa krim, dan makanan simple jepang. Tutup Tupperware tersebut sudah sedikit terbuka, dan onigiri serta beberapa makanan yang di dalamnya telah berantakan, tidak cantik lagi seperti sebelumnya.
Namun di sinilah Dom, memakan makanan yang tidak lagi memiliki rupa itu, dengan hati yang terasa seperti di iris-iris. Masakan Elena masih sama seperti dulu, sedikit asin dan tidak enak. Ia tersenyum kecil dan berkata kepada tempat duduk kosong di depannya.
"Pasti kau salah memasukkan garam lagi, El" bisiknya pelan.
Matanya menerawang ke kursi yang ada di hadapannya, bola mata abu-abunya dapat mengingat setiap detail ucapan yang pernah di lakukan gadis itu ketika Dom mencecar Elena mengenai masakan gadis itu.
"Kau salah memasukkan bumbu lagi, El" ucap Dom mengangkat salah satu onigiri yang dibuat oleh gadis itu, "lihat, kau bahkan tidak bisa membentuk makanan ini dengan baik. Dan lagi kau memasukkan gula dan bukannya garam, El"
Elena mencemberutkan bibirnya yang malah terasa seksi bagi Dom, "ayolah Dom, aku sudah susah payah memasakkannya untukmu" lalu Elena menaikkan kesepuluh jarinya yang dibalut band aid, "lihat, kuku palsu-ku sudah lepas dan tanganku melepuh karena membuat onigiri untukmu!"
"Ini karena kau tidak bisa memasak, makanya—"
"Kalau aku sudah menjadi istrimu, kau tidak boleh lagi mengeluh mengenai masakanku! Kalau tidak, aku pastikan kau hanya makan dengan mie instant setiap malam" gerutu Elena kesal.
Kemudian gadis itu beranjak dari tempat duduknya, memutar tubuh Dom agar menatapnya, lalu mengecup bibir Dom dengan lembut, "karena aku akan terus belajar masak agar kau tidak lagi mengejekku dengan bibirmu yang seksi ini, Dom"
"Jadi aku seksi bagimu?" bisik Dom menggoda
"Oh shut up and kiss me"
Ketika makanan telah habis, Dom menutupnya dengan perlahan. Ia tidak menyisakan satupun makanan buruk yang dibuat oleh Elena. Dom mengangkat tempat makanan itu dan mengecupnya dalam-dalam. "Terima kasih atas makanannya, El"
Cinta mungkin akan selalu ada di dalam diri Dom, gila memang. Seharusnya ia menghindari gadis itu, menjauh dan memulai lagi kehidupannya sebagai mahasiswa dari nol. Mungkin ia bisa memulainya dengan pindah ke San Fransisco, seharusnya memang ia melakukan hal itu.
Tapi apapun yang di lakukannya, Dom tahu ia masih memiliki cinta untuk gadis itu. Gadis yang jelas-jelas telah menghianatinya, gadis yang sangat di sayanginya dan juga satu-satunya gadis yang pernah menjadi kekasihnya.
Cinta pertama dan terakhirnya.
Masih dalam pemikirannya yang melankolis dan bodoh, mendadak pintu apartemen bobroknya di ketuk. Dom berdiri dari tempat duduknya dan terdiam sejenak. Elena?
Dom berdiri di depan pintu dan menghela nafas lelah, ia lelah bersikap keras dan ia juga lelah bersikap dingin. Dengan kasar ia membuka pintu-nya lebar dan berkata dengan dingin, "Apa lagi yang kau inginkan sebenarnya, El?!"
"Ini yang kau lakukan pada setiap tamu yang mendatangimu, Dom?"
∞
Dominick mengambilkan segelas air putih dingin untuk adik-nya yang hanya terpaut satu tahun. Ia mengambil tempat duduk di depan gadis itu dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maafkan aku, Lilya, aku pikir kau adalah..."
"Elena?"
"..."
"Aku melihatnya turun dari tangga dan wajahnya sangat parah" jelas Lilya dengan tenang dan ia mengangkat alisnya tanpa maksud, "apa yang sudah kau lakukan padanya, Dom?"
"Tidak ada"
Seperti biasanya, Lilya mendengus keras dan sisa sikap feminism yang di tunjukkannya menghilang bagaikan debu. Ia mengangkat kedua kaki keatas sofa dan menyilangkannya seenaknya. "Kau pikir bisa membodohiku dengan bersikap sok dingin seperti itu? Jangan gila, Dom"
"Pulanglah, Lil, aku sedang tidak mood untuk menerima tamu"
"Setelah tujuh tahun, kau bersikap semakin brengsek kak. Kau tidak pulang, dan kau juga mengabaikan seluruh pesan yang aku kirim kepadamu selama tujuh tahun ini. Kami bahkan tidak tahu kemana kau pergi dan di mana kau berada sekarang!" bentak Lilya kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menghela nafas, "apa yang sebenarnya kau pikirkan?"
"Tidak ada"
"Dom..."
Dom menghela nafas panjang, ia mendongakkan kepalanya keatas, memejamkan kedua matanya sekilas sebelum kembali menatap adiknya. "Bisakah kau meninggalkanku sendirian, Lil? Karena aku benar-benar tidak ingin terlibat dengan masa lalu. Apapun bentuk masa lalu itu"
"Kenapa?"
"Aku tidak perlu menjelaskannya kepadamu"
"Karena kau berpikir 'memangnya pria mantan narapidana bisa berkeliaran bebas seenaknya? Memangnya anak yang pernah memiliki catatan kriminal memiliki tempat untuk pulang?' jangan bilang kau berpikir seperti itu" ujar Lilya. Ia tahu apa yang tengah dipikirkan kakaknya yang sangat keras kepala dan terlalu lurus ini.
Tidak ada yang bisa mengubah pendapat Dom, itu adalah salah satu sifat menyebalkan yang dimiliki kakaknya itu. Dan Lilya tidak datang ke apartemen bobrok ini hanya untuk mengalah.
"Ma dan Pa menginginkan kau pulang, Dom" ucap Lilya dan tahu bahwa kakaknya itu tidak akan menjawab apapun, tentu saja pria itu tidak akan pulang. Karena Dom merasa telah kehilangan segalanya, karena Dom merasa kalau tujuh tahun ini telah merubah segalanya. Tapi pria itu salah, tidak ada yang berubah dan segalanya masih sama seperti saat pria itu meninggalkan mereka.
"Kamarmu masih sama seperti dulu, Dom. Kau tidak bisa terus menerus menyalahkan dirimu sendiri"
"Ini jelas karena kebodohanku, Lil"
Lilya bangkit berdiri dan memukul kepala Dom dengan kepalan tangannya sekeras yang dapat di lakukannya. "Jangan bertingkah seperti bayi!"
"Itu bukan salahmu ketika kau membantu kekasihmu sendiri yang hampir di perkosa! Itu juga bukan kesalahanmu ketika kau memutuskan untuk mempercayainya! Dan bukan kesalahanmu kalau demi menyelamatkan anaknya yang merupakan tersangka percobaan pemerkosaan itu malah menjatuhkan keluarga kita!"
"..."
"Bukan kesalahanmu juga, kalau Pa malah diusir dengan cara tidak terhormat dari tempat kerjanya. Semua ini bukan kesalahanmu, Dom" bisik Lilya pelan ketika Dom hanya menundukkan wajahnya.
Jelas Dom merasa semua ini adalah kesalahannya. Kalau saja ia tidak terlalu mengkhawatirkan Elena yang belum pulang dari aktivitas kampus-nya, kalau saja ia tidak terlalu cemas sehingga mendatangi gadis itu di dalam universitas. Kalau saja... ia tidak membiarkan perasaannya mengambil alih sehingga menghajar pria yang hampir memperkosa kekasihnya saat itu.
Kalau saja...
Dom menutup matanya dan merasakan denyut keras pada pelipisnya. Tidak, Dom tidak ingin ada kata kalau saja. Karena kalau hal tersebut benar-benar terjadi, maka Dom akan hancur. Walaupun sekarang Dom telah hancur secara fisik, setidaknya gadis itu masih baik-baik saja. Itu yang bisa membuat Dom bisa menerima penghianatan gadis itu.
Tapi semua memang kesalahannya. Dan kesalahannya adalah karena terlalu mencintai gadis itu sehingga melukai keluarganya sendiri. Itu adalah kesalahannya.
"Itu adalah kesalahanku, Lil. Karena aku terlalu termakan oleh perasaanku sendiri, aku melakukan kesalahan yang tidak termaafkan. Aku sudah membuatmu dikeluarkan oleh sekolah karena kau kini memiliki kakak dengan catatan kriminal, aku sudah membuat pa di keluarkan secara tidak terhormat dari pekerjaan yang sangat di sukai-nya. Dan aku... sudah membuat ma sedih, Lil" bisik Dom pelan.
"Jangan berkata seperti itu, Dom. Semua itu sudah terbayar, kau sudah membayarnya di balik jeruji selama tujuh tahun!"
"Tapi hal itu tidak membuat publik akan mengembalikan nama baikku, Lilya!" teriak Dom frustasi, ia menyisir rambutnya dengan sangat kasar. Ia tidak ingin membahasnya lagi, Dom tidak ingin terlihat seperti bajingan frustasi karena telah menghancurkan hidupnya sendiri
Sialan... Sialan...
Perlahan Lilya duduk kembali dan menatap Dom dengan pandangan sedih, "Dom, tidakkah kau berpikir kalau kami ingin semuanya kembali seperti semula?"
"..."
"Makan bersama, pa yang bercerita mengenai pekerjaannya, kau yang sering bercerita mengenai hubunganmu dengan Elena, dan Ma yang selalu mencoba resep barunya. Apa kita tidak bisa kembali lagi seperti dulu?"
Dom menelan saliva-nya dan ia mendesah kecewa, "maafkan aku Lilya, kau tahu kita tidak akan bisa kembali lagi. Tidak bisa..." bisiknya pelan,
Ia menunduk dengan sangat dalam, membiarkan seluruh tubuhnya bergetar. Dom bahkan bisa mendengar suara langkah kaki Lilya yang mendekat kearahnya, memeluknya dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut. "Aku sangat menyayangimu, Dom, dan kau selalu memiliki tempat di rumah. Kapanpun kau ingin pulang"
∞
Emily membuka pintu kamar Elena dan terpaku ketika mendengar isak tangis kakaknya dari dalam kamar. Ruangan itu gelap namun ia bisa melihat kakaknya berada di dalam selimut dan berusaha menangis dalam diam, walaupun gadis itu tidak bisa melakukannya dengan sangat baik.
Tangannya memegang sebuah surat kabar dan meremasnya perlahan. Namun pandangannya kosong, seakan pikirannya menerawang jauh.
Emily memasuki ruangan studio milik Elena dengan membawa bekal untuk Dom dan kakaknya. Dan langkahnya terhenti ketika melihat kakaknya yang berada di tengah-tengah studio luas, biasanya Elena akan melukis dengan wajah bertaburan cat namun kali ini alunan piano klasik terdengar di penjuru ruangan.
Dengan lagu yang mengalun, baik Dom maupun Elena tengah menari dengan wajah memancarkan cinta satu sama lain, tatapan mereka tidak terhenti hanya di situ. Dom membiarkan tangannya menempel pada punggung Elena yang hanya berbalut kemeja putih, sementara tangannya yang lain berkaitan satu sama lain.
Perlahan Emily bisa mendengar percakapan mereka dari daun pintu, "Ayolah, Dom, apa kau hanya akan berdiri dan menatapku seperti itu?" ejek Elena dengan senyum lebar dan mulai menarik lengan Dom kearahnya, membiarkan kepalanya berada di bahu pria itu
"Aku tidak tahu tarian dan kau yang paling tahu hal itu, El"
"Kalau begitu apa yang bisa kau lakukan? Seriously, Dom, apakah tidak ada satupun tarian yang kau tahu sama sekali?"
Dom tersenyum licik, tanpa Elena sadari pria itu mengangkat tangannya meluncur naik kearah tengkuknya, mendorong tubuh Elena kebelakang dengan lengannya menahan tubuh gadis itu agar tidak terjatuh. Ia menarik tengkuk halus itu agar menengadah kearahnya, membiarkan bibirnya meraup kehangatan bibir lembut itu, dan tersenyum kecil.
"Aku tahu satu tarian indah"
"Apa itu?" tanya Elena di sela-sela ciuman mereka.
Dengan satu gerakan cepat Dom mengangkat tubuh Elena dan seakan tahu apa yang diinginkan pria itu, Elena langsung mengaitkan kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu, sementara Dom mulai mengecup wajahnya, lehernya dan membuat beberapa tanda di sana.
Elena tersenyum lebar dan terkikik ketika pria itu melakukannya, "tarian apa ini, Dom?"
"Romantic dance that I ever know" jawab Dom cepat, tangannya menahan bokong Elena agar tidak jatuh sementara kakinya mengitari lantai studio itu dengan tubuh Elena berada di tubuhnya, ia tertawa sementara Elena melingkarkan kedua tangannya di sekeliling lehernya. "Ini termasuk satu tarian indah, bukan?"
Tanpa mereka sadari, dua kaleng cat penuh berwarna merah dan kuning yang berdiri berdampingan di atas tangga tengah studio tersebut yang biasa di gunakan oleh Elena. Dan ketika kaki jenjang Dom tanpa sadar menyenggol tangga tersebut, dua kaleng cat yang berdiri tegak di atasnya terjatuh dan membuat tubuh mereka tersiram dua cat tersebut dari atas kepala.
Bukannya berteriak kaget, baik Elena maupun Dom malah melanjutkan aktivitas tarian mereka dan tertawa lebar satu sama lain.
Sepuluh menit kemudian Dom merebahkan tubuh Elena di tengah ruangan, tangannya mengecup dada gadis itu yang tertutup cat berwarna merah dan membuat bekas cat itu memudar, membentuk bibir Dom. Sementara kedua tangan mereka saling berkaitan di sisi tubuh mereka, ciuman demi ciuman terjadi dan ini bukanlah ciuman penuh gairah seperti yang ingin di rasakan orang
Ini adalah ciuman lembut yang selalu di lakukan mereka.
Tangan Dom menelusuri paha jenjang Elena, membiarkan bekas jemarinya menghapus jejak cat yang menempel di kulit mereka, hingga hidung mereka saling bersentuhan satu sama lain. Dan dengan bersama mereka berkata, "aku mencintaimu..."
Mereka berdua tertawa, Elena mengangkat separuh tubuhnya dengan tangan masih melingkar di leher pria itu, ia terkekeh dan tersenyum lembut. Tangannya menelusuri rahang Dom dan matanya berkabut penuh cinta
"Berikan aku satu alasan untuk meninggalkanmu, Dom, karena aku tidak melihat satu alasan pun mengapa aku tidak bisa tidak mencintaimu"
Dom tersenyum, mengecup sekilas bibir Elena dan berbisik mesra, "hanya ada kita di dalam hidup ini, El, dan kita tidak membutuhkan alasan untuk tidak saling mencintai"
Emily menghentikan pikirannya yang mengingat masa lalu tentang kebahagiaan kakaknya, lalu ia menutup pintu kamar itu dengan perlahan, memutuskan untuk meninggalkan kakaknya seorang diri karena setidaknya hanya inilah salah satu hal yang bisa dilakukannya sekarang.
Dulu, kakaknya tidak seperti ini. Elena adalah tipe periang yang tidak akan bersedih hanya karena satu masalah kecil ataupun sesuatu yang simple. Ada banyak hal yang bisa membuatnya sedih namun kakaknya akan selalu tersenyum lebar seperti biasanya, seolah-olah masalah itu bukan masalah besar. Dan kakaknya adalah gadis yang selalu menyemangatinya.
Dan ini... ini bukanlah kakaknya, ini bukanlah Elena yang ia kenal. Ketika memikirkan hal itu Emily tanpa sadar menangis dalam diam, memangnya kenapa Elena bisa bersikap seperti ini? Ini semua adalah karena dirimu, Em
Ia bahkan bisa mengingat kata-kata yang sering diucapkan sepasang kekasih itu di masa lalu. Dan terus terngiang-ngiang di benaknya.
hanya ada kita di dalam hidup ini, dan kita tidak membutuhkan alasan untuk tidak saling mencintai. Dulu, itu adalah salah satu hal mengapa Emily menginginkan pria seperti Dom. Tidak... bukan berarti ia menginginkan Dom. Ia menginginkan dirinya menjadi pasangan seperti kakaknya.
Kebahagiaan kakaknya... adalah salah satu caranya untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Dan ia telah gagal melakukannya...
∞
Semua orang tahu siapa Dominick dan Elena, semua orang juga tahu bahwa mereka tidak berhubungan hanya untuk main-main. Semua orang juga tahu bagaimana hubungan mereka, karena hanya mereka yang bisa membuat separuh penghuni Texas iri dengan kebersamaan mereka.
Berjalan bersama, saling memeluk satu sama lain, memakan bekal mereka di Jonsson Color Garden tanpa memusingkan pasangan lainnya yang datang untuk meledek kebersamaan mereka. Bersama, hanya itu yang mereka inginkan saat itu...
Pernah di satu ketika mereka tidak membawa payung saat pulang dari kampus dan seseorang pria tua melewati mereka, menawarkan sebuah payung kepada mereka karena nampaknya dua pasangan itu terlalu asik menikmati hubungan mereka tanpa menyadari hujan yang tadinya rintik-rintik bergerak romantis diatas kulit mereka, perlahan berubah menjadi hujan kasar.
Pria tua itu tersenyum dan mengulurkan sebuah payung yang tidak terpakai kepada mereka berdua, dua pasangan itu menolak. Dan malah tersenyum saling menatap penuh cinta satu sama lain.
"Bukankah sebuah dosa kalau membiarkan hujan memamerkan kekayaan air-nya sendirian sementara kami berdua bisa menemani sang hujan?" ucap Elena saat itu.
Dominic tersenyum, menutupi kepala Elena dengan kemeja sementara ia memakai kaus oblong-nya. Lalu menatap gadis itu dengan tatapan yang sama, "sepertinya hanya aku yang khawatir kau akan jatuh cinta pada hujan daripada denganku, El"
"Aku sudah mencintaimu sebelum hujan, Dom"
"Ucapkan itu ketika kau bisa mengingat kapan tepatnya hari anniversary pertama kita, El"
Dan saat itu hanya hujan yang menjadi saksi salah satu moment kebahagiaan mereka. Ketika orang berkata, pasangan bodoh, mereka berdua hanya bereaksi seperti "aku bahagia menjadi bodoh bersamamu"
Ya, itu hanyalah salah satu moment bahagia mereka sebelum hujan berubah menjadi badai pada hari itu. Bukankah segalanya akan berubah menjadi indah kalau saat itu tidak akan pernah berubah menjadi saat ini?
∞
TBC | 25 Oktober 2016
Vomment?
-Nath-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top