8 | Wajendra

8 | Wajendra

Ally senang memulai pagi dengan langsung membuka pintu balkon kamar, merasakan hawa berkabut yang dingin. Ia memejamkan mata, merasakan keheningan memeluknya sebelum suara-suara alam terdengar menyemarakkan sekitarnya. Bagi Ally setiap bagian kehidupan itu memiliki bunyi, ia bahkan percaya ketika seorang filsuf mengatakan bahwa sunyi hanyalah bunyi yang bersembunyi.

Bunyi kehidupan pertama yang Ally sukai adalah suara semilir angin yang berlalu melewatinya, membawa wangi kesejukan pagi.

"Jadi, hari ini akan hujan," kata Ally pada keheningan.

Begitu suara lonceng jam tua di ruang tengah terdengar, Ally bersiap mendengar berbagai rutinitas kehidupan rumah ini dimulai. Suara tirai tersibak, derit pintu terbuka, suara percakapan pelayan di bawah balkonnya, suara tukang kebun mempersiapkan peralatan sampai ringikan kuda-kuda milik kakeknya yang terbangun.

Ally menunggu sampai telinganya mendengar suara piano, musik klasik. Butuh waktu sampai ia bisa mengenalinya, Debussy; Le Coin des enfants versi Alain Planès. Ally menikmati suara musik tersebut, menggerakkan kepala dan badannya mengikuti ritme yang cukup dinamis, sampai terdengar jeda sesaat, sentuhan tutsnya juga melambat. Ally tertawa dan bergegas keluar dari kamarnya, menuju ruang duduk tempat Willya sedang menghela napas di balik grand piano warna putih.

"Aku tahu, kurang cepat perpindahan tutsnya," kata Willya, menyadari kesalahannya.

"Bagian The Snow is Dancing lebih mudah mengikuti versi Michelangeli, gerakan jarinya lebih terlihat dibanding Alain."

Willya menggeleng, "Tidak ada yang mudah untuk lagu ini, ditambah jari-jariku semakin gemuk sekarang..."

Ally tertawa lagi, duduk di samping Willya, "Kita mainkan lagu klasik sejuta umat saja."

"Dia agak pemilih belakangan ini," kata Willya sembari mengelus perutnya sesaat.

"Dia akan menyukai lagu ini, seperti semua orang," kata Ally dan menekan tuts pertama.

Willya mengikutinya, tekanan demi tekanan yang ritmis, bergantian menghasilkan nada-nada yang sudah sangat familiar, Bagatelle in A minor atau yang lebih dikenal sebagai Für Elise karya Ludwig van Beethoven.

"Wow, kukira aku berada di Palais Garnier alih-alih rumah keluarga Wajendra."

Komentar itu terdengar, membuat Ally tertawa, ia yang lebih dulu beranjak dan memeluk lelaki tegap yang berdiri di pintu penghubung.

Ragil Ranoe meraup keponakannya dalam pelukan hangat, "Hello, peace keepers favoritku."

"Bagaimana Hawaii?" tanya Ally saat melepaskan diri.

"Panas," jawab Ragil sembari mengedipkan mata ke arah Willya.

"Aku dengar US Navy dan Nippon Kaigun cukup sengit dalam simulasi tempur."

Ragil mengangguk, "Mereka berusaha memastikan negara lain memahami betapa solid dan canggihnya peralatan terbarunya."

"Jadi, apakah itu meninggalkan kesan tertentu?" tanya Ally.

"Bahwa perdamaian dunia harus terus dijaga, yes." Ragil tersenyum kemudian beralih mendekati sang istri yang masih memenceti tuts piano.

"Aku tidak akan terkesan jika sekadar disebut agen biro intelijen favoritmu," komentar Willya saat Ragil merangkulnya.

Lelaki itu tertawa, "I'm home, My lady..."

Ally sengaja meninggalkan dua pasangan itu untuk bersiap dengan rutinitas paginya. Selesai mandi, Ally berpakaian sembari menyiapkan isi tas ranselnya, membaca ulang berkas-bekas yang dikumpulkannya tentang Dawlad Khabib dan baru turun ke lantai satu.

Keberadaan kepala pelayan di depan ruang makan membuat Ally menyadari bahwa kakeknya telah menunggu di dalam.

"Selamat pagi, Nona Ally," sapa Abdi, kepala pelayan keluarga Wajendra.

"Bagaimana suasana-" belum sempat Ally menyelesaikan kalimat pertanyaan terdengar suara berat menegur.

"Kamu tidak bisa begitu, Gil! Apa yang Willya mau langsung dipenuhi! Bahkan untuk hal-hal yang tidak masuk akal!"

"Semua itu demi menjamin keselamatan Ally, Pa."

"Soal Ally juga! Jika bukan kamu, siapa lagi yang akan didengarnya? Seharusnya kita memikirkan pendekatan dari Brahma Cakara, Ally sudah tiga puluh tahun! Sudah bukan masanya sibuk mengurus tawanan mana yang harus diselamatkan! Dia harus memikirkan dinasti kita, Wajendra tidak boleh kehilangan kekuasaan."

"Setelah misi ini selesai, Ragil akan bicara pada Ally."

Ally menghela napas, membiarkan Abdi membuka pintu ganda menuju ruang makan.

"Ally sudah ada di sini dan bisa diajak bicara, siapa Brahma Cakara?" tanya Ally begitu melangkahkan kaki.

Ragil menoleh, "Keluarga Menteri Pendidikan yang sedang sangat disorot saat ini, putranya cukup mendapatkan perhatian untuk mengukuhkan citra ayahnya sebagai calon presiden periode berikutnya. Namanya Ganendra Brahma Cakara, seorang jaksa."

Ally seketika teringat berita tentang seorang Asisten bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi yang belum lama ini memenangkan gugatan perdata atas kekayaan negara serta mengembalikannya. Sosok ini juga muncul dalam majalah yang kemarin Ally baca selama perjalanan pulang, dia mendapatkan rekomendasi sebagai kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

"Batalkan misimu dan fokuslah dengan Ganendra, dia lelaki potensial," kata Wirdja.

"Tidak mungkin membatalkan misi dan aku lebih suka memilih pasanganku sendiri," kata Ally sembari duduk di kursinya.

"Terlalu pemilih akan membuatmu kesulitan menemukan pasangan yang tepat," geram Wirdja.

"Aku percaya jodoh pasti bertemu," balas Ally.

"Karena itu temui Ganendra." Wirdja bersikeras.

"Jika ada seseorang yang harus berusaha untuk bisa menemui, itu dia, bukan aku... keluarganya yang akan memiliki kepentingan dengan keluarga ini."

"Ally..." Ragil berhati-hati mengingatkan keponakannya.

Ally tersenyum dan menatap kakeknya, "Dan satu hal yang akan kupastikan, bahkan jika aku menemukan pasanganku, menikah dengannya, aku tidak akan melepaskan pekerjaanku... melibatkanku sebagai pajangan politik tidak menjamin kekuasaan Wajendra berlangsung selamanya."

"Alicia Wajendra!" kali ini Wirdja yang berseru, urat-urat wajahnya menunjukkan kekesalan.

"Karena aku tidak ingin membuat siapapun kehilangan selera makan di pagi yang indah ini, aku akan langsung berangkat saja," kata Ally lalu berdiri, beranjak memeluk Ragil sekilas.

"Hati-hati ya," kata Ragil.

Ally tersenyum, "Bukankah Om Ragil yang harus berhati-hati, si perempuan adalah mantan perwira militer yang tangguh dan anjing gila yang bersamaku agak pemarah, aku tidak yakin bisa mengendalikannya dalam waktu dekat."

"Aku membersihkan jejakku dengan baik," kata Ragil.

"Anjing gila bisa mencium jejak yang bahkan sudah dipalsukan dengan jejak orang lain."

"Menurutmu begitu?" tanya Ragil, memperhatikan ekspresi tenang keponakannya.

Ally mengangguk, "Om Ragil harus tetap berhati-hati, bilang Tante Willya aku berangkat duluan," jawabnya lalu menatap kepada kepala keluarga yang tampak menahan diri. "Jaga kesehatan Kakek."

Wirdja Wajendra mengalihkan tatapan, mendengkus kesal. "Mood-ku buruk karena terbangun lebih pagi, suara musik tadi amat mengganggu."

"Mood Kakek selalu buruk, seharusnya tadi aku dan Tante memainkan Jalesveva Jayamahe versi marching band, sepupu mahalku akan sangat bersemangat," kata Ally sebelum beranjak ke pintu.

Ragil berusaha menahan tawa, Jalesveva Jayamahe adalah mars angkatan laut dan versi marching band dijamin mampu membangunkan satu kompi pasukan, bukan jenis lagu yang sesuai untuk kakek tua yang butuh ketenangan pagi hari.

"Anak kurang ajar, itu adalah akibat kalian selalu memanjakannya!" geram Wirdja.

"Papa juga memanjakan, kudengar Papa menekan Langit Dirgantara habis-habisan untuk menjamin keselamatan Ally," kata Ragil sembari mempersilakan pelayan menghidangkan sarapan.

"Aku tidak memanjakan, aku melindunginya," tegas Wirdja.

"Sebagai bagian keluarga, atau asset politik yang berharga?" tanya Ragil.

Ayah mertuanya membisu, justru beralih bicara pada kepala pelayan agar menghidangkan secangkir susu teh saja untuk sarapan.

Ragil sudah mengenal keluarga ini hampir seumur hidupnya, bahkan sebelum menikahi Willya dia sudah sering mendampingi ayahnya menemui Wirdja. Ayah mertuanya ini masih merupakan sosok ambisius yang sama, yang justru menggunakan kematian putra kebanggaannya untuk menekan habis posisi lawan politiknya. Bukan tanpa alasan mengapa Ally akhirnya membuat berbagai perlawanan terhadap aturan tuan rumah ini. Ally selalu menegaskan bahwa dia bukan bagian dari dinasti politik yang menjadi hidup seorang Wirdja Wajendra.

[ to be continued . . . ]

hello...
Kalau kalian berpikir slow update banget ini cerita, jadi itu memang benar, karena banyak banget astaga risetnya, wakakakaka dan sumpah aku belum nemu formula romance yang cocok untuk hero dan heroinenya, kzl kzl kzl :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top