7 | Alicia yang hidup
7 | Alicia yang hidup
"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Langit begitu Renato keluar dari ruang makan.
Renato pikir lelaki tua itu sudah pergi meninggalkannya, ia tidak merasa masih butuh bicara lagi dengannya.
"Tentang Ally maksudku," kata Langit memperjelas pertanyaannya.
"Cerewet," jawab Renato singkat.
Langit berjalan lebih dulu, bergerak menuju pintu geser dan ketika dibuka terdapat area yang jelas digunakan untuk latihan fisik. Ada area dengan sasaran tembak, itu membuat tatapan Renato beralih ke koper khusus senjata yang disiapkan di sebuah meja. Inisial MR tercetak di bagian atas koper berukuran sedang tersebut.
"Senjatamu, seperti yang kau inginkan..." kata Langit, beberapa menit lalu anak buahnya mengirimkan itu.
Renato segera mendekati koper, memeriksanya sebelum menyapukan jari ke bagian pegangan, terdengar bunyi klik pelan dan koper tersebut bisa dibuka.
"Bagus juga koleksimu," komentar Langit, berdiri di samping Renato, ikut mengamati.
Renato tidak menanggapi, dia memeriksa; setiap senjata, setiap peredam dan jenis peluru yang disertakan. Setelah memastikan semuanya sesuai, Renato mengambil satu jenis yang paling ringan, merangkainya dan sekalian memasang peredam. Ketika langsung menodongkan senjata itu, Langit Dirgantara tidak lantas berkelit atau menghindarinya, justru perlahan berbalik dan memandang Renato tepat di manik mata.
"Aku yakin kau menunggu saat-saat ini, bukan begitu?" tanya Langit.
"Kau pikir aku tidak berani menarik pelatuknya?" tanya balik Renato.
"Kau tidak akan menariknya, karena perjanjiannya adalah ketika kembali dari Hasnaba itulah kesempatanmu membunuhku."
"Aku bukan jenis yang menepati janji."
"Go ahead, then..."
Renato memandang sepasang mata yang bergeming menatapnya, sama sekali tidak ada keraguan dalam tatapan mata itu. Renato menarik pelocok senjata, menyiapkan peluru agar siap ditembakkan. Terdengar bunyi yang khas saat semua itu dilakukan, namun tatapan lelaki di hadapan Renato ini tidak berubah.
Sial!
Renato begitu saja mengalihkan tangannya, menembak ke sasaran yang terdapat di dinding ruangan, dua tembakan beruntun yang langsung melubangi sasaran tersebut.
Langit tersenyum, menoleh dan mendapati tembakan Renato mengenai bagian tengah sasaran, di bagian gambar kepala target. Sudah dipastikan Renato tidak kehilangan kemampuan menembaknya hanya karena dipenjara selama enam tahun terakhir.
"Peredam yang bagus, Ally benci suara senjata," kata Langit sembari beralih, menutup pintu lalu mematikan lampu. Kegelapan pekat hampir membuat Renato terkesiap, dia tidak bisa melihat kedua tangan dan bahkan senjata yang digenggamnya.
"Ally selalu punya cara negosiasi sendiri, dan apapun hasil negosiasi itu kau harus tetap mengeluarkannya dari Hasnaba... dia akan bicara atas nama UN, identitasmu akan disesuaikan dengannya... sebisa mungkin jangan biarkan mereka tahu siapa Ally yang sebenarnya."
Kalimat itu membuat Renato merasa ada hal yang janggal.
Langit seperti menyadari kecurigaan Renato dan melanjutkan maksud kalimatnya, "Dia seperti Freya, tapi pengaruhnya bukan pada harga saham."
Freya, istri Dean, memang salah satu pewaris perusahaan paling profit di Indonesia, keberadaannya bisa menjadi jaminan stabilitas perusahaan dan jika sesuatu terjadi padanya, dapat dipastikan guncangan besar akan menerpa sektor perekonomian nasional.
"Kakeknya sangat berpengaruh dalam pemerintahan kita sekarang. Willya, wanita hamil tadi adalah tantenya dan jika terjadi sesuatu pada Ally, dia yang akan membuat keputusan terkait Dean, bisa jadi... dia tidak akan membiarkan Dean kembali."
Renato baru akan menoleh ke sumber suara saat tiba-tiba terlihat nyala proyektor dan dinding putih menayangkan profil perempuan yang belum lama duduk berhadapan dengan Renato. Rara Alicia Wajendra, di bawahnya terdapat informasi tentang riwayat pendidikan, juga misi negosiasi besar yang disukseskannya, dan terakhir tercantum nama-nama orang yang jelas cukup punya pengaruh dalam pemerintahan terhubung dengan perempuan itu.
"Ally tidak bisa bela diri atau menggunakan senjata, tapi isi kepalanya cukup berbahaya... tiga dari lima negosiasi selesai dengan mulus karena dia menjual identitas dan rahasia yang paling ingin diketahui lawan bicaranya."
Renato menyipitkan mata, "Dia bekerja untuk UN bukan?"
"Ya, dan dia mendengar banyak hal berkat pekerjaan itu, bukan tidak mungkin dia sudah mulai mencari tahu tentangmu... dia bagus dalam mempelajari manusia."
"Dia tahu caranya menakar obat," kata Renato mendapati keringat dingin membasahi telapak tangannya.
"Dia bisa melakukannya dengan mata tertutup... ah, kau harus mewaspadai itu juga, bukan tidak mungkin dia akan mencoba obat lain."
"Kau tahu rencananya tadi?"
"Aku yang memberinya sebotol Dumolid."
Renato langsung memaki mendengarnya, terutama ketika Langit Dirgantara justru tertawa-tawa, lelaki tua itu jelas tidak takut terhadap apapun. Kenyataan bahwa Renato masih memegang senjata juga tidak membuat Langit lebih berhati-hati dalam bicara.
"Melihat Ally seperti melihat Freya, dalam versi yang lebih antusias... menyenangkan melihatnya penasaran terhadapmu." Langit kemudian menoleh, mendapati Renato sudah tidak lagi mendongak pada layar proyektor yang menampilkan informasi tentang Ally.
"Jika kau punya rasa penasaran juga terhadapnya, aku bisa memberitahumu beberapa hal," kata Langit, meski sebenarnya menyadari bahwa selain fakta bahwa Ally adalah penerima donor dari mendiang sang istri, tidak ada hal lain yang membuat Renato tertarik.
"Dia bilang, dia bukan orang yang takut mati," kata Renato.
"Karena dia sudah pernah mati."
Renato menoleh Langit, menunggu penjelasan lebih lanjut. Langit mengendik ke layar proyektor, kali ini terdapat berita kecelakaan yang terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Keluarga calon presiden terpilih mengalami kecelakaan, Ally adalah satu-satunya korban yang selamat, meski mengalami koma selama dua bulan sebelum kembali sadar dalam keadaan buta.
"Lebih dari dua dekade yang lalu, seharusnya ayah Ally menghadiri acara pelantikan, tapi nahas terjadi kecelakaan beruntun, calon pemimpin sekaligus ibu negara meninggal di tempat... Ally satu-satunya yang selamat."
Gambar yang tampil di layar proyektor berupa foto keluarga dalam format hitam-putih, Ally masih berupa gadis manis bergaun lebar dalam gambar itu. Ayahnya tampak bersahaja, ibunya juga terlihat menawan dengan setelan formalnya.
"Ketika tersadar dari koma, ketika mengetahui apa yang terjadi, hal yang berikutnya dia minta adalah bicara pada orang-orang yang terhubung dengan keluarganya... dia bisa mengidentifikasi kaki tangan yang menyebabkan kecelakaan itu, dia saksi termuda yang pernah dihadirkan dalam persidangan dan memastikan tiga dari lima orang yang bertanggung jawab menerima hukuman setimpal," cerita Langit sebelum kemudian berdecak-decak, memandangi foto Ally yang begitu muda berada di tengah persidangan yang serius.
"Dan dua yang lainnya?" tanya Renato.
"Dihabisi kakeknya," jawab Langit dengan santai dan layar berganti dengan sosok lelaki yang sepertinya sudah berusia satu abad, seluruh rambutnya memutih, postur tubuhnya kurus, pipinya cekung meski seluruh kerutan tidak sedikitpun memudarkan raut serius dari wajahnya. "Wirdja Wajendra, saat ini dia mungkin sudah mendekati akhir hidupnya, tapi pengaruhnya masih terasa di setiap lini pemerintahan, terutama di bidang pertahanan negara... saat aku masih bertugas, dia salah satu yang harus ikut dilindungi selain presiden."
"Menarik," gumam Renato, ia sudah banyak melihat orang berpengaruh di dunia, tapi belum pernah mengenali yang seperti Wirdja Wajendra ini.
"Dan orang ini, yang akan memburumu jika membuat Ally terluka."
Layar berganti menampilkan sosok lelaki tegap yang memeluk Willya dari belakang, di beberapa gambar lelaki itu tampak mengusap kepala Ally atau membungkuk untuk bicara pada Ally yang masih kecil.
"Ragil Ranoe, suami Willya, dia seorang komandan taktik sekaligus kapten kapal penghancur The Oswald... kapal itu memiliki jenis rudal yang mampu menenggelamkan pulau pribadimu."
"Komandan taktik." Renato mengulang itu.
"Itulah sebabnya identitas Ally tidak boleh bocor, dia jauh lebih berharga dibanding seluruh sandera yang sekarang dimiliki Dawlad... Ragil menganggap Ally seperti putrinya sendiri, dan dengan kehilangan besar yang sudah pernah dialami Wirdja Wajendra, bukan tidak mungkin mereka akan memberikan segalanya untuk menyelamatkan Ally."
"Itu sebabnya, informasi selanjutnya terkait Dean diberikan pada perempuan itu."
Langit mengangguk, "Willya hanya mempercayai Ally."
"Semua yang di ruangan ini boleh kugunakan?" tanya Renato sembari beralih kembali ke koper senjatanya, memeriksa senjata yang lain.
"Tentu, tapi jangan bermain terlalu larut, besok harus bangun pagi untuk bertemu tim back up yang akan menyelamatkan sandera, kalian bisa latihan sebentar."
Renato tidak menanggapi dan justru beralih memeriksa bagian samping koper, mengeluarkan sebuah belati dari sana, memastikan ketajamannya dengan tiba-tiba melemparnya ke arah layar proyektor. Membelah potret Ally yang ditampilkan menjadi dua bagian.
"Kemarahanmu dapat dimengerti," kata Langit begitu saja, dan sebelum beranjak keluar ruangan ia menambahkan. "Tapi kau tetap harus mencoba menyebut namanya, toh Alicia yang hidup ini dipanggil Ally, bukannya Alice."
"Enyahlah dari tempat ini sebelum aku benar-benar menembak kepalamu, Pak Tua." Renato memperingatkan tanpa menoleh, tangannya sudah kembali menyentuh senjata.
Tidak ada tanggapan atau suara apapun yang terdengar, namun perbedaan hawa di belakang punggungnya membuat Renato sadar bahwa ia sudah ditinggalkan sendiri.
[ to be continued . . . ]
--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top