44 | Stay

44 | Stay

Hawa dingin karena embusan angin yang masuk dari pintu balkon membuat Ally terbangun lebih cepat. Renato tidak kembali, ia tidak perlu memeriksa untuk memastikan.

"Padahal jika ada satu cara yang ingin kulakukan untuk keluar dari rumah ini, itu dengan Renato menculikku... pasti menegangkan," kata Ally sebelum berguling, kembali telentang dan tertawa.

Karena hingga semalam ia tidak diberi makan, seharusnya pagi ini salah satu pengawal atau kepala pelayannya menyiapkan itu. Ally sudah cukup hafal dengan pola penyekapan sang kakek, meski di beberapa kejadian penyekapan itu berakhir tragis.

Ally bangun untuk mencuci wajah dan menggosok gigi. Karena Renato tidak kembali, itu berarti ia harus keluar dari rumah dengan caranya sendiri. Ally harus mempersiapkan diri, secermat mungkin.

Sebelum berganti baju, Ally lebih dulu berjingkat dan memeriksa ranselnya, memastikan isinya sesuai kebutuhan lalu menambahkan ponsel dan dua setel pakaian.

Ally baru akan melepas gaun tidurnya saat mendengar suara derak dan gebrakan keras dari luar pintu. Ia beralih mengenakan sepatu dan menggendong tas ranselnya. Pintu yang terbuka memunculkan sosok Renato bersama dua pengawal yang tampak kehilangan kesadaran.

"Wah, selamat pagi," sapa Ally dengan senyum lebar.

"Seharusnya kau cukup berharga sebagai jaminan bagi tua bangka itu."

"Tidak ada yang cukup berharga bagi Kakekku selain kekuasaannya, tapi tidak ada ruginya juga membawaku pergi dari sini, aku ada di pihakmu."

"Kau jelas merencanakan sesuatu." Renato menyadari ransel yang Ally bawa.

"Aku merencanakan banyak hal." Ally mengakui sembari mendekat dan ketika sampai di hadapan Renato, ia mengedipkan mata, "Semuanya, demi mendapatkanmu."

"Tidurlah lebih lama, tukang omong," kata Renato, tanpa ragu memukul bagian leher Ally dan seketika merobohkan perempuan itu ke pelukannya.

***

"Nate kembali," kata Dean begitu mobilnya memasuki halaman rumah, mobil yang dibawa Renato terparkir tidak jauh darinya.

"Menyebalkan," gerutu Freya.

Dean tertawa, mencondongkan kepala untuk mencium kening Freya yang sedang melepas seatbelt, "Jangan bertengkar, oke?"

"Sogokanmu hanya sejauh itu? Aku tidak jan... mmm." Freya memiringkan kepalanya karena ciuman Dean berpindah ke bibirnya. Dia balas mencium, menahan leher Dean sampai merasa cukup puas dan mau menjauhkan wajah untuk mangambil napas. "Dua kali lagi dan aku janji, bahkan tidak akan berteriak padanya."

Dean tertawa, ia baru akan kembali mencium saat tatapannya teralihkan oleh sosok yang ada di kursi penumpang belakang mobil Renato. "Astaga, Freya, ada orang... is she dead?"

"Hah? Siapa?" Freya ikut memperhatikan dan bergegas keluar dari mobil, mendekati mobil di sampingnya, menepuk-nepuk kaca penumpang belakang. Tidak ada respon dari penghuni kursi belakang mobil itu. "Dean, cepatlah."

Dean mendekat, menyapukan jemarinya ke handel mobil, menunggu selama beberapa detik sampai pintu depan terbuka. Hawa pengap terasa sebelum sesaat kemudian ia menurunkan kaca penumpang belakang dan seketika udara berganti. Freya membuka pintu belakang, langsung mengulurkan tangan, memeriksa bagian leher dan memastikan ada jejak napas.

"Nyaris saja, tipis sekali napasnya," kata Freya.

"Nate meninggalkannya di sini?" tanya Dean, tidak dapat mengerti maksud kakaknya. Ia memperhatikan wajah pucat, bibir yang masih memutih milik Alicia Wajendra.

"Ada oxycan di tas perlengkapan," kata Freya membuat Dean beralih mengambilkan tas yang biasa ia siapkan ketika berpergian.

Dean membuka tas tersebut menemukan tabung yang dicari dan menyerahkan pada Freya untuk digunakan.

Beberapa menit setelah merasakan embusan dingin oksigen memasuki aliran napasnya, Ally membuka mata, dengan lemah memperhatikan Dean dan Freya bergantian. "Kakakmu sungguh seorang keparat, Dean," ucapnya lirih.

Freya mengangguk, "Terima kasih atas informasinya tapi kami mengetahui itu lebih dari siapapun."

Dean geleng kepala sebelum melepas jaketnya dan menutupi bagian depan tubuh Ally, bagaimanapun perempuan itu hanya mengenakan gaun tidur.

"Kau beruntung," sebut Ally sembari melirik Freya.

"Dan aku berniat mempertahankan keberuntunganku selamanya, jangan coba-coba beralih sasaran, aku bisa lebih gila dari Renato Aldern." Freya memastikan Ally memahami maksud perkataannya.

Ally mengulas tawa tanpa suara sebelum kemudian menarik napas panjang dan menjauhkan kepala dari oxycan.

"Nate meninggalkanmu di sini?" tanya Dean.

"Aku tidak sadar sampai..." Ally memperhatikan sekitarnya, "Ah, itu, dia kembali."

Dean langsung menoleh, mendapati kakak kembarnya berjalan mendekat. Ada sebuah tas ransel di bahu Renato, ransel khusus senjata yang merupakan milik Freya.

"Wah sial, dia pasti menggasak seluruh simpanan senjataku," kata Freya sembari beralih berdiri di samping Dean.

"Nate, berbahaya meninggalkan orang di dalam mobil yang tertutup rapat." Dean langsung menegur.

"Kau tidak perlu mempedulikannya."

"Mobil itu terdaftar sebagai milik Dean, dumbass... jika ada orang mati di dalamnya, Dean yang akan kerepotan dimintai keterangan." Freya memberi tahu dengan kesal.

"Haruskah aku bertukar dengan mobilmu? Agar kau saja yang kerepotan?" tanya Renato sembari mengulurkan kunci mobil Dean.

"Fuck off!" maki Freya.

"Freya," sebut Dean, mengingatkan.

"Kalian bertiga terlihat seperti keluarga bahagia," kata Ally dan setelah memastikan cukup kuat, memilih melangkah keluar mobil.

"Get in the car," kata Renato langsung maju dan  mendesak Ally ke pinggir pintu mobil.

Ally menggeleng, "Setelah hampir mati di sana, aku tidak ingin kembali memasukinya dan rumah ini sempurna untuk dijadikan tempat persembunyian."

"Ini rumahku dan Dean." Freya memberi tahu.

"Aku yakin suamimu tidak keberatan," kata Ally dan menoleh Dean, "Bukan begitu?"

"Eh, yah, Nate bisa tinggal kapan saja," kata Dean lalu mengangguk. Renato dan Freya berdecak bersamaan.

Ally tersenyum. "Kami tidak akan lama, begitu Om Ragil mengendus tempat ini, kami akan pergi."

"Kita akan pergi sekarang juga," kata Renato.

"Hati-hati di jalan dan jangan kembali lagi," kata Freya dengan semangat.

"Freya..." panggil Dean lalu beranjak menahan bahu Renato. "Tinggallah sementara, kita bicarakan bersama dan memikirkan bagaimana cara menyelesaikannya."

"Aku bisa memikirkan semua itu sendiri."

Dean mengambil kunci mobil dari tangan Renato, "Kalau begitu, kita pergi bersama."

"Wah, ini akan seru," kata Ally.

Freya menghela napas panjang lalu meraih lengan Ally, menariknya ke arah rumah. Renato bergegas menahan lengan yang satunya.

"Lepas!" kata Renato.

"Aku tidak akan membiarkan Dean pergi bersamamu." Freya bertekad.

"Seharusnya dia yang kau tahan!"

"Seharusnya kau tidak kembali ke rumah ini!"

Dean menghela napas panjang mendapati kakak kembar dan istrinya saling pandang dengan tatapan tajam, juga raut permusuhan yang begitu ketara.

Ally mengangguk, menoleh bergantian pada dua orang yang masih menahan lengannya, "Aku lumayan memahami rasanya menjadi dirimu, Dean."

"Jangan sok akrab!" tegur Renato dan Freya bersamaan.

"Pilihannya tinggal di rumah ini atau aku ikut kalian pergi," kata Dean lalu bersedekap menunggu.

"Aku memilih tinggal," cetus Ally.

"Aku akan membunuhmu jika bicara omong kosong!" balas Renato menarik lengan Ally dengan kasar sampai Freya mengerti jika tidak melepas pegangannya itu dapat melukai.

"Nate, jangan seperti itu," tegur Dean karena bisa dibilang kakaknya menyeret Ally ke pintu rumah. Renato bahkan tidak peduli bahwa Ally berusaha menutupi diri karena gaun tidurnya tertarik.

"Kamu juga jangan seperti itu," kata Freya pada Dean, ia memberi tatapan serius. "Membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah bukanlah tindakan bijak, dan jika perempuan itu benar-benar mencoba mempengaruhimu untuk melakukan tindakan bodoh... aku akan membantu Nate membereskan mayatnya."

To be continued . . .

terjal juga jalannya Ally untuk bisa dapat dukungan Freya, pffttt

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top