4 | Pengawal khusus
4 | Pengawal khusus
Ally tersenyum melihat siapa yang menunggunya di landasan ketika turun dari pesawat. Willya balas tersenyum, menyambut keponakannya yang bergegas menuruni tangga pesawat dan berhati-hati saat memeluknya.
"I miss you," ucap Ally.
"Tante juga kangen," balas Willya, mengurai pelukan untuk mencium kedua pipi Ally.
Ciumannya dibalas elusan lembut ke bagian perut yang membuncit. Willya tersenyum, meski baru berusia delapan belas minggu tapi lekuk perutnya sudah tidak bisa disembunyikan lagi dengan baju longgar.
"Apa kabar sepupu mahalku?" tanya Ally sebelum menunduk dan mencium-cium.
Kali ini Willya tertawa, usianya sudah empat puluh tahun saat mendapatkan karunia, sebuah kehidupan baru yang dihadirkan Tuhan dalam rahimnya. Disebut mahal karena Willya telah dua kali berusaha dengan metode bayi tabung, menantikan selama sebelas tahun pernikahan.
"Kangen Papanya dia," jawab Willya, mengingat sang suami baru bisa kembali besok lusa setelah tiga hari mengikuti kompetisi simulasi perang maritim di Hawaii.
"Manja banget," kata Ally meski kembali mengelus dengan sayang.
"Dia boleh manja, asal tetap sehat," kata Willya.
Ally mengangguk dan menegakkan tubuhnya, "Kita langsung ke Biro?"
"Kita akan memberi salam dulu pada Kakekmu."
"Sebaiknya kita menunggu Om Ragil, supaya terlihat kompak."
"Sudah dua bulan sejak terakhir kita makan siang bersama."
"Menunggu dua hari tidak akan membuatnya semakin merindukan."
Willya menghela napas, Ally selalu bisa menego situasi semacam ini. Tentu saja, Ally bisa menegosiasikan banyak hal dalam hidupnya. Menego urusan keluarga adalah hal yang sangat sepele.
Willya mengeluarkan berkas dari dalam tasnya, mengulurkannya pada Ally.
"Ini berkas permulaan situasinya, detail lengkap akan disampaikan setelah kita sampai Biro dan pengawal khususmu bergabung."
Ally menerima berkasnya sembari mengerutkan kening, "Pengawal khusus?"
"Ya, situasi ini tidak sesederhana menangani pengungsi yang memberontak karena tidak mendapatkan jatah air atau tenda yang layak, mereka menghendaki perbekalan, ketersediaan bahan bakar sampai senjata."
"Mereka menyusun sesuatu."
Willya mengangguk, "Kemungkinan pemberontakan."
Ally melangkah bersama Willya menuju mobil sedan yang siaga, mereka memasukinya.
"Soal pengawal khusus? Tante yakin aku membutuhkannya? Aku bisa minta orang UN mendampingiku."
"Ya, ini hal yang tidak bisa ditawar, keselamatanmu harus diutamakan."
"Keselamatan para sandera yang harus diutamakan, karena itu aku ditugaskan dalam misi ini." Ally membaca bagian pertama dari berkas di pangkuannya.
Willya mengamati raut wajah keponakannya berubah serius, tatapannya juga fokus ketika menelusuri setiap informasi yang tertuang di dalam berkas. Ally memang tidak pernah butuh banyak waktu untuk mempelajari situasi darurat, daya ingat dan intuisinya tajam. Selama setahun terakhir sudah lima kasus negosiasi yang diselesaikan dengan baik. Dua diantaranya adalah kasus perebutan wilayah yang cukup sengit, dua suku bertikai dan Ally mengatasinya dalam dua jam negosiasi.
Willya mengalihkan pandangan ketika mobil sudah bergabung dengan lalu lintas padat ibu kota. Ia akan memberi Ally waktu untuk mengolah semua informasi dalam berkas tersebut.
***
Renato Aldern mencoba tidak memaki ketika tiba-tiba terasa ledakan kecil, menghancurkan ban belakang kendaraan, membuat seluruh isinya berguncang, pengemudi tampak kesulitan menahan laju yang tidak beraturan. Dua orang sipir yang menjaga langsung siaga mengarahkan senjata. Renato menghitung hingga detik kelima, langsung bergerak cepat, menendang sipir terdekat, membuatnya terkapar seketika. Tembakan pertama dilepaskan, Renato menghindar lalu kembali menendang. Bunyi tembakan itu jelas suatu kode karena kemudian supir memilih membuka pintu dan melompat ke jalan.
"Bodoh!" omel Renato, sebelum meninju wajah sipir yang kembali menyerangnya.
Suara hidung patah terdengar sebelum tubuh ambruk. Renato berjalan melangkahinya, mencoba menyeimbangkan diri dan segera meraih setir untuk mengendalikan kendaraan yang kehilangan arah. Terdengar suara sirine, lalu komunikasi radio meneriakkan situasi darurat. Renato menarik tuas rem, mencari senjata dari dalam dasbor, tersisa tiga peluru. Renato melakukan tembakan pertama untuk memutus rantai kakinya, tembakan kedua untuk membebaskan tangan kirinya. Renato menyimpan senjata itu ke balik baju sebelum melompat turun dari kendaraan.
Sepanjang Renato memperhatikan, jalanan ini masih sangat sepi, di sebelah kanan dan kirinya merupakan hutan dengan kerimbunan yang cukup pekat, jangankan mobil warna merah, satu-satunya yang terlihat hanyalah deretan mobil patroli polisi yang mulai membuat blokade.
"Keparat!" maki Renato, berharap bisa meneriakkan itu di telinga Langit Dirgantara.
Menghindari sensor yang langsung diarahkan kepadanya, Renato berlari memasuki hutan di sisi kanan jalan. Tidak lama terdengar suara geraman, anjing pelacak dilepaskan untuk mengejarnya. Renato tetap fokus pada kecepatan berlarinya, memastikan ia tetap tertutupi ketika dua anjing mulai mendekati posisinya. Ketika anjing pertama mendekat, dengan gerakan cepat Renato meraih bagian leher anjing tersebut, melilitkan sisa rantainya hingga ke bagian moncong, menariknya kuat hingga dalam beberapa detik si anjing melemah. Anjing berikutnya segera menyadari hal yang tidak beres, tapi sebelum ia menyalak, Renato sudah menembaknya.
Terdengar suara langkah-langkah mendekat dan Renato mulai melemaskan jari-jari, membuat kepalan sempurna sebelum kembali mengatur posisi. Orang pertama menyerang, Renato sedetik lebih cepat, menjatuhkan senjatanya sebelum kembali mematahkan hidung. Setelah tubuh lawan terjatuh, Renato berguling, mengambil alih senjata yang ada, menyadari peluru terisi penuh dan ia tersenyum.
Waktunya pemanasan.
***
Lobi utama, Biro Intelijen Negara.
"Dia jelas tidak lolos," komentar Yosafat.
Langit Dirgatara bersedekap dengan tenang di tempat duduknya. Sebuah mobil sedan berhenti, Willya dan Ally keluar dari sana, segera memasuki pintu ganda yang dibuka petugas.
Ally langsung mengangkat tangan, menghormat ketika bersitatap dengan Langit, perempuan tiga puluh tahun itu mengulas senyum. Langit membalas dengan sikap hormat dan senyum yang sama.
"Perjalanan panjang tidak membuatmu lelah?" sapanya ketika Ally mendekat.
"Aku tidur dengan pulas," jawab Ally lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan Langit, sementara Willya berlalu bersama Yosafat, mereka mendahului pergi ke ruang rapat.
Ally memperhatikan Langit yang tetap bertahan pada posisi duduknya, tanpa ragu ia bertanya, "Kita masih menunggu seseorang?"
"Ya, orang yang akan bertugas mengawalmu."
"Aku benar-benar membutuhkannya?"
Langit mengangguk, "Ya, Willya memaksa tentang ini."
"Aku yakin, aku bisa mengatasi negosiasi ini."
"Kau menangani negosiasinya, dan orang ini menjamin keselamatanmu."
"Siapa orang ini?" tanya Ally sebelum kemudian terdengar suara derum mobil memasuki halaman, saat mobil tersebut berhenti, decit remnya membuat Ally harus memejamkan mata.
"Dia datang," jawab Langit kemudian bangkit dari duduknya.
Ally membuka mata, menatap sosok yang keluar dari mobil polisi, bukan lelaki berseragam seperti yang seharusnya, namun lelaki itu mengenakan baju tahanan, angka delapan tujuh sembilan satu tercetak di bagian dadanya. Bahkan masih ada sisa borgol melingkar di pergelangan tangan lelaki itu.
Itukah pengawal khusus yang ditugaskan bersamanya? Ally bertanya-tanya.
Lelaki itu melangkah tenang ke arah Langit, pandangannya lurus, sebelum tiba-tiba sudah menyasarkan sebuah tinju, disertai umpatan, "Keparat!"
Langit menghindar, melayangkan tamparan yang tampaknya pelan namun bisa langsung membuat wajah lelaki itu berpaling, bersitatap dengan Ally.
"Tunjukkan sopan santunmu, Nate."
Ally begitu saja berdiri dari duduknya, entah bagaimana, meski ia menatap sosok yang begitu asing, ia seperti mengenali nama itu. Nate...
| to be continued . . . |
jangan ada espektasi cinta pada pandangan pertama, jangan yha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top