34 | Twins

34 | Twins

"Ketat sekali," komentar Ally, hal itu merujuk pada orang-orang yang jelas berjaga, mengawasi setiap langkahnya dan Renato menuju ruang tunggu yang disiapkan untuk proses pertukaran. "Kau diawasi oleh dua penembak jarak jauh, Nate."

Menilik ketenangan Renato, Ally yakin lelaki itu pernah menghadapi situasi yang lebih buruk. Bukan hal yang tidak mungkin, mengingat sepak terjang Renato yang meresahkan di berbagai belahan dunia.

"Siapa musuh terberatmu sejauh ini?" tanya Ally iseng.

"Tidak ada."

"Pasti ada, karena itu kau memilih berada di penjara dibanding dunia luar yang menegangkan ini."

Renato berbelok ke koridor yang dijaga dua petugas keamanan, orang militer yang menyamar, salah satunya membuat laporan begitu Renato dan Ally melewatinya.

"Aku agak gugup, apa yang akan kau lakukan jika Dean tidak terlihat di ruang tunggu nanti?" tanya Ally, ruangan yang mereka tuju tinggal beberapa langkah lagi.

"Aku berharap liang lahatmu sudah siap."

"Meski aku sudah lumayan terbiasa dengan cekikanmu, itu tetaplah cara mati yang menyakitkan... bagaimana dengan berciuman saja? Menciumku sampai kehabisan napas? Aku rasa itu jenis kematian yang aku inginkan."

Renato melirik Ally, "Kau sedang menegosiasikan metode pembunuhanmu sendiri?"

"Aku rasa itu memungkinkan, apa kau tertarik? Berciuman dan membuatku kehabisan napas?" tanya Ally, ekspresi wajahnya penuh harap.

"Tidak."

"Sial, tapi kau tentunya tahu bahwa aku juga tidak mudah menyerah..." Ally tersenyum mendapati Renato kembali memandangnya dengan waspada. "Salah satu keponakanmu, yang punya warna mata kebiruan, dia kompetitif sekali ya."

Renato sempat hampir berhenti melangkah, namun Ally sudah lebih dulu mendorong pintu ganda, membukanya. Tampak jelas Ally menghela napas lega karena tidak mendapati Willya menunggu bersama Langit Dirgantara.

Ragil Ranoe langsung memasang wajah serius melihat Ally berjalan masuk bersama Renato. "Ally," panggilnya.

"Don't move," kata Renato sembari menahan Ally tetap dekat dengannya.

Ally berhenti berjalan, melalui tatapan mata meyakinkan Ragil bahwa dirinya baik-baik saja. Ally beralih memandang Langit Dirgantara, "Dia belum datang? Wah, aku rasa dia tidak terlalu merindukan Opa Langitnya."

"Apa maksudnya itu?" tanya Langit, raut wajahnya berubah gugup dan saling pandang dengan Renato.

"Anak-anak efektif untuk mencegah penggunaan senjata, aku suka suasana pertukaran yang damai," kata Ally, memberi senyum misterius ketika menoleh Renato.

"Jangan bilang..." Langit tidak meneruskan kalimatnya karena pintu ganda kembali terbuka, "Lingga."

"Opa Langit!" Anak itu berseru semangat, napasnya agak terengah namun jelas kesenangan.

Ally dengan senyum mempelajari perubahan ekspresi di wajah Renato. Ini mungkin kali pertama lelaki itu melihat keponakannya secara langsung.

Dengan sengaja Ally menghadang bocah semangat itu, membuatnya berhenti melangkah dan mendongak penasaran karena dihalangi "Eits, lihat siapa yang ada di sini selain Opa Langit..."

Langit Dirgantara membuat gerakan sederhana yang seketika menghilangkan hawa ketegangan di sekitar mereka. Mungkin satu pasukan sudah diperintahkan untuk menurunkan senjata. Keberadaan bocah enam tahun ini mengubah situasi dengan sangat drastis.

Kalingga Harshad menoleh ke lelaki tinggi yang familiar, matanya mengerjap cepat sebelum bertanya dengan serius, "Kenapa Uncle Nate ada di sini?"

"Karena Tante yang membawanya ke sini."

"Di mana ayahmu?" tanya Renato dengan nada serius.

"Di sini," jawaban itu terdengar dari pintu dan kembali mengalihkan perhatian semua orang, Freya Fabian memandang datar pada setiap pasang mata di dalam ruangan tersebut.

Ally tersenyum dan menahan Kalingga tetap dekat dengannya, "Wah, bagaimana ceritanya kalian bisa sampai terpisah?"

"Klasik, petugas imigrasi bertingkah lalu seseorang memberitahu bahwa Opa kesayangan putraku ada di sini dan mengajaknya balapan untuk menemuinya." Freya memberitahu lalu memandang putra bungsunya. "Mama bilang tunggu, Lingga."

"Ada Uncle Nate juga, Mama..." Kalingga menunjuk ke arah Renato dengan semangat.

Freya menatap Renato, menoleh pada Dean di belakangnya yang juga terdiam. Mereka sadar memasuki situasi yang tidak biasa, terutama dengan keberadaan Ally.

"Aku selalu menepati janjiku, Nate," kata Ally ketika Renato tampak lega melihat Dean.

Renato seperti bertukar kode dengan Freya, karena tiba-tiba perempuan itu berseru, "Lingga udah peluk Uncle Nate?"

Ally menahan senyum mendapati wajah Renato agak memucat mendengar pertanyaan itu, sementara Kalingga terlihat semangat.

"Lingga juga belum salim sama Opa," kata Langit membuat Ragil jadi dua kali lebih waspada di tempatnya.

"Yang pasti Lingga belum kenalan sama Tante Ally... tadi Tante yang minta petugas bandara untuk ajak balapan Lingga ketemu Opa Langit... karena Lingga menang, Lingga boleh minta hadiah," kata Ally dan perhatian  Lingga tampak terfokus pada perempuan yang kini berlutut menyamankan tatapan mereka.

Mudah mengenali jiwa kompetitif anak di hadapan Ally ini, jadi ketika Kalingga tersenyum senang, situasi menjadi lebih menguntungkan.

"Hadiahnya boleh dua? Buat aku sama Leel..." tanya Kalingga.

"Oh, tentu saja." Ally mengangguk dan memegang tangan Kalingga sebagai respon antusias.

"Kita belum punyanya apa, Leel? Aku mau crossguard."

Kakak kembarnya menjawab dengan suara yang lebih tenang, "Aku mau legacy."

"Kenapa bukan dark side Rey aja? Buat lawan saberstaff punyanya Kenny," tanya Kalingga.

"Kalian tahu kalau Obi-wan Kenobi menebas saberstaff menjadi dua bagian?" tanya Ally, Star Wars adalah series yang menarik minatnya saat kecil.

"Ya, jadi mirip punya dark side Rey yang bisa jadi lightsaber ganda," kata Kalingga, sepasang matanya yang kebiruan berkilat senang.

"Aku mau legacy," ulang Kaleel sebelum memandang Kalingga serius. "Lingga kalau udah ke sini, kita harus pulang."

Kalingga segera menarik tangannya dari Ally, Renato nyaris berhasil meraih anak itu sempai saat Ally menahan kembali.

"Ah, Tante harus kirim lightsaber-nya ke mana?" tanya Ally dengan nada riang.

"Titipkan ke Opa Langit aja, karena belum tahu mau pulang ke rumah yang mana," kata Kalingga, melepaskan tangannya lalu beralih memegangi celana Renato. "Aku mau gendong Uncle Nate, tadi capek lari."

Begitu Renato membungkuk untuk menggendong Kalingga, Ragil bergegas menarik Ally beralih ke sisinya.

"It's nice to see you, twins," kata Ally sembari melambaikan tangan. Ally juga tersenyum lebar kepada Freya dan Dean yang mengamatinya.

Kalingga menoleh dan melambaikan tangan, "Aku tunggu ya lightsaber-nya, Tante Ally."

Ally tersenyum lebar, "Ya, kita bisa main sama-sama."

"Opa Langit ikut pulang?" tanya Kaleel.

Langit mengangguk, "Ikut dong..." Ia menatap Ragil dan Ally bergantian, "It's clear now... kita ketemu lagi di Biro, Ally."

"Aku hanya akan datang ke Biro jika Renato Aldern ada di sana," kata Ally, wajahnya agak muram karena menyadari Renato sama sekali tidak menoleh ke belakang untuk menatapnya.

"Tentu, kami memang perlu mendengar detail misinya dari kalian berdua."

Jawaban Langit membuat senyum Ally muncul kembali. Ia memandangi punggung Renato hingga sepenuhnya menghilang, terhalang pintu yang tertutup.

[ to be continued . . . ]

aku sudah gede aunty, wakakakaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top