22 | Take a chance
22 | Take a chance
"Pertama-tama... denganmu."
Usai mengatakan itu suasana di sekitarnya menghening seketika. Ally tahu, memang tidak akan mudah mengusahakan satu hal ini dengan Renato. Bukan tidak mungkin lelaki itu juga mengamati dan jadi berhati-hati menanggapi kalimatnya. Tapi inilah satu-satunya kesempatan.
Renato Aldern berbahaya, sinyal peringatan dalam diri Ally terus mendengungkan itu, bahkan rasa sesak akibat cekikan kemarin belum sepenuhnya menghilang. Namun, Ally tidak dapat menghentikan gagasan untuk memiliki lelaki itu sepenuhnya.
Bukan karena cinta, tentu saja. Ally tidak sekonyol itu mengharapkan suatu perasaan berharga dari lelaki yang bahkan tidak punya hati. Renato menarik karena dia berbeda, lelaki itu punya jenis kegelapan yang membuat Ally tergiur menggabungkan diri ke dalamnya.
Sesakit apa dia pernah terluka, sedalam apa dia pernah terjatuh, sejauh apa dia pernah berlari, hingga tatapan matanya selalu nyaris kosong menghadapi apapun. Ally sangat tertarik dengan segala hal yang ada dalam diri lelaki muram itu.
"Kau harus berhenti mengikuti ide konyol yang ada dalam kepalamu."
Suara itu terdengar lirih diikuti suara derak rantai menjauh. Ally sadar bahwa Renato mengambil jarak untuk menghindar, lelaki itu berhati-hati agar tidak kembali terpancing dan mencoba membunuhnya.
Usaha pengendalian diri yang sangat bagus, kewaspadaan Renato juga luar biasa. Ally masih ingat ketika mereka membuat salah satu pengawal Dayn sampai mengacungkan pedang. Renato sigap menjauhkannya, padahal saat itu ia tidak merasakan gerakan apapun.
"Yang ada dalam kepalaku hanya ide brilian dan luar biasa," kata Ally kemudian ikut berdiri, melangkah mengikuti arah Renato bergerak.
"Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya?"
"Denganmu? Banyak hal." Tanpa ragu Ally kemudian menyebutkannya, "Pertama bercinta denganmu, kedua kembali ke Indonesia, membebaskanmu sepenuhnya agar kita bisa hidup bersama, lalu setiap ada misi datang padaku, kau pergi bersamaku."
Ally tersenyum menyadari Renato berhenti melangkah, "Bagaimana, menyenangkan bukan?"
"Aku masih lebih suka menghabiskan hidupku di ruang isolasi, dibanding bersamamu."
"Aku sadar kau memang aneh. Jadi, aku akan mengubah salah satu kamar agar semirip mungkin dengan ruang isolasi, itu bisa jadi semacam red room untukmu."
Ally tidak kaget saat ia merasakan tubuhnya langsung terdorong ke dinding, punggungnya bertumbuk keras dengan beton dingin dan kasar sebelum rantai yang melilit tangannya bergerak, ikut melilit lehernya. This man loves rough.
"Ah!" kata Ally, sengaja mendesah saat tahu Renato ada di depannya.
Tidak banyak yang bisa Ally katakan berikutnya karena Renato mencengkeram mulutnya, mendorong kepalanya ke dinding seakan ingin meremukkannya di sana.
"Perempuan banyak omong sepertimu harus diberi—dugh!" Renato teralihkan karena lutut Ally terangkat, menendang lututnya, lalu perempuan itu bergerak, membuka mulut lebih lebar, menggigit bagian lunak antara ibu jari dan telunjuk Renato.
Itu gigitan kuat sampai Renato harus melemaskan diri dan membiarkan Ally kembali terlepas. Suatu kesalahan, karena begitu terlepas, Ally balas mendorong, dengan sekuat tenaganya menjatuhkan Renato ke lantai lembab dan kotor.
Renato mencoba bergerak untuk membalik keadaan ketika tubuh Ally terjatuh di atasnya, namun kedua tangan perempuan itu menahan dan rantai kaki mereka saling terbelit sehingga sulit untuk membalik keadaan tanpa lebih dulu menguraikan rantai-rantai tersebut.
"Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini, kasurku hangat," kata Ally santai, ia tertawa meletakkan kepala pada dada bidang di bawahnya.
"Fuck!" maki Renato.
"Shh... I can hear the sound of your heartbeat, so beautiful, Hubby..." Ally menikmati degub jantung Renato yang terasa begitu ritmis di bawah telinganya.
"Aku akan menghitung sampai tiga, pada hitungan terakhir kau harus—"
"Menciummu?" sambung Ally dengan suara semangat.
"Menyingkir dariku!" ralat Renato, nyaris berteriak.
Ally tertawa lagi, "Ayo kita mulai negosiasinya, kau tidak akan rugi menjadi milikku."
"Aku tidak berminat menjadi milik siapapun."
"Aku pengecualian, dan sekalipun akan sulit... aku pasti berhasil dengan negosiasiku besok." Ally mengangkat kepalanya ketika melanjutkan kalimat, "Begitu menghirup udara kebebasan, kau akan jadi milikku, sepenuhnya, seutuhnya... Mariner Renato Dyaksa."
Renato pasti terlalu kaget karena Ally mengetahui nama lahirnya, ia tidak bisa bereaksi lebih ketika bibir perempuan itu menemukan mulutnya, menciumnya, meninggalkan bekas gigitan kecil di sudut bibirnya sebelum Ally bangkit berdiri. Tanpa kesulitan berarti, begitu mengentakkan rantai di kakinya, perempuan itu tahu kemana harus melangkah, mengurai belitan rantai yang menahan kaki mereka sebelumnya.
***
"Sisa airnya masih banyak," kata Ally, memecah keheningan.
Renato tidak berniat menanggapi, ia mengantuk, sehingga kembali ke dinding yang biasa disandarinya untuk tidur.
"Nate, aku yakin kau menyisakan bagian roti yang layak kumakan, benar begitu, bukan?"
Suara Ally terdengar sangat antusias dan perempuan itu benar-benar memekik kesenangan, mungkin mengendusi sisa roti bagiannya.
"Kau bahkan berhati-hati memisahkan serat rotinya, tidak sembarang menyobek bagian pinggirnya, ini manis sekali... tindakanmu yang manis, kalau rotinya tawar, agak gosong, mereka masih memanggangnya di tungku."
Satu-satunya alasan Renato melakukan itu hanya karena ia harus menjaga Ally tetap hidup. Renato tahu perempuan seperti Ally akan memilih tidak makan jika menyadari betapa keras dan kasar tekstur pinggiran roti.
"Walaupun alasanmu melakukan ini hanya karena harus menjagaku tetap hidup, tapi aku tetap senang... aku memang tidak mau makan kalau rotinya keras dan kasar."
Renato membuka matanya mendengar kalimat itu, perempuan memang cenderung lebih peka dibandingkan lelaki, namun yang Alicia Wajendra ucapkan ini sangat mengejutkan. Yang perempuan itu lakukan saat menjatuhkannya tadi juga tidak kalah mengejutkan, Renato bisa merasakan jika musuh atau lawan yang dihadapinya mulai ketakutan. Ia sudah merasakan hawa ketakutan bahkan sikap defensif, tapi entah bagaimana Ally mengatasi itu dan berhasil mengalihkan perhatiannya. Di bagian tangan yang Ally gigit sekuat tenaga tadi masih terasa bekas barisan gigi.
"Nate... karena besok hari besar untuk kita, bagaimana kalau malam ini aku tidur di dekatmu?" Suara itu terdengar lagi dan kali ini diikuti suara rantai bergerak.
Renato menahan napasnya tapi suara rantai bergerak itu kian mendekat dan ujung sepatu Ally benar-benar menyentuh kakinya. "Aku sudah menduga, kau akan menghindar sejauh jangkauan rantaiku."
Renato memastikan pendengarannya dengan baik dan menyadari rantai di kaki Ally terlepas. "Bagaimana kau melakukannya?"
"Magic," balas Ally lalu terkekeh, duduk di samping Renato. "Aku mengingat pola lilitan yang mereka buat untuk menahan kakiku, dan jadi lebih mudah karena mereka semakin melonggarkannya."
"Itu bukan sembarang pola lilitan," kata Renato.
"Aku tahu, berkat itu aku jadi menyadari beberapa keganjilan... aku yakin, besok aku akan menang, karena itu persiapkan dirimu."
"Kau ingin aku melakukan apa?"
"Setelah aku membuat sedikit keributan, kita bisa pergi diam-diam."
Renato menyipitkan mata sebelum menoleh pada kepala yang sekarang rebah di bahunya. Ia menyadari satu hal yang berbeda, "Kita tidak berencana menyelamatkan sanderanya?"
Ally justru menanggapi dengan gumaman senandung lirih, "Yang barusan adalah bagian awal dari Symphony of Sorrowful Songs karya Henryk Gorecki... itu adalah komposisi lagu klasik pertama yang membuatku menangis. Inspirasi lagu tersebut adalah tulisan seorang gadis berusia delapan tahun di dinding sebuah penjara Gestapo... kau tahu, dua baris lagu pertama dia membicarakan tentang ibu."
"Kau dipekerjakan untuk menyelamatkan sandera yang tersisa." Renato tidak akan teralihkan cerita omong kosong tentang lagu menyedihkan.
"Aku tahu, sedikit keributan yang akan menyelamatkan mereka."
Tampaknya Ally tidak mau memberi tahu lebih banyak tentang rencananya, karena itu Renato memejamkan mata kembali. Ia mendengar Ally kembali menggumam, bersenandung, tangan perempuan itu juga bergerak, jari-jarinya seperti menyentuh tuts tak kasat mata.
"Bisakah kau diam?" tanya Renato.
"Aku biasanya main piano untuk meredakan ketegangan." Ally kemudian mengubah posisi kepala, dagunya begitu santai menyandar di bahu Renato. "Karena tidak ada piano, maukah kau membantuku un—"
"Tidak," sela Renato cepat.
"Kau bahkan belum mendengar ideku."
"Tidak perlu, jika kau ingin tidur di sini, tetaplah diam."
"Dan jika aku tidak diam?"
"Aku bisa membuatmu diam... selamanya."
Ally terkekeh pelan, "Sungguh mendebarkan, aku benar-benar menyukaimu."
Renato kemudian menyadari apa yang membuat hawa ketakutan Ally menghilang, perempuan ini membiarkan kegilaan yang mengambil alih akal sehatnya, karenanya dia bisa bertindak yakin, tanpa beban bahkan tertawa dalam keadaan sulit.
"Kau tidak akan bisa menghindariku, Nate..." kata Ally dengan suara lirih, seakan menyadari apa yang tengah Renato pikirkan. "Kau tahu kenapa?"
"Tidak," jawab Renato karena ia akan membuktikan sebaliknya nanti.
"Karena apa yang kumiliki tentangmu, tidak pernah kumiliki dengan orang lain."
Suasana menghening setelah Ally mengatakan itu, Renato juga memilih diam sampai ketika kepala di pundaknya sudah sepenuhnya terkulai.
"You just don't know, Alicia."
[ to be continued . . . ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top