2 | Sebuah misi

2 | Sebuah misi

Elite Team – Divisi Operasi Khusus
Biro Intelijen Negara, Jakarta, Indonesia

"Apa yang terjadi?" Willya Wajendra memasuki ruang rapat darurat dengan tergesa, dua rekannya berdiri tak jauh dari tempatnya menghentikan langkah, memandang layar proyektor yang menampilkan beberapa orang yang terikat. Latarnya tidak teridentifikasi, tapi yang jelas itu adalah situasi penyanderaan.

"Dua belas orang, dari pasukan perdamaian, setengah diantaranya adalah garuda muda... mereka baru kembali dari patroli darat saat kelompok separatis, Dawlad Khabib menyerang." Yosafat Kutjoro, Deputi bidang Luar Negeri memberitahu sembari menjatuhkan sebendel berkas ke meja.

Willya mengambil berkas tersebut, membaca cepat, itu merupakan laporan tentang gerakan separatis Dawlad Khabib di perbatasan Hasnaba, Lebanon. Markas pasukan perdamaian tidak jauh dari sana dan selama ini kedua kelompok tersebut sudah terlibat beberapa kali pertikaian. Willya menyadari bahwa kelompok separatis ini berkembang dengan cepat, dengan metode serangan yang semakin jelas dan membahayakan. Dua pertikaian terakhir sudah memakan korban dan penyanderaan kali ini adalah aksi balas dendam.

"Mereka menginginkan pertukaran," kata Idrus Hilmi, Wakil Kepala Biro.

"Ada enam orang Dawlad yang akan dieksekusi minggu depan," kata Yosafat.

Bakti Adinata, Staf Ahli bidang Pertahanan dan Keamanan memutar kursinya menatap Idrus, "Mereka menyandera dua belas orang, sedangkan jumlah pertukaran hanya ada enam, ada hal lain yang akan mereka inginkan."

Idrus mengangguk, "Mereka sudah dua kali mencoba merampok perbekalan, kiriman bahan bakar dan senjata... mereka ingin semua itu disediakan dalam dua puluh empat jam setelah pertukaran pertama diselesaikan."

"Setelah itu seluruh sandera akan dibebaskan?" tanya Willya.

"Tidak, hanya tiga orang," jawab Yosafat.

"Tiga orang lainnya, seharga satu Hawk," kata Idrus.

Willya memejamkan mata, tentu saja, pesawat tempur dengan teknologi radar dan senjata rudal seri terbaru itu merupakan incaran yang tidak mungkin dilewatkan. Willya mengatur napas lalu memandang ke arah satu sosok yang sejak tadi masih diam saja, hanya memandangi layar proyektor. Kepala Biro, pimpinan utama mereka, sekaligus orang yang bertanggung jawab dengan seluruh operasi khusus yang dilakukan anak buah mereka.

"Pak..." kata Willya, memanggil atasan langsungnya.

Langit Dirgantara mengangguk, "Kita harus melakukan negosiasi."

Willya menyipitkan mata, lalu menggeleng, "Ally ada di Belgia, konferensi tiga hari dan akan langsung ke Afrika untuk mendampingi Ted meresmikan layanan kesehatan."

"Dia mengonfirmasi misi ini, besok dia akan bergabung dengan kita," kata Langit.

"Aku kira ini terlalu berbahaya, dua negosiator CIA belum kembali setelah pagi ini memasuki wilayah Dawlad Khabib," kata Idrus.

Mendengar itu Willya kembali menggeleng, "Ally tidak akan melakukan negosiasi ini."

"Setengah dari pasukan itu adalah orang kita." Langit mengetukkan jemarinya ke meja, perlahan, ritmis, menyamai detik jarum yang bergerak.

"Kita bisa mengatur pertukaran pertama itu dengan orang kita," kata Bakti.

"Tidak, pertukaran pertama itu jelas untuk Amerika, kelompok mereka yang menangkap separatis itu, mereka juga yang akan melakukan eksekusi," kata Idrus, ia bersedekap sembari berjalan mondar-mandir, berpikir.

"Kita bisa saja menyediakan perbelakan dan senjata, tapi Hawk lain cerita."

Willya menatap Yosafat dan mengangguk, itu jelas tidak mungkin. Indonesia hanya punya tiga pesawat jenis itu, tidak mungkin memberikan salah satunya. Pesawat itu menjamin kekuatan pertahanan negara di angkasa.

"Aku akan mencarikan negosiator lain," kata Willya.

"Hanya Ally yang bisa melakukannya, Dawlad Khabib adalah kelompok separatis yang berasal dari beberapa pengungsian, mereka melarikan diri dan melakukan pemberontakan," kata Langit kemudian berdiri dari duduknya. "Aku tahu berat untukmu membiarkan Ally melakukan pekerjaan ini, tapi aku akan berusaha menjamin keamanannya."

"Mengirimkan lebih banyak orang akan sangat beresiko, jika situasi tidak terkendali, mereka bisa mendapat lebih banyak tawanan dan itu akan merepotkan," kata Idrus.

"Aku tahu seseorang yang memiliki kekuatan setara sekelompok orang," kata Langit.

Bakti dan Willya sama-sama menyipitkan mata, mereka mengenali setiap agen, setiap unit khusus dan tim-tim yang bekerja secara rahasia. Tidak ada yang memiliki spesialisasi pengawalan tunggal seperti itu.

"Dia memang bukan orang kita," kata Langit, tahu apa yang dipikirkan rekan kerjanya.

"Lalu?" tanya Yosafat.

Langit mendekat ke laptop, mengetikkan sebuah situs dan beberapa detik kemudian layar proyektor menampilkan profil seseorang. Lelaki, postur tubuhnya tinggi, ramping, berambut cepak, mengenakan seragam khusus tahanan, membawa papan identitas bertuliskan nomor delapan tujuh sembilan satu.

"Dia..." Willya memang pernah mendengar Indonesia menangkap satu buronan internasional, tapi baru kali ini melihat langsung profilnya.

"Tidak mungkin, dia berbahaya." Idrus menggeleng.

"Sulit melawan kawanan harimau hanya dengan mengandalkan seekor anjing," kata Langit dan menatap profil wajah yang terpampang di layar. "Kecuali anjingnya gila."

"Bagaimana jika dia berkhianat?" tanya Willya.

Langit tersenyum, "Setelah menemukan sesuatu yang menarik dari dokumen Ally, aku yakin akan mendapatkan kerja samanya, secara penuh."

"Apa itu?" tanya Willya.

Langit menggeleng, meski tetap mempertahankan senyumnya, "Aku akan mendapatkan kerja samanya, karena itu kita lakukan misi ini bersama Ally."

"Aku harus mendapatkan jaminan bahwa Ally akan selamat," kata Willya.

"Kita harus mendapatkan jaminan bahwa misi ini berhasil, mengeluarkan keparat sepertinya butuh laporan berlapis dan aku juga akan dimintai pertanggung jawaban," kata Idrus, ia mengatakan keparat sembari menatap wajah Renato.

"Kita tidak perlu repot-repot mengeluarkannya, dia bisa keluar sendiri," kata Langit.

"Dia menempati sel terisolasi, tidak mungkin bisa meloloskan diri." Yosafat memberitahu dengan yakin.

"Biar kuberitahu, kita mendapatkannya bukan karena kekuatan intelijen kita yang melumpuhkannya, dia menyerahkan diri." Langit memandangi satu per satu anak buahnya, pengalamannya menangani penjahat sudah terasah selama puluhan tahun dan penilaiannya tentang satu penjahat ini tidak mungkin salah. "Dia berada di sana, karena ingin berada di sana."

"Maksudmu?" tanya Willya, ekspresi wajahnya was-was.

"Jika dia ingin keluar, dia akan keluar... dan kupastikan dia mendapatkan alamat yang tepat untuk menemukan tempat ini," kata Langit, lalu beranjak pergi dari ruangan.

[to be continued . . .]

--
enggak bosan-bosan lah ya aku mengingatkan, kalau cerita ini akan memuat banyak hal fiktif, semisal nama instansi, nama wilayah, atau unit atau kejadian... jadi, kalau google terus enggak nemu, ya emang karangan aku doang guys :))

kayak profesi Ally, EndWar Ambassador dari United Nations, itu karangan aku, di sana adanya EndViolence atau Goodwill Ambassador... soal pidatonya Ally juga, itu jelas karangan, meski konflik di pengungsian Syria itu nyata adanya.

niatku mau update Sabtu, tapi entah kenapa aku yang enggak sabaran, wakakaka semoga seperti kalian bisa jatuh cinta ke tokoh-tokohku sebelumnya, kalian juga bisa jatuh cinta ke Renato Aldern, eaa ihik ihik uhuk ~

Oia, aku lupa ngasih tahu di awal post soal code name... hayo siapa yang masih ingat code namenya Freya? wakakaka atau code namenya Langit?

Nah, kalau code namenya Renato itu bakal Tsavo, itu merujuk pada seekor singa yang dulu menganiaya dan memakan 28 pekerja rel kereta di Kenya, Afrika. Tsadist bet ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top