13 | Pain and empty

13 | Pain and empty

"Look at me in the eyes and tell me, what you see?"

Ally merasa dirinya masih punya cukup kendali atas Renato berkat kepemilikan matanya, ia yakin sekuat apapun lelaki selalu ada titik lemah yang dapat ditaklukan. Banyak lelaki merasa bahwa harga diri mereka di atas segalanya, karena itu dibutuhkan sanjungan yang tepat untuk melemahkannya. Kelemahan Renato Aldern ada pada masa lalunya, karena itu mendapatkan lebih banyak hal dari masa lalu lelaki itu akan membuat Ally semakin kuat.

"Kau berpikir dapat mempengaruhiku dengan melakukan itu?" tanya Renato.

"Aku mencoba segala cara yang kubisa untuk mendapatkan apa yang kumau."

Renato memegangi ranselnya, semakin memperpendek jarak di hadapan Ally, menundukkan kepala dan memandang tepat ke mata perempuan itu. Warna matanya bukan green aqua, mata Ally sewarna daun maple pada pertengahan musim gugur di Kanada.

"Donor mata tidak mempengaruhi warna mata, Nate," kata Ally dengan senyum.

"Dan hal ini pun tidak mempengaruhiku," balas Renato.

"Belum, baru dua detik kau memandangku, sebelumnya pada detik kelima kau mengalihkan tatapan."

"Menurutmu itu karena matamu?"

"Apakah bukan karena itu? Karena wajahku? Karena senyumku?" Ally tertawa kecil, membuat sepasang matanya menyipit, "Satu-satunya hal yang kau kenali dariku adalah mata ini, dan aku cukup yakin bahwa—"

"Pain," kata Renato begitu saja, membuat tawa Ally berhenti.

"Empty," kata Renato lagi dan Ally sepenuhnya terdiam sekarang.

Renato sama sekali tidak berkedip dan tetap memandang ke bawah, tepat ke manik mata yang kini mulai bergerak lebih dulu untuk menghindar. Renato mengulurkan tangan, menahan saat wajah Ally akan berpaling darinya.

"Aku bisa melakukan ini seharian dan itu tidak akan membawa pengaruh apapun kepadaku, karena apa yang kulihat dalam dirimu, tidak akan pernah sama dengan apa yang kulihat dalam dirinya... I see life in her eyes, and I didn't see anything but pain and empty in yours." Renato kemudian melepaskan tangannya dari Ally, "Aku tidak meragukan ketika kau berkata tidak takut mati, karena bagiku, kau pun tidak terlihat hidup... Alicia Wajendra."

Setelah mengatakan itu Renato beranjak membawa ranselnya keluar dari kamar, meninggalkan Ally yang selama beberapa detik mematung sendirian, memikirkan kata-kata yang Renato sampaikan. Ini pertama kalinya lelaki itu berbicara lebih dari dua kalimat terhadapnya.

Ally merasa kesal sekaligus senang di saat yang bersamaan.

"Sial, Pak Langit benar! Renato Aldern berbahaya," kata Ally kemudian tangan kanannya bergerak menyentuh ke dada, tempat jantungnya berdegub begitu kencang.

***

"Mana Ally?" tanya Langit begitu Renato keluar, berkumpul bersama yang lain sebelum berangkat bersama menuju bandara.

Renato hanya menjawab dengan menoleh ke belakang.

"Kalian membicarakan sesuatu tadi?" tanya Langit sembari mendekat, berdiri di samping Renato, memperhatikan tim back up yang masih membicarakan detail operasi penyelamatan.

"Semacam omong kosong."

"Negosiator dapat menjadikan obrolan omong kosong sebagai senjata."

"Omong kosong bisa menjadi sebuah alasan untukku menghabisi seseorang."

Langit tertawa, "Aku tidak yakin kau mampu menghadapi kematian Alice untuk yang kedua kalinya."

"Orang hanya mati sekali, dan untuk Alice sudah dua belas tahun yang lalu."

"Aku mencoba sebaik mungkin memperingatkan Ally tentangmu."

"Dia jelas tidak mendengar peringatanmu."

"Karena itu aku harap kau mendengar, Wajendra bukan seseorang yang bisa diremehkan begitu saja... aku benar-benar tidak bisa melacak kemana mereka menerbangkan Dean, Freya dan si kembar... Kenny juga tidak bisa. Ini benar-benar serius, Nate."

"Mereka sudah mengirimkan foto pertama, si kembar dan Freya."

"Benarkah?"

Renato menoleh, mendapati Langit tampak lega, "Tidak ada Dean bersama mereka."

"Tapi jika mereka bertiga baik-baik saja, itu berarti Dean juga."

"Aku tetap perlu melihat Dean." Renato bersikukuh.

"Ada foto kedua," kata Ally begitu menyusul keluar, kedatangannya membuat fokus Renato dan Langit jadi beralih padanya, tepatnya pada layar ponsel yang Ally tunjukkan.

Ada seorang lelaki berjalan menyusuri pinggir pantai, membawa alat pancing dan empat ikan yang tergantung di ujungnya. Foto itu pasti diambil dari jarak jauh lalu dikirimkan dengan kualitas resolusi paling rendah, karena tampilan gambarnya kabur, meski Langit dan Renato tetap bisa mengidentifikasinya.

"Aku rasa dia tidak terluka," kata Langit.

Renato menipiskan bibir, "Itu tidak bisa dipastikan tanpa melihatnya secara langsung."

"Kalau begitu kita harus menunggu hingga misi ini selesai."

Ally menyimpan kembali ponselnya dan berjalan untuk mengulurkan jaket Renato, tanpa ragu perempuan itu kembali bertanya, "Jadi, jika bukan karena mataku yang membuatmu mengalihkan perhatian, lantas apa alasanmu melakukan itu?"

"Kau begitu ingin tahu?" tanya balik Renato sembari menerima jaketnya.

"Ya."

"Yang jelas bukan karena tertarik pada wajahmu, apalagi senyummu," jawab Renato lalu berdecih meremehkan sebelum beranjak pergi.

Langit tertawa melihat Ally melongo kesal dengan jawaban itu.

"Setelah menemukan cara untuk mengalahkannya, aku tidak akan segan-segan, lihat saja!" kata Ally penuh tekad.

"Here' the only way to destroy a monster, Ally."

"I know..." Ally kemudian mengeluarkan kaca mata hitam dari kantung mantelnya. "It takes a monster to destroy a monster."

"Aku kira kau jenis yang percaya bahwa kebaikan mengalahkan kejahatan."

Ally tertawa sembari mengenakan kaca mata hitamnya, "Aku percaya, tapi monster satu ini, kurasa dia tidak lagi hidup dalam kejahatan... meski segala hal yang dia tahu hanya tentang itu."

Langit hanya mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar itu, Ally kemudian mengubah posisinya, berdiri tegap dan mengangkat sebelah tangan, memberi hormat.

"Ketika kembali, aku akan membuatnya menjadi monster yang jauh lebih baik."

Langit tertawa mendapati raut penuh kepercayaan diri itu, "Tidak penting menjadikannya lebih baik, yang terpenting hanyalah keselamatanmu sendiri."

Ally menyengir dan menurunkan tangannya setelah Langit balas menghormat sekilas.

***

"Aku tidak merasa seperti akan mengawal seorang negosiator, melainkan gadis yang butuh bertualang," komentar Phyton, salah satu anak buah Snake yang mengamati bagaimana Willya memastikan segala sesuatunya tentang Ally.

"Snake pernah mengawalnya sebelum ini, dia bisa sangat mengejutkan ketika bernegosiasi... kita benar-benar harus mengawasinya," kata Mamba.

"Kudengar kali pertamamu mengawalnya, itu adalah negosiasi yang cukup sulit." Cobra menambahi sembari menatap Snake yang menunggu dengan sikap siaga.

Pimpinan tim mereka itu mengangguk, "Itu negosiasi pertamanya juga, pembajakan kapal, sebagian besar muatan kapal itu adalah obat dan peralatan medis... hal yang langsung dia tawarkan dalam negosiasi itu adalah pertukaran."

"Apa yang dia tukarkan untuk obat dan peralatan medis?" tanya Phyton.

"Narkoba," jawab Snake dan mendapati seluruh anggota timnya melongo. "Dalam kapal itu ada satu muatan berisi sekitar seratus kilogram shabu dan hanya Ally yang tahu nomor sekaligus kode containernya."

"Dia pasti bercanda, sebanyak itu tidak mungkin diselundupkan dalam—"

Snake menggeleng, menyela Phyton yang jelas tidak percaya. "Dia serius, memang ada muatan barang haram itu."

"Tapi bukankah para pembajak itu menguasai seluruh kapal? Dia bisa memiliki semuanya tanpa harus bersepakat dengan Ally untuk melepaskan obat dan peralatan medisnya," kata Mamba dengan kening berkerut.

"Di situlah seni bicara perempuan itu, dia berhasil meyakinkan pembagian itu... Ally menekankan titik lemah pencucian uang untuk seluruh obat dan peralatan medis, tapi narkoba lain cerita. Setengah jam kemudian mereka bersepakat dan melakukan pemindahan."

"Benar-benar seratus kilogram?" tanya Cobra.

"Ya, dan sebulan berikutnya para pembajak itu tertangkap Interpol... ternyata pada sesi akhir negosiasi Ally menjebak mereka dengan  memberi tahu alur penyelundupan yang sudah direncanakan." Snake kemudian memandang perempuan yang tertawa-tawa memeluk Willya Wajendra. "Saat semua orang sibuk membuat rencana penyergapan, dia satu-satunya yang membaca seluruh berkas muatan kapal, memeriksa setiap data dan mengidentifikasi keanehan keterangan barang. Dia mencocokkan data-data itu dengan penangkapan seorang bandar besar beberapa minggu sebelumnya, semua yang dia perkirakan begitu saja menjadi kenyataan."

"Itu terdengar mengagumkan..." kata Mamba, raut wajahnya diliputi ketakjuban.

"Itu memang mengagumkan, tapi menghadapi separatis lain cerita, tidak ada satupun dari kita yang tahu apa yang akan Ally tawarkan." Snake kemudian memandang Renato yang sejak tadi hanya berdiam diri di belakang Ally, menunggu perempuan itu selesai berpamitan. "Kau tahu apa hal terburuk yang mungkin dia tawarkan dalam negosiasi ini?"

"Dirinya sendiri," jawab Phyton.

Snake mengangguk, "Karena itu, orang semacam Renato Aldern yang ditugaskan mengawalnya..."

"Dia satu-satunya yang tidak terlihat khawatir menghadapi misi ini." Cobra tidak habis pikir dengan sikap tenang lelaki itu.

"Karena dia akan menyelesaikannya, apapun yang terjadi," kata Snake kemudian memandang satu per satu anggota timnya. "Dia tidak akan peduli pada apapun kecuali tentang Ally, karena itu kita selesaikan bagian kita dan serahkan sisanya untuk diurus Renato."

"Kita tidak berkhianat, tapi bagaimana jika dia yang melakukannya?" tanya Phyton.

"Wajendra akan mengurusnya, jika kita tidak melihat mereka berdua setelah batas waktu penjemputan terlewati, akan ada berita duka yang mengejutkan semua orang."

[ to be continued . . . ]

some things are just meant to happen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top