Saatnya Bersenang-senang
Malam kembali menyapa. Menutupi setiap kebusukan dari setiap hati yang keji. Sementara waktu, para penjahat bisa tidur dengan tenang. Menunggu hari yang baru, untuk melakukan aksi yang lebih mengerikan. Entah berapa banyak lagi nyawa yang akan lenyap esok hari. Akankah semua penduduk kota ini lenyap? Haruskah demikian? Semua penduduk kota mulai resah atas tindakan pembunuhan yang tak diketahui motifnya. Bahkan polisi belum bisa menetapkan siapapun sebagai tersangka.
Polisi sudah melakukan upaya yang terbaik untuk menyelidiki kasus ini, namun sama sekali tidak ada hasil. Bahkan mereka tidak bisa menemukan sidik jari pelaku ataupun barang bukti yang bisa dijadikan bahan acuan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian menemukan jalan buntu. Sama sekali tidak ada jalan menuju pelaku.
Sementara di rumah Jack, Alena tengah duduk di samping meja belajarnya. Ia tampak sedang menulis sesuatu. Bukan PR, tapi itu seperti tulisan tentang hasil penyelidikannya sore tadi. Ia menuliskan bahwa ia menemukan sobekan kain berwarna hitam yang ia simpan di lemari pakaiannya. Ia juga menuliskan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya target berikutnya dari si pembunuh keji itu.
Setelah menulis satu halaman penuh, gadis kecil itu pergi menemui kedua orang tuanya yang tengah asyik menonton drama Korea di ruang tamu. Seperti kebiasaan mereka apabila pulang lebih awal dari kantor. Tidak ada waktu yang terbuang, selain untuk menonton drama Korea. Jack dan Silvia rela begadang apabila ada drama Korea yang tayang hingga tengah malam. Rasanya mereka berdua tak bisa hidup tanpa menyasikan serial drama itu sekali saja.
Alena keluar dari kamarnya. Berdiri sejenak di depan pintu. Ia memandang orang tuanya yang tampak begitu asyik duduk di atas sofa. Ia sedikit ragu untuk menghampiri mereka. Kedatangannya bisa saja mengganggu suasana bahagia kedua orang tuanya. Namun, ia juga tak bisa memendam lebih lama. Ia harus berbicara kepada mereka. Yang apapun hasilnya nanti, yang terpenting dia sudah menyampaikan apa yang ia rasakan.
Gadis kecil itu berjalan perlahan, hingga berdiri tepat di belakang Jack. Ia menghela napas, dan memantapkan diri untuk berbicara.
"Pa!"
"Eh Alena," kata Jack. "Ada apa sayang?"
"Hem, Aku mau bicara sama Papa, juga sama Mama," jawab Alena. "Ini masalah serius Pa."
"Hem? Coba sini duduk di samping Papa," kata Jack.
Alena berjalan dan duduk di sebelah Jack. Sejenak ia menatap ke arah ibunya yang masih saja asyik menonton televisi. Namun, ia mencoba untuk tidak menghiraukan itu. Didengar atau tidak, yang terpenting ia sudah menyampaikan apa yang mengganggu pikiranya.
"Pa," kata Alena lirih. "Papa tahu nggak, teman-teman Alena meninggal karena dibunuh? Dan mereka dibunuh bersama orang tua mereka juga."
"Masa sih sayang?" tanya Jack seakan tak percaya. "Kok papa nggak tahu ya?"
"Ya Pa, Alena nggak bohong," jawab Alena. "Dan Alena yakin, besok akan ada berita kematian lagi."
"Ssst! Nggak baik ngomong gitu sayang," kata Jack. "Kita harus mendoakan, supaya tidak ada lagi pembunuhan esok hari."
"Tapi Alena yakin Pa," ucap Alena. "Setiap pagi dan pulang sekolah, ada seorang pria berpakaian hitam mengintai di depan sekolah Alena. Dan semua orang yang diintai pria itu, besoknya meninggal karena dibunuh."
"Kamu nggak usah ngarang cerita deh," ketus Silvia. "Lebih baik, sekarang kamu pergi tidur."
"Tapi Ma, Alena nggak ...."
"Nggak usah pakai tapi," ketus Silvia. "Sekarang kamu pergi ke kamar. Ganggu orang aja."
Dengan langkah terpaksa, gadis kecil itu pergi ke kamar. Sesekali ia menoleh, berharap ayahnya akan menaruh rasa peduli padanya. Namun, tidak. Bahkan Jack tak melihat ke arahnya. Pria itu telah asyik menyaksikan serial drama di hadapannya. Alena menghela napas. Apa yang ia khawatirkan, benar-benar terjadi. Jangankan untuk membantu, mendengarkan saja mereka tidak mau. Mungkin Alena harus memendam semua itu sendirian. Dan apa pun yang ia temukan selama penyelidikan, semua itu hanya dia yang tahu. Karena percuma saja ia berteriak minta tolong, toh kedua orang tuanya lebih memilih untuk menonton televisi.
Gadis membuka lemari pakaianya. Ia mengambil sobekan kain hitam yang ia temukan di rumah Jems tadi sore. Sejenak ia diam, dan memandangi sobekan kain tersebut. Ia teringat akan pakaian hitam yang ada di kamar bibi. Jenis kainya sama persis dengan pakaian hitam itu. Apakah mungkin bibi adalah pelaku pembunuhan itu? Bukti kecil ini mengarah kepadanya. Toh selama ini tidak ada yang tahu apa yang bibi lakukan di malam hari. Setiap malam tepat pukul tujuh, bibi sudah masuk kamar dan tidak akan pernah keluar sebelum pagi.
Rasa curiga Alena semakin besar. Terebih kejadian kemarin pagi di mana bibi bangun lebih awal. Ah, rasanya itu semua bukan kebetulan. Alena sangat yakin, bahwa semua itu sudah direncanakan sebelumnya. Tapi Alena tidak bisa langsung menuduh bibi sebagai pelakunya, karena Alena tidak punya bukti yang kuat. Dan jika dia asal menuduh, bisa-bisa dia yang akan mendapat masalah. Jack dan Silvia tidak akan percaya begitu saja tanpa bukti yang kuat. Penyelidikan ini masih harus terus berlanjut.
***
Malam kian larut. Dinginnya angin yang berembus mulai merasuk ke dalam daging, bahkan menusuk hingga ke tulang. Senyuman sang rembulan tampak sinis, seakan menandakan bahwa akan ada peristiwa besar malam ini. Entah apa yang akan terjadi. Akankah ada kematian lagi? Siapa? Siapa yang akan meregang nyawa malam ini? Mungkinkah Alena?
Di ujung jalan itu, tampak seorang pria berjubah hitam berjalan cukup cepat. Pakaiannya serba hitam. Topi, celana, kacamata. Pria itu tampak misterius, ditambah dengan pistol yang ia genggam. Dan siapa itu? Seorang pria lain berjalan di belakangnya? Ah tidak, itu bukan pria. Ia mengenakan pakaian hitam yang sama dengan pria di depanya. Bibir itu? Merah. Itu adalah wanita. Ya, dia seorang wanita.
Mereka berjalan dengan penuh keangkuhan. Sesekali ia menyunggingkan senyuman yang mampu merobek jiwa siapa pun. Dua orang misterius itu masuk ke perumahan mewah. Itu bukan perumahan biasa. Tempat itu dihuni oleh para pejabat. Apakah dua orang itu adalah pejabat yang juga tinggal di sana? Tapi mengapa mereka masih ada di luar tengah malam begini? Dan pulang jalan kaki? Mereka juga membawa senjata.
Dua orang misterius itu berpencar. Pria itu bergerak ke sisi kanan, sementara wanita itu ke sisi kiri. Pria itu berjalan menyusuri beberapa rumah, dan berhenti di depan sebuah rumah mewah. Rumah itu dihuni oleh camat. Tapi pria itu bukanlah camat, lantas apa yang ia lakukan di sana?
Pria itu mencongkel jendela lalu masuk. Ia berjalan mengendap-endap dan mendobrak pintu kamar. Pak Camat yang terkeju, langsung terbangun dan beranjak dari ranjangnya. Wajahnya sangat pucat saat pria misterius itu menodongkan pistol ke arahnya.
"Si ... siapa kamu?" tanya Pak Camat. "Apa yang kamu lakukan di rumahku?"
"Hahaha! Kenapa kamu ketakutan? Ini hanya pistol mainan," ucap Pria misterius itu.
"Mainan? Beraninya kamu menggertak aku!" seru Pak Camat.
"Hahaha! Bodoh kamu!" seru pria misterius itu. "Kamu pikir, seorang pembunuh akan datang ke rumah korbannya dengan membawa pistol mainan? Hahaha! Aku tidak habis pikir, kenapa orang bodoh sepertimu bisa menjadi Camat? Bahkan untuk membedakan pistol mainan saja kamu tidak bisa."
"Am ... ampun. Tolong jangan sakiti aku," pinta Pak Camat. "Ambil saja apa pun yang kamu mau."
"Tentu. Tentu aku datang untuk mengambil apa yang aku mau," ucap pria itu. "Kamu tahu apa yang aku mau? N-y-a-w-a-m-u!"
"Ja ... jangan sakiti aku," pinta Pak Camat. "Aku akan memberikan apa pun yang kamu minta. Asal jangan nyawaku."
"Sudah cukup! Jangan terlalu banyak bicara," ucap pria itu.
Dalam hitungan detik, sebuah peluru terlepas dari pistol yang ia pegang. Peluru itu tepat mengenai kening Pak Camat. Seketika itu juga, darah mengalir membasahi wajahnya. Pria misterius itu tertawa. Ia sangat bahagia melihat kematian yang tejadi di hadapanya.
Mendengar suara berisik itu, istri Pak Camat-Tini-yang baru saja datang dari toilet segera bergegas menuju kamar. Ia terkejut melihat suaminya sudah tak bernyawa.
"Pa! Papa! Siapa yang tega melakukan ini Pa?" ucap Tini.
"Aku! Aku yang melakukannya pada suamimu," ucap pria misterius itu dari balik pintu.
"Siapa kamu? Kenapa kamu membunuh suamiku?" tanya Tini.
"Karena aku suka melakukannya. Aku sangat menyukai kematian, aku suka membunuh, aku suka bau darah segar," jawab pria itu.
"Dasar biadab kamu! Dasar iblis!" seru Tini.
"Haha, kau boleh memaki aku sepuasnya. Karena sebentar lagi, kau juga akan menemui ajalmu," ucap pria itu.
"Silahkan, silahkan kau bunuh aku. Lebih baik aku mati sekarang bersama suamiku," ucap Tini.
"Tenang. Jangan terlalu terburu-buru. Sebelum aku membunuhmu, kita lakukan pemanasan dulu," ucap pria itu lirih.
"Apa maksudmu? Jangan macam-macam kamu!" seru Tini.
"Hahaha, dasar wanita bodoh! Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Aku hanya ingin melakukan permaian kecil denganmu," kata pria itu. "Kamu lihat pisau kecil ini? Bayangkan jika pisau ini berjalan di bibirmu yang seksi itu? Atau di pipimu? Bayangkan darah segar mengalir di keningmu? Kau akan menangis darah karena matamu akan aku tusuk. Hahaha!"
"Aku mohon, jangan lakukan itu. Lebih baik tembak saja aku, tapi tolong jangan siksa aku," pinta Tini.
"Oh, jadi kamu mencoba membuat penawaran denganku? Baiklah. Aku terima tawaranmu, tapi dengan satu syarat, anakmu juga akan aku bunuh. Bagaimana?" ucap pria itu.
"Jangan! Jangan sakiti anakku," kata Tini. "Bunuh saja aku, sekarang!"
"Tentu. Tentu aku akan melakukan itu," ucap pria itu. "Tapi sebelumnya aku akan menyayat bibirmu, pipimu, keningmu, dan mencolok matamu. Menarik bukan?"
"Jangan! Aku mohon, tembak saja aku," pinta Tini.
Air matanya tak hentinya mengalir. Ia tak bisa berbuat banyak saat ini, kecuali pasrah akan apa pun yang dilakukan padanya. Pria itu mendekati Tini dengan pisau kecil ditanganya. Ia mengambil tali di kantung jaketnya dan mengikat kedua tangan dan kaki Tini.
Kini Tini tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berdoa pada Yang Kuasa, kiranya ia bisa kuat menahan semua siksaan pria keji itu. Pria itu tersenyum melihat wanita dihadapannya tak bisa berbuat apa-apa. Kini dengan mudah ia bisa melakukan permainan yang sangat ia sukai.
Dengan cepat, bibir pisau itu bersentuhan dengan bibir merah Tini. Kemudian pisau itu bergerak ke pipi hingga ke keningnya. Darah segar terus mengalir membasahi wajah Tini. Wanita itu tak hentinya menangis. Ia ingin sekali menjerit kesakitan, namun ia tak kuasa. Ia hanya bisa pasrah dan menunggu pria itu menyudahi permainanya.
Pria itu tersenyum melihat Tini begitu tersiksa.
"Bagaimana? Menyenangkan bukan?" kata Pria itu. "Jangan menangis, ini baru awal dari pemanasan. Aku belum mencolok matamu menggunakan jarum ini."
"Mmmm!" Suara wanita itu tercekat.
"Kenapa? Kamu tidak bisa berbicara? Kamu bisu?" kata Pria itu. "Oh ya, aku lupa kalau bibir merahmu terluka."
"Cukup, aku tidak sanggup lagi. Bunuh saja aku sekarang," ucap Tini.
"Kamu tidak sanggup lagi? Lemah!" kata Pria itu. "Baiklah, akan aku turuti permintaanmu."
Kembali terdengar suara tembakan. Peluru meluncur cepat mengenai kening Tini. Saat itu juga wanita itu meningal dunia. Pria itu tersenyum bahagia. Dua nyawa telah lenyap di tangannya. Kini tinggal satu lagi, seorang anak yang ada di kamar sebelah. Pria itu bergegas menuju kamar Anita, anak Pak Camat. Namun kamar itu kosong. Tidak ada siapapun di sana. Pria itu semakin penasaran, ke mana Anita pergi. Ia sangat yakin bahwa itu adalah kamar Anita. Pria itu mencari ke bawah meja belajar, ke dalam lemari. Namun, tidak ada. Hingga ia menyadari bahwa jendela kamar itu terbuka. Anita melarikan diri.
"Sialan!" ketus pria itu.
Dengan penuh rasa kesal, ia pergi meninggalkan tempat itu. Ia meninggalkan dua jasad yang terbunuh bersama malam. Sungguh malang nasib mereka. Dua orang tak bersalah, kembali menjadi korban dari seorang pembunuh keji.
***
Seorang wanita misterius masuk ke rumah seorang Kepala Desa-Darsono. Wanita misterius itu memilih untuk melenyapkan Darsono karena ia tahu, bahwa Darsono adalah seorang duda. Saat ini Darsono hanya tinggal sendirian di rumah itu. Tentu tidak sulit bagi wanita itu untuk melenyapkan Darsono yang hanya seorang diri.
Wanita itu menyusuri rumah itu, hingga ia sampai ke lantai 2. Langkahnya terhenti saat ia tiba di kamar yang tak jauh dari ruang kerja. Tentu itu adalah kamar Darsono. Perlahan wanita itu meraih gagang pintu dan ternyata pintu kamar itu tidak terkunci. Wanita itu mengendap-endap masuk dan melihat Darsono tengah terlelap di balik selimut.
Wanita itu tersenyum bahagia. Ia tak perlu repo-repot untuk menodongkan senjata agar Darsono takut. Dengan keadaan Darsono yang terlelap, wanita itu bisa menembaknya dengan mudah. Dengan sigap, pistol ditanganya di arahkan pada Darsono.
Duar!
Peluru itu mengenai sasaran. Tapi ... kenapa tidak ada bercak darah pada selimut itu? Apa yang telah ditembak oleh wanita itu? seakan tak yakin atas apa yang terjadi, wanita itu langsung menarik selimut yang menutupi Darsono. Ia terkejut saat melihat bantal yang bocor karena tembakannya tadi. Ia panik. Di mana Darsono? Apakah ia tahu kedatangan wanita itu, dan bersembunyi?
Pranggg!
Terdengar ada sesuatu yang terjatuh di lantai 1. Dengan cepat wanita itu berlari dan melihat apa yang terjadi. Ternyata Darsono ada di bawah dan mencoba untuk melarikan diri. Tak ingin kehilangan kesempatan, wanita itu langsung menembak Darsono. Sebuah peluru mengenai kakinya, dan ia terjatuh. Wanita itu berlari menghampiri Darsono. Ia tersenyum melihat mangsanya tak berdaya. Tentu, karena Darsono sudah mencoba untuk kabur, kali ini ia takkan mati dengan mudah. Jiwa iblis wanita itu mulai bergejolak . Mulai timbul dalam benaknya untuk menyiksa Darsono. Ia mengambil silet di sakunya. Darsono ketakutan saat Wanita itu mendekatkan silet itu ke wajah Darsono.
"Kenapa? Kamu takut? Hahaha!" kata wanita itu. "Jangan takut, ini hanya silet."
"Mau apa kamu? Kenapa kamu mencoba membunuhku?" tanya Darsono.
"Karena apa ya? Mungkin karena aku suka, dan aku nyaman melakukannya. Apakah jawabanku cukup sederhana untuk dipahami?" ucap wanita itu.
"Tolong! Jangan siksa aku. Biarkan aku pergi dari sini," kata Darsono.
"Membiarkanmu pergi? Hem? Haruskah aku melakukannya?" kata wanita itu.
"Aku mohon! Kau ambil saja semua yang ada di rumah ini, tapi tolong jangan sakiti aku," pinta Darsono.
"Baik, baik. Aku akan melepaskanmu. Tapi sebelum itu, aku mau melakukan permainan kecil denganmu. Permainannya sangat sederhana, kau cukup menahan rasa sakit. Itu saja. Tidak sulit kan? Tentu tidak sulit. Kalau kau laki-laki, ini tidak akan terasa sama sekali," ucap wanita itu.
"Aku mohon jangan lakukan itu!" pinta Darsono.
"Sudah, jangan banyak bicara. Simpan tenagamu untuk permaianan kecil ini," ucap wanita itu lirih.
Wanita itu medekatkan silet itu ke telapak tangan Darsono. Perlahan bibir silet itu menorehkan luka di telapak tangan Darsono. Darah segar mengalir. Bau darah menyeruak. Darsono menjerit kesakitan, namun ia tak berdaya. Tembakan di kakinya sudah merenggut hampir semua tenagannya. Tak puas hanya satu tangan, wanita itu melakukan hal yang sama pada kedua telapak tangan Darsono. Pria itu terbaring lemas, ia tak lagi punya kekuatan untuk sekadar duduk atau berbicara. Ia hanya bisa menangis, dan pasrah akan keadaan.
"Bagaimana permainannya? Apakah kau suka?" ucap wanita itu.
"Cuih. Dasar iblis!" ucap Darsono.
"Kurang ajar kamu!"
Dalam hitungan detik, bibir silet itu menyayat leher Darsono. Darah segar kembali mengalir, membanjiri lantai keramik. Perlahan Darsono melemah dan akhirnya meninggal karena kehabisan darah. Wanita itu tersenyum bahagia. Keinginannya sudah tersampaikan, bahkan lebih memuaskan dari apa yang ia rencanakan sebelumnya.
Wanita itu keluar dari rumah Darsono dan menemui pria yang bersamanya tadi. Mereka bertemu di gerbang masuk perumahan. Wanita itu tesenyum, namu tidak dengan pria itu. Ia sangat kecewa karena Bella berasil melarikan diri.
"Kenapa wajahmu cemberut? Bukankah kau sudah bersenang-senang malam ini?" tanya wanita itu.
"Awalnya. Namun aku tidak cukup puas. Satu mangsa berhasil kabur," ucap pria itu kesal.
"Siapa? Tini?" tanya wanita itu.
"Bukan. Anak kecil itu," ucap pria itu.
"Hem, biarkan saja. Dia hanya anak kecil. Dia tak bisa berbuat banyak selain bersembunyi dan menangis. Lupakan itu. Besok kita kembali bersenang-senang," ucap wanita itu menenangkan.
"Aku harap begitu."
Mereka berjalan menyusuri jalan yang diselimuti gelapnya malam dan berlalu bersama jarak yang kian menjauh. Bulan tak lagi tersenyum, ia menangis. Ia menangisi tetesan darah yang bercucuran malam ini. Andai ia bisa, tentu bulan akan berteriak histeris. Namun malam membungkamnya. Semua kejahatan itu tertutupi kegelapan.
Hai hai hai!!!
Aku kembali bawa update besar-besaran nih!
Jangan lupa vote yah!!
makasih buat yang setia buat mampir
tunggu update selanjutnya ya!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top