Kematian Jems
Selesai makan malam, Alena menghampiri kedua orang tuanya di ruang tamu. Jika pada malam sebelumnya Alena lebih memilih untuk bermain bersama Alen, namun tidak malam ini. Alena memutuskan untuk duduk bersama kedua orang tuanya.
"Kamu belum tidur Nak?" tanya Jack.
"Belum Pa, Alena takut sendirian di kamar," ucap Alena lirih.
"Alena tidak perlu takut, tadi papa dengar bahwa pembunuhnya telah ditangkap polisi," ucap Jack menenangkan Alena.
"Apakah benar begitu Pa? Tapi, tadi saat Alena pulang sekolah, Alena lihat ada orang yang mengintip dari balik pohon. Orang itu terus melihat ke arah teman Alena," ungkap Alena.
"Nak, kamu jangan khawatir ya. Tadi pembunuhnya tertangkap sekitar pukul 3 sore. Jadi bisa saja dia tertangkap saat berada di area sekolahmu," jawab Jack.
"Baiklah Pa, Alena akan tidur," ucap Alena lirih.
Alena masuk ke kamar dan bermain bersama Alen. Ia tidak langsung tidur. Sekalipun Jack sudah mengatakan bahwa pembunuh itu sudah tertangkap, namun Alena tetap yakin bahwa pembunuh itu masih berkeliaran di luar sana. Pikiran Alena tertuju pada Jems. Ia sangat khawatir, jika pembunuh itu akan melenyapkan keluarga Jems.
Apalagi Jems tinggal Jems tinggal di Perumahan Cempaka. Bisa jadi pembunuh itu akan melangsungkan aksinya di perumahan tersebut. Dan jika memang benar orang yang ia lihat tadi siang adalah pembunuhnya, sudah pasti Jems dan kedua orang tuanya akan lenyap malam ini juga.
"Alen, bagaimana jika pembunuh itu melenyapkan Jems dan keluarganya? Aku sangat takut. Atau bagaimana jika pembunuh itu melihatku tadi siang dan datang ke rumah ini," ucap Alena pada boneka beruangnya.
Alena memandangi boneka itu dan memeluknya. Ia membaringkan tubuhnya dan mencoba untuk tidur. Gadis kecil mencoba membuang semua rasa takutnya dan tidur dengan lelap hingga besok pagi. Rasa takut yang wajar untuk anak seuisa Alena.
Alena tidur dengan nyenyak hingga pagi. Sama sekali ia tidak terjaga dan merasa terusik karena rasa takut yang menghantuinya. Ia bangun dan melihat jendela kamarnya sudah terbuka. Alena terkejut dan berfikir bahwa ada seseorang yang masuk lewat jendela kamarnya.
Ia bergegas keluar kamar, dan melihat mamanya sedang sarapan di meja makan. Ia menghela napas lega, ternyata tidak ada yang masuk lewat jendela kamarnya. Melainkan Silvialah yang membuka jendela kamar itu agar cahaya bisa masuk ke kamar Alena.
"Syukurlah, mungkin Mama yang membuka jebdela kamarku," ucapnya lirih.
Gadis mungil itu kembali ke kamarnya. Mengambil handuk dan kemudian membersihakn diri. Setelah mandi, ia bergabung bersama kedua orang tuanya di meja makan. Pagi ini, gadis kecil itu menikmati roti dan susu sebagai sarapanya. Ia memang tidak terlalu suka makan nasi di pagi hari. Namun roti dan susu tidaklah cukup, biasanya bibi membuatkan bekal untuk dibawa ke sekolah.
"Ma, jendela kamarku terbuka, apa Mama yang membukanya?" tanya Alena sembari ia mengoles mentega di rotinya.
"Tidak, mama nggak masuk kamar kamu kok sayang. Mungkin Bibi yang buka," ucap Silvia.
"Kamu nggak usah takut ya sayang. Tidak akan terjadi apa-apa kok," ucap Jack menenangkan Alena.
"Baik Pa," ucap Alena lirih.
Alena melahap roti yang sudah ia olesi dengan mentega. Ia berharap, apa yang Silvia katakan memang benar. Karena jika bukan bibi yang membuka jendela itu, maka bisa dipastikan rumah itu tidak aman. Si pembunuh bisa saja datang kembali di waktu yang tidak terduga. Kedatanganya ke rumah itu tentu ada maksud terselubung. Jikalaupun itu pencuri, tentu ia akan mengambil sesuatu. Pikiran Alena terus saja berkecamuk memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi tadi malam.
Jack dan Silvia yang sudah lebih dulu sarapan, bergegas berangkat ke kantor. Hari ini mereka harus disibukkan oleh perkerjaan yang harus diselesaikan dengan segera. Jack harus mengurus proyek yang baru saja ditanda tangani sementara Silvia harus merancang pesta pernikahan kliennya. Sementara Alena masih santai, menikmati sarapannya. Ia tidak begitu terburu-buru, karena masih ada waktu satu jam sebelum bel sekolah berbunyi. Jarak rumah dengan sekolah tidaklah terlalu jauh, sehingga tidak sulit baginya menjangkau sekolah. Terlebih ada sopir yang akan mengantarnya.
Bibi datang membawa bekal untuk Alena. Karena rasa penasaran yang tak kunjung hilang, Alena bertanya pada bibi tentang jendela kamarnya yang terbuka.
"Bi, Alena mau tanya dong. Apa benar Bibi yang buka jendela kamar Alena?" tanya Alena dengan wajah serius.
"Ya Non, Bibi yang buka jendela kamar Non Alena," ucap Bibi sembari tersenyum.
"Oh, makasih ya Bi," jawab Alena diikuti dengan seulas senyuman.
Kali ini ia merasa lega karena tak ada lagi yang perlu ditakutkan. Gadis kecil mengambil tasnya, kemudian bergegas menuju mobil. Pak Deni sudah menunggunya di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, Alena selalu tersenyum. Hari ini seperti menjadi hari yang sangat spesial baginya. Di saat hampir tiba di sekolah, Alena melihat seorang pria dengan pakaian serba hitam. Baju, celana, topi, hingga kacamata yang ia kenakan. Pria itu duduk di atas motor sembari melihat ke arah sekolah Alena.
Alena memperhatikan gerak-gerik pria itu. Tak lama, pria itu melihat mobil yang dinaiki Alena berhenti di depan sekolah. Pria itu sedikit menunduk agar bisa melihat dengan jelas mobil yang baru saja tiba. Setelah itu, pria itu langsung pergi. Alena turun dari mobil, namun ia tak melihat pria itu lagi. Alena merasa curiga dengan sosok pria itu. Masih jelas diingatanya pria yang ia lihat kemarin di waktu pulang sekolah. Gaya berpakaian mereka sama persis.
"Apakah dia orang yang sama? Kalau memang sama, apa tujuan dia mengintai di sini?" ucap Alena lirih.
Tiba-tiba saja, Bella datang dan membuyarkan lamunan Alena.
"Hey Alena? Kamu sedang apa di sini?" tanya Bella yang baru saja tiba.
"Eh Bella. Aku nggak ngapa-ngapain kok," jawab Alena.
"Oh gitu, kita masuk yuk," ajak Bella.
Dua gadis kecil itu bergandengan tangan masuk ke kelas. Beberapa siswa tampak sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius. Alena adalah anak yang punya rasa ingin tahu yang tinggi. Jika melihat sesuatu yang tak biasa, ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai ia tahu jawabanya. Alena menghampiri kerumunan siswa yang berkumpul di satu meja.
"Kalian ngomongin apa?" tanya Alena.
"Kami sedang membicarakan Jems," ucap seorang anak laki-laki.
"Memangnya Jems kenapa?" tanya Alena yang kebingungan.
"Jems sudah meninggal. Kata ibuku, dia meninggal karena dibunuh," ucap seorang anak bernama Rini.
"Kamu tidak berbohong kan? Soalnya kemarin siang aku masih bertemu dengan Jems saat pulang sekolah," ucap Alena.
"Ya Alena. Aku juga masih belum percaya," ucap Rini.
"Ya sudah, kita tunggu saja informasi dari guru," ucap Alena.
Mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Tak lama, kemudian bel sekolah berbunyi. Beberapa siswa yang masih di luar, berlarian masuk ke kelas. Beberapa saat kemudian, Bu Tati masuk ke kelas. Wajahnya sedikit pucat dan juga lemas.
"Anak-anak, pagi ini ibu ingin memeberitahukan bahwa teman kalian, Jems, telah meninggal. Menurut informasi yang Ibu terima, Jems tewas karena dibunuh bersama dengan kedua orang tuanya. Polisi masih melakukan penyelidikan untuk kasus ini. Tapi kalian jangan takut ya, kalian harus tetap tenang. Polisi pasti menangkap pelakunya," ucap Bu Tati.
Beberapa siswa berbisik-bisik. Mereka sangat ketakutan setelah mendengar kabar tersebut. Bu Tati sedikit menyesal karena memberitahukan berita itu kepada siswanya. Namun ia juga tidak bisa menyembunyikan kebenaran itu. Bagaimanapun, para siswa harus tahu, sehingga mereka bisa lebih waspada terhadap orang asing.
Di tengah kebisingan, Alena mencoba untuk mengaitkan setiap kejadian yang ia alami kemarin. Mulai dari pria yang mengintai dari balik pohon dan juga pria yang mengintai dari atas motor tadi pagi. Ia menjadi semakin curiga akan pria itu. Jika semalam dia mengintai di depan sekolah, dan malam harinya Jems beserta kedua orang tuanya tewas dibunuh. Itu artinya, malam ini akan ada korban lagi. Dan pastinya korban selanjutnya adalah salah satu siswa di sekolah ini.
Alena mencoba untuk mematangkan pemikiranya. Dan ia memutuskan untuk menyelidiki siapa pria itu sebenarnya. Ia berencana untuk mengintai pria itu sepulang sekolah. Alena sangat yakin, bahwa pria itu akan kembali mengintai di depan sekolah. Dengan begitu, Alena bisa melihat siapa korban yang sedang di intai pria itu.
Bel istirahat terdengar ke seluruh kelas. Semua siswa yang sedang asyik belajar kini mulai berhamburan menuju kantin sekolah. Alena tidak pergi ke kantin, karena bibi sudah menyiapkan bekal untuknya. Demikian juga dengan Bella.
"Wah, kamu bawa bekal juga ya Bel?" ucap Alena.
"Ya Alena. Mamaku bilang, aku tidak boleh terlalu sering jajan di kantin," ucap Bella sedikit murung.
"Betul sih kata mama kamu. Jajanan di kantin kan belum tentu sehat," ucap Alena.
"Ya sih, tapi aku tetap ingin jajan di kantin," ucap Bella.
"Sudahlah Bel, lebih baik kita makan bekal aja. Lebih sehat loh!" ucap Alena.
Kedua gadis kecil itu melahap bekal mereka dengan cepat. Sembari menikmati bekal, Alena kembali memulai perbincangan dengan Bella. Kali ini ia ingin menanyakan soal kematian Jems yang menurutnya penuh dengan misteri. Bagaimana mungkin yang meninggal hanya Jems dan orang tuanya, sedangkan mereka juga punya pembantu. Dan perumahan Cempaka juga tergolong perumahan dengan tingkat keamanan tinggi.
"Eh Bel, kamu merasa aneh gak soal kematian Jems?" tanya Alena.
"Maksud kamu aneh gimana?" tanya Bella yang tidak paham dengan maksud Alena.
"Aku curiga deh dengan kematian Jems yang tewas karena dibunuh. Kan dia sama orang tuanya meninggal. Padahal di rumah mereka kan ada pembantu. Kenapa pembantu itu nggak ikut di bunuh? Dan satu lagi, Perumahan Cempaka itu kan terkenal dengan tingkat keamanan tinggi. Kalau pelakunya orang asing, tidak mungkin bisa sembarang masuk ke rumah Jems," ucap Alena.
"Benar juga sih. Aku nggak pernah mikir sejauh itu," ucap Bella yang mulai paham.
"Dan kemarin, aku lihat seorang pria mencurigakan di depan sekolah. Pakaiannya serba hitam. Tadi pagi juga aku lihat pria itu di depan sekolah. Aku curiga, jangan-jangan dia pelakunya. Dia ke sini untuk mengintai korban berikutnya," ungkap Alena.
"Kamu cerdas juga ya Alena. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, kita hanya anak SD yang tahunya bermain dan belajar. Kita tidak mungkin bisa terlibat untuk memecahkan kasus ini," ucap Bella.
"Ya Bel, kamu benar. Mungkin lebih baik aku melupakan masalah itu," ucap Alena.
"Ya Alena, aku juga takut. Jika kita ikut campur, pembunuh itu akan membunuh kita juga," ucap Bella.
Alena bergidik ngeri. Ia tak bisa membayangkan jika pada malam hari pembunuh itu datang ke kamarnya dan membunuhnya. Jika itu sampai terjadi, maka kasus pembunuhan itu akan terus berlanjut hingga semua orang akan menjadi korban. Meski Bella sudah memperingatinya, namun ia masih saja penasaran akan kasus pembunuhan itu.
***
Semua siswa berhamburan keluar kelas setelah mendengar bel sekolah berbunyi. Alena menunggu hingga semua temannya keluar, baru ia menyusul. Gadis kecil itu berjalan dekat pagar besi yang mengelilingi sekola. Ia menyipitkan matanya menatap ke pohon besar di depan sekolah. Dan benar saja, pria berpakaian hitam itu sedang berdiri di balik pohon tersebut. Tampaknya pria itu sedang mengintai seseorang.
Alena mendekatkan dirinya pada pria itu agar ia bisa melihat, siapa anak yang di intai oleh pria itu. Semakin dekat, semakin jelas Alena melihat sosok pria itu. Alena mengikuti sorot mata pria itu, dan berhenti pada seorang anak perempuan bernama Anita, yang juga teman sekelas Alena. Anita adalah anak seorang pengusaha kaya. Ayahnya pengusaha batu bara, sementara ibunya seorang guru. Setiap hari, Anita diantar jemput oleh sopir pribadinya. Alena segera menghampiri Anita untuk memperingatkanya. Saat Alena berjalan menghampiri Anita, pria itu tiba-tiba saja menghilang. Ia hilang dalam waktu sekejap.
Tak mau membuang waktu, Alena menghampiri Anita.
"Anita!" panggil Alena dengan napas terengah-engah.
"Ada apa Alena?" tanya Anita.
"Aku mau bilang sesuatu yang penting sama kamu," ucap Alena.
"Ada apa Alena? Katakan saja," ucap Anita penasaran.
"Tadi ada pria yang memperhatikan kamu. Dia berdiri di balik pohon itu. Aku tidak mau kejadian yang menimpa Jems, terjadi juga sama kamu," ucap Alena.
"Oh itu, tenang saja Alena, aku diantar oleh sopir. Sedangkan di rumahku ada satpam yang selalu berjaga 24 jam. Terima kasih sudah memberitahuku ya," ucap Anita.
"Baiklah Anita, hati-hati ya," ucap Alena.
Anita bergegas pergi menuju mobil yang sudah menunggunya di depan gerbang. Demikian juga Alena, sopir pribadinya sudah menunggu sejak tadi. Ia berlari kecil kemudian naik ke dalam mobil. Alena berbincang-bincang dengan sopir pribadinya tentang pria asing yang ia lihat.
"Pak, tadi aku lihat ada pria berpakaian hitam mengintip di balik pohon di depan sekolah. Bapak lihat kan?" tanya Alena.
"Yang mana Non? Dari tadi saya berdiri di depan sekolah, saya tidak melihat orang berpakaian hitam seperti yang Non Alena bilang," jawab Deni.
"Masa Bapak nggak lihat?" tanya Alena seolah tak yakin.
"Ya Non, saya memang tidak melihat orang berpakaian hitam. Memangnya kenapa Non?" tanya Deni penasaran.
"Alena curiga, pria itu ada kaitanya dengan kematian Jems," ucap Alena.
"Jems? Jems siapa Non?" tanya Deni semakin penasaran.
"Jems teman Alena Pak. Dia meninggal karena dibunuh bersama kedua orang tuanya," ucap Alena.
"Aduh Non, saran saya mending Non jangan terlalu mengurusi masalah seperti itu. Saya takut, nanti Non Alena malah kena imbasnya. Lebih baik kita serahkan semua kepada polisi," ucap Deni.
Alena hanya diam saja. Ia menundukkan kepalanya karena tidak ada yang peduli akan apa yang ia katakan. Menurutnya apa yang ia sampaikan benar adanya dan memang perlu ditindaklanjuti. Namun apa yang dikatakan oleh sopir itu benar, tidak seharusnya Alena terlalu dalam mencampuri masalah ini. Dia hanyalah anak kecil, kapan saja pembunuh itu bisa merenggut nyawanya. Namun, Alena bukan anak yang lemah dan mudah menyerah. Ia memutuskan untuk menanyakan hal itu nanti kepada kedua orang tuanya.
Karena kesibukan di kantor, Jack dan Silvia lembur untuk hari ini. Sudah pukul delapan, namun mereka belum juga tiba di rumah. Alena merasa cemas, dan sesekali melihat ke teras rumah. Ia ingin sekali mengatakan apa yang ia lihat di sekolah tadi. Menurutnya orang tuanya pasti akan mendukungnya untuk hal itu. Namun hingga pukul sembilan, Jack dan Silvia tak kunjung datang. Alena sudah merasa mengantuk, dan memutuskan untuk tidur. Ia bisa menanyakan orang tuanya besok pagi.
Berselang 15 menit setelah Alena tidur, Jack dan Silvia tiba di rumah. Wajahnya lesu seperti orang kelelahan. Tanpa basa-basi, mereka langsung pergi tidur. Sepertinya tidak akan ada adegan romantis di depan televisi. Sebelum tidur, Jack membuka pintu kamar Alena untuk memastikan bahwa puterinya sudah tidur. Kemudian ia menyusul Silvia yang sudah lebih dulu pergi ke kamar.
Terima kasih sudah mampir!
Jangan lupa vote yah!!!
Kalian baik deh 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top