TLE 4
Di belahan utara tanah Zoeearth, tempat di mana tak akan ada kicauan burung merdu di pagi hari, manusia dan hewan hidup berdampingan di sana. Ini memang terlihat seperti hewan telah mendominasi tempat itu, tetapi yang sebenarnya terjadi manusia dan hewan adalah satu kesatuan. Mereka adalah penampakan di mana kau dapat melihat dua jenis makhluk dalam satu tubuh. Tampak manusiawi di suatu waktu, tetapi ganas dan menakutkan di waktu lain. Transfigurasi adalah keahlian mereka yang dapat kau lihat, tetapi sama halnya dengan para penyihir yang penuh dengan magis, mereka juga memiliki keistimewaannya sendiri. Merekalah yang disebut Agrios, klan binatang buas.
Tempat mereka teridentifikasi sebagai tanah yang tidak ramah. Alih-alih suara jangkrik, di malam yang hening seseorang mungkin akan lebih sering menemukan suara lolongan atau geraman. Belantara adalah ciri khas mereka. Namun, waktu telah mengubah banyak hal. Buas masih menjadi sifat mereka, tetapi naluri manusiawi juga sudah mendominasi. Sehingga alih-alih hutan rimba, kalian akan melihat bangunan dengan atap layaknya rumah hunian di sana. Tanah Elwood adalah saksi perjalanan hidup mereka.
"Kenapa sangat gelap? Hei setidaknya nyalakan lampu minyaknya!"
Seseorang itu baru saja memekik. Keadaan ruangan yang gelap membuat ia harus merelakan lututnya terbentur benda padat.
Ia mengumpat. "Anak itu masih kekurangan tata krama untuk menginap di rumah orang lain ... ah lututuku!"
Seseorang yang diam sejak tadi mendengar suara tinggi itu, tetapi ia tetap bergeming menatap kosong pada kegelapan. Sosok itu berbaring di atas dipan tanpa alas. Lututnya ia tekuk sedang tangannya bersedekap. Di permukaan kayu itu, keringat yang menetes dari pelipisnya meninggalkan jejak hingga beberapa titik. Ia mengabaikan semuanya bahkan tidak memperbaiki anak rambut yang menutupi sebelah matanya.
"Apa dia belum pulang?" Yang berbicara ini sepertinya adalah sang pemilik rumah. Tangannya begitu lihai saat bergerak menelusuri rak kayu yang menempel di dinding. Begitu tangannya menemukan dua benda padat, ia langsung menggesek keduanya hingga nyala api tercipta yang langsung ia arahkan pada sebuah lampu minyak yang menggantung.
Penglihatannya baru saja menyesuaikan dengan adanya cahaya ketika ia berbalik dan menemukan orang lain meringkuk di atas dipan. Itu terlalu tiba-tiba sehingga rasa syok segera menyerang.
"Astaga kaget aku! Sejak kapan kau di sana?"
Sosok yang ditanya hanya menoleh sebentar sebelum akhirnya kembali pada posisinya. Raut wajahnya tampak malas.
Melupakan rasa sakitnya, pria berambut cepak-hitam itu berjalan mendekat. Ia kembali bersuara. "Kau benar-benar ke Troas kemarin?"
Masih tidak ada jawaban.
Pria yang bertanya menarik sebuah kursi rotan dan duduk bersandar di dinding.
"Apa yang kau cari di sana?" tanyanya lagi.
"Kau bisa diam?" Sosok yang berbaring akhirnya menjawab.
Benar-benar balasan yang tidak disangka-sangka. Seperti biasa terdengar tenang dan tak tersentuh, tetapi pihak yang mendengar malah menangkap sesuatu yang lain.
"Hei ... ada apa dengan suaramu? Gerald, kau sakit?"
"Jangan berlebihan, Sean." Peringatan itu sudah jatuh, tetapi pria yang dipanggil Sean tetap tidak berhenti. Ia beranjak dari kursi dan pergi meletakkan telapak tangannya di pelipis pria yang berbaring. Tiba-tiba ia tertawa keras.
"Hahaha kau demam?" Gerald menyingkirkan tangan Sean dan tetap diam. Ia sama sekali tidak berminat menjawab pertanyaan itu.
"Kau melakukan perjalanan dari Troas ke Elwood dan sekarang aku menemukanmu sakit?" Sean berkata di sela tawanya.
"Hei! Apa yang terjadi dengan reinkarnasi dari Aplha Samuel kita? Sejak kapan kau jadi sering sakit?"
Gerald sangat benci tiap kali temannya ini menyebut sesuatu tentang reinkarnasi. Hal ini hanya membuat denyut di kepalanya semakin terasa.
"Tidak, tidak, kau tidak mudah sakit hanya karena lelah."
Sean memikirkan jawabannya sendiri. Setelah terdiam sesaat ia kembali terbahak saat mengingat sesuatu. Ia lantas bertanya, "Siapa yang membuatmu terkejut?" Kali ini tetapannya sedikit genit. "Apa itu seorang wanita?"
Ekspresinya tampak dibuat-buat seolah seorang profesional. "Oh ini butuh pemeriksaan lebih lanjut." Setelah mengatakan itu, Sean kembali meletakkan tangannya di pelipis Gerald untuk mendeteksi suhu tubuhnya. Ekspresinya serius saat ia mulai menebak-nebak. "Panas ini ... auranya sedikit berbeda. Tunggu sebentar, aku harus merasakannya sekali lagi."
Gerald sedikit terganggu dengan itu. Namun, ia langsung menyesal saat mendengar ucapan Sean berikutnya.
"Benar, tidak salah lagi. Ini karena seorang wanita. Apa yang dia perbuat sampai kau sangat terkejut? Reinkarnasi Alpha kita ini sangat lemah!"
Gerald menyentak tangan itu dengan keras. Ia mengabaikan semuanya dan langsung menutup mata. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa kesal.
Kau terus mengataiku reinkarnasi seorang Alpha, tetapi seseorang baru saja menyebutku kucing!
🪄🪄🪄
Mentari baru saja menanggalkan posisinya di langit, meninggalkan jejak cahaya yang mampu memberi terang tanpa sedikit pun sengatan rasa panas. Ini adalah saat yang tepat untuk menghabiskan waktu dengan bersantai atau berjalan-jalan di luar. Pemaparan yang sangat tepat andai disandingkan dengan gadis-gadis rumahan yang menjunjung tinggi keperfeksionisan sebuah penampilan. Namun, tidak untuk Camelia yang terbiasa berlatih dua belas jam tanpa istirahat tidak kenal terik ataupun hujan. Hanya saja, semua itu akan menjadi pengecualian jika ia sedang bersama Lea, si 'gadis' wizard, teman masa kecil yang sampai saat ini belum juga menua. Tadinya ia memang akan ke rumah Lea. Namun, karena tidak sengaja bertemu di jalan mau tidak mau Camelia terpaksa mengekor.
Kedua wanita itu sedang menyusuri pusat perbelanjaan di kompleks umum. Hanya sebuah pasar kecil berisi stan-stan jualan yang berjejer di sepanjang jalan. Termasuk pasar harian yang memang menjual keperluan sehari-hari baik itu sandang maupun pangan. Ada juga printilan-printilan kecil seperti aksesoris ataupun souvernir. Pemilik lapak pun beragam, ada amagine juga para wizard, kedua ras sudah terbiasa berbaur.
Ciri khas dari area ini yang dapat diingat, tumbuhan yang hidup di area ini memiliki warna yang unik. Jika di Pyrgos tak akan ditemukan warna hijau, maka di sini satu buah pohon dapat memiliki tiga warna daun sekaligus. Seperti pohon sebelumnya yang berada di ujung jalan, hanya daun bagian tengah hingga pucuk yang berwarna hijau sementara bagian bawah diisi daun dengan perpaduan warna antara merah dan kuning.
Ini hal lumrah yang dapat ditemukan di Tanah Zoeearth. Wilayah-wilayah yang dihuni para penyihir---baik para wizard maupun alkemis--- membawa perubahan biologis pada tumbuhan sekitar. Sebagian orang memakai cara ini untuk menandai berapa perbandingan populasi amagine dan penyihir yang hidup di sebuah tempat. Tidak tahu pasti penyebab perubahan ini, tetapi seorang filsuf terdahulu pernah menebak jika perubahan yang ada diakibatkan oleh tumbuhan itu sendiri. Proses asimilasi pada tumbuhan cenderung mengambil molekul buangan dari makhluk sekitar. Molekul buangan yang berasal dari tubuh penyihir bercampur dengan energi spiritual yang ikut keluar. Terpapar energi sihir selalu jelas akan memiliki dampak. Sama halnya dengan itu tidak terkecuali para amagine, mereka memiliki usia lebih panjang sebagai dampaknya. Bukan menjadi abadi dan bisa hidup lama, hanya proses penuaan yang sedikit melambat.
"Kenapa kau ingin menginap di rumahku? Tumben sekali." Lea sedang memilah jejeran jepit rambut sutra ketika Camelia tiba-tiba saja mengatakan ingin tidur bersamanya malam ini. Mereka memang dekat, tetapi tidak sampai pada tahap menginap. Jadi Lea jelas akan mempertanyakan alasannya.
"Anggap saja sedang melarikan diri sesaat." Camelia menjawab ambigu sementara pandangannya sedang menilai sesuatu di stan seberang.
Bibir Lea mengerucut mendengar ini. Namun, pikirannya langsung teralihkan saat menemukan jepit rambut yang ia sukai. Ia meletakkan jempit rambut itu dengan tangannya di kepala dan dengan antusias meminta pendapat Camelia.
"Bagaimana, apa ini bagus?"
Camelia belum menoleh saat menjawab "ya, sangat bagus" secara asal yang langsung mendapat hadiah pukulan di lengannya.
"Hiss setidaknya lihat aku sebelum kau menjawab."
Camelia lantas menoleh, tetapi langsung kehilangan minat melihat warna kontras yang ada di rambut temannya. "Siapa yang akan memakai warna seterang itu ditubuhnya? Kau ingin sengaja menarik perhatian?"
Lea tidak menganggap ini salah sebelumnya, tetapi kini langsung merasa ragu. "Bukannya warna oranye sangat bagus?" Suaranya perlahan mengecil saat mengatakan kalimat berikutnya. "Kalau bisa menarik perhatiannya, akan tetap aku pakai."
"Ganti saja."
Ekspresi Lea yang tampak sedih berubah kembali saat mulai memilah lagi. Ia mengingat obrolan mereka sebelumnya. "Kau bilang tadi kau kabur? Bukannya katamu kau baru saja menyelesaikan tugas yang kau sebut "menggugurkan kewajiban pada seorang teman"? Bukannya itu bagus. Kenapa malah melarikan diri?"
"Yah, aku baru saja menghadiahi sebuah obat wajah dan sebuah cermin untuk temanku, tapi aku belum tahu dia akan senang atau tidak. Jadi aku memutuskan untuk kabur saja."
Lea sudah menemukan pilihan jempit rambut, tetapi entah kenapa ia kehilangan minat untuk menanyakan pendapat Camelia. Jadi ia langsung menyimpan itu dan membayar. Balasan Camelia sebelumnya sedikit menganggu. Ia bergumam, "Aku baru tahu ada orang yang diberi hadiah malah marah sampai-sampai kau harus pergi dari hadapannya. "
Camelia yang masih mendengar hanya mengangkat bahu, ia terus mengekor saat Lea beranjak pergi. Senyuman di wajahnya mengembang saat ia berkata, "Entahlah, temanku memang sedikit unik."
Keduanya tidak lagi berhenti hanya terus berjalan dan melihat-lihat. Jalanan ini diisi banyak pengunjung yang lalu-lalang, tetapi tidak sampai sesak. Itu baru beberapa detik lalu ketika dua wanita itu tiba-tiba saja terhimpit karena orang-orang mulai menepi ke pinggir. Ketika melihat celah sedikit di depan, Camelia segera menarik Lea untuk bebas dari sana.
"Ada apa dengan orang-orang ini?" Lea menggerutu memperbaiki tuniknya yang kusut. Ia juga mengecek rambutnya khawatir ada bagian yang berantakan.
"Dia penyebabnya."
Lea mendongak untuk melihat ke mana arah pandang Camelia dan menemukan sebuah kereta berjalan mendekat yang diikuti empat orang pejalan kaki. Empat orang yang sepertinya adalah pengawal ini rata-rata berbadan kekar. Tampilannya semakin mengintimidasi karena tak satu pun dari mereka mengenakan atasan. Hanya dengan melihat semua orang sepertinya sudah dapat menebak siapa rombongan yang baru tiba ini.
"Klan Agrios?" Camelia menaikan sebelah alisnya. Intonasinya terdengar bertanya, tetapi hatinya sudah lebih dulu mengiyakan.
"Rombongan Tuan Tirian."
Camelia melirik sebentar pada Lea sebelum kembali memandang pada kereta yang mendekat. "Aku tidak mengenalnya."
Lea menarik lengan Camelia saat kereta melintas tepat di depan mereka. Lea menjawab, "Dia salah satu orang penting di Klan Agrios. Wajar kau tidak mengenalnya dia memang jarang meninggalkan Elwood."
"Apa jabatannya?" Camelia belum mengalihkan pandangannya.
"Jabatan?"
Camelia akhirnya menoleh. "Katamu dia orang penting."
Lea mendekat saat volume suaranya mulai mengecil. "Bukan itu maksudku, dia orang paling kaya di Elwood."
Ekspresi mencibir langsung terpampang di wajah Camelia. Kali ini ia memandang kereta itu dengan tatapan remeh.
"Pantas saja. Beberapa kali aku melihat Tuan Kenan berkunjung ke Troas dan dia hanya menunggang kuda sendirian. Pemimpin klan mereka saja bisa semenawan itu. Tapi orang ini ... orang kaya memang payah. Aku curiga wujud asli orang ini pasti lebih rendah dari kucing waktu itu."
Pegangan pada lengan Camelia mengencang. Lea amat terkejut mendengar komentar Camelia yang sangat tidak ramah. Lea tidak mengerti tentang kucing yang ia sebutkan, tetapi mereka akan mendapat masalah jika omongan Camelia ini tersebar.
"Jaga bicaramu, Tuan Kenan saja hormat dengan Tuan Tirian."
Camelia hanya menghiraukan, ia bergumam, "Apa wujud asli paling lemah dari Klan Agrios? Aku rasa wujud asli orang ini seekor kelinci!"
🪄🪄🪄
Secara garis besar wilayah Troas terbagi atas tiga bagian. Di arah barat adalah wilayah kerajaan termasuk Pyrgos. Sementara di arah utara adalah wilayah yang ditempati para penyihir, area ini hampir sama besarnya dengan wilayah kerajaan. Itu melebar hingga bertemu dengan area umum; tempat ras amagine dan penyihir berbaur. Sementara sisanya di arah selatan, hanya sekitar seperdua dari area para penyihir adalah kediaman para amagine. Posisi area umum secara alami terletak di tengah, ini terjadi begitu saja karena interaksi kedua ras. Populasi amagine di Troas memang sedikit. Berbeda dengan kota-kota lain seperti Albama dan Fortland. Sebaliknya populasi penyihir lebih kurang di dua tempat itu.
Tempat tinggal Lea sendiri berada di area umum yang berbatasan langsung dengan tempat para amagine. Jadi ia sudah terbiasa berbaur dengan mereka. Lea dan Camelia baru tiba di halaman rumah Lea ketika seorang anak perempuan tiba-tiba menabrak mereka. Dua wanita itu belum bereaksi, tetapi anak kecil itu langsung bangkit dan melegang pergi. Camelia tidak berkomentar hanya melihat ke mana arah anak itu berlari. Camelia tidak lagi peduli saat melihat ia telah bergabung dengan teman-temannya.
Lea juga melihat hal yang sama. Saat ia menoleh pada Camelia, ia melihat temannya sedang memungut sesuatu.
"Oh, dia menjatuhkan mainannya."
Camelia tidak merespons hanya menilik benda di tangannya. Ini bukan benda asing. Sebaliknya, Camelia sangat familier. Bahkan benda serupa masih ada satu di dalam tasnya; benda yang juga tertinggal yang katanya akan ia kembalikan tapi belum kesampaian hingga saat ini.
"Replika witchstone, kenapa aku sering sekali melihat benda ini?"
"Ya banyak yang menjualnya di pasar."
Camelia tahu itu, di pasar sebelumnya ia bahkan melihat beberapa stan menjualnya di sana. Namun, yang menganggu adalah kenapa benda berbahan kayu yang hanya berlabis cat begitu diminati banyak orang?
"Aku juga melihat orang-orang menggantung benda ini di rumah mereka. Kebanyakan para penyihir menggunakan benda ini, mungkin hanya kau yang tidak."
Lea refleks melihat ke arah rumahnya. Ia paham yang Camelia maksud ini. Para wizard memang senang menggantung replika witchstone tepat di depan pintu. Dan ia baru menyadari sekarang jika ia tidak tertarik untuk ikut-ikutan.
Lea memainkan rambut ash brown-nya saat ia mulai memiringkan kepalanya untuk berpikir.
"Aku tidak tahu pasti alasannya tapi ini mungkin ada kaitannya dengan kontribusi witchstone di masa lalu. Kau tahu sendiri 'kan sejarahnya? Orang-orang sangat mengagumi para Elementis terutama Lady Gracelia. Pengorbanan Lady Gracelia melawan amukan laut hitam Death Valley juga bagaimana hilangnya witchstone akan menjadi kisah masa lalu yang tidak akan pernah hilang dari benak semua orang. Terutama para penyihir. Berdasarkan sejarah tersebut, sebagai bentuk mengenang pengorbanan Lady Gracelia, witchstone akhirnya dijadikan ikon tanda perlindungan. Mungkin orang-orang berasumsi bahwa keberadaan witchstone dapat menjauhkan diri dari bahaya. Aku juga tidak mengerti padahal mereka tahu itu hanya replika yang dibuat dari sepotong kayu. Walaupun begitu sejak dulu aku juga sangat mengagumi Lady Gracelia. Dia adalah definisi keindahan dan kecantikan yang sesungguhnya."
Camelia melihat Lea tersenyum saat menyebutkan kalimat terakhir. Dia hanya bisa berpikir, oh seperti ini pemandangan ketika orang cantik sedang mengagumi orang cantik?
Ia tidak memikirkan lebih lama dan beralih melihat anak pemilik replika witchstone sebelumnya. Jika ia tidak mengembalikan sekarang juga maka ia sudah memiliki utang kepemilikan terhadap dua anak sekaligus. Pikiran itu baru saja terlintas, tapi itu berubah begitu saja saat melihat bagaimana rupa anak itu. Ternyata ia hanya memiliki utang pada satu orang anak, karena gadis kecil di sana adalah anak yang sama dengan yang pernah ia temui sebelumnya. Anak itu juga pemilik replika witchstone yang ada dalam tasnya.
"Witchstone ini juga populer di kalangan anak-anak? Berapa banyak replika witchstone yang dia punya?"
Camelia sebenarnya sedang berbicara pada dirinya sendiri, tetapi Lea dengan baik hati turut menjawab.
"Aku tidak yakin soal itu. Aku jarang melihat anak-anak memainkannya."
Saat itu Camelia baru menyadari jika anak perempuan di sana tidak menghampiri teman-temannya untuk bermain. Ada jarak antara tempat gadis kecil itu berdiri dengan anak-anak lain yang sedang saling mengejar. Pikiran Camelia baru akan berkelana, tetapi fokusnya teralihkan saat melihat seorang pria menghampiri gadis kecil itu. Pria di sana tersenyum ramah bahkan tanpa ragu memegang pundak dan membelai wajah anak perempuan di depannya. Kedekatan ini membuat Camelia menebak jika ada hubungan ayah dan anak di antara keduanya. Jiwa anti sosialnya seketika menjerit, niat untuk menghampiri anak itu pun pupus.
"Akan aku kembalikan nanti. Dia sedang bersama ayahnya."
Lea tidak terlalu memperhatikan sebelumya, ia agak bingung sampai melihat pria yang Camelia maksud menuntun anak kecil itu pergi. Ia pun menggeleng.
"Itu bukan ayahnya. Orang-orang memanggilnya Tuan Malfoy. Dia memang menyukai anak-anak."
Tidak ada yang aneh sebenarnya dengan itu. Mungkin rasanya sama seperti Camelia yang begitu menyukai hewan ataupun buah. Namun, ia ingat dengan jelas bagaimana saat itu dirinya sendiri di masa kecil sangat membenci berinteraksi dengan pria dewasa. Jadi ia menatap kepergian dua orang itu dengan alis mengerut.
"Jika itu aku, aku tidak akan suka," tuturnya kemudian.
🪄🪄🪄
Di atas meja kayu beberapa replika hewan yang terbuat dari kertas saling menumpuk. Camelia sedang memainkan salah satu di tangannya, itu berbentuk seekor burung. Melihat wujudnya yang masih untuh, Camelia tahu origami hewan yang sebenarnya adalah sebuah surat ini sama sekali belum dibaca. Camelia sedang menganggur, ia mungkin akan berbaik hati membacakannya untuk Lea, tetapi ia perlu menimbang konsekuensinya.
"Kau yakin aku tidak akan muntah jika membaca ini?"
Lea sepertinya tampak tidak peduli, ia sedang sibuk memperhatikan benang dan jarum yang sedang bergerak-gerak di udara. Walaupun ia dapat melakukannnya dengan mata tertutup, sepertinya sesuatu yang ia sulam ini sangat spesial sehingga ia tidak ingin melewatkan satu pun sulamannya.
"Sebenarnya mereka semua sangat manis, tapi semakin aku membacanya rasa bersalah selalu menghantuiku. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus membuat mereka berhenti."
Camelia baru membuka sedikit lipatan kertasnya langsung kehilangan minat.
"Biarkan saja kalau begitu, bentuk-bentuknya cukup cantik untuk hiasan ruangan. Rangkai saja, kau alihnya."
Lea mengerucutkan bibir. "Kau jahat sekali."
"Aku ingin memberi saran tapi aku tidak berpengalaman. Daripada aku menyuruhnu mengghunus pedang pada mereka, lebih baik terima saja salah satunya. Mungkin mereka terus mengganggumu karena kau masih belum menentukan pilihan."
Lea menarik sebagian juntaian rambutnya ke depan. Sembari menggerakan tangannya di sana, Lea membalas, "Tidak semudah itu Camelia. Di antara mereka tidak ada yang aku suka dan perasaan tidak bisa dipaksakan."
Camelia menaikan sebelah alisnya. "Apa susahnya? Pilih saja yang paling tampan."
"Kau tidak akan mengerti. Aku menyukai orang lain."
"Ya itu benar. Aku memang tidak mengerti perasaan apa yang kau maksud itu. Tapi yang aku tahu tidak baik mengganggu pria yang sudah beristri."
Lea tiba-tiba saja kehilangan fokus, benang dan jarum jatuh ke pangkuannya begitu saja. Tidak berselang lama suara isakan terdengar.
"Jadi aku harus bagaimana? Aku berusaha melupakannya tapi aku tidak bisa." Lea menumpahkan air matanya.
Camelia benar-benar tidak mengerti situasi ini, ia ingin memberi hiburan tapi otaknya tiba-tiba buntu. Jadi dia hanya berkata,
"Kau ingin aku membunuh istrinya?"
Melihat Lea menoleh Camelia berpikir jika itu bukan ide yang buruk. Namun, alisnya langsung mengerut saat tangis Lea menjadi semakin pecah.
Baiklah, baiklah, membunuh sangat tidak manusiawi.
Menatap Lea yang kini tertunduk dengan bahu bergetar, alih-alih terenyuh, Camelia malah mengembuskan napas.
Kecantikan memang hanya membawa petaka.
Tentu saja ia berkata tanpa bercermin lebih dulu. Camelia sering memuji pria tampan, tapi untuk kecantikan seorang wanita, Lea masih yang pertama di matanya. Abaikan rupa Lady Gracelia yang katanya bak seorang dewi. Camelia belum pernah melihatnya jadi ia tidak perlu membandingkan dengan sesuatu yang sudah tidak ada.
Rambut ash brown dan iris mata toska milik Lea tentu tidak didapat begitu saja. Darah nyhimp---peri pohon---mengalir di dalam tubuhnya. Dengan identitasnya dan sebagai satu-satunya keturunan nyhimp, ia layak dipuja banyak pria. Namun, sayangnya Lea tidak seberuntung penampilannya. Seolah terjebak oleh cinta masa lalu belum cukup sial, nasib Lea menjadi lebih pahit karena kembali bertemu dengan sosok yang tidak dapat ia lupakan. Semua menjadi semakin buruk karena ia hanya bertemu dengan sosok yang sepertinya sama tapi ingatan, hati bahkan nama adalah milik orang lain. Bagaimana ia bisa mengharapkan persaannya berbalas? Mungkin Camelia benar. Terlalu bodoh menyukai pria yang sudah beristri. Lea yang malang.
Setelah mendengar tangis Lea mereda, Camelia yang hampir dibunuh rasa jenuh kini mulai mengeluh.
"Apa kau sudah selesai menangis? Jangan diam saja. Aku mulai bosan."
Lea mengangkat kepalanya. Walaupun lidah Camelia terlalu tajam untuk menjadi teman yang menemani di kala sedih, anehnya tidak ada raut kesal di wajahnya. Sebaliknya ia bersimpati.
"Apa kau lelah? Kau ingin tidur duluan? Aku masih harus fokus menyelesaikan saputangan ini."
Melihat mata sembab Lea, Camelia hanya semakin ingin mengeluh.
"Sepertinya kau yang harus istirahat. Sudahlah aku akan tidur saja."
Camelia sudah beranjak dari tempatnya. Di rumah ini hanya ada satu kasur. Untungnya ia masih punya kesadaran untuk tidak membuat sang pemilik rumah berbaring di kursi. Walaupun sebenarnya ia melakukan ini karena terbiasa tidur di sembarang tempat saat masa latihan dulu.
Camelia sudah merebahkan diri pada sebuah kursi panjang berbahan rotan ketika sesuatu yang terbang di udara menuju ke arahnya. Itu adalah seekor murai. Seolah paham burung itu memang akan datang untuknya, Camelia mengangkat tangannya membiarkan murai itu mendarat di sana. Camelia terlihat tidak terkejut saat murai yang seluruhnya berwarna putih tiba-tiba menjadi kaku saat menyentuh permukaan kulitnya. Ia jelas familier. Murai yang sebenarnya adalah sebuah surat ini akan berubah menjadi kertas begitu sampai pada yang dituju. Begitulah cara semua orang menyampaikan pesan. Namun, replika burung murai ini hanya berasal dari kerjaan.
Sudut bibir Camelia ditarik begitu selesai membaca isinya. Ia menatap Lea yang masih duduk di kursi seberang.
"Masa liburku sepertinya sudah selesai. Besok aku akan pulang."
🪄🪄🪄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top