TLE 3

Masalah Aletta bukanlah sesuatu yang rumit, harusnya. Namun, Camelia sudah membuang tenaga yang tidak sedikit dalam usahanya. Setelah membuat otot-otot lengannya kebas karena cermin sialan itu, kini ia nyaris membuat kakinya terkilir. Camelia benci mengatakannya, tapi ... lagi-lagi penyebabnya karena cermin itu!

Ia mengambil istirahat panjang tentu saja untuk melerai lelah, yang ia isi dengan duduk merenung di bibir danau. Cukup dramatis mengingat suasananya; danau panjang terbentang dengan refleksi langit yang jatuh tepat di semua sisi, hamparan daun-daun gotu kola mengisi bibir danau dengan tinggi seragam dan lebarnya terlihat seolah sengaja dirangkai, dan jangan lupakan sebaran cermin-cermin yang memenuhi permukaan tanah membuat Camelia merasa sedang berada di atas awan karena cermin-cermin itu juga memantulkan gambaran langit. Namun, semua itu buyar saat ia berdiri dan mengumpulkan niatnya kembali untuk mengambil daun-daun yang menjadi targetnya sejak tadi. Bak berada di atas panggung gelap, Camelia hanya menoleh sebentar ketika jutaan cahaya sudah menghujani pandangannya dengan kecepatan yang tak tertebak. Sayang sekali Itu bukan lampu sorot jadi Camelia tidak akan menunggu suara tepuk tangan!

Camelia refleks menutup mata. Ia mengira akan kehilangan penglihatan saat itu juga. Siapa sangka, begitu ia mengintip dari balik jemarinya, rupanya cahaya-cahaya itu berasal dari cermin yang memantul. Tidak kuasa menahan tekanan di matanya, Camelia mundur untuk menghindari sengatan perih itu. Namun, medan yang tidak rata membuat sisi lain pijakannya menempati ruang kosong. Beruntung dengan kesigapannya, ia berhasil memutar tubuh dan mendarat dengan tidak anggun di antara rimbunnya daun-daun gotu kola. Salah satu Boots yang ia kenakan sedikit melorot. Celana kulit dan tangannya mungkin tercoreng oleh tanah becek, tapi setidaknya ia tidak menggiling kakinya. Semua aman dan yang paling penting ia mendapatkan apa yang ia cari.

"Wah! Apa ini lucu?" Camelia bergegas berdiri. Membersihkan bercak tanah di tangannya dengan raut kesal. Ia menatap cermin-cermin itu dengan sinis. "Kalian mempermainkanku?!"

Pikiran tentang menghanyutkan semua benda itu ke danau baru saja terlintas. Namun, gambaran wajah murka Aletta yang baru saja muncul di kepala membuat ia segera mengurungkan niatnya. Camelia beralih memandang hamparan tanaman gotu kola. Ia mengembuskan napas berat.

"Baiklah, mari ambil ini dan pulang."

Sejak tadi ada sesuatu yang mengganjal di gigi Camelia yang terus berusaha ia lepas. Camelia menduga itu biji buah bunga kencana yang masih tertinggal di mulutnya. Namun, dendamnya pada cermin-cermin ini membuat ia lupa sejenak. Seandainya tidak memberi kesan buruk, Camelia mungkin akan berinisiatif menggunakan salah satu cermin itu untuk membantunya melepaskan. Namun, lupakan saja. Camelia sangat tidak sudi!

Benar-benar pagi yang menjengkelkan, pikir Camelia. Ini tidak ada bedanya dengan saat belasan tahun lalu ketika ia terus gagal membidik anak panahnya. Sungguh sangat menyebalkan! Camelia sampai menghindar, merasa enggan melewati cermin-cermin itu. Pouch kecil berisi daun gotu kola ia masukkan secara kasar ke dalam tasnya. Masih dengan suasana hati yang buruk, Camelia mengambil anak panah yang tersampir di pundak lalu mencari busur di antara jutaan isi tasnya. Tanpa mengukur ke mana target yang akan ia ambil, Camelia menarik tali busur dengan kuat. Seolah semua kebencian ia tumpuk di ujung anak panah, pundaknya menjadi ringan dan sesak di dadanya perlahan berkurang begitu anak panah itu melesat jauh ke depan. Sensasi kepuasan seketika mendominasi. Salah satu sudut bibirnya akhirnya ditarik.

"Waktuku terbuang banyak pagi ini." Gemuruh di perut Camelia terdengar. Ia bahkan melihat ada celah di antara korset yang menempel di pinggangnya. "Ah aku bahkan belum sempat sarapan."

Camelia menoleh kembali pada tanah penuh sebaran cermin. Tatapannya melembut kali ini. Ia sedang menimbang akan membawa benda itu atau tidak. Camelia tiba-tiba berpikir, pantas saja temannya itu tidak kunjung kaya, apa semua uangnya ia dedikasikan untuk cermin-cermin ini? Kualitas kayu yang membingkai benda pipih itu bahkan tidak biasa! Rasanya tidak sudi melukai tangannya dengan bobot cermin paling besar. Namun, di sisi lain, amarah Aletta tidak akan mampu ia tanggung.

"Merepotkan sekali."

Di momen itu, Camelia mendengar ada suara gemerisik dari arah samping. Saat menoleh, ekor matanya menangkap adanya ranting dan semak yang bergerak. Itu langsung merenggut semua fokus. Sebelah alisnya terangkat, ia merasakan ada kejanggalan.

"Panahku tidak melewati jalur itu." Camelia sudah memastikan jika anak panahnya tidak menimbulkan masalah. Namun, ia kembali menarik busurnya, perasaan sedikit waspada kini bersarang di dada. Terdorong oleh keadaan itu, Camelia mulai menuntun langkahnya perlahan, mendekat ke sumber suara. Tidak terlalu jelas, tapi ia baru saja mendengar sebuah geraman. Lalu kecurigaannya segera teramini, ia lantas menghentikan langkah. Kali ini ia menangkap dengan jelas bagaimana semak itu kembali bergerak.

"Aku sudah merasa terintimidasi jadi bagaimana kalau aku mengharapkan sesuatu yang lebih besar dari kelinci hutan?" Camelia berbicara pada dirinya sendiri. Pada dasarnya ia menyukai tantangan. Jadi mungkin akan lebih menyenangkan melihat ada seekor beruang yang bersembunyi di sana. Walaupun ia tahu semak itu terlalu pendek bahkan untuk ukuran bayi beruang.

Hanya waspada. Camelia tidak benar-benar melepas pegangan pada tali busur. Ia memacu langkahnya kembali. Apa pantas disebut mengendap-endap? Karena Camelia tidak membungkuk sama sekali. Langkahnya saja yang memang pelan, tetapi itu dibalut dengan ketegasan dan keberanian.

Jarak yang terkikis membuat Camelia akhirnya dapat mengintip ke balik semak. Sesaat ia berubah bersemangat karena melihat sesuatu berwarna hitam tampak menunduk di tanah. Bulu binatang, Camelia yakin akan itu. Menilai ukurannya sepertinya seekor hewan yang cukup besar. Namun, raut wajah Camelia berubah ketika melihat sosok berbulu hitam itu berdiri.

"Jadi hanya sekeekor kucing ... umm besar?"

Anak panah otomatis ia buka. Mengembalikan semua ke tempatnya, senyum di wajah Camelia mengembang saat ia melompati semak belukar hendak menghampiri hewan itu. Sayangnya ia tidak mendapat sambutan hangat, hewan yang ia sebut kucing besar itu melangkah mundur perlahan.

"Aku tidak pernah melihat kucing sebesar ini sebelumnya. Kau pasti peliharaan milik seseorang dari Klan Agrios. Karena itu kau pasti bukan kucing biasa." Kedua alis Camelia bertaut. " ...Tapi apa yang kau lakukan di Hutan Forst?"

Tidak merasakan adanya orang lain di sini, Camelia berpikir bahwa kucing besar ini tersesat. Jadi Camelia berniat membawa serta hewan temuannya ke istana. Pemiliknya akan lebih mudah mencarinya jika ia berada di sana. Tangan Camelia pun terulur ingin mengusap puncak kepala hewan di depannya. Mereka baru saja bertemu. Camelia setidaknya harus memberi kenyamanan agar hewan ini lebih mudah untuk dituntun nantinya. Namun, belum sampai tangan Camelia menyentuh bulu hitam itu, sang kucing besar menggeram membuat tangan Camelia berhenti di udara.

Camelia tidak gentar sama sekali kendati hewan di hadapannya terlalu buas untuk ukuran kucing yang biasa ia bawa dalam gendongan. Hanya saja Camelia tidak terbiasa dengan sensasi ditolak seperti ini, jadi ia hanya tersenyum lantas menarik tangannya kembali.

"Ternyata kau pemilih." Camelia berpikir sejenak sebelum kemudian membuka penutup tasnya. "Mari kita lihat apakah aku memiliki sesuatu untuk kau makan. Sebenarnya aku ingat pernah memasukan ikan kering ke dalam sini, tapi aku ragu kau akan suka mengingat ukuranmu." Tangan Camelia terus mengais di dalam sana sementara mulutnya tidak berhenti bergerak. Pandangannya tiba-tiba beralih melihat hewan itu.
"... ngomong-ngomong, majikanmu memberimu apa? Daging mentah? Ah soal daging mentah ... jangan-jangan majikanmu malah yang makan daging mentah?"

Tangan Camelia tiba-tiba berhenti lalu raut wajahnya berubah serius. Ia melanjutkan,
"Inilah yang aku bingungkan. Mengenai Klan Agrios ini mereka memiliki nama lain dengan sebutan klan binatang buas karena semua yang di sana dapat bertransformasi menjadi hewan, bukan? Yang menjadi pertanyaan, ketika mereka dalam wujud itu bagaimana orang lain tahu mereka sebenarnya hewan biasa atau bukan?" Belum lepas kerutan di dahinya, Camelia sudah menemukan jawabannya sendiri. "Ah ... buas?"

Lagi-lagi ekspresinya berubah mendadak. Ia melihat hewan itu dengan lekat. "Walaupun ukuranmu cukup ditangguhkan berada di antara mereka, tapi kau tetap saja seekor kucing. Sayang sekali aku tidak bisa menyebutmu imut, atau harga dirimu mungkin akan tercoreng dengan tubuh sebesar itu. Apa mereka memperlakukanmu dengan baik? Mereka tidak ... tunggu!" Camelia baru saja memalingkan wajahnya kembali ke tas yang terbuka ketika sebuah pikiran tiba-tiba muncul di kepala. Ia menoleh dengan cepat untuk memastikan sang kucing besar tetaplah seekor kucing. Namun, hanya dalam dua kedipan mata sosok berbulu hitam itu sudah menjelma menjadi seorang manusia yang ... utuh.

Camelia nyaris tergagap. " Aku baru akan mengatakannya. Rupanya kau memang bukan kucing biasa."

🪄🪄🪄

Sosok pria yang baru mengambil wujud manusia mengepalkan tangannya kuat. Ada kemarahan yang tergambar jelas di wajahnya.

"Aku baru akan mengatakannya. Rupanya kau bukan kucing biasa."

Pria itu tidak terbiasa meladeni hal sepele terlebih kepada orang yang tidak ia kenal. Namun, kata 'kucing' yang terus diulang wanita ini membuat sesuatu di dadanya bergemuruh. Kalimat tertahan di tenggorokan meluncur begitu saja. "Sebagai seorang amagine kau punya nyali yang cukup untuk menilai sesuatu yang tidak perlu." Pria itu tidak menyangka dengan semua yang terjadi, intonasi suaranya masih tetap tenang.

Camelia sendiri tidak yakin bagian mana dari kalimat itu yang ia mengerti, tetapi tidak ada sedikitpun rasa bersalah saat ia membalas, "terima kasih atas pujiannya."
Malah kini ia sibuk menilik penampilan pihak lain.

Pria itu memakai kaus tunik yang sengaja memperlihatkan dada atas dengan bawahan hitam yang sangat kontras berpadu warna kulitnya yang terang. Ada robekan di lengan dan pundak kain itu menambah kesan berantangan pada penampilannya. Namun anehnya, Camelia merasa berat berpaling dari sana. Saat ia mengangkat kepalanya sedikit, pandangannya bertemu dengan iris abu yang Camelia tidak perlu bertanya mengapa itu begitu mengintimidasi. Camelia tidak yakin dengan seberapa sering ia melihat warna dark brown membalut kepala orang lain, tetapi rambut yang nyaris menyentuh bahu itu bertahta sempurna di antara dada bidang dan bahu lebar. Alis tegas di sana memperjelas kalau kehadiran Camelia tidak diterima. Namun, wanita yang kekurangan ilmu kepedulian ini mengesampingkan semua itu dan malah berjalan mendekat.

Mata Camelia sangat jelas melihat buku-buku jari pihak lain mengeras, tapi ia dengan santai berkata, "mulai sekarang aku akan berbaik hati mengakui keganasan Klan Agrios, mungkin." Camelia berhenti beberapa langkah di depan pria itu.

Kucing yang berasal dari sana saja terlihat seperti ini, ia membatin.

"Aku tidak tahu kalau ras amagine punya pemikiran pendek dalam menilai." Pria itu memalingkan wajah.

Camelia tiba-tiba terkekeh. "Oh? Benarkah? Tapi aku cukup akurat. Kau boleh mengujinya" Melihat pria itu tidak kunjung menjawab, Camelia mengangkat sebelah alisnya dan melanjutkan,"Jadi apakah kau benar-benar tersesat?"

"Tidak!"

Camelia cukup terkejut dengan jawaban tanpa jeda itu. Namun, fokus Camelia teralihkan oleh sesuatu di mulutnya. Ia berdeham membuat sesuatu yang ternyata adalah biji buah kencana yang nyaris membuat ia tersedak kini berpindah ke lidahnya. Akibat ketidaknyamanan yang menyerang, Camelia tanpa persiapan menyentakkan lidah. Mata Camelia membelalak saat menyaksikan bagaimana biji itu terbang dan mendarat di pakaian pria itu. Sungguh! Ini bukan cara elegan untuk menyapa pria tampan di pertemuan pertama. Namun, lupakan soal pria tampan. Camelia kini hanya memikirkan bagaimana melepas biji sialan itu dari sana!

Terdistraksi oleh keadaan, tanpa sadar Camelia melangkah maju membuat jarak di antara keduanya tersisa dua langkah. Pria itu jelas mengambil langkah mundur. Namun, semua itu hanya menambah kebingungan di kepala Camelia. Mulutnya bergerak terbuka tapi suara dari sana tak kunjung terdengar.

"Kau mau ke mana?!" Melihat pria itu hendak berbalik, Camelia refleks menahan pundak pihak lain dengan kedua tangannya.

"Apa yang kau lakukan!" Pria itu tersentak, kaget. Refleks ia menyentuh tangan pihak lain hendak menjauhkan dari pundaknya, tapi siapa sangka Camelia begitu gigih memegangnya.

"Lepaskan!" pekiknya lagi.

Camelia sadar dengan pelototan yang diberikan untuknya, tetapi ia mencoba abai dan mencari alasan secepat mungkin.
"Tunggu sebentar." Camelia menjawab tanpa berpikir saat pria itu mencoba melepaskan diri dari pegangannya. "...ada yang ingin aku katakan," lanjutnya cepat.

Beruntung pria itu tidak memberontak lebih jauh, tapi Camelia bisa merasakan tubuh itu menegang. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Camelia segera melepas sebelah tangannya dan menargetkan biji yang masih menempel. Corak di pakaian pria itu menghambat pergerakan tangan Camelia. Ia menggerakan tangannya dengan cepat, tapi malah nyaris tersangkut. Keadaan ini membuat siapapun yang melihat akan mengira Camelia sedang membelai dada bidang itu. Biji berhasil ia singkirkan, tapi sungguh Camelia tidak ada niatan menggoda ataupun mengambil kesempatan. Ia menjadi serba salah saat melihat wajah pria itu tiba-tiba menjadi pucat. Tidak tahu harus bagaimana, tanpa berpikir lebih jauh Camelia dengan ragu berkata, "maaf tapi ... maukah kau membantuku mengangkat cermin-cermin di sana?"

🪄🪄🪄

Camelia keluar hutan dengan perasaan dongkol. Boleh dibilang paginya begitu berwarna hari ini. Namun, tiap kali ia membayangkan pahatan sempurna dari wajah pria yang baru ia temui, pikirannya selalu berakhir pada cermin dan biji buah kencana. Seolah seluruh wajahnya terbuat dari kaca tipis, semua retak berantakan bersamaan dengan angan-angan yang luluh lantah. Camelia tidak akan punya wajah jika bertemu dengan pria itu lagi.

Sayang sekali!

Begitu Camelia sampai di jalan yang sebelumnya ia lewati, hamparan bunga liar berwarna ungu itu menyambutnya. Bekas petikan yang ditinggalkan olehnya saja masih segar. Dada Camelia meradang. Tidak memberikan komentar apa pun, ia meraih penutup tas yang melingkar di pinggang dan mengeluarkan sebuah pedang. Dalam sekali tebasan semua pohon bunga kencana liar itu berserakan di tanah.

Memasang senyum terbaiknya, Camelia dengan bangga berkata, "Demi kehormatan dan harga diri seluruh makhluk yang ada di dunia ini, aku harus mengamankan kalian."

Tidak ada yang bisa meragukan ayunan pedang yang terhunus oleh tangan itu, tetapi Camelia tiba-tiba merasa jijik karena melampiaskan semuanya pada tumbuhan yang bahkan diinjak saja sudah tidak akan bangun lagi. Namun, persetan dengan rasa hormat. Harga dirinya sudah lebih dulu tak berbentuk. Ia memandang sebaran kelopak itu lamat-lamat. Ketika semua menjadi tenang, ia mengembalikan pedang ke tempatnya.

"Jangan pernah muncul di depan mataku."

Setelah mengatakan itu, Camelia sudah akan melangkah pergi. Namun, ekor matanya menangkap sesuatu yang keluar dari tumpukan batang bunga tumbang. Itu seekor ulat bulu biru dengan sebaran titik hitam di atas kulitnya. Melihat ini, kekesalan Camelia sedikit mereda. Alih-alih geli, ia berjalan mendekat mengamati hewan itu yang berjuang bergerak .

Karena tidak bisa menyentuhnya Camelia meremas tangan di depan wajahnya, gemas. Ia berkata, "Sayang sekali kau tidak bisa kubiarkan berjalan di atas kulitku."

Cukup lama Camelia berjongkok hanya untuk memastikan hewan itu berpindah tempat dengan baik. Camelia tiba-tiba tersenyum. Pikiran di kepala menggerakkan ia membuka penutup tasnya, lalu sesaat kemudian tangannya memegang sebuah gelembung berbentuk stoples dengan penutup yang juga transparan.

"Aku hanya punya ini."

Gelembung yang entah bagaimana tidak becah itu ia arahkan ke tanah. Ulat bulu yang menjadi targetnya masuk tanpa kesusahan. Lagi-lagi Camelia tersenyum.

"Mari berharap benda ini tidak jatuh. Atau si gadis wizard itu akan memarahiku karena merusak barang pemberiannya." Camelia mengangkat benda itu lebih dekat. Ulat bulu mengitari lingkar kecil di dalam sana. "Beristirahatlah, stoples gelembung ini tidak akan pecah selama aku tidak membantingnya. Aku akan mencarikan rumah baru untukmu, teman kecil."

Setelah memasukan kembali ke dalam tas, Camelia benar-benar melangkah pergi dari sana. Sejujurnya Camelia tidak yakin soal rumah baru, tapi ia merasa ulat bulu itu akan berguna nantinya.

🪄🪄🪄

Tas pinggang yang sering Camelia pakai adalah tas berbahan kulit dengan ukuran hanya sejengkal orang dewasa. Itu menyatu dengan ikat pinggang sehingga ia bisa bergerak tanpa merasa terganggu. Warnanya coklat gelap. Ada hiasan di sisi depan; sebuah motif bunga yang memiliki dua belas kelopak, sisi luar bunga itu dikelilingi sulur tanaman dan duri tajam menempel di sela-sela daun. Terhitung ada lima duri yang mengisi celah, sekilas yang melihat akan mengira itu benar-benar duri. Namun jika lebih memusatkan pandangan, itu sebenarnya wujud dari tiruan benda padat yang memiliki bentuk runcing di kedua sisi. Merupakan sebuah lambang yang akan orang lihat ketika berurusan dengan pihak kerajaan. Tas ini istimewa karena dibuat oleh seorang pengrajin dari Klan Wizard, penyihir terbaik saat ini. Disebut spesial karena dapat menampung benda apapun tidak peduli seberapa besar ukurannya. Dari semua kelebihan yang ada, Camelia paling menyukai kemampuan tas itu dalam mengawetkan makanan. Orang-orang yang sering bersamanya akan mengira ia membawa kulkas portabel, karena kebiasaan mengeluarkan makanan di mana pun dan kapan pun nyaris setara dengan bagaimana ia selalu mengeluarkan senjata dari sana.

Walaupun sebenarnya terlihat sembrono dan kadang merepotkan, Camelia hanya ingin mempermudah pekerjaan dengan tidak membawa banyak barang di tubuhnya. Karena itu ia terus memasukan barang secara acak, termasuk benda penting yang baru ia keluarkan. Itu sebuah lencana giok berbentuk persegi, pendar biru menguar di antara keseluruhan warna mint-nya. Tampak polos jika dilihat dari jarak jauh, tapi sebenarnya lambang serupa terukir di kedua permukaan lencana itu.

Saat ini Camelia berdiri di depan sebuah hutan. Sekitar lima belas meter di belakang, bangunan-bangunan penuh kubah berlapis emas berdiri megah di kelilingi tembok besar yang menjulang. Camelia mengambil jalan pintas menghindari tembok-tembok itu untuk sampai di sini. Sekilas di depannya ini memang hanya ada hutan, tetapi begitu Camelia mengangkat lencana gioknya, sebuah gerbang transparan muncul. Seolah mengkonfirmasi keberadaannya, jalan masuk pun terbuka memudahkan Camelia melangkah ke dalam. Ini jelas jalan yang tidak dapat diakses sembarangan orang, lihat saja gerbang menghilang tepat saat Camelia ditelan tabir transparan itu. Pemandangan pun berganti memperlihatkan halaman luas dipenuhi tanaman warna-warni, sebuah bangunan tinggi bertahta di tengahnya. Semua orang menyebut tempat ini Pyrgos, tanah keberadaan menara alkemis.

Camelia langsung pada tujuannya. Ia mengendarakan pandangannya mencari tanaman yang pas. Masih tentang Aletta, daun gotu kola tidak akan berkhasiat maksimal jika tidak dicampur dengan bahan yang mengandung sihir. Jadi ia ke sini untuk mendapatkan tanaman yang pas. Walaupun ia tahu penjaga kebun belum tentu memberinya begitu saja. Namun, selalu ada celah di setiap situasi. Kesempatan yang mungkin dipikir tidak ada akan Camelia manfaatkan selagi ia bisa. Maka kita lihat saja apa yang bisa Camelia dapatkan karena ia tidak mungkin pulang kosong.

"Jadi tumbuhan apa yang pas untuk campurannya?"

Fox adalah produk pengecualian yang sebenarnya tidak sesuai dihasilkan di menara alkemis mengingat identitas mereka. Penyihir alkemis seharusnya hanya terlibat dengan tanaman obat-obatan dan ramuan. Namun, keajaiban tak terduga selalu lahir dari tangan-tangan itu maka tidak mungkin karya seperti fox lahir.

Sebagaimana seharusnya juga nama yang akrab dengan mereka, yang tumbuh di Tanah Pyrgos pada dasarnya hanyalah tanaman herbal yang akan diolah menjadi berbagai ramuan dan obat. Kebanyakan memang tanaman biasa. Namun, keberadaan beberapa tumbuhan magis membuat warna semua tanaman merata. Baik bunga daun dan batang pun berubah menyesuaikan warna dasar yang sudah ada. Entah itu kuning, coklat, merah, ungu, biru, satu yang pasti, tidak ada warna hijau di sini. Sehingga di dalam Pyrgos tanaman biasa pun tidak ada bedanya dengan tumbuhan magis.

Untuk tumbuhan magis, Camelia hanya familier dengan bunga nerfiss. Berbeda dengan tanaman lainnya yang tidak sepenuhnya mengandung energi sihir, bunga nerfiss tumbuh dengan energi sihir penuh. Ada beberapa lagi, tapi Camelia terlalu malas mencari tahu. Tidak tahu pasti dari mana bibit-bibit ajaib itu datang, mereka sama misteriusnya dengan batu zafeer yang hanya ditemukan dan diolah di Pyrgos. Lagi pula bukan itu yang ia butuhkan. Camelia mencari tumbuhan dengan manfaat yang pasti. Ia menargetkan tanaman biasa yang jelas sudah berubah warna karena ikut terkontaminasi.

Setelah menilik lebih jauh, pandangan Camelia jatuh pada tumbuhan mirip bunga aster. Seluruh kelopaknya berwarna kuning pucat, Camelia tahu itu yang ia cari, tetapi wanita itu belum bergerak dari tempatnya.

"Benar, bunga chamomile adalah campuran yang tepat." Sedemikian pun Camelia yakin, ia tidak langsung menghampiri tanaman itu. Sebaliknya alisnya mengerut ketika ia terus mengerling seperti menunggu kehadiran seseorang.

"Lama sekali, biasanya langsung muncul."

Dalam penantiannya, Camelia teringat pouch berisi daun gotu kola yang ia masukan lebih dulu. Walaupun masih dalam kemungkinan kecil untuk memperoleh apa yang ia inginkan, Camelia memiliki pemikiran untuk menyediakan wadah karena tumbuhan berharga harus diamankan secepat mungkin. Penutup tas segera ia buka. Namun, baru saja sebelah tangannya masuk, sesuatu dari dalam keluar dan tanpa persiapan jatuh menghantam tanah.

Bunyi prang benda pecah sangat jelas menyapa pendengaran. Camelia langsung menoleh hanya untuk menemukan sisa bongkahan stoples transparan yang sudah tak berbentuk di tanah sementara sebagian lainnya lagi sudah menguap menyatu dengan udara. Camelia menatap sedih pada ulat bulu yang terkapar di tanah, baru berhasil mengambil posisi setelah sebelumnya tubuhnya jatuh terbalik. Intonasi itu terdengar sedih saat ia berkata, "Maaf Lea ... sayang sekali padahal itu barang yang bagus." Tapi tidak ada sedikitpun raut penyesalan tergambar di wajah.

Camelia malah tersenyum. "Aku tidak berbohong, kan?" Ia menatap ulat bulu seolah menatap teman bicara. "...bagaimana? Bukankah ini rumah yang sangat bagus?" Senyum Camelia semakin melebar melihat ulat bulu yang sudah bergerak pergi. Ia masih ingin menikmati pemandangan itu ketika sebuah suara tiba-tiba menyentak tegas. Sangat jelas amarah yang dikeluarkan, tapi suara paraunya tidak menggertak sama sekali.

"Aku menghitung semua daun yang ada di sini. Jadi jangan mengira aku tidak akan tahu jika kau mengacau lagi!"

Alih-alih ketakutan, Camelia malah berbalik dengan tidak sabar.
"Paman sedikit terlambat kali ini." Ia menilik penampilan pihak lain. "Aku sedikit bertanya-tanya, tapi sepertinya Paman Castor tampak sehat-sehat saja. Paman tidak memakai tongkat hari ini."

Pria bernama Castor ini hanya setinggi bahu Camelia. Memiliki julukan tukang kebun karena secara pribadi ia yang merawat semua tanaman di sini. Walaupun begitu, penampilannya tidak benar-benar menggambarkan profesinya. Kemeja putih yang dibalut rompi marun juga blazer hijau di bagian luarnya, semua tampak selalu bersih dan rapi. Warna cinnamon pada celana yang hanya selutut melengkapi penampilannya. Siapapun akan tahu kalau ia adalah pribadi yang penuh pertimbangan, tentu saja cara memadukan warna pakaian adalah pengecualian.

Kepala Castor nyaris plontos tapi janggut putihnya sangat lebat. Itu bergerak ombang-ambing karena tubuhnya yang pendek berusaha menanggung kecepatan kakinya yang sangat terburu-buru. Ia berteriak lagi.
"Apa yang kau lakukan di sini! Jangan menyentuh tanamanku." Lengan pria itu bergetar oleh tekanan emosi saat memberi intruksi agar Camelia tidak mendekati satu pun tanaman. Ia bahkan bertindak seolah sudah ada yang harus disesali.

Camelia tidak menanggapi itu dan hanya tersenyum ramah. Ia berkata, "Bagaimana aku begitu tega merusak tanaman-tanaman berharga ini. Ah Paman Castor terlalu berlebihan." Melipat kedua tangannya di perut, ia melanjutkan, "tadinya aku memang ingin meminta satu tanaman untuk aku bawa pulang. Aku akan menanamnya kembali di rumah sehingga tiap kali aku melihatnya nanti aku akan merenungi kepiawaian Paman dalam merawat seluruh Pyrgos. Tapi Paman Castor tidak perlu resah, karena aku adalah seorang yang jujur dan patuh, aku tidak akan membawa apa pun jika tidak dibolehkan."

Mendengar ini, pertahanan Castor sedikit melonggar. Namun, raut kesal di wajahnya tidak langsung hilang. "Benar, jangan meminta apapun karena aku tidak akan memberikannya. Sebaiknya kau pergi dari sini."

Ekspresi Camelia berubah memelas. "Huh, aku tidak heran Paman begitu membenciku setelah sepuluh tahun lalu aku tidak sengaja melepas seekor iguana di tengah lautan tanaman ini. Tapi apa yang akan dimengerti anak berusia belasan tahun?"

Perkataan Camelia membuat ingatan Castor mengembara. Urat-urat di pelipisnya membengkak.

Tidak sengaja kau bilang?! Castor meradang.

Jika tidak memikirkan siapa wanita di depannya ini, rasanya Castor ingin mengusirnya secara tidak hormat. Ia ingin melempar beberapa keluhan lagi, tapi Camelia sudah lebih dulu menyela.

"Aku paham Paman Castor sangat memikirkan kepentingan menara. Sampai memohon secara khusus kepada Tuan August untuk tidak mempekerjakan aku yang rajin ini. Paman memang bijaksana. Namun, bukankah keterlaluan jika Paman Castor juga melarangku melihat-lihat di di sini." Camelia menekan pada kata pengulangan.

Semakin mendengar Camelia berbicara rasanya semua syaraf di tubuhnya menegang. Memijat pelipisnya, Castor yang putus asa berkata, "Kau bahkan memegang lencana berwarna biru dan kau masih mengeluh? Seharusnya kau hanya mendapatkan lencana yang sama dengan para pekerja!"

Entah kenapa mata Camelia tiba-tiba berbinar. "Ah jadi aku salam paham selama ini? Rupanya Paman senang aku datang."

"Hei aku tidak-- apa yang kau lakukan?!"

Castor kehabisan akal saat melihat Camelia kembali mendekat pada tanaman. Ia bahkan berjalan masuk mengikuti sela-sela tanah yang tersedia. Napasnya ikut berhenti tiap kali tangan Camelia hendak mendekati sehelai daun.

"Baiklah, baiklah kau dapat melihat-lihat tapi jangan sentuh apa pun," Castor berkata dengan putus asa. Pria itu mengerutkan kening khawatir saat mendengar teriakan cemas Camelia yang tiba-tiba.

"Paman! Bagaimana ini?" .

"Ada apa?!"

Pria itu langsung bergegas mendekat. Camelia menunjuk pada batang chamomile.
Begitu menyadari sesuatu yang menempel di sana, Castor langsung mondar-mandir, gelisah.

"Uh ulat bulu?" Camelia menatap Castor. Ekspresi khawatirnya tampak dibuat-buat.

"Si-singkirkan itu," Castor hampir memekik.

Camelia menunduk membawa wajahnya lebih dekat pada tanaman itu, sudut bibirnya tertarik. "Bagaimana ini? Dia sudah memakan batangnya."

Castor memegang kepalanya karena panik sementara Camelia terus memberi tekanan.
"Ah aku tidak bisa membayangkan jika dia memakan semua tanaman yang ada di si--"

"Cepat bawa dia pergi! Apa lagi yang kau tunggu!"

Camelia menetralkan ekspresinya, mempertahankan intonasinya dengan baik. "Haruskah aku mencabut bunga chamomile yang malang ini? Dia sudah tercemar."

Raut Castor langsung sulit diterjemahkan, tidak rela tapi juga tidak memiliki pilihan. Pria tua itu lantas menyerahkan sebuah sekop kebun yang entah ia dapat dari mana.
"Cabut, cabut semuanya yang sudah dia hinggapi," ucapnya kemudian.

Memanfaatkan semua kesempatan itu Camelia langsung mengamankan ulat bulu ke dalam kotak kayu kecil yang dikeluarkan dari tas. Ia mencabut hampir segenggam bunga chamomile dan memasukkan ke dalam pouch karung goni yang sedikit lebih besar, juga langsung ia amankan.

"Kenapa selalu ada masalah setiap kali anak ini datang?"

Gumaman itu, Camelia mendengarnya dengan jelas tapi ia malah memamerkan senyum lebar. "Sayang sekali padahal aku masih ingin melihat-lihat, tapi karena kesibukanku, aku harus meninggalkan Paman Castor di sini."

Kalimat itu jelas melegakan. Castor mengibaskan tangannya ke udara. "Pergilah." Wajahnya tampak lelah seolah baru mengerjakan pekerjaan berat. " ...pergilah," ulangnya lagi.

Camelia masih mengatakan salam perpisahan walaupun Castor sudah tidak melihatnya. Pria itu menghadap pada seseorang yang baru mendekat. Itu Tuan August sang kepala menara. Camelia tidak merasa perlu menyapa pria itu jadi ia langsung melenggang pergi. Aroma kayu manis menyapa indra penciumannya begitu ia berbalik, yang ia yakini berasal dari tubuh sang kepala menara yang baru tiba. Tidak sering berpapasan, tapi Camelia mengenali aroma tubuh yang khas itu. Bukan sesuatu yang penting memang untuk diingat. Camelia sedikit tertarik karena selalu menangkap sesuatu yang samar di balik harumnya aroma kayu manis. Tidak aneh, tapi mampu membuat Camelia menyimpan ingatan tentangnya dalam kepalanya.
"Seperti biasa. Mungkinkah orang menara selalu membawa aroma batu zafeer di tubuhnya?" Tepat gumaman itu ia lontarkan pikiran Camelia menyangkal kalimatnya sendiri.

Sejauh ini hanya dia, ia membatin.

Ketika Castor selesai berbicara dengan August ia sudah tidak menemukan presensi Camelia. Pria itu sudah cukup tenang sehingga kembali mengingat apa yang sudah ia lupakan; niat awal berjalan di halaman ini karena ingin mencari pewarna ekstrak ungu dari bunga yang ada. Karena butuh yang benar-benar alami, Castor sudah menandai sebuah bunga ungu liar yang tumbuh di luar gerbang. Jadi ia langsung menuju ke sana. Namun, saat ia sampai, hanya tanah kosong yang ia temukan.

"Seingatku kemarin aku melihat bunga kencana liar di sini. Ke mana perginya mereka semua?" Castor menggaruk kepalanya yang botak. Tanah yang ada ini terlihat gembur seolah ada yang baru dicabut dari sana. Namun, Castor hanya mempertanyakan sifat pelupanya.

Apa aku salah ingat? batinnya ragu.

🪄🪄🪄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top