TLE 1

Beberapa orang duduk mengelilingi meja lonjong panjang di ruang pertemuan istana. Seorang wanita berpenampilan mulia duduk paling ujung. Sebuah tiara emas bertengger di rambutnya yang hitam, mengukuhkan kedudukannya sebagai seorang ratu di Zoeearth.

Perkumpulan itu sudah berlangsung sejak tadi, merupakan rapat dadakan karena pemimpin Klan Agrios--klan binatang buas-- tiba-tiba datang dengan amukan juga kehadiran perwakilan ras amagine yang ingin menyampaikan keluhan. Suasana sudah tidak sericuh sebelumnya, Kenan sang pemimpi Klan Agrios sudah ditenangkan.

"Sudah berapa lama penculikan ini terjadi Aldwin?"

Pria berkulit paling gelap meremas jemarinya. Wajah penuh kegusaran itu tampak jelas, tanpa sadar ia menggeleng dalam diam sebelum akhirnya menatap sang pemberi pertanyaan untuk menjawab. "Awalnya saya mengira hanya satu orang Yang Mulia. Namun, setelah memeriksa lagi ada tiga rumah yang sudah lama kosong. Sulit menentukan kapan dan sudah berapa lama mereka hilang. Tidak ada yang menyadari sebelumnya karena rata-rata yang diculik adalah wanita yang tidak lagi bersuami dan anak-anak yang tidak memiliki orang tua."

"Semua dari ras amagine?" Ratu serafina kembali bertanya.

"Benar Yang Mulia." Kali ini seorang berbaju zirah yang menjawab, sementara Aldwin turut merespons dengan anggukan.

"Tidak ada jejak yang kalian temukan?" Masih Ratu Serafina yang memberi pertanyaan, tapi tatapannya tidak lepas dari pria berbaju zirah, Ramos.

"Kesatria yang berjaga hanya melaporkan adanya aroma busuk di tempat kejadian. Semua tampak baik-baik saja. Aroma itu bahkan tidak lagi tercium setelah jarak dua meter. Kami menduga itu alasan kasus ini tidak cepat terkuak."

Entah kenapa semua orang tiba-tiba memandang ke satu arah, atmosfer seketika berubah saat gebrakan meja terdengar.

"Kalian menuduh Klan Agrios pelakunya?!" Emosi Kenan yang sudah padam kembali tersulut. Pria pemakai topi bulu beruang itu sangat tidak terima. Klan Agrios memang terkenal keras dan bengis. Namun itu hanya naluri hewaniah. Bagaimanapun mereka tetap setengah manusia yang memiliki hati nurani.

Ratu Serafina memperbaiki posisi duduknya. Ia tampak hati-hati saat berkata, "Kenan, kita di sini tidak menyudutkan klan-mu. Dengan belum terkuaknya pelakunya, siapa pun bisa jadi tersangka. Aku tidak mengharapkan tuduhan itu benar. Namun, kau harus tetap memeriksa kalau klan-mu benar-benar tidak bersalah."

"Tck! Kalian tahu bukan hanya Klan Agrios yang patut dicurigai, tapi seolah kekacauan hanya berasal dari kami, kalian bahkan tidak mempertimbangkan keberadaan makhluk itu!"

"Apa maksudmu Kenan?"
Bukan hanya Ratu Serafina yang bereaksi, semua orang dalam ruangan itu kini menatap Kenan dengan penuh tanya.

Tanpa di duga Kenan menyeringai. "Menurut kalian siapa di sini yang dapat datang dan menghilang secepat angin? Ribuan tahun lalu semua orang membenci Death Valley dan seisinya. Jadi ketika ada masalah seperti ini, bukankah dia patut untuk dicurigai. Kenapa dia tidak hadir? Bukankah dia juga harus memberi kesaksian?"

Hanya Ratu Serafina yang dapat memahami kalimat itu dengan baik sementara yang lain masih meraba-raba. Ketika sang ratu memikirkan satu nama, saat itu terpaan angin tipis datang dengan cepat membelai tengkuk semua orang. Ketika mereka menyadari, sosok berjubah hitam sudah muncul di sudut ruangan. Tudung yang menutupi kepala ia turunkan. Tangannya bersedekap santai. Punggungnya bersandar di dinding sementara kakinya menendang-nendang udara.

"Ragash." Tanpa sadar Ratu Serafina bergumam pelan.

Pria berjubah hitam itu tiba-tiba bersuara. "Ah ... daun telingaku terus bergoyang sejak tadi rupanya ada yang sedang memikirkanku." Lirikannya tiba-tiba menoleh ke satu orang. "Kau merindukanku Tuan Beruang?"

Seringaian di wajah Kenan bertambah. "Ras vampire memang panjang umur."

Dalam satu kedipan mata, Ragash sudah berpindah ke kursi yang kosong. Sorot matanya tajam saat tatapannya lebih dekat bertemu dengan Kenan. Namun, sesaat kemudian ia terkekeh.
"Lama tidak bertemu Ratu Serafina ... juga kalian semua. Apa yang aku lewatkan?" Ragash masih dengan senyum santainya, mengabaikan wajah serius semua yang di sana.

"Ragash, ada yang ingin kau jelaskan?" Suara Ratu Serafina terdengar tenang namun sorot matanya menunjukkan ia baru menahan sesuatu.

Yang ditanya malah menguap. "Tentang apa, tidur panjangku? Daging bangkai binatang? Buah yang hambar? Ah semua itu benar-benar buruk. Lihatlah kulitku nyaris berkeriput. Aku sampai---"

Gebrakan meja tiba-tiba terdengar dari arah kursi lain, Ragash menghentikan ucapannya.

"Seorang balita saja bisa mengerti pertanyaan itu, apa kau sedang mengelak?!"

Emosi yang terbit di benak Ratu Serafina dan Kenan tiba-tiba surut. Keduanya terpaku melihat wajah geram Aldwin, tidak disangka pemimpin ras amagine itu baru saja meninggikan suaranya.

Ragash juga cukup tersentak, tapi sesaat kemudian raut wajahnya sudah berubah. Ekspresi memelas sangat tampak dibuat-buat saat ia berkata,
"Kesadaranku belum benar-benar baik tapi kalian sudah melontarkan pertanyaan aneh. Jangan salahkan aku kalau jawabanku melantur."

"Kau benar-benar tidak tahu masalah ini?"

Ragash sudah mendengar kabar tentang adanya penculikan di Desa Saman saat ia menuju ke kerajaan. Walaupun begitu, ia memang tidak tahu masalah yang sebenarnya. Jadi ia hanya acuh tak acuh dengan semua tuduhan itu.

"Bagaimana orang tidur bisa tahu keadaan di luar?"

Kenan berdecak. "Sangat pandai bersilat lidah! Jadi itu yang membuatmu bangga berumur panjang selama ini?"

Ragash hanya tersenyum. "Lalu kau apa? Kau ingin aku memuji bulu beruangmu itu? Lucu sekali!"

Buku-buku tangan Kenan mencuat, sebelum emosinya meledak, Ratu Serafina sudah melerai.

"Sudah, tidak perlu saling menyalahkan. Ramos, kerahkan beberapa kesatria tambahan. Kita tidak bisa menemukan jawaban jika pelakunya belum tertangkap."

Ramos yang sedari tadi menahan napas berusaha menetralkan ekspresinya. Melihat perubahan emosi dari orang-orang di depannya, butuh sedikit usaha menarik pikiran jernihnya ke permukaan. Ia bahkan nyaris salah bicara. "Ampun Yang Mulia, keberadaan kesatria hanya membuat pelaku semakin berhati-hati."

Aldwin yang sudah tenang turut bersuara, "Benar Yang Mulia. Kesatria penjaga yang tersebar di seluruh Troas seharusnya sudah cukup menangani masalah ini."

"Dengan kata lain .... " Kenan dengan cepat menyela. "Pelakunya sangat baik membaca situasi, ia bertidak sangat hati-hati sampai tidak terdeteksi oleh para penjaga. Dia tidak bisa diremehkan."

Ucapan itu membuat Aldwin mengangguk. Semua orang memiliki pemikiran sama. Hanya Ragash, pria berjubah hitam itu seperti tidak benar-benar mendengarkan pembicaraan. Kepalanya hanya bergerak mengikuti siapa yang berbicara.

"Apa kota ini membutuhkan seorang garnisun?" Aldwin tampak hati-hati saat berkata namun ucapan itu sudah membuat ekspresi beberapa orang berubah. Bahkan Ragash mematung sejenak, pria itu tiba-tiba memusatkan pikirannya. Ia membatin, Oh jadi benar-benar seserius ini?

"Aku memiliki kandidat dari Klan Agrios jika memang diperlukan."

Ratu Serafina tidak menggeleng atau mengangguk terhadap tawaran Kenan itu. Ia masih sedang berpikir.

"Aku akan memilih orang yang pantas Yang Mulia, bahkan jika itu harus aku yang turun tangan," Ramos juga turut menawarkan. Namun Ratu Serafina tetap bergeming.

"Garnisun kerajaan sudah lama tidak bergerak." Ratu Serafina akhirnya bersuara setelah sekian detik. "Aku berharap kita tidak perlu mengerahkan garnisun dalam jumlah besar untuk menuntaskan masalah ini." Ia menjeda ucapannya, tatapannya menerawang sementara sorot mata itu menunjukkan kegelisahan. "Aku tidak tahu seberapa besar masalah ini, karena kita harus bergerak dalam diam, kurasa seseorang akan cocok menangani masalah ini. Dia bukan garnisun berpengalaman, juga bukan yang terkuat. Namun, ia memiliki tekad yang kuat untuk menuntaskan semua tugasnya. Aku rasa dia bukan pilihan buruk."

Ramos sebagai panglima kesatria penjaga yang juga bisa merangkap sebagai garnisun sewaktu-waktu, mencoba menerka siapa yang ratu maksud dari kesekian anggotanya. Cukup lama ia berpikir sampai akhirnya ia berhenti pada satu nama. Ramos lantas beralih menatap sang ratu, senyuman di wajah sosok mulia itu entah kenapa menambah keyakinan Ramos.

Gadis itu?

🪄🪄🪄

"Sedikit lagi, sedikit lagi."

Seorang wanita berusia dua puluan tengah bertengger di dahan pohon. Sebelah tangannya memeluk batang sementara tangan bebas lainnya meraih-raih ke udara. Pohon kersem ini memiliki ranting yang kecil-kecil, seharusnya mudah jika ditarik dari bawah. Namun, sosok yang mengincar buah-kecil-merah ini harus memberikan sedikit usaha karena pohon itu hanya menyediakan buah di pucuk paling atas.

"Dapat!" Entah apa yang dipikirkan wanita berambut brunette sesiku ini, seolah meraih buah itu adalah cita-cita paling mulia, setelah mendapatkannya ia bahkan lupa kalau pegangannya sudah lepas dari dahan dan tentu saja tanpa harus menunggu persetujuan tubuh itu akan langsung merosot ke bawah.

Pasrah. Usaha terakhir yang ia lakukan hanya menutup mata. Tidak ada teriakan ketakutan pun raut kekhawatiran. Tangan itu bahkan masih sempat memasukkan beberapa buah ke dalam mulut. Lalu saat merasakan tubuhnya melambat bahkan melayang, dengan santai kedua kakinya diturunkan.

"Aku masih bertanya-tanya kenapa seorang amagine suka sekali membahayakan diri? Apa mereka terlalu putus asa jadi ingin cepat-cepat mengakhiri hidup?"

"Justru menjadi amagine itu beruntung Aron. Apalagi dikelilingi makhluk-makhluk ajaib seperti kalian."

Pria bernama Aron itu berjalan mendekat. Ia menaikkan sebelah alis tapi tidak kunjung berbicara.

"Lihat ... Aku tidak perlu repot-repot mengkhawatirkan diri ketika jatuh dari pohon, belum saja aku berteriak, pertolongan sudah datang."

"Bodoh." Intonasi tenang itu diikuti oleh jari yang mengetuk pelan puncak kepala pihak lain. Tangan itu juga sempat menggeser posisi sehelai daun yang hinggap di sana. "Jangan menyepelekan keselamatanmu, aku belum tentu terus ada tiap kau kesusahan."

Bukannya berterima kasih, wanita yang diceramahi malah terkikik. Sikunya bahkan dengan lancang mendarat di perut pria itu. Aron yang tidak siap hanya bisa melotot sebagai protes.

"Camel!" refleksnya kaget.

"Ahahaha maaf, maaf. Kau sudah seperti Paman Aldwin kalau serius begitu. Lagi pula aku ini amagine spesial. Kau lupa? Aku bisa jaga diri." Kali ini telapak tangan Camelia yang menyapa punggung Aron. Tidak sedang menggoda. Itu hanya sebuah tepukan bahu untuk meyakinkan sang pendengar.

"Kau tidak kembali? Seorang kesatria sepertinya sedang mencarimu."

"Sebenarnya aku belum ingin. Apa rapatnya sudah selesai?"

Aron mengangguk. "Kau satu-satunya kesatria perempuan dari ras amagine. Kau yakin tetap ingin menjadi garnisun?"

Kesatria penjaga sudah ada sejak masa-masa kelam Zoeearth. Meski sudah tertinggal lama, kekacauan yang pernah tercipta menyebabkan sistem keamanan yang diterapkan tidak luntur hingga saat ini. Garnisun pun tetap dibentuk. Mereka adalah kesatria pilihan yang nantinya akan mendapat tugas khusus. Camelia sudah menjalani setengah hidupnya sebagai kesatria penjaga, jadi ia ingin pengalaman yang lebih dari itu.

"Bibiku saja tidak melarangku kenapa kau yang khawatir? Hei! Aku bukan anak kecil lagi. Lagi pula siapa yang bisa menandingi kecepatan panahku? Hm?"

Aron mengembuskan napas halus. Tidak habis pikir sosok seperti apa Camelia ini. Wanita lain sibuk merias kuku sementara ia malah bergelut dengan senjata dan bahaya.
"Tugasmu selama ini tidak cukup?"

Setelah membiarkan seekor tupai menaiki lengannya, Camelia baru menoleh untuk menjawab. "Hanya menjadi kesatria?" Ia berdecak. "Kau tahu tugas terkahirku di Albama? Kami hanya menyelesaikan kasus perampokan! Apa yang menegangkan dari itu?"

"Bukannya itu cukup?" Aron menatap Camelia dengan alis berkerut. "Kau hanya ingin hidupmu berguna, 'kan?"

Belaian di puncak kepala tupai ditekan sedikit lebih keras, Camelia mendengkus. "Astaga Aron! Kau tidak mengerti. Kau tahu siapa para perampok itu? Mereka hanya anak-anak di bawah dua belas tahun! Apa yang bisa kami lakukan? Hukuman cambuk pun tidak dibenarkan untuk mereka. Kami hanya mendapat kalimat maaf dan yah semua selesai begitu saja."

"Kau ingin sesuatu yang lebih buruk menimpa Zoeearth?" Aron menyindir.

Camelia lagi-lagi tertawa. "Tidak ada yang benar-benar membahayakan. Lalu, kenapa kau khawatir?"

"Tapi Camelia...." Aron beralih memegang pundak wanita di depannya membuat tupai yang tengah bermain dengan keliman pakaian Camelia pergi menjauh. "Kau seorang amagine, " tekan Aron lagi. Berikutnya tatapannya menjadi berat, sisa ucapannya tertahan di tenggorokan.

Mendengar itu senyuman di wajah Camelia memudar. "Kau selalu saja begini." Ia menghindar, melerai pegangan itu juga menjauh dari tatapan Aron. "Aku tidak suka diremehkan."

"Aku tidak bermaksud--"

"Aku sudah terlahir begini Aron. Kau pikir mudah bagiku untuk menerima semua ini?Aku jelas keturunan penyihir bahkan bibiku seorang wizard, tapi kenapa aku berbeda? Aku cacat Aron! Aku bahkan lebih rendah dari seekor hewan biasa!"

"Camel--"

"Yah para amagine memang terlahir tanpa sihir. Mereka tidak bisa mengendalikan mҽҽña karena darah mengikat mereka seperti itu. Aku berbeda Aron aku hanya meminjam nama ras mereka, aku bukan seorang amagine. Aku juga tidak pantas menyandang gelar penyihir. Lalu siapa aku?"

Setelah jeda sesaat, Camelia menoleh untuk memandang Aron. Simpul senyum sudah ia lukis di wajah entah itu tulus atau dipaksakan. Namun, sorot matanya tidak dapat berbohong. "Anggap saja aku sedang menghibur diri. Semua kemampuan bertarung yang aku punya, panah dan pendang yang mudah kuayunkan ..." Camelia mengambil panah dan busur yang tersampir di pundak. Setelah anak panah meluncur tepat pada sasaran, ia melanjutkan, "Seperti yang kau bilang, setidaknya aku harus berguna. Setiap napasku benar-benar hina jika aku tidak bisa apa-apa."

🪄🪄🪄

Camelia duduk pada sebuah kursi rotan di halaman yang penuh rumput hijau setumit. Di belakang berdiri sebuah rumah kayu yang dindingnya dianyam dari bambu. Tangan Camelia dipenuhi berbagai macam biji dan buah. Rumah yang posisinya bersampingan dengan hutan membuat tupai dan beberapa hewan hutan lainnya datang berkunjung. Mereka tampak jinak, seolah sudah terbiasa.

Camelia berdecak tiga kali. Ia berjongkok sambil menaburkan biji dan buah itu ke tanah. Raut wajahnya tampak kesal saat ia berkata, "Semua pohon akhir-akhir ini memang sangat pelit. Mereka jadi jarang berbuah. Aku hanya punya buah awetan dan biji-biji kering ini. Kalian makanlah."

Seekor tupai melompat melewati kawanan, ia meraih biji kacang almond yang ada di tangan Camelia. Setelah diperhatikan tupai itu memang enggan memungut biji dan buah yang berserakan di tanah. Camelia tidak terganggu, ia bahkan menawarkan lagi begitu makanan yang dikunyahnya habis. Semakin lama halaman semakin ramai.
Burung yang hinggap di pohon tak ayal ikut mendekat.

Atensi Camelia beralih pada rumput yang bergoyang. Setelah diperhatikan rupanya itu sekawanan tikus liar yang sedang mengendap-endap. Langkah mereka berhenti tiap kali Camelia bergerak. Lalu saat dirasa tepat, tikus-tikus itu dengan cepat meraih satu makanan lalu kembali menghilang di balik semak.

Melihat itu Camelia terkekeh. "Ah gemasnya."

Tangan Camelia saling menepuk begitu makanan habis. Tersisa beberapa burung yang mengais di tanah juga tiga ekor tupai yang melompat-lompat. Namun, begitu mendengar keributan mendekat, semua hewan itu terbirit kabur. Camelia menoleh, rupanya itu suara dari beberapa anak kecil dari ras amagine. Sepertinya mereka tertarik melihat hewan-hewan yang mengerumuni halaman. Sayangnya semua sudah pergi saat mereka tiba.

"Yah sudah tidak ada."

Seorang anak laki-laki lain memukul puncak kepala gadis kecil yang baru berbicara.
"Kau menakuti mereka!"

"Benar."

"Kau membuat mereka pergi."

Dua anak perempuan lain ikut protes. Semuanya lalu menunduk mencari di balik rumput. Tidak ada yang mengacuhkan Camelia sampai wanita itu berbicara.

"Hei! Anak-anak mereka sudah pergi!"

Salah seorang anak mengehentikan percarian lantas memandang Camelia, sisa anak yang lain turut ikut kemudian.
"Kenapa tidak menangkapnya, Kakak?"

"Apa Kakak bisa memanggilnya agar mereka bermain bersama kami?"

Mendapat pertanyaan itu, Camelia menggaruk tengkuk. Ia berpikir bukan ide bagus menyerahkan hewan-hewan itu di tangan anak-anak. Jadi ia mulai berpikir untuk mengalihkan perhatian.

Camelia langsung beralih pada tas selempang di sampingnya. Ia biasa menaruh barang secara acak di sana. Barangkali dalam tas pemberian bibinya ini ia bisa menemukan sesuatu yang berguna.
Tepat saat tangannya menyentuh sesuatu yang bundar, ia tersenyum.
"Siapa di sini yang ingin jeruk?"

Seolah melupakan tujuan awal, anak-anak bergerak mendekat. Semuanya melompat-lompat sembari mengacungkan tangan.

"Aku."

"Aku."

Antusias itu membuat Camelia kewalahan. Siapa sangka jeruk yang mampu diambil tangannya baru satu buah saja. Ia lupa jika isi tasnya ini seluas jagat raya. Camelia gelabakan karena terus salah mengeluarkan barang. Hingga nyaris keliman baju robek karena ditarik, Camelia akhirnya mendapat buah dengan jumlah cukup. Keinginan anak-anak terpenuhi, mereka langsung melenggang pergi setelahnya.

"Fyuhhh! Anak-anak itu."

Sesaat kemudian wajah Camelia jadi memelas. Ia lupa jika itu adalah stok buah terakhirnya. Pasrah, Camelia hanya bisa memandang jejak anak-anak dengan tatapan nanar.

"Yasudahlah," cicitnya kemudian. Camelia hendak berbalik menjauhi halaman ketika netranya tidak sengaja menangkap sebuah pergerakan dari balik pohon. Itu hanya sekitar tiga meter dari tempat ia berdiri, jadi masih sangat jelas saat ia melihat tangan seseorang mencuat dari sana.

Terdorong rasa penasaran, Camelia lantas mendekat, sosok itu langsung menciut ke sisi lain. Namun, dia tidak menghindar lebih jauh. Saat itulah Camelia melihat seorang anak perempuan meringkuk di akar pohon. Rambutnya hitam lurus tergerai, tetapi wajah dan pakaiannya kotor oleh beberapa titik noda.

"Siapa namamu?"

Tidak ada jawaban.

"Hai, aku Camelia," ucap Camelia lagi sembari mengulurkan tangan.

Mendengar sapaan lembut, anak itu perlahan mengangkat kepala namun tangan Camelia dibiarkan menyapa udara.

Seperti biasa hanya dengan melihat Camelia bisa langsung tahu kalau di depannya ini seorang amagine. Hal itu membuat hati Camelia semakin tergerak.

Sadar jika anak itu tidak akan merespons, Camelia kembali meraih tasnya untuk mencari sesuatu. Ia mengambil secara acak, tidak tahu memberikan apa lagi karena di dalam ini hanya tersisa barang-barang kebutuhannya sehari-hari. Lalu saat tidak sengaja menyentuh sesuatu yang kasar, Camelia ingat masih memiliki beberapa biji bunga matahari dalam pouch goni kecil. Lantas dengan cepat ia keluarkan. Sesuai dugaan, anak itu mulai bereaksi. Awalnya tampak ragu untuk menerima pemberian Camelia, tapi pada akhirnya ia tetap meraihnya. Lagi-lagi Camelia ditinggalkan begitu miliknya telah diambil. Hanya saja kali ini Camelia merasa lega, ekspresi anak itu seperti mememdam sesuatu membuat hati Camelia terenyuh.

Saat anak itu sudah tak terlihat Camelia baru menyadari kalau anak itu menjatuhkan sesuatu. Benda berbentuk berlian tergeletak di tempat anak itu sebelumnya berdiri. Camelia langsung tahu jika itu palsu begitu ia mengangkatnya. Bobotnya ringan, jelas itu hanya kayu yang dipahat lalu dicat dengan warna merah. Sentuhan putih di beberapa titik membuat benda ini tampak nyata.

Witchstone?

Camelia tahu jika ini hanya sebuah replika. Hanya saja benda palsu ini selalu ia lihat di mana-mana. Seolah itu sangat penting. Namun, apa yang berharga dari sebuah pahatan kayu?
Tidak ingin berpikir terlalu jauh, Camelia memasukkan benda itu ke dalam tasnya lalu berjalan menuju rumah.

Nanti saja akan kukembalikan jika bertemu lagi.

.
.
.

Agrios : Klan bintang buas
Amagine: ras yang tidak dapat mengendalikan sihir
mҽҽña : kekuatan spiritual
Witchstone: batu sihir

.
.

Jangan terpaku dengan cerita lama karna ini benar-benar berbeda^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top