VI. The Dance
"Clementine?" Pangeran Alexander Thaurin menatap kedua mata violet Verity. Tanpa Verity sadari ia membuka mulutnya sesaat lalu mengatupkannya kembali. "Clementine?" Alexander Thaurin terdengar ragu-ragu sejenak lalu memicingkan matanya dan menatap Verity lekat-lekat.
Verity menatap kedua mata hijau Alexander lekat, berharap kalau Alexander bisa memberikannya sebuah petunjuk tentang keberadaan Putri Clementine. "Pangeran Alexander, bagaimana kabar anda?" suara Verity terdengar seperti cicitan tikus, terlalu kecil dan gugup.
"Kau berubah banyak semenjak aku terakhir kali melihatmu." Verity mengerutkan dahinya lalu mengembuskan nafas panjang yang telah ia tahan daritadi tanpa ia sadari. "Tapi rambut hitam dan mata violetmu masih sama."
Verity mengerjapkan matanya beberapa saat lalu menunduk sembari memperhatikan tangannya yang meremas buket bunga itu dengan gelisah. "Benarkah, Yang Mulia?" Siapakah dia sebenarnya? Ini benar-benar di luar perkiraan Verity. Putri Clementine tidak berambut pirang atau mirip dengan Ratu Amaranta.
Alexander Thaurin menyunggingkan senyum tipis. "Aku yakin kau melupakanku. Terakhir kita bertemu sepuluh tahun lalu."
Raja Zacharias yang daritadi memperhatikan interaksi keduanya melontarkan senyuman separuh mengejek untuk Alexander. "Sebaiknya kau tidak berusaha dekat-dekat lagi dengan Clementine, Alexander. Dia sudah menikah sekarang."
"Ah, kau benar Zachary." Alexander Thaurin jelas lebih muda daripada Raja Zacharias, tapi ia tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya kepada raja dari Colthas ini. "Kuharap suamimu memperlakukanmu dengan baik, Clement."
"Terima kasih, Yang Mulia." Verity menunduk semakin dalam. Dia jelas-jelas bukan Putri Clementine, kenapa Alexander memperlakukannya seperti ialah sang putri yang sebenarnya? Apa ini merupakan salah satu perintah Raja Arthur? Apakah Raja Arthur memintanya untuk memperhatikan Verity dari kejauhan dan memastikan penyamaran Verity tak terbongkar? Verity memutuskan kalau opsi terakhir adalah yang paling masuk akal. Dia bukan Putri Clementine. Pangeran Alexander bersikap seperti ini agar Verity tidak lupa dengan misinya yang sebenarnya.
"Cukup panggil aku Alexander, Clement. Aku yakin kita akan sering bertemu nanti." Verity bisa merasakan kemiripan Raja Arthur dan Pangeran Alexander. Seperti kesan pertama Verity kepada Raja Arthur, ia yakin Pangeran Alexander juga menyembunyikan sesuatu di balik topeng wajah baik miliknya.
"Kau orang yang menarik, Clementine. Kau benar-benar tidak seperti yang ku perkirakan." Perkataan Raja Zacharias mengusiknya namun Verity memutuskan untuk diam. Mata hitam Raja Zacharias mengatakannya dengan jelas, pria itu tidak memercayainya. Untuk saat ini Verity aman, mata violet dan konfirmasi tak langsung dari Pangeran Alexander telah menyelamatkannya. Bila untuk meyakinkan raja dari Colthas saja sesulit ini, Verity tidak yakin ia bisa meyakinkan Raja Alastair.
***
Jenny merapikan kembali rambutnya dan membantu Verity mengganti gaun pengantinnya dengan gaun lain yang lebih nyaman. Verity tidak bertemu dengan Raja Alastair lagi sejak tadi pagi. Richard Blaxton sudah menjelaskan kalau sang raja akan sibuk dengan rapatnya dan kemungkinan besar baru bisa bertemu lagi dengannya saat makan malam dan pesta dansa yang diadakan untuk menyambut kedatangannya.
"Yang Mulia?" Jenny membantunya mengikat tali korsetnya menjadi lebih ketat. Verity menarik nafas dalam-dalam lalu mengangkat tangannya saat ia merasa korsetnya sudah cukup ketat.
"Cukup." Verity mengangkat tangannya.
"Apakah ada hal lain yang bisa ku bantu, Yang Mulia?" Verity menatap mata biru Jenny lalu mengembuskan nafas gusar. Kemungkinan besar Jenny akan kembali ke Selencia besok atau lusa. Ia akan ditinggal sendirian di istana asing ini. Verity benar-benar merasa kalau ia baru saja masuk ke dalam penjara baru. Kali ini penjaranya lebih mewah dan lebih besar tentu saja.
"Tidak ada. Bisakah kau meninggalkanku sendiri?" Jenny mengangguk dan meninggalkan Verity sendirian.
Verity melihat belati bertatahkan permata yang berhasil ia sembunyikan di selipan roknya selama ini. Bahkan Jenny yang membantunya mengenakan pakaian tidak pernah melihat belati itu. Verity lalu menatap cermin dan melihat mahkota emas bertatahkan rubi yang menghias kepalanya. Dia bukan Putri Clementine, sekali lagi Verity berusaha meyakinkan dirinya. Dia akan membunuh sang raja malam ini. Kantung berisi obat tidur yang diberikan Jenny juga berada di tangannya. Ia akan membuat sang raja meminum obat ini lalu menusuk jantungnya saat pria itu tidur.
***
Verity tidak berhasil menaruh obat tidur itu ke dalam makanan sang raja. Acara makan malam juga dihadiri oleh semua tamu undangan juga menteri dan penasehat kerajaan Austmarr. Raja Alastair duduk di kursi paling ujung sementara Verity duduk di sisi kanannya. Kursi-kursi di isi dengan tingkatan dan jabatan masing-masing sehingga Verity merasa cukup beruntung bisa duduk di sebelah Ratu Rania. Raja Zacharias duduk di sisi kiri Raja Alastair lalu diikuti dengan Pangeran Alexander dan Jenderal Kilorn, suami Ratu Rania. Anak-anak Ratu Rania, Orion dan Cassiopeia duduk di sebelah Ratu Rania. Sayangnya karena Orion dan Cassiopeia merengek terus ingin berdekatan dengan ibu merek, Ratu Rania terpaksa pindah dari sisi Verity dan duduk di tengah-tengah keduanya. Membuat Verity duduk di sebelah Orion tanpa pilihan.
"Maaf kau harus berada di dekat Orion, Clementine." ucap Ratu Rania dengan nada penuh perminta maafan saat ia mendudukkan Orion ke kursinya dan pindah ke sebelah Cassiopeia.
"Eh, tidak masalah." ucap Verity canggung. Raja Alastair tidak berkomentar banyak saat makan, pria itu lebih memilih memakan makanannya dengan cepat hingga tandas. Sementara Verity sendiri memainkan supnya dengan gelisah.
"Apakah makanannya tidak enak?"
"Huh?" Verity mengangkat kepalanya dan menyadari kalau yang mengajaknya berbicara adalah Alexander. Verity meneguk ludahnya lalu menyendokkan sup ke mulutnya dan menelannya cepat. "Ini enak sekali." Ia tidak boleh bersikap mencurigakan dan membuat dirinya segera ketahuan. Verity menyendokkan supnya lalu menelannya hingga habis. Perutnya yang memang terbiasa tak terisi makanan terasa langsung penuh begitu ia menghabiskan supnya.
Seorang pelayan membawa mangkuknya yang kosong lalu mengganti makanan pembuka dengan hidangan utama, sepotong steak dengan kentang tumbuk dan sayuran. Verity menatap makanannya dengan wajah nelangsa. Saat ia membutuhkan makanan, Ratu Amaranta tak pernah memberinya makan dan sekarang saat ia merasa kenyang, makanan terus disajikan ke hadapannya.
"Mommy! Mommy! Please, potongkan steaknya." Orion memanggil sang ibu yang sibuk menyuapi Cassiopeia.
"Ehmm... Biarkan aku akan membantumu." Verity nyaris tidak percaya dirinya sendiri menawarkan untuk membantu Orion memotong steaknya.
"Terima kasih, Clementine." Ratu Rania tersenyum dengan wajah berterima kasih lalu kembali menyuapi Cassiopeia.
Verity membantu Orion memotong steaknya dan berusaha menyibukkan dirinya sendiri agar tidak perlu memakan steak yang berada di hadapannya karena perutnya benar-benar terasa sangat penuh. "Terima kasih!" ucap Orion girang lalu menyuapkan steak yang sudah terpotong ke dalam mulutnya.
"Siapa namamu?" tanya Verity penasaran kepada pangeran kecil itu. Orion mirip dengan ibunya. Kulit gelap dan mata kecoklatan yang berkelip jenaka dan penuh rasa penasaran.
"Orion."
"Namamu seperti nama bintang." gumam Verity pelan.
"Hm. Cassiopeia juga merupakan nama bintang." Cassiopeia dan Orion, Ratu Rania memilih nama bintang untuk anak-anaknya.
"Kau tahu kalau nama mereka adalah nama bintang?" Jenderal Kilorn bertanya kepadanya.
"Aku pernah membacanya di buku." Malam-malamnya di penjara Selencia selalu di temani dengan kegelapan, namun dari jendelanya yang kecil Verity bisa melihat bintang-bintang bertebaran. Salah satunya adalah Cassiopeia, bintang yang menunjukkan arah utara. Sebulan terakhir yang Verity habiskan di Selencia, ia gunakan untuk membaca buku sebanyak mungkin. Politik mungkin membuatnya bosan tapi bintang-bintang itu tidak membuatnya bosan sama sekali.
"Raria adalah tempat para pelaut. Kami selalu menggunakan bintang sebagai petunjuk arah."
"Colthas tidak punya kepercayaan seperti itu." Zacharias mencibir Jenderal Kilorn lalu menghabiskan makanannya. "Kulihat kau terlalu sibuk dengan Orion hingga tidak menyentuh makananmu sama sekali, Clement." Verity ingin segera menenggelamkan dirinya ke laut ketika seluruh perhatian menuju ke arahnya. "Kau bisa menjadi calon ibu yang baik, benar begitu Alastair?"
Raja Alastair menyinggungkan senyuman tipis yang tidak sampai ke matanya lalu menatap Verity. "Sebaiknya kau menghabiskan makananmu." ucap Alastair dengan nada tak terbantahkan. Verity menunduk dan menatap makanannya lalu memotongnya kecil-kecil dan menyantapnya perlahan berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun lagi.
***
Alastair mengenggam tangan Clementine dan menyadari kalau wanita itu gemetar entah karena takut atau gelisah. Sikapnya terlalu ganjil untuk seorang putri. Berbeda dengan putri para bangsawan yang pernah bersamanya sebelumnya, Clementine tidak suka dengan perhatian yang diberikan oleh siapapun kepadanya. Alastair menuntun Clementine hingga ke tengah-tengah ruangan dan mendekatkan badan wanita itu serta menuntunnya untuk memulai dansa pertama. Baru beberapa langkah di mulai, Clementine sudah menginjak kakinya.
"Maafkan saya, Yang Mulia!" bisik Clementine ketika wanita itu tidak sengaja menginjak kakinya. Tidak sampai semenit kemudian, Clementine kembali menginjak kakinya. Alastair mengembuskan nafas kesal lalu menunduk dan melihat Clementine yang nyaris menangis. "Maafkan saya."
"Apakah kau tidak pernah berdansa sebelumnya?"
"Tidak, Yang Mulia." Clementine mengerjapkan mata violetnya beberapa kali lalu menjawab pertanyaan Alastair dengan getar di suaranya. Alastair tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi, pria itu membiarkan Clementine terus menginjak kakinya lalu mengembuskan nafas gusar. "Ma..."
"Cukup." Alastair memotong perkataan Clementine. Entah sudah keberapa kalinya wanita itu meminta maaf kepadanya. Tak tahan dengan kecerobahan wanita itu, Alastair meninggalkan Clementine sendirian di tengah-tengah ruangan, hingga membuat beberapa orang berbisik melihat wanita yang baru dinikahi sang raja beberapa saat lalu itu kini ditinggalkan begitu saja.
***
Verity berusaha menahan rasa malu teramat sangat ketika sang raja meninggalkannya begitu saja di tengah-tengah ruangan. Seharusnya ia belajar lebih giat lagi saat berada di Selencia. Dia tidak akan membuat dirinya atau sang raja malu karena hal seperti ini. Verity mengepalkan tangannya lalu meninggalkan ruangan dansa yang di penuhi orang-orang itu.
Entah sudah berapa lama Verity berjalan menjauh dari ruangan itu hingga ia tiba di taman. Austmarr memang tidak memiliki pemandangan seindah di Selencia, tapi istananya memiliki koleksi tanaman yang tidak berbeda dengan Selencia. Bahkan ada beberapa bunga yang tidak pernah Verity lihat sebelumnya. Verity menunduk dan memperhatikan tanaman-tanaman itu satu per satu. Verity tahu beberapa bunga yang pernah ia lihat sebelumnya seperti mawar dan lavender. Verity menikmati kesendiriannya, kesendirian yang selama sepuluh tahun ini di bencinya kini menjadi temannya. Verity mencabut sebuah bunga berwarna putih dengan semburat pink di setiap kelopaknya lalu menyentuh permukaannya yang halus. Verity membuka telapak tangannya dan menyadari kelopak bunga itu jatuh berguguran karena sentuhan tangannya.
Bekas luka panjang di telapak tangannya yang berwarna keputihan terlihat begitu jelas di bawah sinar rembulan. Verity ingat saat Matthias menyuruhnya menulis menggunakan darah karena ia terlalu bodoh dan buta huruf. Sekarang kebodohannya lagi membuatnya berada di posisi seperti ini. Ia hanya bisa mempermalukan dirinya sendiri dan Raja Alastair.
"Peony." Verity tersentak kaget dan segera bangkit berdiri ketika melihat Pangeran Alexander Thaurin menyandarkan badannya ke pilar-pilar tinggi yang memisahkan istana dan taman. "Bunga yang kau pegang itu. Namanya Peony."
"Yang Mulia, anda tidak kembali ke ballroom?"
"Untuk apa? Kau dan Raja Alastair menghilang begitu saja." Verity menundukkan kepalanya dan mengangguk mengerti sembari memperhatikan bunga yang berada di tangannya. "Kau harus berhasil membunuh sang raja, Clement."
Mata Verity membulat ketika mendengar perkataan Alexander. Tentu saja pria itu tahu! Seperti dugaannya, Raja Arthur dan Ratu Amaranta mengirim Pangeran Alexander untuk memastikan kalau ia bisa berhasil membunuh sang raja. "Aku tidak tahu apa yang anda bicarakan, Yang Mulia." ucap Verity gugup.
"Kau tahu apa yang aku bicarakan, Clementine." Alexander Thaurin membalik badannya lalu kembali meninggalkan Verity sendirian di taman.
***
Raja Alastair masuk ke dalam kamar yang akan mereka bagi bersama malam ini tepat saat Verity baru saja menyembunyikan belati itu ke dalam laci. Verity tersentak kaget melihat sang raja masuk dan langsung membuka pakaiannya.
"Yang Mulia!" Dia tidak harus melakukannya malam ini bukan? Verity benar-benar ketakutan karena harus berbagi kamar dengan sang raja yang tidak ia kenal sama sekali. Bahkan percakapan mereka pun bisa dihitung dengan jari, tidak seperti Raja Zacharias atau Pangeran Alexander yang juga baru ia temui hari ini.
Raja Alastair hanya membuka pakaiannya lalu menggantinya dengan pakaian lain yang lebih nyaman untuk tidur lalu tersenyum mencemooh kepada Verity yang sudah gemetaran karena ketakutan. "Ada apa denganmu?"
"Kita... Kita..." Verity tidak dapat menemukan kata yang tepat. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Kita apa?" Raja Alastair menatap kedua mata violet Verity dan menunggunya mengatakan sesuatu.
Verity menelan ludahnya susah payah dan berusaha menemukan kata yang tepat, tapi pikirannya teralih ketika melihat wajah Raja Alastair. Seharian ini Verity terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan terlalu gugup untuk menatap langsung mata kecoklatan sang raja. Raja Alastair benar-benar tidak seperti yang ada di dalam bayangannya. Sikap sang raja juga berubah-ubah dan sangat membingungkan. Terkadang pria itu terlalu tegas kepadanya atau bahkan cukup baik kepada Verity dengan menjelaskan beberapa hal yang berbeda dengan Selencia.
"Kita apa?" Alastair bertanya kembali.
"Kita tidak harus melakukannya sekarang bukan?"
Alastair tersenyum mengejek kepada Verity. "Tidak. Aku ingin istirahat." ucap sang raja acuh tak acuh lalu membaringkan badannya ke atas kasur. Verity menatap sang raja ragu-ragu. Tidak masuk akal baginya sang raja akan tidur begitu saja. "Aku sudah tidak tidur selama tiga hari. Jadi kuharap kau tidak berisik dan membiarkanku tidur, Clementine."
Verity tidak mengatakan apapun dan menunggu hingga ia benar-benar yakin sang raja telah jatuh tertidur. Dia harus membunuh sang raja sekarang. Saat raja itu tengah terlelap dan tidak menyadari keadaan sekitarnya. Verity menelan ludahnya dengan susah payah, tangannya gemetaran ketika mengambil belati bertatahkan permata yang diberikan Ratu Amaranta kepadanya. Dia akan membunuh Raja Alastair dan meraih kebebasannya. Ratu Amaranta tidak bisa lagi mengikatnya dan memaksanya menjadi budak di Kerajaan Selencia. Verity bahkan tidak peduli siapa yang akan memimpin Austmarr bila sang raja mati di tangannya. Ia tidak peduli bila lima kerajaan akan beradu memperebutkan Kerajaan Austmarr yang selama ini menjadi pemimpin lima kerajaan.
Verity menggenggam belatinya lebih erat, ia hanya perlu menusuk jantung pria itu. Kebebasannya sudah berada di depan mata. Verity menarik nafas dalam-dalam, memejamkan matanya lalu menancapkan belati itu di dada sang raja.
"Bukan begitu caramu memegang belatinya, Ratuku." Mata Verity serta merta membelalak kaget melihat sang raja yang memegang tangannya yang gemetaran. "Begini caranya." Raja Alastair menekan tangan Verity, memaksanya menancapkan belati itu semakin dalam ke dadanya. "Kau bukan pembunuh yang handal seperti yang mereka pernah kirimkan sebelum-sebelumnya."
Verity melepaskan genggaman tangannya dari belati itu secara tiba-tiba. Dia harus lari secepat mungkin sebelum Raja Alastair menyadari siapa dia sebenarnya. Sayangnya Verity memang bukan pembunuh yang handal, dia hanya seorang budak yang diperintah Ratu Amaranta untuk menyamar menjadi sang putri dan membunuh pemimpin Kerajaan Austmarr ini. Raja Alastair lebih gesit darinya, sang raja meraih pinggangnya dan membantingnya ke atas kasur. Belati yang tadinya menancap di dada pria itu kini berada di lehernya.
"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang menyebar di pakaian yang sang raja kenakan. Bagaimana mungkin sang raja tidak mati saat itu juga? Verity yakin ia sudah menancapkan belatinya cukup dalam, bahkan sang raja sendiri membantunya dengan menancapkan belati itu lebih dalam lagi. "Apa Ratu Amaranta mengirimmu?" Raja Alastair seperti tengah menilai ekspresinya. Verity mengatupkan bibirnya, tidak peduli apa yang akan terjadi berikutnya. Pria yang baru ia nikahi beberapa saat lalu ini akan memberikan hukuman mati karena melakukan percobaan pembunuhan, begitu juga Ratu Amaranta akan tetap membunuhnya karena gagal membunuh sang raja. "Kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu, Clementine? Apakah itu benar-benar namamu? Siapa namamu yang sebenarnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top