V. The Bride
Verity meremas gaun pengantinnya gelisah, tangannya tanpa sengaja menyentuh ujung belati pemberian Ratu Amaranta yang ia selipkan di balik gaunnya. Verity melihat ujung jarinya yang berdarah karena sentuhan ujung belati itu. Belati itu sangat tajam, untung saja selama ini Verity selalu berhati-hati dan menyelipkan belatinya agar tak terlihat oleh siapapun atau melukai dirinya sendiri. Verity menarik nafas dalam-dalam dan menunggu di ruang pengantin yang telah di sediakan. Bisa jadi ini merupakan kesempatan pertama dan terakhirnya untuk membunuh Raja Alastair. Orang-orang akan melihat wajahnya setelah ini dan menyadari kalau ia bukan Putri Clementine yang sesungguhnya.
"Putri Clementine?" Verity berjengit kaget ketika melihat Jenny masuk ke dalam ruang tunggunya. "Apakah anda siap?"
"Aku sangat gugup." jawab Verity jujur. Ia merapikan gaunnya yang sedikit kusut akibat remasannya tadi lalu berusaha berdiri dengan hati-hati. Sementara Jenny memberikan sebuah buket aneka bunga ke tangannya.
"Yang Mulia?" Richard Blaxton masuk ke dalam ruangannya. Pria tua itu mengenakan pakaian formal khas kerajaan dengan aksen merah dan emas seperti gaunnya. "Saya akan menemani anda menuju ke altar."
"Altar?" Verity menelan ludahnya susah payah dan melihat senyum kecil terbentuk di wajah Richard Blaxton.
"Ratu Amaranta tak hadir di pernikahan anda. Raja Matthew, ayah anda, sudah meninggal sejak perang yang juga membunuh kedua orang tua Raja Alastair. Karena saya merupakan salah satu penasehat terdekat sekaligus tertua di Austmarr, Raja Alastair meminta kepada saya untuk menemani anda berjalan di altar." bila Verity masih memiliki kesempatan untuk bertemu Matthias atau bahkan memutar waktu kembali saat ia belajar dulu, ia ingin menanyakan banyak hal kepada Matthias. Matthias selalu menceritakan kejayaan Selencia namun menghindari topik-topik yang berhubungan dengan perang yang terjadi nyaris dua dekade lalu atau perang dingin yang kini terjadi di antara lima kerajaan.
Verity berjalan mendekati Richard dengan ragu-ragu lalu menyelipkan tangannya di lekukan lengan pria itu. "Terima kasih sudah menemaniku sejauh ini, Richard." ucap Verity tulus. Meski ia bukan Putri Clementine, pernikahan tetaplah pernikahan dan bisa jadi ini juga merupakan pernikahan terakhir Verity sebelum ia di hukum mati nanti. Verity berusaha menahan perasaan asing yang ia rasakan ketika keduanya berjalan beriringan menuju ruang singsana yang juga merupakan tempat pernikahannya.
"Aku yakin kau akan baik-baik saja, Yang Mulia. Anda bisa menjadi ratu yang baik untuk Raja Alastair. Anda sudah dipersiapkan untuk ini sejak dulu." Verity tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dia bukan Putri Clementine, dia tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi seorang ratu. Seolah menyadari kegugupan Verity, Richard menepuk tangan Verity lembut. "Angkat kepalamu dan tatap lurus. Tersenyumlah, Yang Mulia." Verity mengikuti saran Richard Blaxton dan mengangkat kepalanya serta memberikan sebuah senyuman tipis ketika keduanya masuk ke dalam ruang singgasana. Ruang terbesar sekaligus tempat pernikahannya ini.
Alunan nada lembut yang keluar dari mulut paduan suara mengiringi langkah Verity yang entah kenapa semakin melambat ketika ia mendekati altar tempat pendeta dan Raja Alastair berada. Verity melihat punggung Raja Alastair lalu berusaha menenangkan degup jantungnya. Dia harus mati malam ini.
***
Alastair menyadari kehadiran Clementine yang berdiri tepat di sebelahnya saat iringan nada paduan suara berhenti. Tinggi wanita itu mungkin hanya sedikit lebih tinggi daripada bahunya, cukup tinggi untuk ukuran para wanita Selencia yang terkenal mungil, meski tidak sependek wanita dari Thaurin. Alastair memiringkan wajahnya sedikit dan melihat puncak kepala wanita itu. Rambutnya memang hitam seperti yang dikatakan Richard Blaxton. Alastair mengarahkan perhatiannya kembali ke pendeta ketika pria itu berdehem, bersiap mengucapkan janji yang mengikat keduanya hingga mati.
"... Apakah anda, Yang Mulia Raja Alastair Leonel Austmarr, bersedia untuk mencintainya, menghiburnya dan melindunginya, dalam sakit maupun sehat, dalam suka maupun duka..." Alastair tak memperdulikan satu pun kata pendeta itu hingga semuanya diam dan senyap seolah menunggu jawabannya.
"Saya bersedia." ucap Alastair singkat. Dia harus segera pergi mengurus perbatasan yang semakin meresahkan dengan keberadaan orang-orang asing yang tidak berasal dari Austmarr, seharusnya urusan itu telah selesai dari kemarin namun persiapan pernikahannya membuatnya terpaksa menunda semua pekerjaannya.
"Saya bersedia." Alastair melirik kembali Clementine ketika wanita itu juga menunggu cukup lama untuk menjawab pertanyaan sang pendeta. Suaranya terdengar bergetar dan ragu-ragu, mungkin sama sepertinya, Clementine juga tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi ini adalah jalan terbaik untuk menghindari perang lagi. Ratu Amaranta tak bisa menyerangnya di sini bila putrinya juga berada di sini. Wanita itu licik, harusnya Alastair menyingkirkannya dari dulu saat ia memiliki kesempatan. Namun kehilangan seorang pemimpin kerajaan tanpa penerus bisa memiliki resiko tinggi. Perang saudara bahkan hingga perang antar lima kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan bisa saja terjadi.
"Anda bisa memasangkan cincinnya sekarang, Yang Mulia." Untuk pertama kalinya keduanya berdiri saling berhadap-hadapan. Alastair memanggil Richard Blaxton yang membawa cincin berlian untuk Putri Clementine. Pria tua itu mendekat sembari membawa bantal kecil berwarna merah tempat cincin itu diletakkan. Alastair meraih tangan Clementine lalu menyadari kalau ujung jari wanita itu terluka. Apakah ada benda tajam yang ia sentuh sebelum kemari? Alastair mengabaikannya dan memasangkan cincin berlian itu di jari manis wanita itu.
Clementine nampak kebingungan karena ia tidak menyiapkan apapun untuk Raja Alastair. "Kau tidak perlu menyiapkan apapun." ucap Alastair singkat. Mata violet Clementine tanpa sengaja menatap langsung mata cokelat Alastair. Wanita itu nampak kaget karena ia mau berbicara dengannya. Alastair mendengus kecil, tak menyangka wanita itu akan terlihat sangat kaget dan gugup. "Laki-laki di Austmarr tak memakai cincin." Clementine meneguk ludahnya lalu mengangguk.
"Dengan ini saya sahkan keduanya sebagai suami istri." Sang pendeta mengakhiri rangkaian upacara pernikahan sementara para tamu menepuk tangan. Alastair melihat Clementine sekali lagi, Clementine memang tak terlihat seperti Ratu Amaranta. Entah ini merupakan petaka atau keberuntungan baginya. Alastair memilih untuk tidak mengambil pusing dan mendekati pengantinnya, wanita yang ia baru saja nikahi beberapa saat lalu. Clementine terlihat begitu kaget dan ketakutan ketika Alastair mendekat, meraih dagunya lalu menghadiahinya sebuah ciuman tepat di bibirnya di hadapan seluruh tamu undangan kerajaan.
***
Kedua kaki Verity lemas, tangannya bergetar hebat ketika sang raja tiba-tiba mendekatinya. Sesaat ia mengira kalau sang raja mungkin menyadari siapa dirinya dan hendak mencekiknya saat itu juga. Verity telah siap untuk mati saat itu juga, sayangnya ia tidak siap untuk menerima ciuman dari sang raja di bibirnya. Bila berciuman saja bisa membuatnya nyaris pingsan karena ketakutan, bagaimana nanti kalau ia harus melakukan tugas utamanya sebagai seorang ratu? Memberikan penerus bagi Kerajaan Austmarr.
Suara tepukan juga siulan atau tawa membahana yang tadinya memenuhi ruangan kembali senyap. Ketika Richard Blaxton kembali datang ke hadapan Raja Alastair dan membawa sebuah pedang panjang dengan hiasan berbentuk kepala singa di gagangnya.
"Berlutut." Verity mengikuti perintah Raja Alastair dengan ragu-ragu. Apakah setelah menciumnya sang raja akan memenggal kepalanya dengan pedang itu? Tatapan Verity terus menunduk ke bawah ketika sang raja mendekatkan pedangnya ke bahu kanan, kemudian kiri lalu atas kepala Verity. Richard lalu kembali mendekat, kali ini Alastair meletakkan kembali pedangnya lalu mengambil sebuah mahkota berwarna emas dengan hiasan batu rubi lalu meletakkannya di atas kepala Verity. "Dengan ini kusahkan kau sebagai Ratu dari Kerajaan Austmarr." Suara tepukan kembali terdengar sementara Verity yang rasanya nyaris mati karena ketakutan dibantu berdiri oleh Jenny dan seorang pelayan wanita dari Selencia.
Alastair menyerahkan pedangnya kembali ke Richard Blaxton, menatap Verity sesaat lalu meninggalkan ruang singgasana itu. Verity terpaku diam ketika melihat Alastair berjalan cepat meninggalkannya juga hiruk pikuk para tamu undangan yang menyelamatinya satu per satu.
"Mohon maafkan Raja Alastair, Yang Mulia. Ada rapat penting yang harus Raja datangi bersama beberapa menteri." Verity mengangguk mengerti ketika ia juga melihat beberapa pria mengikuti Raja Alastair dan meninggalkan ruangan.
"Selamat untuk pernikahanmu, Clementine." Verity menatap wanita yang berada di hadapannya. Kulitnya kecokelatan, rambutnya yang berwarna hitam dihiasi mahkota kecil berwarna perak yang dihiasi batu safir, matanya yang berwarna cokelat terlihat berkilauan jenaka ketika melihatnya. Ratu Rania dari Raria tidak terlihat seperti yang ia bayangkan. "Bocah kecil ini terus mengangguku, aku membawanya keluar agar tidak menganggu pernikahan kalian." Tatapan mata Verity teralih ke anak laki-laki berusia lima tahun yang berada digendongan Ratu Rania, terlihat kesal dan segera ingin kabur secepatnya.
"Apa yang kau bicarakan, sayang? Orion adalah bocah paling baik yang pernah ku temui." Suami Ratu Rania memiliki perawakan badan yang besar, separuh wajahnya tertutupi janggut tebal yang dimaini oleh seorang anak perempuan yang juga berada digendongannya. "Namaku Kilorn. Kau tidak perlu menambahkan embel-embel raja didepan namaku. Wanita ini adalah pemimpinnya."
"Jenderal Kilorn." Ratu Rania menegurnya.
"Ratu Rania." Kilorn membalas tegurannya dengan candaan. "Senang bertemu denganmu, Yang Mulia."
"Eh, kalian tidak perlu memanggilku dengan embel-embel apapun." Verity merasa tidak nyaman ketika dua orang dengan pangkat tertinggi di Raria memanggilnya dengan begitu sopan ketika ia sebenarnya hanya seorang penipu. "Cukup Ve.. Clementine. Cukup Clementine."
"Jadi cukup Clementine, kemanakah suamimu?" Verity memutar badannya dan melihat pria lain yang mungkin seumuran Raja Alastair. "Zacharias at your service, Ma'am." Raja Zacharias dari Colthas tertawa kecil melihat mata Verity yang terbelalak kaget melihatnya. "Kau tidak mirip sekaligus mirip ibumu pada waktu yang bersamaan." Raja Zacharias menatapnya dengan tatapan menilai.
"Kurasa Zachary benar. Kau tidak seperti berasal dari Selencia, tapi kau jelas anak Ratu Amaranta." Jenderal Kilorn juga ikut memperhatikannya. "Ini pertama kalinya aku melihat Putri Clementine yang misterius secara langsung. Kau tidak seperti yang ku bayangkan."
"Eh, kalian juga... Tidak seperti yang ku bayangkan." Clementine mengatakannya dengan nada gugup yang begitu jelas.
"Jadi apa yang kau bayangkan, Clementine?" Raja Zacharias bertanya kepadanya. Mata hitam pria itu membuatnya merasa sedikit aneh, seperti Raja Zacharias tahu rahasia yang ia sembunyikan namun pada saat yang bersamaan memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.
"Sejujurnya, saya membayangkan anda lebih tua, Yang Mulia." Zacharias tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Verity.
"Aku bertaruh kalau kau juga tengah mengira akan menikah dengan pria tua hari ini." Verity tak menjawab perkataan Zacharias dan membuat pria itu tertawa semakin keras. "Mungkin kau mengira kalau aku adalah Raja Zacharias ke II, yang merupakan ayahku."
"Mungkin." Ratu Rania tersenyum mendengar perkataan Verity yang dipenuhi keragu-raguan.
"Kau terlihat gugup, Clementine. Kau sudah disiapkan untuk ini sejak kecil, kau akan tahu apa yang akan kau lakukan nanti bila saatnya tiba." Ratu Rania memberikan nasehat kepada Verity. Orion, anak laki-laki yang berada digendongan Ratu Rania kembali merengek. "Sebentar sebentar. Aku harus menenangkannya dulu." Verity tersenyum kecil dan mempersilahkan keluarga itu pergi dari hadapannya sementara ia berdiri gugup di sebelah Raja Zacharias.
Karena merasa tak nyaman, Verity membalik badannya lalu menatap Raja Zacharias. "Bagaimana hubungan Colthas dengan Austmarr, Yang Mulia?"
"Apakah kau sedang berusaha membicarakan politik, Clementine? Jangan memanggilku dengan panggilan itu. Kau bisa memanggilku Zachary, umurku tidak beda jauh dengan suamimu. Meski aku baru menjadi raja selama dua tahun dan Alastair telah menjadi raja selama dua puluh tahun."
"Berapa umur anda, Yang Mulia?" Raja Alastair terlihat muda. Benar-benar tidak seperti yang Verity bayangkan. Saat ia bersiap bertemu dengan pria tua gendut berkepala botak, Verity malah bertemu seorang pria muda dengan badan tinggi tegap, tatapan sinis yang sesekali Alastair lemparkan kepadanya membuat Verity menyadari kalau Alastair mungkin mulai menyadari sikapnya yang ganjal.
"Dua puluh sembilan tahun." Zacharias menjawab pertanyaan Verity ringan. "Kau sendiri?"
"Delapan belas, Yang Mulia." sahut Verity tenang.
"Kapan ulang tahunmu?" Verity terdiam mendengar pertanyaan Zacharias. Dia tidak tahu kapan ulang tahunnya sendiri, selama ini ia menghitung jumlah umurnya dari berapa lama ia berada di dalam penjara ditambah usianya sebelum ia masuk ke dalam penjara. Sepuluh tahun telah berlalu dan Verity tidak ingat lagi kapan ia berulang tahun. Dia bahkan melupakan semua yang terjadi sebelum ia masuk ke dalam penjara. "Clementine?"
"Ehm... Ulang tahun saya berada di awal musim dingin, Yang Mulia." Verity berdehem sebentar. Ia tidak ingat ulang tahunnya sendiri tapi ia ingat ulang tahun Putri Clementine. "Kenapa anda mengatakan kalau saya mirip dengan Ratu Amaranta?"
"Kau memanggil ibumu sendiri dengan panggilan ratu?" Zacharias menatapnya dengan tatapan menyelidik.
"Dia tetap seorang ratu walaupun dia juga merupakan ibu saya." jawaban diplomatis Verity sepertinya memuaskan Zacharias hingga pria itu tidak lagi terlihat curiga kepadanya.
"Kau berbeda dari rakyat Selencia. Tidak ada orang yang mengira kalau Putri Clementine memiliki rambut hitam atau badan yang lebih tinggi dari rakyat Selencia lainnya." Mata hitam Zacharias menatap langsung ke mata violet Verity. "Tapi hanya keturunan langsung Raja atau Ratu Selencia lah yang memiliki mata violet, Clementine. Tidak ada yang meragukanmu sebagai Putri Clementine karena kau memiliki mata violet."
Jantung Verity berdetak begitu cepat. Mata hitam Raja Zacharias dari Colthas bertemu dengan mata violetnya seperti mengetahui sesuatu yang ia sembunyikan, Verity menelan ludahnya susah payah dan berjalan mundur menjauhi Zacharias tanpa ia sadari. "Clementine?"
"Alexander?" Verity menatap Alexander Thaurin dengan mata terbelalak. Ia nyaris lupa kalau Alexander tentu akan menghadiri pernikahannya pagi ini. Sial, sekarang ia merasa terjebak dan jatuh semakin dalam ke lilitan polemik lima kerajaan. Perkataan Zacharias membuatnya bertanya-tanya, siapakah dia sebenarnya? Dan kebetulan saja, orang yang mengenal Putri Clementine secara langsung kini berada di hadapannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top