II. The Five Kingdoms

II. The Five Kingdoms

Verity tersentak tiba-tiba ketika merasakan sebuah sengatan menyakitkan di punggungnya yang berasal dari tongkat panjang yang dibawa Matthias. Sudah nyaris sebulan ia harus berpura-pura menjadi Putri Clementine, belajar menggunakan perlengkapan makan, mengenakan sepatu, bahkan politik kelima kerajaan. Matthias menatapnya berang ketika menyadari Verity tertidur di salah satu kelasnya.

"Bangun! Kau sudah harus bisa menghapal setiap nama kerajaan dan pemimpinnya!" Matthias memukul-mukul tongkat kayunya di telapak tangannya. "Aku bisa saja menghajarmu habis-habisan bila bukan karena Ratu Amaranta ingin melihat hasil belajarmu selama sebulan terakhir. Kau akan bertemu Raja Arthur sore nanti. Tidak sepertimu dan aku, Raja Arthur pernah bertemu dengan Putri Clementine sebelumnya. Ratu Amaranta pernah menitipkan Putri Clementine saat tuan putri masih kecil, hubungan baik keduanya masih terjaga sampai sekarang." Verity menegakkan badannya dan menatap lurus ke arah Matthias. Seperti apa Putri Clementine yang sebenarnya? Kenapa ia tidak pernah bertemu putri itu selama sebulan terakhir di dalam istana? "Ini peta Inkarnate, kelima kerajaan."

"Letak Kerajaan Austmarr yang strategis membuatnya menjadi pemimpin lima kerajaan." Matthias mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke arah map tua yang terlihat begitu aneh. Verity menatap map itu kagum. Siapakah yang pernah menjelajahi Inkarnate hingga tahu seluruh letak kerajaan dengan tepat.

"Apa itu?" Verity menunjuk ke arah sebuah pulau terpencil yang terletak di arah selatan lima kerajaan.

"Kuil Mera yang sudah lama ditinggalkan oleh lima kerajaan. Kuil itu masih ada tentu saja, dijaga oleh sekelompok pendeta yang tidak peduli dengan keadaan politik lima kerajaan. Pulau Mera merupakan satu-satunya daerah netral yang tidak berada di antara lima kerajaan." Verity menatap gambar-gambar itu dengan takjub.

"Bagaimana dengan yang di sana?" Verity menunjuk ke salah satu gambar reruntuhan bangunan dengan gambar naga di atasnya.

"Dragør, sisa reruntuhan kerajaan keenam yang katanya dihancurkan oleh naga." Matthias tersenyum sinis melihat raut wajah kagum yang begitu jelas di wajah Verity. "Naga itu tidak ada tentu saja. Itu semua hanya rumor. Begitu juga rumor yang mengatakan kalau hanya keturunan langsung Kerajaan Colthas lah yang bisa mengendalikan naga."

"Mengendalikan naga?" Verity memperhatikan peta itu baik-baik. "Tapi Colthas berada di ujung kiri sementara Dragør berada di ujung sana. Apa untungnya bagi Colthas untuk menghancurkan Dragør?"

"Seperti yang ku katakan, tikus kecil. Semua itu hanya rumor. Tidak ada gunanya kau mempelajari sebuah dongeng seperti naga atau memperdulikan Dragør yang sudah punah." Matthias kembali mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya tapi Verity masih menatap kagum ke lima kerajaan itu. "Selencia menjadi lebih luas berkat kehancuran Dragør. Sayangnya, Selencia tetap tidak bisa menjadi pemimpin kelima kerajaan karena lokasinya yang kurang strategis..." Matthias terus melanjutkan pelajarannya sementara Verity kembali melamun. Ia tidak tahu kenapa ia harus mempelajari ini semua bila nanti ia hanya akan dijadikan tumbal untuk menggantikan Putri Clementine.

Verity menumpukan kedua tangannya di depan dada dan menatap Matthias yang terus membicarakan Selencia dan Thaurin. Nada kagum terdengar begitu kental dari suaranya sementara Verity terjebak dalam rasa bosan. Apabila ia masih hidup setelah meninggalkan Austmarr, ia ingin menjelajahi setiap negara dan menemukan sesuatu yang baru di sana. Siapatau naga bukan rumor seperti yang Matthias katakan.

***

Verity merapikan baju dan rambutnya berulang kali. Rambut hitamnya terlihat kontras dengan gaun ungu pucat yang ia kenakan. Maisie berulang kali mendesis marah kepadanya agar tetap berjalan dengan anggun dan sopan meski kakinya sakit karena mengenakan sepatu yang terlalu sempit.

"Tidak ada yang peduli dengan kakimu, tikus kecil. Raja Arthur dari Thaurin akan menemuimu! Ini merupakan sebuah kehormatan besar untukmu!" Maisie menyeretnya menjauh dari para pengawal dan melontarkan serentetan makian kepadanya. "Seandainya saja rambutmu pirang seperti warga Selencia lainnya, mungkin ia tidak akan terlalu mencurigaimu. Rambutmu yang hitam membuatmu seperti bangsa lain. Warga Thaurin dan Selencia tidak memiliki rambut hitam sepertimu." Verity menarik nafas gugup, ia tidak bisa melakukan apapun kepada rambutnya bukan? Dia bukan penyihir yang bisa mengubah warna rambutnya sesuka hatinya. "Jangan kacaukan ini."

"Tidak akan." ucap Verity lancang. Maisie berusaha menahan tangannya untuk tidak menampar wajah Verity, pelayan tua itu mendorong Verity kembali ke depan pintu agar seseorang dapat mengumumkan kedatangannya.

"Putri Clementine dari Selencia datang!" Dua orang pengawal membuka pintu besar dan tinggi dengan ornamen rumit untuknya. Verity melangkah dengan hati-hati mendekati dua buah kursi kerajaan tinggi berwarna emas. Tiga undakan tangga dan sebuah karpet merah panjang untuk mendekati kursi itu telah Verity lewati tanpa terjatuh atau tersandung karpet yang tebal.

"Clementine," Ratu Amaranta tersenyum tulus kepadanya untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun. Verity terpana sejenak tidak menyangka sang ratu akan benar-benar tersenyum kepadanya, sebuah senyuman yang tidak sinis atau mengejek seperti biasanya. Tapi tentu saja karena saat itu ia tengah berperan sebagai Clementine, penerus takhta Kerajaan Selencia.

"Hormat saya untuk Paduka Raja Arthur dari Thaurin dan Ratu Amaranta dari Selencia." Verity menundukkan kepalanya, berusaha keras untuk tidak kembali menatap wajah sang ratu.

"Jadi ini Clementine?" Verity menundukkan kepalanya dalam-dalam meski rasa penasaran menggerogoti hatinya. Suara Raja Arthur terdengar ringan, tidak berat seperti yang ia bayangkan. "Dulu dia teman main Alexander bukan?"

Verity berusaha mengingat-ingat perkataan Matthias tentang Kerajaan Thaurin tapi tidak ada satu pun yang menyangkut di otaknya. Nama Alexander terdengar familiar sekaligus ganjil baginya. Siapa Alexander?

"Alexander pasti begitu kecewa ketika tunangannya berakhir menjadi pengantin Raja Alastair." Verity tersentak kaget. Siapa Alexander? Ia berusaha mengingat-ingat kembali. "Angkat kepalamu Clementine."

Verity mengangkat kepalanya, matanya melebar melihat penampilan Raja dari Thaurin ini. Raja Arthur terlihat muda meski ia yakin umurnya mungkin sudah akhir empat puluhan. Rambutnya pirang namun lebih terang daripada rambut Ratu Amaranta, kulitnya putih pucat seperti kertas, ia memiliki ujung telinga yang sedikit lancip seperti kaum elf. "Kau terlihat kaget melihatku, Tuan Putri."

"Sa-saya..." Tatapan mata Ratu Amaranta yang tajam membuat Verity kembali membungkam mulutnya.

"Thaurin disebut sebagai kaum elf. Ini bukan rumor karena konon katanya kami memang keturunan para elf yang bercampur dengan manusia." Raja Arthur tertawa kecil. "Sama seperti Colthas yang merupakan keturunan sang naga, atau Raria yang memiliki darah para pelaut. Tapi aku masih manusia tentu saja."

"Maafkan kelancangan putri saya, Yang Mulia. Clementine tidak pernah menginjakkan kakinya keluar dari kerajaan, ia masih terlalu naif dan bodoh untuk mengetahui setiap isi lima kerajaan." Ratu Amaranta menundukkan kepalanya sedikit kepada Raja Arthur. Verity memperhatikan interaksi keduanya. Raja Arthur terlihat baik, sebuah kesan pertama terbentuk di benak Verity. Namun setelah tinggal selama sepuluh tahun di dalam penjara, Verity tahu ada banyak kebusukan yang tersimpan di dalam wajah rupawan para pemimpin kerajaan ini.

"Clementine..." Verity melihat Raja Arthur dengan tatapan waspada. "Apa kau bisa melakukannya?"

"Melakukan apa, Yang Mulia?" Sebuah senyuman terbentuk di wajah Raja Arthur.

"Membunuh Raja Alastair." Mata Verity terbelalak kaget. Dia tidak pernah membunuh seseorang sebelumnya, apa maksud perkataan Raja Arthur. "Ini demi kebebasanmu bukan? Ratu Amaranta sudah menjelaskan semuanya. Aku tahu kalau kau hanya seorang penipu yang berperan sebagai Putri Clementine."

Tangan Verity gemetar, entah karena marah atau takut. "Aku tak tahu apa yang anda bicarakan, Yang Mulia."

"Hahahaha, kau pintar sekali memilih seseorang, Ratu." Raja Arthur tertawa keras sementara Ratu Amaranta memiliki ekspresi yang sulit untuk Verity baca. "Kau hanya perlu membunuh Alastair. Maka kebebasan akan menjadi milikmu."

Verity mengetatkan rahanya, kedua tangannya mengepal marah. Para pemimpin kerajaan ini ternyata hanyalah orang-orang pengecut yang bersembunyi di balik seorang budak sepertinya. "Bagaimana bila sang raja mati nanti?"

"Kau akan bebas. Kau bisa menjadi Ratu di Austmarr tentu saja." Verity tidak perduli dengan Austmarr tapi kata-kata bebas itu membuatnya tertarik.

"Apa jaminannya?" Raja Arthur melemparkan sesuatu yang jatuh tepat di hadapan Verity. Verity memungutnya dan melihat sebuah benda menyerupai sisik berwarna kehitaman yang lebih keras daripada baja. "Apa ini?"

"Jaminanmu. Sisik sang naga yang kini berada di Dragør,"

"Dragør?" Verity tidak percaya kalau Dragør dan naga itu benar-benar nyata. "Apa ini ada hubungannya dengan kehancuran kerajaan keenam?"

"Colthas mungkin bisa mengendalikan sang naga. Tapi bukan dia yang menghancurkan Dragør," Ratu Amaranta menatap Verity, mata violetnya yang warnanya serupa dengan Verity terlihat berkilat licik. "Selencia lah yang menghancurkan Dragør,"

"Kenapa?"

Ratu Amaranta menyunggingkan senyum sinis. "Karena begitulah caranya bertahan hidup, menghancurkan atau dihancurkan."

***

Verity menimbang-nimbang sisik sang naga yang berada di tangannya. Selencia dan Thaurin bekerja sama untuk menghancurkan Dragør dan sekarang kedua kerajaan itu bersekutu kembali untuk menghancurkan Austmarr. Apakah dia bisa benar-benar bebas setelah membunuh Raja Alastair?

Seperti apakah Austmarr? Raja Alastair sudah berkuasa di sana selama dua puluh tahun, pria itu pasti sudah cukup tua dan berpengalaman karena pria itu juga merupakan pemimpin lima kerajaan. Verity mendesah keras, dia harus menikah dengan pria tua yang mungkin usianya lebih tua daripada Ratu Amaranta atau Raja Arthur. Sepanjang hidupnya, ia selalu merasa sial, namun tidak lebih sial daripada ini. Sekarang ia terjebak di dalam politik lima kerajaan dan diperintahkan untuk membunuh sang raja. Dia sungguh-sungguh ingin bebas! Tapi sepadankah kebebasannya dengan membunuh seseorang. Verity menatap langit-langit kamarnya di penuhi lukisan-lukisan indah. Keindahan yang hanya berlangsung sementara karena ia bisa saja mati kalau gagal menjalankan perintah Ratu Amaranta.

Suara ketukan membuat lamunan Verity berhenti, gadis itu mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa menutupi gaun tidur yang ia kenakan juga sesuatu yang bisa melindungi dirinya sendiri. "Masuk!" Verity mengambil sehelai jubah lalu mengenakannya dengan terburu-buru. Ia menarik nafas lega ketika melihat beberapa pelayan wanita masuk.

"Ratu Amaranta memerintahkan agar kami segera bersiap, Yang Mulia." Seorang pelayan maju dan memberikan penghormatan kepada Verity. Membuat gadis itu gelisah karena tak mengerti.

"Bersiap untuk apa? Di tengah malam seperti ini?"

"Yang Mulia harus segera berangkat menuju Austmarr malam ini." Beberapa pelayan maju mendekati lemarinya dan mengambil gaun-gaun miliknya, memasukkannya dengan terburu-buru ke dalam peti-peti berhias emas.

"Ke Austmarr? Malam ini?" Verity menggigit bibirnya gelisah. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tiba ke Austmarr?"

"Dua hari perjalanan Yang Mulia. Austmarr terletak tepat di tengah Inkarnate, kita harus melewati hutan pinus untuk menuju kesana."

"Hutan pinus?" Verity tidak pernah menginjakkan kakinya ke luar istana, dari balik jendela kamarnya ia bisa melihat daun-daun pepohonan yang terlihat indah saat terang namun menyeramkan saat gelap.

"Melewati hutan pinus adalah jalur tercepat, Yang Mulia. Melewati jalan biasa akan menimbulkan banyak kecurigaan. Ada beberapa perampok yang menunggu sepanjang jalan menuju Austmarr." Verity pernah menemui beberapa perampok di dalam penjara dan seperti yang para pelayannya katakan, para perampok itu memang menyeramkan. Sebagian besar dari mereka berakhir di tangan algojo karena tidak ada seorang pun dari mereka yang layak di hukum gantung atau racun.

"Apa kau yakin berangkat malam ini akan aman?"

"Sangat aman. Yang Mulia Ratu Amaranta juga menyiapkan lima puluh pengawal untuk menemani perjalanan anda." Lima puluh pengawal untuk mengantarnya menuju pintu kematiannya. Verity tidak pernah takut mati sebelumnya, tapi kali ini, ketika kebebasannya di penghujung mata, dia tidak ingin mati secara sia-sia.

"Baiklah kalau begitu." Verity berusaha menguatkan tekadnya. Dia akan bebas. Sebentar lagi dia akan bebas.

Seorang pelayan memakaikannya gaun baru yang lebih tertutup juga merapikan rambut hitamnya yang berantakan. "Sebelum anda berangkat ke Austmarr, Ratu Amaranta ingin mengucapkan salam perpisahan untuk anda."

***

Jantung Verity berdegup cepat, ia tidak pernah keluar di tengah malam seperti ini. Kerajaan Selencia terlihat seperti tengah tertidur dengan kurangnya cahaya atau bahkan penjaga yang berjaga di sepanjang lorong. Ratu Amaranta menunggunya di ruang singgasana. Verity tidak tahu apakah kali ini Raja Arthur turut mengucapkan salam perpisahan kepadanya atau tidak.

Verity masuk ke dalam ruang singgasana dan melihat Ratu Amaranta sudah duduk di sana. Wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan Verity yang terlihat gelisah dan panik. "Verity." Verity mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Ratu Amaranta. Untuk pertama kalinya ia mendengar ratu dari Selencia ini memanggil namanya bukan tikus kecil seperti biasa.

"Yang Mulia," Verity membungkukkan badannya, memberikan penghormatan kepada sang ratu.

"Aku memberimu kesempatan untuk meraih kebebasanmu." Ratu Amaranta menghentikan ucapannya sejenak, ia melihat Verity yang masih membungkukkan badannya. "Sebagai gantinya, ku minta kau untuk membunuh Raja Alastair, pemimpin Kerajaan Austmarr sekaligus lima kerajaan. Ku berikan kau sebuah hadiah,"

Verity berjengit ketika mendengar kata hadiah. "Terima kasih, Yang Mulia."

"Hadiah ini gunakanlah untuk membunuh Raja Alastair bila saatnya tepat." Sang Ratu memanggil Verity dengan gerakan tangannya. Dengan ragu-ragu Verity melangkah mendekati Ratu Amaranta. Sesampainya di hadapan sang ratu, Verity kembali membungkuk. "Sebuah belati berhiaskan permata, bunuhlah Raja Alastair menggunakan ini." Verity menerima belati pemberian Ratu Amaranta. Belati itu terasa berat karena permata yang menghiasinya.

"Terima kasih, Yang Mulia." Verity mengucapkannya sekali lagi lalu berniat undur diri.

"Tiga hari." Punggung Verity menegak mendengar perkataan Ratu Amaranta. Apakah ia harus membunuh Raja Alastair dalam waktu tiga hari lagi? Yang benar saja, Verity tidak pernah membunuh seseorang sebelumnya! "Tiga hari lagi waktu pernikahanmu." Verity terdiam. Sesaat ia lupa kalau ia tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Misinya bukan hanya membunuh sang raja namun juga menjadi pengantin raja itu. "Buatlah Alastair percaya kepadamu lalu tusuk jantungnya."

Jantung Verity berdegup semakin kencang. Ia harus membunuh sang raja, ia hanya perlu menusuk jantung sang raja dengan belati yang Ratu Amaranta berikan maka ia dapat meraih kebebasannya. Seandainya, seandainya saja Verity tahu kalau membunuh sang raja tidak akan semudah itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top