I. The Queen

I. The Queen

Verity menatap jeruji besi di hadapannya menunggu seseorang datang membawakannya makanan. Sudah tiga hari terakhir Verity tidak diberi makan sedikit pun, ia berusaha mengurangi rasa laparnya dengan meminum air hujan yang berhasil masuk melewati celah-celah jendela yang lebih menyerupai celah kecil.

Ratu Amaranta selalu mempunyai cara untuk menghukumnya, membiarkannya kelaparan hingga di ambang kematian bukan lagi hal yang baru baginya. Ratu Amaranta mungkin suka menyiksanya, tapi wanita itu mempunyai satu prinsip yang tidak pernah ia langgar. Ratu Amaranta selalu memastikan kalau Verity tidak akan memiliki bekas luka dari setiap hukuman yang ia terima. Hukuman cambukan atau sayatan-sayatan kecil di badannya tidak pernah meninggalkan jejak bukan karena siksaan yang ia berikan tidak seberapa melainkan karena akan selalu ada tabib yang memastikan Verity kembali ke kondisi semula. Verity tidak tahu alasan kenapa wanita itu tidak menyiksanya habis-habisan, satu-satunya alasan yang bisa pikirkan hanyalah kalau Ratu Amaranta tidak ingin terlihat seperti seorang ratu sadis nan keji dari Selencia meski kebenarannya Ratu Amaranta tidak ada bedanya dengan para pembunuh di luar sana.

Verity bukan satu-satunya penghuni di penjara bawah tanah kerajaan Selencia, tapi ia satu-satunya penghuni yang bertahan hingga satu dekade lamanya. Ratu Amaranta memberikan sebuah perlakuan spesial yang lebih seperti siksaan baginya. Ratu Amaranta mengajarinya membaca dan menulis lewat seseorang yang dikirim ke jeruji penjara setiap hari namun ia juga menyiksanya di saat yang bersamaan. Verity ingat saat ia baru berusia delapan tahun, saat ia pertama kali masuk ke dalam kerajaan. Ia bersembunyi di salah satu kereta yang membawa makanan, hendak mencuri satu atau dua potong roti untuk dirinya yang kelaparan, namun malang baginya. Tidak ada satu pun orang yang selamat ketika mereka mencoba mencuri dari sang ratu. Verity menerima lima cambukan sebelum Ratu Amaranta datang dan menghentikan hukuman itu. Untuk sesaat Verity mengira kalau wanita cantik itu akan menyelamatkannya namun kebalikannya lah yang terjadi, Ratu Amaranta mengurungnya di penjara bawah tanah dan hanya membiarkannya keluar selama beberapa jam setiap harinya.

Verity menghentikan lamunannya ketika ia mendengar suara deritan pintu besi yang beradu dengan lantai. Seorang sipir penjara menatapnya dengan tatapan bosan, tidak ada satu pun makanan yang dibawa si sipir. "Dimana makananku?"

"Ratu Amaranta memanggilmu, tikus kecil." Sipir itu menarik tangannya dan memaksanya berjalan cepat ke tempat dimana sekelompok pelayan wanita menunggu. "Ku harap kali ini Ratu Amaranta benar-benar membunuhmu." Sipir itu mendecih kesal dan berlalu pergi.

"Kau harus mandi." Maisie, ketua pelayan sekaligus wanita tertua di kelompok wanita itu, menatapnya dengan tatapan jijik. Verity menghidu aroma tubuhnya, ia memang tidak pernah mandi kecuali saat Ratu Amaranta memanggilnya, bila saat itu tiba maka ia harus dimandikan dengan bersih bahkan mengenakan pakaian terbaik yang mulanya akan terlihat sangat kontras dengan dinding ruang penjaranya namun perlahan-lahan warnanya menyaru seperti ruangan di dinding itu seperti gaun biru tua yang Verity kenakan, gaun itu kini sudah kehilangan warnanya dan berubah sewarna abu. "Ratu Amaranta sudah menunggumu di ruang makan."

***

Verity berjalan dengan tidak nyaman di atas sepatu yang ia kenakan. Rambutnya dicuci bersih bahkan dipotong menjadi lebih pendek oleh Maisie, tidak lagi berbau seperti kotoran kuda. Salah satu pelayan lain yang lebih baik berusaha menjalin rambut hitam Verity agar terlihat lebih rapi. Verity mendekati Ratu Amaranta yang duduk di kursi paling ujung meja makan, wanita itu tidak mendongakkan kepalanya atau berusaha menatap Verity ketika seseorang mengumumkan kedatangannya. Berbanding terbalik dengan Ratu Amaranta yang tidak berusaha melihatnya, Verity memperhatikan setiap tingkah wanita itu. Ratu Amaranta menikmati kue yang berada di hadapannya dengan anggun, membuat perut Verity yang keroncongan semakin terasa nyeri meminta makan.

"Rat," Ratu Amaranta mendesis ketika Verity mendekat berhenti di kursi sebelah kanan sang ratu, menunggu Ratu Amaranta mempersilakannya duduk. "Silakan," Verity menarik kursinya lalu duduk di sebelah sang ratu.

Salah satu peraturan kerajaan adalah larangan keras untuk menatap anggota kerajaan, namun hal ini bukan lagi hal yang ditakutkan Verity. Ketika Ratu Amaranta mempersilakannya duduk, Verity segera menyambar kesempatan untuk melihat ratu itu dengan dekat. Wajah Ratu Amaranta tidak berubah sedetik pun dari sepuluh tahun lalu, wanita itu masih cantik dengan aura aristokrat nan anggun yang kental. Sebuah mahkota berwarna emas dengan hiasan berlian dan rubi menghiasi kepalanya, rambut keemasan miliknya dikepang dengan jalinan-jalinan rumit. "Lancang!" Sang Ratu menampar pipi Verity ketika kedua mata Verity berpapasan dengan sang ratu. Ratu Amaranta memiliki semua karakteristik warga Selencia; rambut pirang keemasan, kulit seputih salju, juga tubuh ramping, semuanya kecuali mata sang ratu. Ratu Amaranta tidak memiliki warna mata biru seperti warga Selencia lainnya, ia memiliki mata ungu violet seperti Verity.

"Maafkan hamba, Yang Mulia." Verity menyebutkannya dengan nada mencemooh seperti mencoba peruntungannya. Bila ia beruntung Ratu Amaranta mungkin akan membunuhnya saat itu juga.

"Beraninya kau menatapku! Seorang narapidana sepertimu!" Ratu Amaranta berusaha mengembalikan ketenangannya dengan menarik nafas dalam-dalam. Wanita itu meraih dagu Verity lalu mempelajari setiap struktur wajah Verity, kali ini Verity menatap ke bawah menghindari menatap mata Ratu Amaranta. "Sudah berapa lama kau berada di bawah perlindunganku?"

Mungkin lebih tepatnya, di bawah tiranimu. Verity mendengus kesal di dalam hati lalu kali ini menyebutkannya dengan tenang, "Sepuluh tahun, Yang Mulia."

"Berapa umurmu sekarang?" Sang Ratu bertanya lagi lalu ia melepaskan cengkraman tangannya dari dagu Verity dan terlihat berpikir.

"Delapan belas tahun, Yang Mulia." Seorang pelayan datang menghampiri mereka, secangkir teh diletakkan di hadapan Verity.

"Bagus. Sekarang minum ini," Verity menatap cairan coklat pekat yang berada di hadapannya. Ratu Amaranta menyuruhnya meminum teh yang berada di hadapannya dan meskipun perutnya berteriak nyeri minta di isi, sebuah perasaan tak enak melingkupi hatinya. Ini bukan pertama kalinya Ratu Amaranta memberikannya racun berdosis kecil yang membuatnya sangat tersiksa hingga memohon untuk mati saat itu juga. Sayangnya, penyiksaan seperti inilah yang paling disukai sang ratu. "Minum sekarang."

Verity mengambil cangkirnya lalu menyesapnya sedikit. Rasa teh memenuhi indra perasanya, untuk sesaat ia lega namun rasa lega itu segera hilang dan tergantikan oleh rasa menyesal. Rasa panas seumpama api yang membakar tenggorokannya jelas saja bukan rasa teh. Ratu Amaranta lagi-lagi meracuninya. Kali ini Verity diam dan tidak mengucapkan sepatah kata pun apalagi memohon kepada sang ratu untuk membunuhnya. Racun itu menyiksanya, membuat paru-parunya panas membara seperti ingin meledak, Verity terbatuk, segumpal darah keluar dari mulutnya. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Verity melihat sebuah senyuman sinis terpasang di bibir sang ratu.

"Kau benar-benar naif, tikus kecil."

***

"Tuan Putri!"

Verity bangun dengan kepala yang berdentum hebat. Perutnya terasa perih dan mual luar biasa, matanya berkunang-kunang ketika ia berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Cahaya. Verity diam sejenak. Ratu Amaranta tidak mengembalikannya ke penjara bawah tanah yang selalu minim cahaya.

"Tuan Putri! Apa anda baik-baik saja?" Rasa mual itu kembali, Verity memiringkan tubuhnya lalu memuntahkan cairan bening yang berasal dari dalam perutnya ke dalam sebuah wadah yang disediakan oleh seseorang.

"Dia membutuhkan istirahat." Verity mendongakkan kepalanya, melihat sesosok tabib mendekatinya dan menempelkan tangannya ke dahi Verity. "Ia hanya membutuhkan makanan yang lebih bernutrisi untuk mengembalikan kesehatannya."

"Baiklah tabib." Punggung Verity menegak ketika mendengar suara kepala pelayan wanita, Maisie. Wanita itu berjalan mendekati Verity setelah tabib pergi meninggalkan ruangan lalu berdehem keras. "Tuan Putri Clementine membutuhkan istirahat, pergilah kalian."

Para pelayan yang tadinya berkerumun di sekitar Verity segera mengangguk dan pergi. "Apa yang terjadi?!" Verity mendesis marah kepada Maisie.

"Tutup mulutmu, tikus kecil." Suara tamparan yang memekkakkan telinga terdengar begitu jelas ketika tangan Maisie beradu dengan pipi Verity. "Diamlah! Sebelum Ratu Amaranta menyelipkan racun lagi di minumanmu. Kali ini aku sendiri yang akan memastikan kalau kau tidak akan selamat. Siksaanmu akan begitu panjang dan lama."

Verity menatap Maisie nyalang, tatapan matanya marah seperti kobaran api yang membakar kayu di perapian. "Bagaimana bisa aku berakhir disini?! Sebagai Putri Clementine!" Verity tidak pernah bertemu Clementine, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana rupa putri satu-satunya Ratu Amaranta sekaligus penerus kerajaan Selencia.

"Dengar kata-kataku, rats. Kau akan berperan sebagai Putri Clementine..."

"Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang Putri!" Verity memekik frustasi. Sepuluh tahun hidupnya dihabiskan di dalam penjara bawah tanah kerajaan Selencia. Dia tidak bisa membaca dan menulis bila bukan karena Ratu Amaranta yang berbaik hati mengirimkan seseorang untuk mengajarinya, dia bahkan masih tidak tahu cara berjalan mengenakan sepatu yang benar, dia bukan Putri Clementine!

Maisie mengetatkan rahang dan tangannya, berusaha menahan dirinya untuk tidak menampar Verity sekali lagi. "Berarti kau harus belajar."

Verity berusaha mencerna perkataan Maisie, pelayan tua itu terlihat congkak dan sombong. Dia merupakan salah satu orang yang suka menyiksanya hingga berada di ambang kematian, ia melakukannya karena perintah Ratu Amaranta tentu saja. "Kenapa?"

"Apakah aku harus menjelaskan semuanya kepadamu?!" Maisie memekik kesal. "Matthias akan datang dan mengajarimu seperti biasa."

Wajah Verity semakin memucat mendengar nama Matthias, pria tua itu adalah seorang guru yang dikirimkan oleh Ratu Amaranta untuk mengajarinya membaca dan menulis. Verity melihat telapak tangannya yang pucat, sebuah garis panjang tipis berwarna putih yang nyaris tak terlihat tersembunyi di antara garis-garis tangannya merupakan bekas luka yang diberikan Matthias. Satu-satunya luka yang membekas akibat Matthias menghukumnya menulis menggunakan darahnya sendiri sebagai tinta karena tidak juga bisa menulis dengan baik dan benar.

Maisie tersenyum semakin lebar ketika melihat wajah pucat Verity, "Seharusnya Ratu Amaranta tidak memberimu makanan. Kau tidak layak untuk itu, tapi karena ia memerintahkanku memberikanmu makanan... Kau bisa mengambilnya sendiri di sana." Dagunya yang lancip mengarah ke baki berisi aneka makanan yang berada di sudut ruangan.

Mata Verity menatap ke baki yang berada di sudut ruangan. Apakah Ratu Amaranta memberikan racun lain kepadanya? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Memakannya atau tidak? Suara perutnya juga rasa perih yang menjeranya membuatnya melupakan semua rasa khawatirnya. Ratu Amaranta tidak mungkin membuatnya menyamar menjadi Putri Clementine tanpa alasan, dia tidak mungkin meracuninya sekarang. Dengan tekad yang bulat, Verity menggeser tubuhnya agar berpindah dari atas kasur. Anehnya, seberapa keras pun ia berusaha, Verity tidak dapat menggerakkan kakinya. "Apa yang terjadi pada kakiku?" Verity menatap Maisie yang tersenyum pongah.

"Racun itu membuatmu lumpuh. Sayangnya, kakimu akan kembali seperti semula besok." Maisie melemparkan senyuman sinis dan mengabaikan Verity, wanita itu meninggalkan Verity sendirian di kamar besar dengan ornamen indah.

Verity berusaha menggeser badannya hingga akhirnya ia terjatuh di atas karpet lembut nan tebal yang berada di sekitar kasur. Dengan menggunakan kedua tangannya, Verity merangkak hingga ke sudut ruangan tempat baki berisi makanan itu di letakkan. Verity menarik nafas gusar, kedua kakinya lumpuh dan baki itu berada di atas meja yang cukup tinggi. Verity menarik baki itu hingga terjatuh, pecahan kaca dan tumpahan makanan mengotori lantai. Verity mengambil daging dan roti yang terjatuh lalu segera menyantapnya dengan tangan.

"Kau benar-benar seperti tikus kecil." Suara Matthias membuat gerakan Verity berhenti. Ia memang terlihat seperti hewan pengerat karena berada di atas lantai, memakan makanan yang sudah terjatuh menggunakan kedua tangannya. Verity mengetatkan rahangnya, kedua tangannya menggenggam roti dan daging semakin erat. Ia berusaha mengabaikan Matthias dan menghabiskan kedua makanan itu dengan cepat. "Ckck, Ratu Amaranta terlalu baik kepadamu." Matthias duduk di atas kursi dan membiarkan Verity menghabiskan makananya. "Aku tidak tahu kenapa ia memilihmu menjadi pengantin Raja Alastair."

"Apa?" Verity berusaha mencerna perkataan Matthias. "Apa maksudmu?"

"Kau menggantikan Putri Clementine." Verity mengerti bagian itu, ia mengerti kalau sekarang ia tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Tapi ia tidak mengerti kenapa ia menjadi pengantin Raja Alastair. Melihat wajah bingung Verity, Matthias melanjutkan perkataannya. "Apa kau tidak tahu kalau kau akan menggantikan Putri Clementine untuk pergi ke Austmarr?"

"Austmarr?" Ada lima kerajaan dan Verity tidak tahu empat lainnya, ia selama ini tinggal di dalam penjara bawah tanah tanpa pernah menyentuh dunia luar. Selencia merupakan kerajaan yang di pimpin oleh Ratu Amaranta.

"Kau memang bodoh. Naif dan bodoh, seperti yang mereka katakan." Matthias menatapnya jijik. Baju indah yang diberikan kepadanya telah dikotori oleh sisa-sisa makanan, begitu juga tangan dan mulutnya. "Mungkin ini akan menjadi pelajaran pertamamu, tikus kecil. Ada lima kerajaan; Raria yang dipimpin oleh Ratu Rania, Thaurin yang dipimpin oleh Raja Arthur, Colthas yang dipimpin oleh Raja Zacharias, Selencia yang dipimpin Ratu Amaranta dan yang terakhir Austmarr, dipimpin oleh Raja Alastair."

Ini pertama kalinya Verity mendengar nama-nama para pemimpin lima kerajaan, sebuah pengetahuan umum bagi warga biasa namun tidak untuk Verity yang tinggal di dalam penjara selama sepuluh tahun terakhir hidupnya. "Seperti apa Austmarr?" Seperti apa tempat yang akan ia datangi nanti?

"Austmarr? Tempat sekumpulan orang barbar. Tidak seperti Selencia atau Thaurin tentu saja." Mendengar nama kagum Matthias pada Selencia dan Thaurin, Verity bisa menduga kalau kedua negara ini memiliki hubungan yang cukup dekat. "Kau harus berperan dengan baik sebagai Putri Clementine, kalau tidak raja dari sekumpulan orang barbar itu akan langsung membunuhmu. Dia tidak seperti Ratu Amaranta yang terus memberikanmu kesempatan untuk hidup."

"Apa kau pernah bertemu Putri Clementine?"

Mata Matthias menajam mendengar perkataan Verity. "Tidak, tapi dari rumor yang ku dengar dia sangat pintar dan cantik, bahkan melebihi ibunya sendiri." Ratu Amaranta sangat cantik, ia pasti sangat menyayangi Putri Clementine hingga tidak ingin putrinya itu dikirim ke Austmarr menjadi pengantin orang barbar seperti Raja Alastair. "Kau tidak bisa mengacaukan ini, tikus kecil. Selencia dan Austmarr bisa dalam perang bila kau mengacaukannya. Kau harus berperan sebagai Putri Clementine dengan baik. Ada alasan kenapa Raja Alastair menjadi pemimpin lima kerajaan sekaligus Kerajaan Austmarr selama dua puluh tahun terakhir. Bukan hanya Selencia dan Austmarr, lima kerajaan bisa berusaha membunuhmu bila kau gagal."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top