Bonus Chapter: Mirror, Mirror

Victoria menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya gusar ketika melihat rumah tua di tengah antah berantah milik kakeknya. Adik lelakinya, Tommy, yang baru berusia dua belas tahun menyeret kopernya sendiri sementara melemparkan koper miliknya dari atas mobil.

"Tommy!" Victoria berteriak gusar ketika adiknya itu meninggalkan kopernya begitu saja di sebelah mobil. "Mom! Tolong beritahu Tommy .... " Kata-kata Victoria terputus ketika melihat tatapan ibunya.

"Vicky, berhentilah bersikap manja." Ibunya mengangkat koper miliknya lalu menyeretnya ke arah Victoria. "Kakekmu tidak akan suka."

Victoria mengambil koper dari genggaman tangan ibunya lalu mengikuti langkah ibunya dengan wajah cemberut. Seharusnya ia menghabiskan musim panasnya di perkemahan musim panas bersama teman-temannya yang lain, tidak pergi ke rumah kakeknya di sebuah desa di ujung Ukrania. Tangan kanannya meraih ponselnya dan berusaha mencari-cari sinyal yang semakin sulit di dapatkan.

"Apa kakek punya wifi?" Tommy juga mengeluarkan ponselnya dan mengembuskan napas panjang ketika melihat sinyal di ponselnya tidak lebih dari dua bar.

"Victoria! Thomas!" Victoria dan Tommy tersenyum miris ketika mendengar kakek mereka, Dima, memanggil keduanya dengan nama lengkap mereka yang cenderung kuno.

"Dima!" Tommy berlari menyambut kakeknya. Ini pertama kalinya ia mendatangi rumah kakek mereka di Ukraina setelah selama ini kakeknya lah yang mengunjungi mereka di Sheffield.

"Thomas!" Dima menyambut pelukan Tommy lalu memutar badannya. "Apa kabarmu? Apa kau mengerjai kakakmu lagi?"

"Tentu saja tidak," Tommy menggelengkan kepalanya. "Apa kakek punya wifi?"

***

Victoria dan Tommy meluruskan kaki mereka di atas sofa. Keduanya lagi-lagi mengembuskan napas panjang ketika ponsel mereka kini bagaikan sebuah barang rongsokan tidak berharga di rumah kakek mereka.

"Setidaknya kalian bisa mendengarkan lagu." Ibu berusaha menyemangati keduanya.

Vicky melihat baterei ponselnya lalu menggelengkan kepalanya lagi. "Apa kita tiba-tiba terperangkap di abad ke sembilan belas?"

"Aku bosan!" Seru Thomas ketika ia melihat ke seluruh penjuru rumah Dima. Tidak ada hal-hal baru yang menyenangkan untuk keduanya. Rumah ini dipenuhi barang-barang peninggalan tua yang Tommy yakin berhantu.

"Aku harus menghubungi Samantha, Mom." Victoria berusaha membujuk ibunya untuk mengantar keduanya ke Kiev, di mana keduanya bisa menemukan sinyal.

"Kiev terlalu jauh dari sini," Ibunya menggelengkan kepalanya. "Kalian bisa ke taman milik Dima atau menemui Dima di bengkelnya."

Dengan gerak ogah-ogahan Victoria menarik tangan Tommy lalu mengajak adiknya itu menemui Dima di sebuah bengkel yang terletak di sebelah rumah utama. Bengkel yang merupakan tempat Dima membuat sebagian besar furniturnya juga memperbaiki benda-benda antik yang nantinya dapat dijual kembali.

"Dima," Victoria memanggil kakeknya ketika menyadari taman yang harus mereka lewati bukan benar-benar sebuah taman melainkan hutan kecil dengan aneka pepohonan rimbun di dalamnya.

"Victoria." Dima membalik badannya lalu tersenyum lebar ketika melihat dua cucu kesayangannya.

"Apa yang kau lakukan?" ujar Tommy ketika melihat aneka barang antik di bengkel Dima dengan mata berkilat jenaka.

"Memperbaiki ini," Dima menunjuk sebuah lemari tua yang terbuat dari kayu cedar. "Sayang sekali ada beberapa bagian yang lapuk. Untung saja ornamen utamanya masih utuh."

"Wow." Tommy menyentuh salah satu kotak musik antik yang segera berbunyi menyanyikan lagu Claire De Lune ketika ia membukanya.

"Jangan menyentuh barang-barang Dima, Tommy!" Victoria menegur adiknya. Usia mereka terpaut enam tahun, tetapi terkadang karena sifat manjanya dan sifat jenaka Tommy, usia keduanya seperti tidak terpaut terlalu jauh.

"Dima tidak marah kepadaku kok. Kenapa harus kau yang marah?" Tommy menjulurkan lidahnya lalu kembali mengacak-acak barang-barang antik yang Dima kumpulkan di bengkel.

Victoria duduk di atas bangku kayu di sebelah Dima lalu memerhatikan pria tua itu memperbaiki lemari tua. "Apa ini pekerjaan Dima?"

"Pekerjaan? Ini hanya hobi yang menghasilkan nak." Dima terkekeh ketika ia mulai memoles lemari tua itu agar terlihat lebih baru.

"Barang mana yang paling sulit untuk diperbaiki?" Victoria bertanya lagi, ia tengah berusaha mengusir rasa bosan yang melandanya.

"Paling sulit untuk diperbaiki? Hmm ... mungkin meja oak yang ada di ruang belajarku sekarang. Namun, yang paling berkesan itu cermin tua dari abad ke empat belas yang juga berada di ruang belajarku sekarang."

"Berkesan?" Victoria mengerutkan keningnya.

"Sebelum aku membelinya, aku mendengar kalau cermin itu cermin magis."

"Mungkin penjualnya mengatakan demikian agar kakek membelinya dengan harga mahal," celetuk Tommy ketika adik lelakinya itu tidak lagi sibuk memainkan boneka Pinocchio yang ada di sudut ruangan.

"Hahaha, bisa saja. Beberapa kali aku juga mengira kalau itu adalah cermin magis ketika cermin itu tidak menampilkan bayanganku, tetapi menampilkan sebuah pemandangan hijau layaknya sebuah jendela."

Tiba-tiba mata Tommy berkilat cemerlang ketika mengingat sesuatu. "Oh ya! Bagaimana cara Dima menghubungi kami selama ini dari Ukraina ke Sheffield?"

"Lewat komputerku."

"Komputer!" Seru Tommy senang. "Berarti kakek punya internet!"

Victoria ikut membelalakkan matanya senang. Berita kakeknya punya internet seperti penyejuk di tengah padang pasir, ia tidak akan terlalu bosan selama berada di tempat ini. "Di mana komputer Dima?"

"Di ruang belajarku."

"Terima kasih kakek!" Seru keduanya ketika mereka berlari menuju rumah utama.

***

"Apa kau yakin kau bisa memperbaiki ini, Tommy?" tanya Victoria sembari berkacak pinggang. Harapannya untuk menghubungi Samantha dan Jonah pupus seketika ketika melihat jaringan internet yang tadinya lancar tiba-tiba terputus saat hujan deras tiba.

Langit yang tadinya terang benderang berubah suram dipenuhi awan hitam. Cahaya petir dan suara gemuruh yang menggelegar tiba-tiba membuat keduanya terlonjak kaget. Lampu yang tadinya menerangi ruang belajar Dima tiba-tiba mati.

"Mati lampu!" Tommy mendorong kursi frustrasi. Kini tidak ada lagi yang bisa mereka berdua lakukan selain menunggu hingga lampu kembali menyala dan listrik kembali mengalir.

"Yang benar saja," Victoria memutar kedua bola matanya kesal. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Victoria menghempaskan badannya ke atas sofa lalu memejamkan matanya.

"Vicky ... Vicky ... Victoria!" Tommy memanggil-manggil namanya dengan nada panik.

"Ada apa Tommy?" Victoria membuka matanya dan melihat Tommy berdiri di depan cermin antik besar yang kata Dima merupakan cermin magis.

"Lihat ini .... " Tommy menunjuk ke cermin itu dengan mata terbelalak lebar. Cermin itu tidak lagi menampakkan bayangan keduanya seperti cermin normal lainnya, cermin itu seperti jendela yang memperlihatkan bagian hutan yang diselimuti es. "Apa ini?" Tommy hendak menyentuh cermin itu ketika tangan Victoria menghentikannya.

"Lebih baik kita pergi." Victoria menggelengkan kepalanya. Entah ia sedang berhalusinasi atau tidak, tetapi ia merasa kalau mereka harus menjauhi hal-hal yang sulit diterima dengan akal sehat.

"Aku penasaran!"

"Tommy!" Victoria memelototkan matanya ketika Tommy hendak menyentuh cermin itu lalu terkekeh. "Berhentilah bermain-main."

"Vicky!" Tommy berseru dengan nada panik ketika tangannya menyentuh cermin itu.

"TOMMY!" Victoria menarik tangan Tommy ketika ia menyadari tubuhnya juga ikut tertarik masuk ke dalam cermin itu. "Oh Tuhan."

***

Victoria membuka matanya secara perlahan dan menyadari kalau mereka benar-benar telah masuk ke dalam cermin di ruang belajar kakeknya. Tommy yang telah lebih dahulu berdiri sebelahnya membelakakkan matanya lebar-lebar.

"Apa ini?" Tommy melihat salju dan es yang berada di sekeliling mereka. Mereka berada di tengah hutan salju dan es! "Apa kita di Narnia?"

"Narnia?" Victoria mendengkus kesal. "Kalau begitu cari segera jalan keluarnya agar kita bisa pulang. Seharusnya sekarang musim panas, aku kedinginan." Victoria memeluk dirinya sendiri. Ia hanya memakai sebuah kaos lengan pendek dan celana jeans.

Tommy berusaha mencari-cari portal cermin yang tadi mereka lewati, tetapi tidak ada satu pun bagian yang terlihat asing di matanya. Mereka benar-benar masuk ke dalam cermin dan berada di tengah hutan.

"Akh! Tommy! Menunduk!" Victoria menarik badan Tommy untuk menunduk ketika sebuah anak panah melesat melewati mereka.

"Apa ini?" Keduanya meringkuk ketakutan, takut bila salah satu anak panah itu berhasil menancap di badan mereka. "Apa kita berada di dalam Game Of Thrones?"

"Kau menonton Game Of Thrones?!" Entah kenapa di saat seperti ini Victoria ingin memarahi adiknya yang baru berusia dua belas tahun, tetapi telah menonton Game Of Thrones.

"Kau ingin marah kepadaku di saat seperti ini?! Saat kita terjebak di Narnia?!"

"Apa yang kalian bicarakan?" Suara pria tiba-tiba menyadarkan keduanya kalau mereka tengah berlindung dari hujan panah saat ini.

Karena rasa penasaran yang melandanya, Tommy membalik badannya untuk pertama kalinya dan melihat sosok pria yang berada di hadapannya dengan mulut menganga dan mata terbelalak. "Kita benar-benar berada di Narnia."

Victoria membalik badannya dan ikut terbelalak. Setengah pria, setengah kuda. Seorang atau seekor ... centaur. "Aku menyayangimu Tommy, aku bersyukur kau berada di sisiku saat kita terjebak di Narnia. Atau Hogwarts ... atau di mana pun tempat ini berada."

"Apa yang kalian bicarakan?" Centaur itu berbicara kembali. "Ini bukan tempat yang kalian sebuat sebagai Narnia."

"Di mana ini?" Tommy bertanya. Sosok centaur itu tidak mengenakan selembar pakaian apapun ketika cuacanya sedingin ini.

"Sudah beratus-ratus tahun berlalu semenjak manusia menginjakkan kakinya di Shadebay." Centaur itu mengelilingi keduanya dengan mata hijau penasaran. "Apa yang kalian lakukan di sini dengan pakaian seaneh itu?"

"Beratus-ratus tahun?" Victoria menelan ludahnya susah payah. "Di mana manusia yang lain?" Mereka baru saja melalui portal berbentuk cermin aneh yang seharusnya hanya ada di buku-buku dongeng dan film fantasi.

"Di Inkarnate, tentu saja."

"Inkarnate .... " Victoria bergumam pelan. Ia tidak tahu di mana Inkarnate atau bahkan tempat seperti apa itu. "Apa tempat ini dikutuk oleh penyihir? Di sini dingin sekali." Victoria hanya bertanya sambil lalu, hanya untuk memastikan kalau dia dan Tommy bukan sebuah ramalan yang akan membantu para makhluk di Narnia ini untuk melawan penyihir es.

"Penyihir?" Centaur itu mengerutkan keningnya. "Penyihir terakhir yang kuketahui ada di Inkarnate, Ratu Verity Clementine Selencia. Tempat ini dingin karena ini memang musim dingin, bukan karena dikutuk oleh penyihir." Centaur itu mendengkus lalu hendak meninggalkan keduanya.

"Tunggu!" Victoria memanggil centaur itu kembali. "Bagaimana caranya menuju ke Inkarnate?" Bila mereka bisa menemui penyihir itu, mungkin saja mereka bisa kembali.

"Mustahil," ucap Centaur itu singkat. "Raja Alastair tidak akan membiarkan kalian menemui Ratunya. Bila beruntung kalian mungkin bisa pergi ke Silverhooks, menemui para elf dan menumpang dengan kapal-kapal yang membawa barang ke Thaurin."

"Thaurin?" Apa mereka sedang membicarakan Lord Of The Rings? Tommy mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Aku kedinginan."

"Ke sini Tommy." Victoria merangkul Tommy lalu memeluk adik lelakinya itu. "Bagaimana cara ke Silverhooks?"

Centaur itu menatap keduanya. "Kalian berasal darimana?"

"Bumi." Tommy mendengkus kesal. Ia sudah muak berada di negeri antah berantah ini. Ia berharap siapa pun yang tengah memainkan prank tidak lucu ini segera berhenti.

"Bumi ... ?"

"Namaku Victoria, ini adikku, Thomas." Victoria mengenalkan dirinya. Ia cukup beruntung karena centaur itu tidak langsung membunuh keduanya di tempat. "Siapa namamu?"

"Vixon."

"Baiklah, Vixon. Kami ... terjebak di sini." Victoria berusaha menjelaskan dengan tenang meski degup jantung berdentum tidak beraturan. "Mungkin kami bisa menemui Ratu Verity dan meminta tolong kepadanya. Aku membutuhkan bantuanmu, tidak seharusnya kami berada di sini. Mungkin kau bisa memberitahu jalan menuju Silverhooks dan menolong kami?"

Vixon terdiam sejenak, mata hijaunya yang besar menatap Victoria. "Kalian beruntung, Pangeran Lazarus akan ke Lupine Pack untuk bertemu Alpha Canine beberapa minggu lagi. Pertama kalinya dalam ratusan tahun. Beritanya tersebar di mana-mana, semua kalangan menantikannya."

Victoria menelan ludahnya lalu mengangguk pelan-pelan. Ia tidak mengerti apa yang perlu dirayakan dengan kedatangan seorang pangeran untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, tetapi di negeri antah berantah ini ia harus mengikuti apa yang mereka katakan meskipun terdengar gila dan tidak masuk akal. "Jadi siapa Pangeran Lazarus ini dan bagaimana cara kita menemuinya?"

Vixon memicingkan matanya lalu mengumpat serangkaian kata yang Victoria tidak mengerti. "Pangeran Lazarus adalah penerus takhta Austmarr, dia anak Ratu Verity dan Raja Alastair." Vixon menatap mata Victoria dan untuk pertama kalinya Victoria menyadari kalau keberadaan mereka di sini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sebelah mata dan mereka tidak bisa kembali dalam waktu dekat. "Berhati-hatilah bila kalian benar-benar ingin bertemu dengannya. Kudengar Pangeran Lazarus tidak begitu ramah dan cenderung tidak menyukai orang-orang asing, seperti kalian ... dua manusia yang berasal dari Bumi."

"Apa dia bercanda?" Tommy berbisik di sebelahnya.

"Kurasa tidak." Victoria balas berbisik ke telinga adik lelakinya itu. "Kurasa ini bukan jebakan seperti yang kukira, ini benar-benar Narnia."

"Atau Game Of Thrones dan kau bisa mati kapan saja." Celetukan Tommy membuat Victoria memutar bola matanya kesal. "Dia terlihat benar-benar nyata, tidak seperti dari film-film. Ini bukan sekedar make up." Ujar Tommy takjub ketika melihat tubuh setengah kuda Vixon.

"Bila ini nyata, doakan saja semoga Pangeran Lazarus itu mau menerima kita untuk menemui ibunya." Victoria menggenggam tangan Tommy erat-erat. Meski terkadang jengkel kepada adiknya itu, ia bersyukur karena masuk ke dalam dunia fantasi ini bersamanya, tidak seorang diri.

*****

Honestly, I have no plan to continue this story. Lol.

Seperti yang kalian baca cerita ini terinspirasi dari kisah Narnia, tetapi alih-alih masuk ke dalam lemari, Tommy dan Vicky masuk ke dalam cermin yang kali ini juga terinspirasi dari kisah Snow White.

Salah satu pembaca pernah bertanya kepada saya "Apa Inkarnate itu hanya terdiri dari satu benua atau ada bagian lain yang tidak tergambarkan di dalam peta?" Pada saat itu saya tidak menjawabnya dan masih belum menjawabnya (ini karena saya lupa komentar di bagian mana pembaca itu bertanya), jawabannya adalah Ya, ada bagian lain yang belum tergambarkan di peta. Ini karena saya merasa cerita Inkarnate pada saat itu sudah cukup kompleks tanpa ditambah bagian daerah lain yang kali ini tidak hanya terdiri dari manusia, tetapi juga elf, centaur, werewolf, vampire, dan makhluk fantasi lainnya. Bila "The King's Bride" menggambarkan civil war di antara para penerus takhta kerajaan, "Mirror, Mirror" akan lebih berisi bagaimana Tommy dan Vicky meyakinkan diri mereka kalau mereka tidak berada di Narnia, lol. A mere human among the odds one.

Ini pertama kalinya saya menggambarkan tokoh utama perempuan yang punya adik laki-laki, bukan anak tunggal atau punya saudara perempuan seperti Mei Ling di Benang Merah. Honestly, it was a challenge because I don't think that Lazarus will really like Tommy.

Haruskah mereka punya cerita mereka sendiri?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top