Prologue

Anna Ivankov tahu seharusnya dia tidak berada di sini, di tempat ini, Lady Luck, salah satu tempat judi terbesar yang ada di Las Vegas dan dimiliki oleh Outfit. Anna mengenal siapa underboss Outfit yang menguasai Las Vegas, Rocco Valenquez. Ketenarannya mungkin tidak seterkenal Dante Amato apalagi Ferro Belucci, tetapi pria itu cukup diperhitungkan di keluarganya.

"Fuck." Anna mengumpat. Kakaknya mungkin akan menceramahinya habis-habisan, tetapi Nikolai tidak ada di sini untuk menceramahinya, well, kakaknya tidak akan menceramahinya bila dia selamat hari ini.

Anna tidak memiliki pilihan lain selain masuk ke dalam Lady Luck dan bersembunyi di dalam sarang musuhnya. Dia hanya bisa berharap siapa pun yang ada di dalam tempat ini tidak akan mengenalinya sebagai Anna Ivankov, adik dari Pakhan Bratva, Nikolai Ivankov.

Dia mengenal para pria yang mengejarnya, para pria yang mengikutinya sejak di atas pesawat hingga ia masuk ke dalam tempat ini. Mereka jelas anggota Bratva, tetapi bukan pengikut kakaknya. Dia bisa melihat tonjolan pistol dan kilau pisau yang berusaha mereka sembunyikan baik-baik. Siapapun mereka, Anna bisa merasakan bahwa hidupnya tidak akan berakhir baik bila jatuh ke tangan mereka.

Anna masuk semakin dalam, melewati meja-meja poker dan blackjack, matanya melihat sekilas ke arah tangan para banker. Mereka lebih unggul dalam permainan kali ini. Anna tidak ingin mengakuinya, tetapi sedari kecil dia terlatih untuk berhitung dan mengetahui kecurangan setiap permainan judi. Ayahnya melatihnya baik-baik untuk menghitung cepat dan menghapal setiap tangan para pemain, sementara Niko bermain dengan pistol dan pisaunya. "Lihat dan ingat Anna, bila kau tidak ingin seseorang mencurangi permainanmu." Dia ingat apa kata ayahnya jauh sebelum pria itu tewas mengenaskan dalam sebuah kecelakaan.

Ruangan demi ruangan dia lewati, masuk semakin dalam ke Lady Luck, sarang para Outfit, kelompok yang seharusnya ia takuti dan hindari dibanding para pria yang mengejarnya tadi.

Anna baru bisa mengembuskan napas lega ketika ia berhenti di salah satu ruangan yang tidak dilewati oleh siapa pun, dia mengintip dari balik pintu, tidak ada para pria itu lagi.

"Well, well, siapakah ini?"

Anna kembali menahan napasnya, mengingat dia baru saja melewati lubang buaya dan memasuki mulut singa. Matanya yang biru melebar melihat sosok berpakaian setelan yang menyarungkan kedua tangannya di saku celana.

Setelan desainer, jam tangan mahal, potongan rambut berkelas, semua meneriakkan uang. Anna bisa menduga berapa banyak uang yang dicuci di tempat ini, jutaan, atau mungkin milyaran dolar. Walaupun tentu saja, Anna menyadari kekuatan yang sebenarnya tidak terlihat oleh barang-barang mewah yang menempel di badan pria itu, tetapi dari sorot matanya dan tubuhnya yang tegap. Anna menelan ludahnya, pria ini menggugah rasa ingin tahunya yang biasanya ia kubur dalam-dalam bersama dengan peringatan kakaknya.

"Apa kau bisu?" Anna terdiam, tidak menjawab pertanyaan pria itu sedikit pun, baik dengan anggukan atau pun gelengan. Mata gelap pria itu menilainya, dari ujung rambut hingga ujung kakinya, dia berdecak, membuat Anna tanpa sadar mengetatkan sweater yang ia kenakan, tahu betul bila pria itu tengah menilai badannya yang terlalu kurus atau mungkin terlalu gemuk. Dia tidak bisa lagi menilai semenjak menjadi prima ballerina. Dia harus langsing, tetapi juga tidak terlalu langsing hingga pingsan saat berada di atas panggung.

Pria itu membalik badannya, tidak lagi bertanya dan memilih berjalan meninggalkan Anna di depan pintu seolah tidak peduli kepada gadis itu lagi.

Anna memilih untuk mengikuti pria itu, entah kenapa, tetapi pria itu sungguh menggugah rasa penasarannya. Selama sesaat dia melupakan para pria bersenjata yang mengejarnya hingga ke tempat ini, untuk sesaat dia lupa bahwa ini tempat yang berbahaya dan mungkin saja pria itu jauh lebih berbahaya daripada para pria tadi.

"Apa kau mau bermain bersamaku?" Pria itu berhenti di hadapan sebuah meja dengan papan dan bidak catur di atasnya. "Kau tampak kaget, kenapa?" Di luar sana ada permainan yang lebih menarik dan mungkin saja lebih mendebarkan, tetapi pria ini memilih berada di dalam ruangan ini seorang diri bermain papan catur.

Anna menarik kursi yang berada di depan pria itu lalu duduk di depan bidak catur berwarna putih.

"Apa kau tahu bermain catur?" Pria itu bertanya lagi, merapikan bidak-bidaknya hingga tersusun rapi dan permainan dapat dimulai. Anna mengangguk. "Bagus, kau catur putih artinya kau yang memulai permainan ini."

Anna mendorong satu bidak catur. Pria itu ganti mendorong bidak catur lainnya. Mereka bermain hingga menit berganti jam, melupakan sejenak apa yang terjadi di luar sana.

"Apakah kau tahu bila catur adalah permainan terjujur?" Anna memperhatikan gerak demi gerak bidak catur yang berada di hadapannya. "Tidak sama seperti baccarat, blackjack, atau poker yang berada di luar sana. Sulit untuk curang di dalam permainan catur." Pria itu menjelaskan kepadanya ketika mendorong salah satu bidak caturnya hingga rajanya terkurung. "Skakmat."

Anna mengangguk, mengakui bahwa dia kalah dalam permainan kali ini. Dia mengulurkan tangannya, pria itu menyambutnya.

"Senang bermain denganmu Anna Ivankov." Bagai tersengat listrik, Anna segera menarik tangannya, tetapi pria itu tetap menahannya. "Apa kau pikir aku tidak akan mengenalimu ketika seluruh fotomu tersebar sebagai prima ballerina Chicago Opera Theater? Apa yang kau lakukan di sini?" Pria itu menunggu sesaat, masih dengan tangannya yang berada di dalam genggaman tangan pria itu. "Ah, aku lupa mengenalkan diriku sendiri, Rocco Valenquez. Kau tahu bila keluarga kita tidak akur bukan?"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top