1. Anna

"Maaf untuk ketidaknyamanannya, Pak." Nikolai berbicara dengan salah satu pria berseragam polisi sementara pandanganku tertunduk menatap lantai, menghitung semut-semut yang berseliweran. Mataku terangkat sedikit melihat jam tangan emas yang berada di tangan Niko telah berpindah ke tangan polisi itu. Rolex mewah itu tentu saja tidak ada apa-apanya bagi seorang Nikolai Ivankov.

Aku tahu betul kakakku itu kini tengah sedang menyogok para polisi itu, keluarga kami menyelesaikan masalah dengan cara seperti ini, di bawah tangan dengan segepok uang.

Mataku kembali tertunduk, kali ini melihat deretan kerikil dan batu yang berada di bawah sepatuku. Aku bersenandung dengan nada rendah, mengabaikan suara kakakku dan para polisi itu, mengabaikan seluruh dunia ini hingga mobil polisi itu meninggalkan kami.

"Kau benar-benar .... " Niko mendengkus frustrasi, tahu betul bila perbuatanku kali ini membuatnya harus berurusan dengan polisi. Hal yang tentu saja paling dihindari di dalam keluarga kami. "Ayo, masuk." Niko membuka pintu mobilnya, menungguku masuk terlebih dahulu sebelum mengunci pintu mobilnya. 

Keheningan menyeruak di dalam mobil yang beraroma seperti kulit dan kopi. Segala hal yang berhubungan dengan Nikolai selalu bersih, terlampau bersih. Hidungku mengernyit mencium aroma alkohol dari hand sanitizer yang Niko gunakan untuk membersihkan tangannya.

"Para bajingan itu." Niko menggerutu dengan nada pelan sembari mengemudikan mobilnya. "Kenapa kau melakukannya?"

Mataku menatap keluar, melihat kilap lampu jalanan yang berpendar di bawah langit Kota Illinois. Mataku terpejam berusaha menghalau rasa sakit yang menerjang kepalaku setiap lampu-lampu itu berpendar terang.

"Anna." Niko memanggil namaku kembali.

"Diamlah." Ucapku kesal.

"Kau bisa mati!" Niko membentakku sekarang, tetapi lagi-lagi kuabaikan suara yang keluar dari mulut kakakku itu. "Kau bahkan tidak tahu cara mengemudi, Anna. Kenapa kau melakukannya?"

Aku berdecak. Seumur hidupku aku selalu menjadi putri kesayangan dan kebanggaan Ivankov, dijaga begitu ketat di dalam istana milik Ivankov yang juga menjadi penjara untukku. Mereka bilang hidup di dunia ini berbahaya, ada hal-hal yang tidak kuketahui yang mereka tutup rapat-rapat agar aku tidak perlu tahu.

"Kau hanya perlu mengajariku cara mengemudi, Niko." Aku bergumam, tidak yakin bila Niko bisa mendengarkan gumamanku.

Aku tahu apa yang kulakukan malam ini adalah sesuatu yang teledor dan berbahaya. Aku mengendarai salah satu mobil milik Niko hingga akhirnya menabrak tiang. Syukurlah aku hanya menabrak tiang dan bukan makhluk hidup, dan tentu saja, syukurlah aku masih hidup. Kulihat wajah Niko yang mengeras begitu mendengarkan laporan dari polisi bahwa aku mengemudikan mobilnya dan membuat kecelakaan kecil. 

"Anna!" Niko memanggil namaku kembali, aku mengerjap, sekali, dua kali, lalu mengabaikannya. "Demi Tuhan, Anna! Ada apa denganmu?!"

"Kau tidak perlu memperdulikanku, Niko. Tinggalkan aku sendiri." Aku menutup mataku dan menyandarkan kepala di jendela.

"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya." Niko mendesah frustrasi. "Kenapa kau bertingkah seperti anak kecil?"

Aku bukan lagi anak-anak, tentu saja. Bahkan di usiaku saat ini seharusnya aku tidak lagi berada di bawah pengawasan ketat kakakku.

"Kalau kau ingin pergi kemana pun, bawa supirmu." Lagi-lagi Nikolai menasehatiku tentang keamanan. Dari kecil hingga dewasa ini, aku tidak yakin pernah pergi ke tempat mana pun seorang diri atau hanya bersama teman-temanku, selalu ada orang lain yang ikut denganku.

Dari sekolah bahkan hingga pekerjaanku saat ini, semua telah diatur sedemikian rupa oleh orang-orang ini.  "Kau bisa biarkan aku sendiri."

Nikolai memutar bola matanya kesal, pria itu mengusap rambut pirangnya, pertanda jelas dia sedang berusaha menahan amarahnya yang kian membuncah. "Kau tahu aku tidak bisa."

"Kau bisa." Aku balas bergumam. "Usiaku dua puluh lima tahun, aku sudah dewasa."

"Anna! Kau mungkin sudah dewasa tetapi rekam medismu membuktikan bahwa kau membutuhkan pengawasan." Aku menutup mataku erat, enggan berdebat lebih lanjut. "Anna."

"Bawa saja aku pulang, Niko."

"Damn it." Niko mengumpat, aku mengernyit sekilas lalu memutuskan untuk mengabaikannya. Mobil berjalan cepat menembus Kota Illinois yang masih hidup di tengah malam seperti ini. Mobil berhenti tepat di rumah Niko, rumah yang pernah menjadi saksi bisu kehidupan kami bersaudara.

Aku keluar dari mobil dengan kaki terhentak kesal. Kekanakan memang, tetapi aku tidak bisa mengubah kebiasaanku sejak kecil ini bila tengah kesal.

Aku melihat rumah mewah bercat putih yang menyimpan berbagai kenangan, indah ataupun sedih. "Apa kau tak berniat untuk pindah?" Aku menghela napas melihat kusen demi kusen hingga jendela. "Aku ingin pindah."

"Kau tahu aku tidak bisa." Niko menutup pintu mobil, menyerahkan kuncinya kepada salah satu penjaga dan tersenyum kepadaku.

"Kau tahu kalau kau tidak perlu turun tangan langsung untuk menjemputku malam ini, bukan?" Aku berjalan masuk melewati foyer hingga ke kamar.

"Anna, maafkan aku." Niko mengulurkan tangannya untukku, aku melihat telapak tangan Nikolai yang terbuka lalu menggeleng.

"Selamat malam, Niko."

"Спокойной ночи. [Selamat malam]."

***

Setelah mandi dan mengganti bajuku dengan gaun tidur, aku naik ke atas kasur dan berbaring sambil melihat bintang-bintang yang menempel di langit kamarku. Aku menghitung bintang-bintang itu di dalam hati, bintang yang telah lama menempel di langit-langit kamarku. Aku berusaha untuk tidur, terlelap dan jatuh ke dalam mimpi, tetapi tentu saja tidak bisa.

Tubuhku miring ke kanan, melihat deretan poster ballerina yang menempel di dinding kamarku. Menjadi penari balet adalah impian kanak-kanak yang terus tumbuh ikut serta hingga aku dewasa. Pencapaian demi pencapaian hingga akhirnya berada di puncak tidak lagi terasa semenantang dulu. Aku lelah, saat mentalku kelelahan, tubuhku pun ikut lelah.

Aku dan Niko, kita hanya punya satu sama lain. Namun, dunia kita semakin berbeda ketika mulai beranjak remaja hingga akhirnya dewasa seperti ini. Nikolai semakin jauh dariku. Apa yang terjadi pada hari ini adalah sebuah kelangkaan, Niko nyaris tidak pernah hadir di sisiku kecuali karena hal-hal tertentu seperti hari ini.

Ketika insomnia melandaku, aku tidak bisa tidur walaupun telah berusaha keras untuk memejamkan mata dan tertidur.

Aku menggelengkan kepalaku, mendesah frustrasi ketika rasa lelah yang kurasakan tidak cukup untuk membuat tubuhku tertidur dan beristirahat. Dokter yang menanganiku mulai berhenti memberikan obat tidur atau pun penenang untukku karena dosis maksimum yang mereka berikan tidak mampu lagi menghentikan apa pun yang tengah kurasakan saat ini.

Di bawah tangan, dengan segepok uang. Aku berusaha menerka apa itu yang mereka lakukan ketika pria itu mati, apa mereka hanya membunuhnya lalu membiarkan mayatnya membusuk, atau mereka sempat menguburnya terlebih dahulu. Aku tidak pernah bertanya kepada Niko apa yang dia lakukan kepada pria itu, terkadang tidak tahu apa-apa jauh lebih baik daripada mengetahui sesuatu dan tersiksa dengan rasa bersalah itu.

Dia pria yang baik. Dia tidak tahu apa-apa. Dia berada di luar lingkungan ini. Seseorang sepertiku tidak bisa menikahi orang luar.

"Anna!"

"Anna!"

"Anna!"

"мне жаль."

Aku tersentak bangun, tidak sadar telah berhasil tertidur walaupun mungkin hanya beberapa menit, jelas jauh daripada waktu seharusnya manusia tertidur.

Suara gedoran pintu terdengar lagi, mengingatkanku bahwa kini aku tidak lagi berada di alam mimpi, melainkan di dunia nyata.

"Niko." Aku mengerang. Hanya ada satu orang yang berani membangunkanku dengan cara seperti ini, orang itu hanya kakak kandungku satu-satunya, Nikolai Ivankov. Kenapa Niko membangunkanku seperti ini ketika dia tahu betul aku tidak bisa tidur lelap?

Aku bangkit dari atas kasur dan berjalan lunglai menuju pintu. "Apa yang kau inginkan?" Aku mengucek mataku, melihat sosok tinggi Nikolai telah siap dengan setelannya yang rapi dan licin.

"Bersiaplah."

"Bersiap?" Aku mengernyit dalam. "Ke mana?"

"Kau akan ikut denganku."

"Aku akan ikut denganmu?" Aku membeo, tidak biasanya Nikolai mengajakku pergi dengannya.

"Ya, kau akan ikut denganku." Aku terdiam, melihat rambut pirang Niko yang berkilau ketika tertimpa cahaya, otakku masih belum berfungsi sempurna karena dibangunkan dengan cara yang sangat tidak menyenangkan.

"Ke mana?"

"Las Vegas." Niko menjawab dengan satu kata.

"Las Vegas?" Aku tambah mengernyitkan keningku. "Kenapa?"

"Setelah yang kau lakukan kemarin malam, aku tidak yakin bisa meninggalkanmu sendirian." Nikolai berdecak, dia melihat jam tangan Patek Phillipe yang melingkar di tangan kirinya. Niko selalu punya deretan jam tangan mahal lainnya yang tentu saja dapat dengan mudah dia serahkan kepada orang lain bila terjadi masalah dan uang tunai tidak cukup untuk membungkam orang-orang itu.

"Bagaimana dengan supir dan bodyguard?" Aku menyenderkan badanku ke kusen pintu, enggan bergerak dan mengikuti Nikolai ke mana pun ia akan pergi.

"Mereka akan tetap ikut denganmu, tetapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri."

"Bagaimana dengan pertunjukanku?"

Niko mengangkat wajahnya, mata birunya yang terang menatapku lamat-lamat. "Berhenti menunda-nunda dan membuang-buang waktuku, Anna. Aku tahu pertunjukanmu sudah selesai minggu lalu, kau akan beristirahat sebelum latihan kembali untuk pertunjukkan berikutnya." Aku tahu aku tidak bisa menghindari Nikolai, dia punya seluruh jadwal dan kegiatanku yang diatur sedemikian rupa agar tetap aman di mana pun aku berada. Sayangnya ada satu hal yang Niko tahu dia tidak bisa lakukan, dia bisa melindungiku dari berbagai hal yang ada di luar, tetapi dia tidak bisa melindungiku dari diriku sendiri.

"Aku tidak akan membuang-buang waktumu bila kau pergi seorang diri ke Las Vegas."

"Anna, aku tidak meminta kepadamu untuk pergi bersamaku ke Las Vegas, aku menyuruhmu. Kau tidak punya opsi. Aku hanya memberitahumu untuk bersiap, kau bisa pergi dengan gaun tidurmu atau kau bisa pergi dengan pakaian lain yang lebih sopan dan nyaman, pilihanmu sendiri."

Aku berdecak dan mendengkus. Nikolai terlalu licik dan lihai untuk hal seperti ini, untuk kelicikan dan kelicinan otaknya inilah yang membuatnya menjadi Pakhan, mengalahkan beberapa paman lain yang juga mengincar posisi yang sama.

"Oke oke." Aku mengembuskan napas menyerah. Tidak perlu waktu lama, aku telah duduk di atas mobil yang membawaku dan Niko menuju hanggar pesawat di mana sebuah jet pribadi akan mengantar kita langsung ke Harry Reid International Airport, Las Vegas.

***

Setelah hampir empat jam perjalanan, Niko sungguh memutuskan agar aku ikut bersamanya di mana pun dia berada.

"Ini pertemuan bisnis, Niko." Aku mendesis ke arahnya.

Bratva punya beberapa bar dan klub di Las Vegas, walaupun Las Vegas paling terkenal sebagai surga dunia dan tempat judi paling tersohor berkumpul, anehnya Bratva tidak memiliki kasino atau pun tempat judi seperti Outfit.

Nikolai memilih salah satu ruang VIP di bar untuk menjadi tempat pertemuannya dengan rekan bisnisnya. Walaupun sering keluar masuk ke bar dan klub milik Bratva, aku tidak pernah bergabung untuk membicarakan bisnis bersama rekan-rekan kerjanya.

"Kau bisa menunggu di ruang kerjaku, aku akan segera selesai."

Aku melirik ke dalam ruang VIP yang dijadikan tempat pertemuan oleh Nikolai dan rekan kerjanya, para pria dengan beberapa wanita berpakaian minim berada di dalamnya. Aku menggangguk sekilas.

"Aku akan menunggumu." Tubuhku meremang tidak nyaman melihat salah satu tatapan pria yang menatapku lama.

Aku segera pergi meninggalkan hiruk pikuk bar yang ramai, menuju ruang kerja Nikolai yang berada di ujung atas bar, tempat di mana ia bisa melihat segala penjuru bar dengan mudah.

Aku duduk di kursi kerja Niko dan membuka ponselku. Jaringan di sini payah, hanya satu dua bar jaringan yang tidak kunjung membaik seberapa kerasnya aku berusaha mencari-cari jaringan di penjuru ruangan.

Aku meletakkan ponselku di meja Niko dan berputar-putar di kursinya. Mataku tiba-tiba menangkap sekelompok manusia yang berkerubung di pojok ruangan, terlihat seperti tengah melakukan sesuatu yang mencurigakan.

Aku segera berdiri ketika menyadari apa yang tengah mereka lakukan di sana. Narkoba dan ada seorang wanita tidak sadarkan diri di tengah kerumunan itu.

Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk menjadi superhero dadakan, tetapi wanita itu terlihat jelas butuh bantuan dan mungkin akan mati overdosis bila tidak segera ditangani.

"Hey!" Aku berteriak nyaring, memecah kerumunan itu hingga mereka memperhatikanku. "Apa yang kalian lakukan?!"

"Aku tidak akan mendekat ke sini bila aku dirimu." Seorang pria memperingatiku, tetapi tentu saja, rasa terlampau percaya diri karena aku berada di dalam klub yang notabene milik kakakku sendiri dan rasa aman bila orang-orang yang berada di sini akan melindungiku telah membutakanku.

"Apa yang kalian lakukan kepadanya?" Wanita itu terbaring lemas di atas meja, sebuah jarum suntik berada di lengannya. Mereka melakukan pesta narkoba tepat di pusat keramaian bar.

"Bukan apa yang aku lakukan kepadanya, Anna. Tetapi apa yang telah dia lakukan kepada dirinya sendiri." Aku berjalan mundur ketika menyadari pria itu mengenalku, dia tahu siapa namaku, jelas dia tahu siapa diriku dan apa yang akan terjadi bila Niko tahu, tetapi pria itu jelas tidak peduli.

Sontak saja aku melangkah mundur, menyadari seberapa gentingnya situasi yang terjadi saat ini. Aku melihat ke atas, melihat ruang VIP di mana Niko berada, pintu terbuka, dan alih-alih Nikolai yang keluar, pria lain yang keluar dari ruangan itu. Tatapan kami bertemu, jantung berdegup tidak nyaman.

Sesuatu telah terjadi, dan orang-orang ini, orang-orang yang seharusnya berada di bawah Niko, tidak memperdulikannya.

"Oh fuck." Aku mendesis pelan, mataku mencari dari pintu belakang hingga tangga menuju lantai dua, antara Nikolai atau meninggalkan tempat ini sesegera mungkin.

Pilihannya tidak membutuhkan waktu lama, ketika suara pecahan gelas terdengar aku segera melesat melewati pintu darurat dan berlari sejauh mungkin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top