Chapter 5 (Sebuah Perpisahan)

"Andai keputusan bodoh itu tak kubuat,
mereka berdua tidak akan seperti ini.
Mianhae, jeongmal mianhae."

(Nam Woo Hyun)

***

***

Jam buka klinik sudah usai. Jarum pendek jam di atas meja kerja Sae Ron menunjukkan angka sembilan malam. Seng Woo dan Min Ah sudah meninggalkan klinik beberapa menit yang lalu. Ini waktunya untuk menutup klinik.

Pintu utama Sae Ron kunci rapat. Tirai ia turunkan, hingga membuat jendela kaca besar itu tertutup rapat, lalu ia mematikan lampu utama. Gelap kini mendominasi ruangan utama tersebut.

Kakinya melangkah cepat ke arah ruang rawat. Mencari keberadaan Woo Hyun di sana, namun manik cokelatnya tidak menemukan keberadaan laki-laki itu. Ia kebingungan, lalu menutup kembali pintu tersebut.

“Woo Hyun-ssi! Woo Hyun-ssi!” Sae Ron mulai panik. Pasalnya, laki-laki itu bisa saja jatuh tak sadarkan diri di mana pun, karena terakhir ia periksa, suhu tubuhnya masih tinggi.

Langkah kaki membawanya ke lantai atas. Mungkin saja laki-laki itu ada di sana.

Dan benar saja.Woo Hyun kini sedang berbaring di atas ranjang milik Sae Ron bersama Byul yang tertidur sambil melingkar di sampingnya.

Sae Ron tersenyum lega. Laki-laki itu baik-baik saja. Biarlah malam ini ia mengalah untuk tidur di sofa. Membiarkan Woo Hyun menguasai ranjang empuknya. “Cih, dasar laki-laki menyebalkan,” gumamnya.

Saat langkah membawa Sae Ron turun ke lantai bawah, sebuah batu besar menggelinding kearahnya, usai memecahkan pintu kaca yang tadi baru saja ia kunci. Suaranya begitu keras, hingga membuat gadis berambut kecokelatan itu kaget bukan main dan berjongkok sambil refleks melindungi kepalanya. Ia sangat ketakutan.

Tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam dengan mantel, masuk ke dalam klinik, sambil menyingkirkan serpihan kaca yang berceceran dengan kakinya yang dilapisi sepatu boots hitam mengilap.

“Cepat cari bocah itu, lalu kita pergi dari sini sebelum polisi datang!” ujar salah satunya. Dua orang laki-laki lainnya segera berpencar mencari keberadaan orang yang ia cari, dan itu adalah Woo Hyun.

Mereka mengobrak-abrik isi klinik sambil terus menyisir keberadaan Woo Hyun dengan serampangan. Dan itu, makin membuat Sae Ron kalut bukan main. Dua orang itu akhirnya menemukan keberadaan Woo Hyun di lantai atas lalu merarik paksa Woo Hyun untuk bangun dan turun ke lantai bawah. Mereka mendorongnya hingga jatuh tersungkur ke lantai. Membuat tangannya luka di beberapa bagian karena terkena serpihan kaca.

“Sae Ron-ssi, gwaencanha?” ia mengkhawatirkan Sae Ron yang saat itu masih menangis ketakutan sambil berjongkok di sampingnya.

“Kau membuat kesalahan besar karena sudah menyembunyikannya, nona! Kau harus—“

“--jangan sakiti dia! Aku akan kembali ke sana. Kumohon jangan sakiti dia!” cegah Woo Hyun, menginterupsi kalimat laki-laki menyeramkan itu.

Dia tersenyum sinis, lalu memerintahkan kedua bawahannya itu untuk menyeret Woo Hyun masuk ke dalam mobil.

Mianhae, Sae Ron-ssi. Jeongmal mianhae!” teriak Woo Hyun, begitu pintu mobil tertutup rapat dan pergi meninggalkan Sae Ron dengan kesendiriannya juga ketakutannya.

***

Woo Hyun diseret paksa oleh dua laki-laki bertubuh besar itu masuk ke dalam sebuah rumah besar bergaya Eropa. Ruang utamanya tinggi menjulang dan luas. Banyak dihiasi patung-patung indah ala romawi kuno. Guci-guci mahal tertata apik mengelilingi ruangan tersebut yang dilindungi oleh kotak kaca.

Seorang laki-laki paruh baya duduk di atas sebuah sofa mewah sambil mengisap cerutu. Kakinya berada di atas kepala seorang gadis yang tampaknya sudah tak mampu lagi berkutik. Ia hanya bisa menangis menahan kesakitan di sekujur tubuhnya.

Noona!” teriak Woo Hyun, begitu menyadari sang kakak sudah babak belur dihabisi oleh sang paman. “Noona!” Woo Hyun mencoba untuk berontak, namun sakit di area perutnya masih terasa. Tenaganya belum pulih seutuhnya. Ia hanya bisa diam sambil menangisi kebodohannya sendiri karena sudah membuat kesalahan fatal.

Sang paman tertawa puas melihat drama menyedihkan itu. Ia lalu menarik rambut gadis yang tadi ia injak hingga duduk dan menengadah menatapnya. Darah sudah menghiasi sudut bibir, pelipis hingga hidungnya. Lebam terlihat kontras dengan wajah putihnya. Ait matanya sudah bercampur dengan darah dan keringat. “Jangan salahkan aku atas apa yang sudah kau terima, Seo Hyun-ah! Salahkan saja adikmu yang tidak becus itu!” ujarnya marah.

Samcheon, kumohon lepaskan kakakku. Bunuh saja aku! Bunuh saja aku!” dalih Woo Hyun. Ia berlutut memohon ampun pada sang paman. Menangis hingga tersedu-sedu.

Sang paman mendorong keras kepala Seo Hyun hingga gadis itu terpelanting jatuh menghantam meja dan kembali terkulai lemas. “Kau sudah berjanji padaku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, Woo Hyun-ah! Lalu ini apa?” sang paman mengeluarkan sebuah pelastik kecil yang di dalamnya berisikan alat pelacak. Itu alat pelacak yang sempat Woo Hyun keluarkan dari lehernya.

“Kau kira, kau bisa mengelabuiku? Kau kira, kau bisa lari dari pantauanku?” Sang paman melangkah mendekat ke arahnya, lalu melayangkan tendangan keras tepat di perutnya yang terluka. “Bodoh!” teriaknya.

Woo Hyun terjungkal ke belakang. Nyeri kembali menguasai pikirannya. Perih yang sungguh tak tertahankan, dan Woo Hyun bisa merasakan luka itu kembali terbuka dan mengeluakan darah. Kepalanya sudah pening bukan main.

Mianhaeyo, Samcheon. Jeongmal mianhaeyo,” ujar Woo Hyun pelan.

Sang paman melangkah kembali mendekatinya. Kali ini ia berjongkok, lalu menarik rambut Woo Hyun. Memaksa agar Woo Hyun melihat wajahnya yang murka. “Kuberikan kau kesempatan lagi untuk menebus kesalahanmu. Jika kau kembali berhkhianat, kau akan melihat sendiri bagaimana aku menghabisi kakakmu, juga gadis itu!”

Woo Hyun bungkam. Keputusannya untuk tidak kabur malam itu dari klini Sae Ron telah membawa dampak besar. Kini nyawa gadis itu terancam karena kesalahannya sendiri. Lidahnya kelu untuk angkat bicara. Ia hanya bisa diam.

***

TBC

***

Kamus Mini


Gwaencanha: Tidak apa-apa


Mianhae: Maaf

Jeongmal mianhae: Benar-benar minta maaf

Samcheon: Paman

***

Salam,
Aurelia
04 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top