7

Arkan drop, semua terbengkalai. Terhitung dua hari sejak pulang dari chek up kandungan Dhara malam itu, Arkan mendadak pusing dan keesokan paginya tak kuat bangun walau sekedar membuka mata.

Dhara kelabakan. Dua anaknya kesulitan berangkat ke sekolah karena Arkan tak bisa mengantar seperti biasa. Akhirnya, mau tak mau Dhara harus meminta bantuan Ara untuk mengantar Diva dan Davin menggantikan tugas Arkan selama pria itu sakit. Jauh memang, tapi Dhara tak tahu harus meminta bantuan siapa karena ia sendiri tak punya saudara. Saudara satu-satunya yang dimiliki telah pergi meninggalkan mereka semua sejak tiga tahun lalu.

Tak hanya rumah tangga Arkan yang kacau, bahkan di kantor tak kalah kalah kacau. Sang atasan paruh baya yang baru saja dikaruniai anak ke tujuh dari istri ke duanya tersebut tak berhenti merecokinya dengan terus menelepon ponsel Arkan. Dhara yang kesal, sempat mengomeli atasan suaminya tersebut karena Arkan butuh istirahat. Dhara meminta untuk tak mengganggu Arkan terus menerus dengan menelepon dan menanyakan perihal pekerjaan.

Daneen jadi anak baik hari ini. Sejak tahu bahwa ayahnya sakit dan tak bisa melakukan aktivitas apapun, ia tak tega. Daneen sayang ayahnya. Ia bahkan tak beranjak sejengkalpun dari sisi sang ayah. Ketika sang mama berusaha menyuapi ayahnya bubur dan ayahnya tersebut menolak, Daneen kecil sok menasehati. “Makan bubulnya, Pa. Mama capek masaknyaa. Sambil ‘huek-huek’ dituuu... Papa ‘kan sakit. Kalo sakit halus minum obat. Tapi, Papa halus makan bubul duluu.”

Dhara terkekeh, lantas mengacak rambut sebahu putri kecilnya tersebut.

Mendengar nasehat dari bocah kecilnya, mau tak mau Arkan harus menguatkan diri untuk menelan bubur yang terasa pahit di lidahnya itu. Bukan karena bubur buatan Dhara tak enak. Dhara pintar masa, tapi karena kondisinya yang kurang sehat, indera perasa dan juga salivanya sangat tidak nyaman saat menelan sesuatu. Bubur itu berusaha ditelan. Hanya beberapa sendok dan menyisakan setengah dari bubur yang Dhara siapkan dalam mangkuk tersebut. Kemudian, entah karena sangat lapar atau sayang bubur tersebut mubazir, Daneen dengan cepat meminta pada sang mama untuk menghabiskan bubur yang ayahnya sisakan tersebut. Hanya dalam hitungan detik, setengah mangkuk bubur itu habis tak bersisa.
Enak, Ma. Anin mau lagi. Masih ada?” Mangkuk kosong bekas bubur itu diulur pada sang mama, meminta mamanya untuk mengisi mangkuk itu dengan bubur yang masih ada di dalam panci.

Siang hari itu, ketika Dhara sibuk menyiapkan makan siang di dapur, Daneen bertugas menjaga ayahnya di kamar yang tengah tertidur. Sementara Daneen sendiri tiduran di atas kasur lantai yang dihamparkan di lantai sembari menonton kartun. Satu botol susu tetap menjadi teman penghilang dahaga. Sesekali matanya melirik ke atas ranjang, berjaga-jaga jika saja ayahnya kesakitan atau butuh sesuatu.
Susu botol yang masih tersisa setengah itu diletakkan ke atas lantai. Susah payah ia bangkit. Kedua tangannya bertumpu ke atas lantai agar bisa berdiri tegak dari posisi jongkoknya. Perut bulatnya itu menghalanginya bergerak lincah.

Sepertinya Daneen butuh diet untuk menghindari obesitas pada balita yang sedang marak.

Langkah kaki kecil itu membawanya mendekati sang ayah. Wajah ayahnya diamati. Dahinya diraba, “masih anet,” ujarnya. Atas inisiatifnya sendiri, dahi sang ayah yang baru saja diraba itu dikecup penuh kasih sayang. “Cepat sembuh, Papaa...”

Tanpa anak itu sadari, Arkan terbangun dan membuka sedikit matanya, lantas tersenyum kecil. Ia tak menyangka Daneen bisa seperhatian itu terhadapnya. Ah, Arkan jadi terharu.

Oleh karena tak ingin menganggu sang ayah, Daneen kembali ke tempat semula. Susu botol itu kembali disedot, hingga habis tanpa sisa. Kartun di chanel yang Dhara atur juga telah selesai. Tak ada kartun apapun lagi, dan hanya digantikan dengan gosip panas yang tak pantas anak kecil tonton. Daneen juga tak berselera menonton acara tersebut.

Bocah kecil itu memutuskan keluar dari dalam kamar. Kelibat mamanya dicari. Ketika tak mendapati beliau di dapur, Daneen berteriak nyaring.
“Mamaa!!!”

Dhara yang kaget sampai menjatuhkan gayung di toilet belakang. Ia sedang berada di dalam sana dan Daneen tiba-tiba berteriak memanggil dirinya. Tentu saja Dhara kaget. Pikirnya, Daneen masih anteng menemani sang ayah di kamar sana.

Tokk!! Tok!! Tokk!!

Pintu toilet digedor Daneen cukup kencang. “Mamaaaa!! Mama ngapa situuu?”

Dhara memutar bola matanya. “Kalo Danin di toilet ngapain, Nin?”

“E’ek. Pipis,” jawabnya polos.

“Tuh, tau.”

“Jadi Mama ngapa? E’ek apa pipis?” tanya Daneen lagi. Ia masih tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari sang mama.

“Dua-duanya, Nin. Danin mau apa? Nggak ada susu lagi, ya? Tadi udah, ‘kan? Udah habis, ya?”

Daneen menyandar sembari menggesek-gesekkan punggungnya ke pintu toilet. Ia akan menunggu mamanya di sana. “Anin bosaaaan... Main yuk, Ma.”

“Mama masak dulu, ya? Nanti Kakak sama Aa pulang sekolah nggak bisa makan kalo Mama nggak masak.”

Bibir Daneen mengerucut. Berhenti menggesekkan punggung, ia menggantinya dengan menghentakkan pelan punggungnya ke pintu toilet, hingga terdengar oleh Dhara gedoran-gedoran kecil diakibatkan punggung anak itu. Dengan begitu, Dhara sangat tahu jika putri kecilnya tersebut benar-benar tengah dilanda kebosanan.

Dhara menyudahi kegiatannya di dalam toilet. Usai mencuci tangan menggunakan hand wash, Dhara keluar. Tubuh Daneen terdorong ke dalam karena Dhara membuka pintu itu tanpa peringatan sebelumnya.

“Mama, nih. Teluai endak bilang-bilang,” marahnya.

“Lagian, ngapain Danin di situ?”

“Tunggu Mama,” jawabnya. “Maaa... Main, yuuuk...”

Dhara melangkah untuk melihat masakannya di atas kompor. “Main apa? Di mana?”

“Di luaal. Anin bosaaaaan,” rengek bocah itu sembari memainkan baju terusan yang mamanya kenakan. Sesekali ia bersembunyi di dalam baju terusan mamanya tersebut, kemudian meraba perut sang mama dimana adik bayinya tengah meringkuk di dalam sana.
“Geli, Nin. Ngapain, sih? Keluar dari sana.”

Daneen keluar, mamanya ditatap. “Ma, kapan dedek bayinya kelual? Lamanyaa... Anin bosan tunggu.”

“Ya sabar, dong. Masih lama. Udah nggak sabar pengen liat adek bayi, ya?”
Daneen mengangguk. “Lamanya sampai kapan, Ma? Lama telus. Papa bilang lama, Mama bilang lama. Lama itu kapan?”

“Lama itu ummm...” Dhara berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan makna kata ‘lama’ agar bisa anak itu pahami. “Lama ituuu... tak terhingga. Bisa seminggu, bisa sebulan, bisa setahun. Tapi, adik bayinya akan lahir sekitar 5 bulan lagi.”

“Nima bulan itu kapan, Ma?”

Duh.

Seketika Dhara mengerang di dalam hati. Pertanyaan anaknya itu terlalu detail sehingga Dhara kewalahan sendiri dalam menjelaskannya. Tak ingin sakit kepala memikirkan jawaban atas pertanyaan sang anak yang ia tahu tak akan pernah berhenti hingga ia lelah tersebut, Dhara berusaha mengalihkan perhatian Daneen. “Eh, iya. Katanya Danin mau jagain papa. Kok malah ditinggal? Papa sendirian, tuh.”

“Umh. Papa masih bobok. Masih nemam papa, tuh. Tadi Anin lasa sini papa,” Daneen menyentuh dahinya sendiri, berusaha membuat mamanya paham dengan bahasa yang ia ungkapkan.
“Telus masih anat.”

“Masih hangat?” Dhara memastikan, dan Daneen mengangguk membenarkan.

“Nah maka dari itu, temenin papa dulu. Kasian papa nggak ada temennya.”

“Mama juga temankan papa, yuk?” Daneen menarik tangan kanan mamanya yang tengah memegang sendok untuk mencicipi masakannya.
“Eh? Mama ‘kan lagi masak, Nak. Nanti aja Mama nyusul, ya?”

“Anin lhooo... bosan, Mamaaaa... Anin endak ada temannyaaa. Mama temankan Aniiin...”

Dhara menggaruk dahinya. Masakannya masih belum matang sempurna. Ia takut jika ia meninggalkannya untuk menemani Daneen bermain, masakannya tersebut akan gosong. “Sebentar, ya? Masakan Mama bentar lagi matang.”

“Ah, lamaaa... masih semindu ya, Ma?”

Terkekeh, Dhara menjawab. “Enggak selama itu, kok. Ini bentar lagi.”

Tak lama kemudian, api kompor dimatikan. Masakannya telah matang. “Yuk. Kita ke kamar. Kasian papa sendirian.”

Bibir merah muda menggemaskan Daneen berhenti mengerucut. Senyumnya terkembang sempurna. Sembari melangkah, anak itu tak berhenti beceloteh ini dan itu. Dhara menanggapi dengan antusias yang dibuat-buat agar anaknya itu tak kecewa. Dengan begitu, anak tak akan jera untuk menjadikan orangtua sebagai teman untuk bercerita. Setidaknya, Dhara tak ingin anak-anaknya mencari orang lain untuk dijadikan teman curhat. Sehingga nanti saat orang lain terlebih dahulu mengetahui masalah anaknya daripada orangtuanya sendiri. Orangtua manapun pasti akan kecewa mengetahui kenyataan itu.

🍼🍼🍼

Dhara tak tahu jika suaminya sakit akan bertingkah sepuluh kali lipat lebih manja dari Daneen ataupun Davin saat sakit. Semenjak Arkan sakit, pria itu tak ingin berjauhan dari Dhara. Bahkan untuk masak saja Dhara harus meminta izin terlebih dahulu. Makanya tadi Dhara meminta Daneen menggantikannya menjaga pria itu selagi dia sendiri memasak di dapur. Jika tidak demikian, mungkin Diva dan Davin harus makan telur ceplok lagi seperti menu saat sarapan.

Hampir setiap hari anak-anak itu makan dengan telur ceplok. Bahkan Davin sudah mengeluh. "Davin nggak mau makan. Lauknya itu teruuus. Davin muaal, Maa..."

Bagaimana tidak? Selama Dhara teler, dan Arkan tak sempat membeli makanan apalagi memasak di rumah, maka Diva akan membuat telur ceplok untuk lauk dua anak itu. Tentu saja Davin bosan dan muak. Dhara yang mendengarnya saja ikut mual dan muak.

Oleh karena itu, saat dirinya bisa beraktivitas seperti semula, ia berusaha memasak sesuatu untuk dua anaknya tersebut. Tak peduli jika ia harus bolak-balik wastafel untuk memuntahkan isi perutnya karena masih tak bisa mencium aroma yang mencolok.

"Raaa... Kepalaku sakit bangeeet. Pliis pijitiiin..."

Tuh, 'kan?

Dhara baru saja beranjak sejengkal dari ranjang, dan Arkan kembali merengek mengalahkan rengekan Daneen yang tengah dilanda bosan.

"Ya ampun, Pa." Dhara melirik Daneen yang ternyata juga tengah meliriknya. Jika demikian, maka ia harus menggunakan panggilan manis untuk dirinya dan juga Arkan. "Masa mau dipijitin terus? Pegel jari-jari ini."

Arkan melenguh. "Tapi sakit banget, Raaa... Kalo besok masih gini, gimana aku mau kerja?"

"Papa, nih." Teguran tiba-tiba dari Daneen itu sukses membuat kedua mata Arkan terbuka. "Bilang 'aku' telus. Endak sopan kata mama, tuh."

Kedua mata Arkan mengerjap. Sementara Dhara menutup bibir menahan tawa.

"Eh, iya. Papa lupa, Nak. Maaf, ya?"

Daneen mendengus. "Lupa telus. Endak ingat-ingat Papa, tuh."

Eyh... Jika saja anak itu bukan darah dagingnya, mungkin sudah sejak lama Arkan kembalikan anak itu ke pangkuan orangtuanya.

Sayang, Daneen adalah anak yang diolah dengan biaya cukup mahal. Bagaimana tidak? Daneen tercipta bermula ketika Arkan mengajak Dhara liburan ke Dubai. Liburan pertama Arkan ke luar negeri dengan biaya dari dirinya sendiri tanpa melibatkan perusahaan seperti biasanya.

"Makanya udah dibilang, kalo sakit jangan mikirin kerjaan. Istirahat yang total. Jangan ladeni telepon dari bosmu itu kalo cuman ngasih kerjaan terus."

Sebelum menanggapi perkataan Dhara, Arkan melirik Daneen yang tengah fokus pada tontonannya. Ia kemudian berkata dengan nada pelan, berharap Daneen tak mendengarnya. "Kalo aku nggak mikirin masalah pekerjaan, aku bisa dipecat. Kalo aku dipecat, gimana aku bisa nafkahin kalian semua? Tuh, ditambah calon si kembar nanti." Arkan menunjuk perut Dhara.

Dhara mendesah. "Makanya dulu aku mau kerja, kamu larang."

"Ih, Mama sama Papa, nih!!!" Arkan dan Dhara kompak menatap Daneen. Bocah kecil itu telah berdiri sembari berkacak pinggang. Mata bulat besarnya itu memberikan tatapan marah. "Pake mama-papa! Endak boleh aku-kamu! Endak sopaaaan! Anin bilang nenek, ya!"

"Sorry, Sayaang. Enggak lagiii. Maaf, yaaa..." Dhara memutuskan meminta maaf. Tapi, Daneen tak mempercayai itu. Lantas ia melangkah mendekati kedua orangtuanya, lalu duduk di tengah-tengah mereka.

"Anin mo liat."

Sebelah alis Dhara terangkat. Ia kesal dan merasa lucu di saat bersamaan. Anaknya yang satu itu sungguh luar biasa. Saat mereka memberikannya nasehat, maka dia akan balik memberikan mereka nasehat. Jika demikian, kadang Dhara harus memikirkan cara agar Daneen tak membalikkan nasehat yang pernah diberikan.

Kembali Dhara mendesah. Ia baru sadar bahwa sebagai orangtua mereka belum memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya. Tak heran jika Daneen balik menasehati mereka.

Ah, tapi memang dasar Daneen saja terlalu berani. Diva dan Davin saja tak seberani Daneen saat jelas tahu bahwa orangtuanya salah. Mereka lebih memilih diam dan menuruti perkataan orangtuanya tanpa bantahan.

Tiin! Tiin!

Daneen urung menggangu papa dan mamanya. Ia berdiri di atas ranjang, lalu melompat turun sebelum berlari keluar kamar. "Tak Ipaaaa!!! Hahahahaha..."

Sementara Dhara dan Arkan saling tatap, lalu memutar bola matanya masing-masing.

"Kita akan membicarakan masalah ini nanti malam." Dhara berujar, lalu keluar untuk menemui Ara. Setidaknya, ia harus memunculkan diri dan mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang adik iparnya itu berikan.

🍼🍼🍼

"Ma. Weekend ini sekolah Diva mewajibkan kami untuk ikut camping. Kita bakal camping ke puncak satu malam dua hari. Boleh nggak, Ma?"

Dhara menghentikan kegiatannya menyuapi Daneen makan malam. Anak gadisnya yang telah beranjak remaja itu ditatap serius. "Sejak kapan kamu Mama ijinin ikut acara gituan? Mama nggak pernah ngasih, 'kan?"

Diva menggigit bibir. Mamanya ditatap dengan takut. "Diva tau. Tapi, kami diwajibkan, Ma. Kalo nggak ikut bakal dikasih sanksi."

"Sanksi apaan? Apapun sanksinya, Mama tetap nggak akan ngasih ijin."

"Tapi, kepala sekolah..."

"Biar Mama yang ngomong sama kepala sekolahnya. Pokoknya kamu nggak boleh ikut gituan. Bahaya, Va." Dhara terlihat marah. "Kalian itu masih kecil, kalo ada apa-apa, siapa mau tanggung jawab? Mama nggak mau."

Diva mengaduk-aduk nasi dalam piringnya. Ia tak berselera untuk menyantapnya. Pikirannya bercabang. Apakah ia harus memperjuangkan nilainya di sekolah dengan ikut acara tersebut, atau mendengarkan perkataan mamanya? Tapi, jika ia mendengarkan perkataan sang mama, nilai plus yang ia incar selama ini tak bisa ia dapatkan. Dengan mengikuti kegiatan tersebut, selain ia akan mendapat nilai tambahan, ia juga ingin mencoba bergaul bersama temannya yang lain. Ia ingin mencoba keluar dari kesendiriannya.

"Ikut aja, Va. Papa kasih ijin." Arkan menarik kursi di sebelah Davin. Pucuk kepala putra angkatnya itu diacak gemas. "Mamamu itu nggak ada jiwa tantangan. Hidupnya flat gitu-gitu aja. Ayolah, Ra,"

"Mamaaa..." Daneen sempat mengoreksi.

Arkan berdecak. "Biarin Diva menemukan jati dirinya, hobinya, kebahagiaannya. Papa tau Mama itu mengkhawatirkan dia karena Diva itu anak perempuan. Tapi, dia nggak sendirian di sana. Banyak teman dan guru yang menemani."

Terasa aneh bagi Arkan maupun Dhara saat mereka harus membiasakan memanggil mama-papa untuk mereka. Jika saja tidak ada Daneen di sana, tak segan-segan Dhara menunjukkan ekpresi ingin muntah.

"Pokoknya jangan. Kalo mau nyari hobi, cari hobi yang lain. Kalo mau nyari tantangan nggak usah dicari. Cukup hadapi hidup ini, maka kita akan mendapat lebih dari sekedar tantangan. Nggak usah sok-sok an nambah-nambah masalah lain. Mama nggak mau. Hidup bareng Mama ini belum cukup bikin kamu bahagia, Va?"

Diva masih setia bungkam.

"Nggak usah dengerin kata mamamu, Va. Papa kasih ijin, kok. Ada surat ijinnya? Sini Papa tanda tangani."

Bersemangat, Diva berlari ke kamarnya, dan kembali membawa satu lembar kertas yang berisi surat perizinan camping dari pihak sekolah. Tanpa memperdulikan wajah retak seribu Dhara, Arkan membubuhkan tanda tangannya tanpa beban.

"Weekend ini, 'kan?"

Diva mengangguk. "Iya, Pa."

"Apa yang perlu dipersiapkan? Kalo ada yang perlu dibeli, Papa beliin."

"Tapi, Papa 'kan belum sembuh benar."

"Nggak masalah itu, mah. Papa nelpon Tante Ara buat nemenin kamu belanja. Dia tau apa-apa aja yang kamu butuhkan, karena dulu dia mantan anggota SISPALA. Masalah camping-camping gitu mah dia ahlinya," ujar Arkan.

Sejak tadi hidung Dhara kembang kempis. Ia sangat tak menyetujui keputusan Arkan dengan mengizinkan Diva camping begitu saja. Apa pria itu tak memahami ketakutannya?

Tak dapat mengungkapkan kemarahannya saat itu, Dhara menggeser kursi makannya, lalu masuk ke dalam kamar.

Wajah cemas Diva saat melihat sang mama begitu marah dengan keputusan papanya, coba ditenangkan Arkan. "Papa akan bicar sama mama nanti. Kamu habisin makannya."

🍼🍼🍼

Sorry lama. Udah sebulan, ya? Hahai. Sorry.

Met bobook...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top