5

"Ugh..."

Setiba di rumah usai menjemput dua anak angkatnya dari sekolah, Arkan terlentang di atas sofa ruang tengah begitu saja. Kedua matanya terpejam. Lengan kanannya diletakkan di atas dahi. Ia lelah, sungguh. Satu minggu tujuh hari dan 36 enam jam setiap hari ia bekerja tanpa henti. Tak di rumah dan tak di luar, tenaganya terkuras tanpa ampun. Fisik dan psikisnya sama-sama tersiksa. Ia suka bekerja, tapi jika terus menerus seperti itu ia ingin menyerah.

Namun, kembali ia berpikir, jika ia menyerah pada satu pekerjaannya, bagaimana ia akan membiayai seluruh kebutuhan keluaganya yang tak sedikit itu? Jika saja kondisi Dhara tak sedang hamil, mungkin pekerjaan rumah masih bisa wanita itu atasi. Sehingga Arkan bisa sedikit bernapas lega karena sepulang dari bekerja, ia bisa meluangkan sedikit waktu untuk mengajak anak-anaknya bermain, atau begitu tiba di rumah ia bisa langsung makan dan istirahat.

"Papa capek?" Daneen bersama botol berisi penuh susu formula itu mendekati sang ayah di atas sofa. Sedikit ruang yang tersisa di sofa, ia duduk di sana.

"Danin pijitin Papa." Arkan meminta tanpa mengubah posisinya seperti sebelumnya.

"Ng?" Mendengar permintaan sang ayah, Daneen menghentikan kegiatannya meminum susu. Napasnya sedikit terengah karena terlalu bersemangat menyedot minuman kesukaannya tersebut. "Pijit mana? Sini?"

Oh, Arkan bangga mempunyai anak pengertian seperti Daneen. Pria itu akhirnya membuka mata. Ia terkekeh ketika tangan-tangan kecil itu berusaha memijit bagian betis sang ayah. "Iya. Bagian itu. Papa capek banget, Nin."

"Capek napa?"

"Papa capek nyari uang buat kita semua," jawab Arkan. Ia paham jika tak seharusnya ia berkata demikian kepada Daneen. Tapi, kata-kata itu terluah begitu saja dari bibirnya.

"Papa dangan keja lagi aja. Papa di lumah temankan mama sama Anin sama dedek bayi."

Arkan kembali terkekeh. Tanggapan yang putri kecilnya itu mampu membuatnya tergelitik. Seandainya hidup bisa semudah itu. Uang datang tanpa perlu bekerja, mungkin ia tak akan stres seperti ini. Kehidupan manusia di muka bumi hidup makmur tanpa ada pertikaian disebabkan faktor ekonomi.

"Kita nggak bisa makan kalo nggak kerja, Sayang."

"Ditu ya, Pa?" Arkan menganggukinya. "Ah, talo begitu, Anin nanti mau keja bantu Papa. Anin nanti keja telus kasih uang buat Papa, mama, Tak Ipa, sama Aa Apin. Papa endak usah capek-capek lagi. Ya, Pa?"

Kepala gadis kecil itu diacak gemas. "Iya. Nanti kalo Danin udah gede, ya?"

"Anin udah dede, Papa," tanggap anak itu. Ia menganggap dirinya telah besar dan bukan lagi anak kecil. Padahal kenyataannya, ia masih tak bisa jauh dari mumum mamanya.

"Iyakah? Danin udah gede?"

Daneen mengangguk mantap.

"Udah gede masa ngomongnya masih belepotan? Masih mumum, masih minum susu pake botol dan kadang masih pake popok."

"Hehehe..." Daneen menyengir lebar. Ia tak marah saat sang ayah berkata demikian, karena ia tahu bahwa apa yang ayahnya katakan memang benar adanya. Kadang pada malam hari, ia masih sering pipis di celana. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal itu Dhara masih memakaikan Daneen popok pada malam hari.

"Loh, nggak masuk lagi?"

"Papa Anin pijitin, Mama..." Daneen menjawab pertanyaan mamanya dengan cepat. Padahal Dhara bertanya pada Arkan bukan bocah kecil gendut itu.

"Sebentar lagi. Badanku sakit semua." Arkan mendudukkan tubuhnya susah payah. Ia menepuk sofa di sebelahnya. "Kamu duduk sini."

"Ngapain?"

Dasar istri tak peka. Arkan mendumel di dalam hati. Pria itu cemberut. Ketika ia hendak membaringkan tubuhnya kembali, Dhara bergegas duduk di tempat yang pria itu inginkan sebelumnya.

"Sudah. Baring sini. Mau pelan apa kuat?"

Senyum Arkan terkembang. Ia suka istrinya kembali bersikap baik padanya. "Pelan-pelan aja."

Kedua mata Arkan kembali terpejam. Sakit di kepalanya sedikit mereda ketika jari-jari gempal milik istrinya dengan telaten memberikan pijatan pelan pada area kepalanya. Namun, ketika ia menyadari sesuatu matanya kembali terbuka. Istrinya ditatap dengan pertanyaan yang berkelibat di kepalanya. "Kamu udah bisa jalan?"

"Emangnya aku cacat? Bisalah." Dhara menyahut ketus.

"Bu... bukan gitu. Tadi pagi kamu 'kan masih nggak kuat jalan. Sekarang udah bisa?"

"Udahlah. Ini anak udah ngasih ijin mamanya untuk melakukan aktivitas seperti biasa, meski masih harus hati-hati."

"Alhamdulillaaah..." Arkan meraup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya, lalu mencium perut sang istri bertubi-tubi. "Makasih, Dek. Kamu udah baik sama Papa dan mama hari ini."

"Dedek udah bisa nomong, Pa? Kapan dedek telual?" Daneen bertanya antusias tanpa menghentikan pijatannya pada area kaki sang ayah.

"Dedek lahir masih lama, Sayang. Tapi, Papa bahagia karena mama udah nggak kesakitan lagi kalo jalan," jawab Arkan tanpa menghilangan raut bahagianya.

Daneen mengangguk-angguk.

"Jangan lebay. Biasa aja lagi. Eh, kamu mau makan, nggak? Tadi siang Mama Dinda bikin sup sama lauk kesukaan kalian."

"Nanti aja. Aku pengen gini lama-lama."Arkan kembali memejamkan mata. Senyumannya masih setia terkembang. Wajahnya disusupkan ke area perut Dhara dan wanita itu membiarkan begitu saja.

"Ah... Anin capek." Lelah, Daneen menyandarkan kepalanya pada bokong ayahnya begitu saja. Sebelum itu, ia mengambil susunya yang masih tersisa banyak. Tanpa berpikir panjang, ia bersandar begitu saja pada bokong sang ayah.

"Nin..." Arkan memanggil. "Papa pengen kentut."

Daneen tak peduli. Bahkan kata peringatan yang ayahnya ucapkan tak diindahkan. Susu botol buatan mama sangat nikmat sehingga sayang untuk diabaikan. Oleh karena tak ada tanggapan dari sang putri kecil, angin yang berasal dari dalam perutnya itu tak mampu ditahan.

Proot...

Angin yang cukup kencang. Beberapa helai rambut Daneen bahkan berkibar karena hembusan angin tornado tersebut. Uniknya, Daneen sama sekali tak beriak apapun. Bahkan aroma khas yang terhembus memasuki rongga hidungnya itu semakin membuatnya terbuai. Perlahan kedua matanya tertutup. Daneen pingsan. Eh, tertidur.

***

Menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa di dalam keluarga mama dan papa angkatnya, Diva lebih banyak membungkam bibir. Sebuah surat peringatan berada dalam genggaman. Gadis remaja itu ragu untuk menyerahkannya pada sang mama dan semakin menambah beban pikiran mamanya yang tengah hamil tersebut.

"Huuft..." Diva menghembuskan napas gusar. Ia terduduk di kursi belajarnya dengan pikiran berkecamuk.

"Uang pembelian buku pelajaran masih belum lunas, Va. Iuran sekolah juga udah 3 bulan nunggak. Ibu nggak akan nagih kalo aja tunggakan itu baru satu bulan, tapi ini udah sampai 3 bulan. Sedangkan ulangan akhir semester itu akan dilaksanakan kurang dari satu bulan lagi. Kalo semua itu belum dilunasi, kamu nggak bisa mengikuti ulangan."

Kala itu Diva dipanggil ke ruang kepala sekolah perihal tunggakan yang ternyata belum dibayar oleh papa dan mamanya. Entah karena uang simpanan papanya yang semakin menipis atau karena lupa, Diva tak tahu. Tiba-tiba ia dipanggil ke ruang kepala sekolah dan diberikan sebuah peringatan.

"Ini," sebuah amplop yang Diva tahu berisi surat peringatan itu diberikan sang kepala sekolah. "Kamu kasihkan ke orangtuamu. Ibu tunggu dalam satu minggu ini untuk dilunasi, ya?"

Satu desahan kembali terhembus. Surat peringatan itu diletakkan ke atas tumpukan buku begitu saja. Ia tak ingin memikirkan perihal itu terlebih dahulu dan lebih memilih menenggelamkan diri dalam buku pelajaran.

***

Brakk!

"Saya nggak habis pikir sama kamu, Arkan. Akhir-akhir ini kinerja kamu semakin menurun drastis. Data dan informasi keuangan dalam laporan yang kamu buat itu nggak akurat. Ada yang salah. Pikiran kamu itu kemana saat mengerjakan laporan itu? Ingat, Kan. Kamu itu sebagai manajer keuangan perusahaan. Tugas yang kamu emban itu menjadi ujung tombak keberhasilan perusahaan ini. Kalo kamu nggak bisa bekerja dengan baik begini, lebih baik kamu..." perkataan sang atasan itu berhenti sampai di sana. Arkan menanti dengan sebelah alis terangkat. "Kamu usahakan untuk lebih fokus lagi."

Seketika Arkan terbahak di dalam hati. Arkan sudah bisa menebak bahwa atasannya itu tak akan mampu meluahkan kata-kata keramat itu terhadapnya.

Lama Arkan terdiam menerima omelan sang atasan, pria itu akhirnya bersuara. "Selama saya kerja di sini, baru kali ini saya keliru, Pak. Bapak tenang aja. Saya akan menjadikan kesalahan ini sebagai pelajaran buat saya untuk lebih fokus lagi dalam bekerja."

Atasannya itu mendengus. Beliau berbalik, meninggalkan Arkan sembari mendumel pelan. "Untuk kamu karyawan cerdas saya, kalo enggak, udah lama kamu saya tendang keluar."

Arkan terkekeh. Meski terdengar pelan, ia masih bisa mendengar gumam suara sang atasan. Setidaknya ia tak perlu takut untuk dipecat di perusahaan tersebut karena dirinya sangat dibutuhkan di sana. Tak jarang atasannya itu memberikan pujian atas kinerja yang ia lakukan selama bekerja bersama beliau sebagai manajer keuangan perusahaan. Sang atasan tak mau kehilangan Arkan sebagai koordinator pengelola perusahaan terbaiknya begitu saja. Arkan sangat tahu mengatur keuangan mereka. Ketika sedang surut, ia selalu bisa mendapatkan bahan makanan dan minuman kualitas terbaik dengan harga terjangkau. Sehingga keuangan perusahaan tetap bisa terkoordinasi dengan baik.

Namun, meski posisinya di perusahaan masih aman, tetap saja ia tak bisa berpikir tenang. Kesibukannya sebagai kepala keuangan, bos besar beberapa usahanya, serta kepala dalam lingkungan keluarga kecilnya membuat kepala Arkan terasa ingin pecah. Semakin lama biaya hidup seluruh keluarganya semain mahal. Ada lima kepala termasuk dirinya yang wajib ia nafkahi seorang diri. Jika saja kegigihannya dalam bekerja sempat surut, bisa saja rumah berlantai tiganya itu akan runtuh.

Di tengah kecamuk otaknya tersebut, ponsel Arkan berdering. Sebuah panggilan dari Teguh, salah satu rekannya yang dipercayai untuk mengelola Barber Shop miliknya di cabang Kota Malang

"Ya?"

"Kapan kita bisa ketemuan?"

Arkan memijat dahinya. "Kayaknya gue nggak bisa ke mana-mana dalam waktu dekat ini. Ada apa? Kalo emang penting, bicarain aja di sini."

Teguh tampak menghela napas. Pria di seberang telepon itu juga tengah sakit kepala. "Gue nggak basa-basi, ya. Kuota gue kritis. Hehe..."

"Ck. Dasar. Iya. Buruan."

"Arkan, keuangan kita di Barber Shop cabang Malang merosot jauh. Pengunjung yang datang semakin berkurang. Satu karyawan kemarin terpaksa kupecat karena keuangan kita nggak cukup untuk membayar gajinya. Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?"

Ya ampun. Sakit kepala Arkan semakin menjadi. Baru saja ia lepas dari omelan sang atasan, sekarang Teguh membawa satu masalah lain. "Terserah lo mau gimana deh, Guh. Sepintar-pintar lo mau ngelola bisnis itu gimana. Kalo emang dengan memecat satu karyawan, ya lakuin aja. Ntar kalo gue ada waktu, gue mampir ke sana. Pokoknya lo atur-atur semampu lo. Udah, ya. Kepala gue sakit."

"Eh, eh... Arkan tunggu..."

Tuut Tut Tuut...

Arkan tak ingin mendengar keluhan Teguh lebih jauh. Ia telah menyerahkan bisnis itu untuk Teguh kelola dengan baik. Arkan hanya bertugas mendirikan, memantau pemasukan sebulan sekali, dan cukup. Selebihnya menjadi urusan rekan yang ia percayai untuk mengelolanya.

***

Selama kurang lebih tiga bulan Dhara tak memantau keadaan di lantai dua dan tiga rumahnya. Ia tak tahu apakah Diva membereskannya dengan baik atau tidak.

"Danin main sini dulu, ya? Mama mau ke kamar A' Davin sama Kak Diva sebentar."

"Ngapa? Anin itut."

"Jangan. Mama sebentar aja, kok. Main aja sama Jiji. Nanti Jiji bisa ngambek kalo nggak ditemenin, tuh."

Jiji yang Dhara maksud adalah boneka beruang besar yang dihadiahkan oleh Ara beberapa waktu lalu dan langsung disukai Daneen.

Daneen tampak berpikir sejenak. Antara menjaga perasaan Jiji atau ikut bersama mama ke lantai atas. Beruntung ia menjadi anak baik pagi itu, sehingga bisa dibujuk mama untuk tak ikut naik ke lantai atas.

Tanpa membuang waktu, sementara Daneen berbaik hati untuk membiarkannya pergi tanpa dibuntuti, Dhara bergegas naik ke lantai dua namun tetap berhati-hati. Ia masuk ke kamar Davin dan wanita itu mendesah.

Kamar bercorak biru itu tampak sangat berantakan. Mainan berhamburan, selimut dan seprai Davin tergeletak di lantai begitu saja. Pakaian kotor menumpuk di dalam keranjang pakaian kotor. Bahkan beberapa berserakan di lantai. Dhara tak tahu apakah Diva lupa memasukkan pakaian kotor itu ke dalam tas laundry sehingga menumpuk di sana dan sebagian telah mengeluarkan aroma busuk.

Sembari menahan rasa mual, Dhara membereskan kamar Davin hingga bersih dan rapi. Tak mudah memang. Tapi, ia harus memaksakan diri untuk membereskan semua itu daripada melihat kamar putranya itu seperti gudang berhantu.

Selesai di kamar Davin, wanita itu kembali melangkah ke lantai tiga. Melihat tangga menuju lantai tiga saja cukup membuat Dhara sesak. Kembali ia menyesali kedermawanan Arkan dengan memberikannya satu buah rumah mewah berlantai tiga tesebut, karena pada akhirnya ia harus membereskannya seorang diri.

Dengan penuh perjuangan melawan rasa lelah, Dhara akhirnya tiba di kamar Diva. Beruntung kamar anak gadisnya itu terlihat rapi. Selimut dan seprai terletak di atas ranjang dengan begitu rapi. Buku-buku pelajarannya tersusun rapi di lemari buku dan juga atas meja belajarnya.

Ketika tatapan matanya tak sengaja melihat sebuah amplop di atas tumpukan buku di meja belajar Diva, Dhara mengerutkan dahi. Ia mendekat, dan mengambil amplop itu sebelum akhirnya ia baca.

"Astaga. Kenapa aku bisa seteledor ini sama sekolahnya Diva? Bayaran sebanyak ini kenapa aku nggak ingat sama sekali, sih?" Dhara merasa sangat bersalah terhadap Diva. Ia tak tahu apakah Diva akan berpikir bahwa ia tak memerhatikannya selaku anak angkat. Padahal Dhara sama sekali tak berpikir demikian. Hanya saja ia benar-benar melupakan kebutuhan sekolah Diva selama tiga bulan ini. Ia tak tahu jika Arkan juga tak mengingatkannya akan hal itu. Sementara Davin masih mereka perhatikan dengan baik.

Dhara tak bisa menebak bagaimana kecilnya hati Diva dengan kejadian ini.

***

"Maaf, ya. Sampe hari ini aku masih nggak bisa bawa kamu chek up ke dokter. Kamu masih ada keluhan apa-apa?" Arkan mendudukkan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Dhara terdiam dengan berbagai perasaan yang berkecamuk sembari membelai punggung Daneen yang tertidur.

"Ra..." Arkan menyadarkan Dhara dari lamunannya.

"Apa?"

Arkan mendesah pelan. "Kamu ngambek karena aku nggak bisa bawa kamu chek up sampe hari ini, ya?"

"Eh? Aku nggak lagi mikirin hal itu. Lagian, dia baik-baik aja di dalam sana. Cuma... Ada satu hal yang harus aku bicarain ke kamu."

Dahi Arkan berkerut. "Tentang?"

"Kamu lupa buat bayar uang buku sana SPP Diva selama tiga bulan, ya?"

"Loh. Bukannya kamu yang biasa ngurus itu? Aku nggak tau. Kupikir, kamu udah ngasih uangnya ke Diva. Jadi aku nggak nanya-nanya karena Diva juga nggak bilang apa-apa."

Dhara menghela napas. Ia tak bisa menyalahkan suaminya perihal ini. Memang benar, biasanya Dhara akan mengurus uang bulanan, uang jajan, dan kebutuhan sekolah Diva yang lain. Dhara memegang sebagian uang simpanan Arkan, sehingga Arkan berpikir kebutuhan Diva telah Dhara berikan dengan baik dan rutin. Sementara Arkan hanya mengurusi kebutuhan sekolah Davin saja.

"Ya ampun." Arkan memijit pelipisnya yang semakin berdenyut hebat.

"Aku lupa, Kan. Sama sekali nggak ingat. Aku terlalu sibuk dengan kehamilanku ini dan melupakan kebutuhan Diva." Dhara seperti hendak menangis. "Aku baru tau tadi saat ngeliat surat peringatan dari kepala sekolahnya."

"Ya udah. Nggak apa-apa. Besok aku ke sekolah Diva untuk melunasi semuanya. Kamu tenang aja. Nggak usah dipikirin lagi. Nanti berefek ke kandungan kamu."

"Aku bukan mempermasalahkan uangnya, tapi aku mikirin perasaan Diva. Kamu 'kan tau kalo Diva itu gampang merasa kecil hati karena kejadian di masa lalunya. Makanya aku nggak bisa tenang kayak gini."

"Kamu belum ngomong masalah ini sama dia?"

Dhara menggelengkan kepala.

"Udah. Masalah itu akan kuurus besok. Aku yakin Diva akan baik-baik aja setelah kita jelaskan besok."

Wanita itu dibawa ke dalam pelukannya. Kesibukan telah mengambil alih sebagian perhatian mereka terhadap kebutuhan anak-anak. Selama Dhara terlantar tanpa daya karena faktor mengidamnya yang buruk, anak-anak lebih banyak mengurus dirinya sendiri. Jikalaupun ada waktu, hanya sempat untuk mengurus Daneen yang belum bisa mengurus dirinya sendiri.

Jelas bahwa kebutuhan Diva yang terabaikan merupakan kesalahan mereka selaku orangtua.

***

sorry lamaaa... Kisahnya dikasih dikit bumbu konflik yah. Biar rasanya gak hambar gitcuu... Ahai.

Yowes, semoga suka yah. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top