3
"Anin anak jujuh, dicintai Awoh. Anin anak jujuh, kebagaan losul. Jananlah lah lagu. Jananlah lah binung. Anin anak jujuh pasti bebuntung."
Baik Diva maupun Davin sama-sama menatap Daneen dengan dahi berkerut. Hendak tertawa, tapi mereka tak tega. Daneen baru saja bisa lepas dari sang mama setelah tadi sore terus menangis karena terjepit di antara dua buffet.
Daneen mencoret-coret buku gambar miliknya yang Davin berikan beberapa waktu lalu, karena adiknya itu mengamuk ingin buku gambar Tayo yang Davin miliki. Tak ingin adiknya menyusahkan sang mama, Davin memilih mengalah dan meminta papanya membeli buku gambar yang baru. Sembari fokus mencoret asal buku gambarnya dengan posisi tengkurap di atas karpet ruang tengah, Daneen menyanyikan sebuah lagu yang sering mamanya ajarkan dengan nada lagu pelangi-pelangi. Hanya saja, lirik lagu yang Daneen nyanyikan agak menyimpang dari lirik yang asli. Itu sebabnya kenapa Diva dan Davin kompak menahan tawa.
Sadar jika kedua kakaknya itu memerhatikannya, Daneen berhenti bernyanyi, lalu mendongak menatap kedua kakaknya secara bergantian. "Apa liat Anin? Anin lho bitin gabal Tayo. Belum sesai. Nanti balu liat," lalu kembali bernyanyi dengan lagu yang sama seperti sebelumnya.
"Anin anak jujuh, dicintai Awoh..."
"Anin, Sayang. Bukan gitu lagunyaaa. Sini ya Aa' ajarin. Anin ikutin." Davin yang tak tahan mendengar nyanyian tak jelas dari sang adik, memutuskan untuk mengajarinya. Davin membenarkan posisi duduknya dengan melipat kaki di atas karpet berbulu, lalu mulai bernyanyi. "Jadi anak jujur, dicintai Allah. Jadi anak jujur, kebanggan Rasul. Janganlah kau ragu. Dan janganlah bingung. Jadi anak jujur, pasti beruntung."
"Ih, kata mama tuh butan dituuu... Anin tadi yang benel. Aa' salah. Aa' endak benel ituuu... Aaah. Anin ndak mau gabal!" marah bocah gendut itu. Buku gambar Tayo pemberian Davin dilempar begitu saja. Melayang hingga mengenai buffet televisi. Davin ditatap tak suka dengan bibir mengerucut sebal.
Diva menghela napas. Adiknya, Davin, diberi tatapan peringatan. Seharusnya Davin tak usah mengoreksi nyanyian Daneen disaat seperti ini. Jika Daneen mengamuk saat tak ada papanya seperti ini, bisa gawat. Bisa jadi Daneen akan kembali merecoki sang mama yang tengah tak berdaya di dalam kamar sana.
Davin menggaruk belakang kepalanya. Buku gambar Daneen diambil kembali dan diberikan pada adiknya secara baik-baik. "Anin gambar lagi, ya? Aa' minta maaf tadi. Aa' yang salah ternyata. Ini, lanjutin gambarnya, ya? Nanti kasih liat ke papa. Pasti papa suka sama gambarnya Anin nanti tuh."
"Endak mau! Anin mau main sama mama aja!"
Daneen siap berdiri, tapi Diva segera mencegah. Adiknya itu ditarik lalu didudukkan ke atas pangkuannya. Gadis beranjak remaja itu harus menghentikan kegiatannya dalam mengerjakan PR. "Eh, Danin mau liat Kak Diva gambar little pony, nggak?"
Bocah gendut itu mendongak, menatap kakaknya dengan kedua alis saling bertaut. "Apa tu tetel moni?"
"Bukan tetel moni. Little pony. Itu loh yang biasa Danin tonton sebelum kartun Tayo. Kuda kecil terbang berwarna-warni itu. Tau?"
"Oooh... Anin tau, tau, tau. Itu yang tudanya ada lambutnya. Wana-wani. Suka Anin, tuh. Ayo Tak Ipa gabal. Anin mo liaaat..." Daneen mencak-mencak di atas pangkuan Diva dan membuat kakaknya itu kewalahan menahan bobot besar tubuhnya.
"Iya, iya. Kakak gambar, ya? Danin duduk dulu di sini. Danin berat. Kakak nggak kuat pangku lama-lama."
Menyengir, Daneen tak pernah mempermasalahkan apapun keluhan orang lain terhadap tubuhnya yang besar. Tapi, Daneen tak mau disalahkan karena dia merasa dirinyalah yang paling benar. Hanya mama dan papanya yang boleh menyalahkannya.
Diva berucap syukur dengan nada pelan karena Daneen berhasil ia cegah untuk mengganggu mamanya disaat papanya belum tiba di rumah.
🍼🍼🍼
"Assalamu'alaikum."
"Alekumsalaaam..." Daneen menolehkan kepalanya ke arah pintu utama dan mendapati ayahnya tengah berusaha mengunci pintu utama. Daneen berlari, lalu merentangkan tangan agar sang ayah mau menggendongnya.
Jam yang melingkar di pergelangan tangannya dilirik. Pria itu mengerutkan dahi karena saat jam telah menunjukkan pukul 10 malam, Daneen belum juga tidur.
"Danin belum bobok?" tanya pria itu sembari membawa putrinya ke dalam gendongannya. Wajah Daneen dikecup penuh sayang, lalu kembali diturunkan dari gendongannya. Arkan sendiri tak kuat jika harus menggendong Daneen lama-lama. Tenaganya harus ia hemat untuk menggendong Dhara saat wanita itu hamil tua nanti. Maklum, Arkan tak semuda tiga tahun silam. Uhukk.
"Anin tunggu Papa. Papa lama. Papa di mana?" tanya Daneen dengan kosa kata yang masih amburadul.
"Bukan Papa di mana, tapi ke mana." Arkan membenarkan, dan Daneen menyengir. Mereka melangkah dengan Arkan menggenggam telapak tangan putrinya menuju ruang tengah. Ketika melihat Diva dan Davin telah terkapar di atas karpet bulu dengan tv menyala, pria itu kembali menatap Daneen. "Kakak sama Aa' udah bobok, kenapa Danin belum?"
"Anin tadi mau bobok. Tapi, Anin tugu Papa. Papa itu lamaa. Anin tugu capek jadinya."
"Papa masih harus kerja, Sayang. Buat Kakak, Aa', dan Danin sekolah nanti."
Bahkan karena urusan mendadaknya tadi, Arkan batal membawa Dhara check up ke rumah sakit. Lagi-lagi ia urung memeriksakan kondisi kandungan sang istri.
"Sekolah kapan Anin?" Arkan menggaruk dahinya. Meski telah berusia 3 tahun tapi Daneen masih belum bisa berkata dengan benar.
"Nanti kita cari sekolahnya ya bareng mama. Eh, mama di mana? Udah bobok?"
Rambut sepundak anak itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia menggelengkan kepala. "Anin sama Tak Ipa di sini dali tadi. Anin belum liat mama."
"Waah... kalau begitu,Danin masuk ke kamar dulu, ya? Liat mama. Papa mau bangunin Kakak sama Aa' buat masuk kamar dulu."
"Anin bantu Papa?"
"Iya. Danin bantu Papa buat liat mama di kamar. Biar Papa yang urus kakak sama Aa'," tolak Arkan dengan cara halus. Jika tidak demikian, Daneen tak akan berhenti merecokinya.
Kali ini Daneen mengangguk riang. Sembari berlari, gadis kecil itu berseru memanggil sang mama. Di sana, di atas ranjang, Daneen mendapati mamanya masih setia dengan tidurnya. Bocah gendut itu berpikir, kenapa mamanya itu tak pernah lelah baring dan tidur terus? Tak seperti dirinya yang tak suka tidur lama-lama. Bahkan bocah gendut itu bertanya-tanya, kenapa orang-orang harus tidur? Bukankah bermain lebih menyenangkan?
Tak suka melihat pulas tidur sang mama, Daneen naik ke atas ranjang lalu melompat-lompat di sana. Rencananya untuk membuat sang mama terbangun itu berhasil. Ketika melompat dan dirinya berada di atas udara, ia turun dengan cara menghempaskan tubuh gendutnya ke atas tubuh sang mama. Kontan saja Dhara berteriak nyaring. Meski posisinya tengah berbaring miring dan Daneen tak menjatuhi perutnya, tetap saja rasa sakitnya menjalar ke seluruh persendian tubuhnya.
"KENAPA DANIN NAKAL BANGET, SIH?!" marah Dhara spontan. Selama tiga tahun ini ia berusaha bersabar menghadapi tingkah nakal putrinya tersebut. Tapi, sekarang saat dirinya dalam kondisi tak stabil dan tingkah Daneen semakin luar biasa nakal, Dhara tak sanggup terus berdiam diri. Emosinya memuncak, dan Daneen ikut shock karenanya.
Daneen turun dari ranjang, berdiri di sebelah mama sembari menggigit jari. Air matanya mulai menggenang. Ketika ayahnya masuk, anak itu langsung berlari dan bersembunyi di belakang tubuh sang ayah.
"Ada apa lagi?" pertanyaan itu tertuju pada Dhara yang tampak berusaha mendudukkan tubuhnya.
"Besok Danin tidur sama Kak Diva aja, ya. Jangan bobok sama Mama kalo masih aja nakal kayak gitu." Dhara mencoba membuat anaknya mengubah sikap. Jika Daneen terus bersikap demikian, Dhara tak yakin anak dalam perutnya itu bisa bertahan sampai lahir. Sudah cukup ia dibuat setengah mati akibat masa ngidam yang membuatnya seperti mayat hidup. Bernyawa tapi tak bisa melakukan apapun. Jika Daneen menambah kesakitannya itu dengan tingkahnya yang super ajaib, lebih baik ia disiksa Arkan dengan kepelitannya.
Daneen tak menjawab pertanyaan penuh amarah mamanya. Jari telunjuknya masih digigit, ujung baju kemeja bagian belakang ayahnya digenggam erat. Ia takut jika mamanya marah.
Arkan menghela napas. Daneen digendong. Ia kasihan melihat putrinya yang masih kecil itu diperlakukan Dhara seperti demikian. Pengalaman Arkan ketika masih sekecil Daneen, mamanya tak pernah memarahinya seperti Dhara memarahi Daneen. Teriakan Dhara bahkan terdengar menggelegar hingga ke lantai tiga kamar Diva. "Danin itu masih kecil. Jangan kamu marahin terus. Apalagi sampe diteriakin kayak tadi. Kamu dulu ngajarin Diva sama Davin kayak gitu juga, ya?"
Tatapan Arkan terhadap Dhara tampak tak bersahabat. Ia tak menyukai sikap Dhara dalam mendidik Daneen yang masih tak mengerti apa-apa itu.
Dhara berdecih. "Kamu seharian di luar tau apa sama yang anak itu lakukan? Dulu Diva dan Davin nggak senakal dia. Dikasih tau, manut aja. Kamu tau nggak tadi dia tuh melemparkan badan gembulnya itu ke badanku? Sakit, Kan. Kalo kamu tau rasanya hamil semenderita aku sekarang ini, mungkin kamu nggak akan pernah menyalahkanku. Sayangnya yah... kamu nggak akan pernah mengerti itu."
"Ya Allah, Ra. Aku emang nggak ngerasain itu, Ra. Aku hanya tau itu pasti sakit banget. Tapi, kamu tetap nggak boleh mendidik anak-anak dengan teriakan dan amarah. Kasih tau baik-baik Danin bisa manut, kok. Selama ini kita kasih tau dia baik-baik, apa pernah dia ngelawan? Enggak, 'kan? Kalo kamu emang udah capek jaga anak-anak, jangan jagain. Nanti aku usaha cari pengasuh lagi. Atau enggak, aku minta bantu mama buat jaga Danin."
"Terus aja bergantung sama mamamu itu." Dhara berujar tak suka.
"Loh, terus maumu apa? Aku udah berusaha nyari pengganti pengasuh sebelumnya, loh. Nyari pengasuh nggak segampang itu. Selama masa pencarian itu, kamu udah ngeluh jagain Danin. Kalo emang nggak sanggup, apa boleh buat jika lagi dan lagi kita harus minta bantuan mama," tegas Arkan.
Mendengus, Dhara memilih bungkam. Walau apapun ia tak akan menyusahkan keluarga mertuanya tersebut. Wanita itu membaringkan tubuhnya kembali. Sementara Arkan memeluk Daneen penuh kasih sayang, sebelum membantunya menggosok gigi di dalam kamar mandi.
"Buka mulutnya, Nak." Arkan siap mengulurkan sikat gigi Daneen, tapi anak itu masih betah dengan kebungkaman sembari menggigit jari telunjuknya. Kemarahan sang mama begitu terasa hingga ke menusuk hati kecil nan rapuhnya.
Arkan mendesah. Pria itu berjongkok, rambut tergerai Daneen diselipkan ke belakang telinganya. "Nggak apa-apa. Mama tadi itu nggak marah. Mama kaget aja pas Danin nggak sengaja jatuh ke badan mama. Nanti, Danin hati-hati lagi, ya?" Pria itu berusaha memujuk. "Eh, iya. Danin mau dedek bayi, nggak?"
Mata berkaca-kaca itu menatap sang ayah. Terlihat pancaran antusias melalui tatapan itu ketika ayahnya menyinggung perihal adik bayi. "Mana?" Suaranya terdengar serak.
"Nah, itu dia. Sekarang, di dalam perut mama tuh ada dedek bayi yang masih bobok. Makanya sekarang mama tuh suka bobok. Nah, mama bobok jangan diganggu dulu. Kasian mama jadinya. Jadi, nanti Danin harus lebih hati-hati kalo main deket mama. Jangan banting badan ke badan mama lagi kayak tadi. Mama kaget jadinya. Dedeknya juga ikut kaget, tuh."
Sejak dulu, ketika di awal kehamilan Dhara, mereka berencana memberitahu Daneen perihal ini. Hanya saja, mereka belum mendapatkan kalimat pas yang bisa anak itu pahami.
"Danin akan jadi kakak nggak lama lagi. Jadi, Danin nggak boleh nakal kayak tadi lagi, ya?"
Daneen mengangguk. Ia tak akan mengganggu mamanya lagi setelah ini, karena mamanya harus menjaga adik bayi di dalam perut mamanya.
"Ya udah. Sekarang udah larut. Danin harus bobok biar besok bisa bangun pagi-pagi sekali." Daneen kembali mengangguk. "Kita gosok gigi dulu. Buka mulutnya yang lebar."
Tak sulit. Daneen berhasil dituntun tanpa perlu diteriaki. Ia membuka mulutnya lebar sementara Arkan membantunya menggosok gigi.
"Sekarang naik dulu ke tempat tidur. Papa mau mandi sebentar," suruh Arkan. Daneen yang masih takut berhadapan dengan sang mama, menolak untuk keluar dari kamar mandi seorang diri. Ia mau ditemani papa hingga ia terbangun keesokan harinya.
"Masih takut sama mama? Mama nggak marah lagi, kok." Arkan berusaha memujuk, tetap saja Daneen tak beranjak sejengkalpun dari posisi awalnya.
Menghela napas, Arkan memutuskan membawa Daneen ke kamar. Ia akan menidurkan putrinya itu terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk membersihkan tubuhnya yang telah lengket oleh keringat.
Melihat Dhara duduk menyandar di atas ranjang, Arkan berujar, "liat apa yang kamu lakukan sama dia tadi. Ketemu kamu aja dia takut. Keterlaluan," desis kesalnya di kalimat akhir.
Daneen dibawa naik ke ranjang, lalu dibaringkan. Jika biasanya Daneen akan memeluk mamanya tanpa lepas, untuk kali itu Daneen tak mau melepaskan pelukan papanya.
"Pa, susu," cicit Daneen pelan.
Di sana Dhara tertohok. Jika biasanya Daneen akan merengek mumum padanya pada malam hari, untuk pertama kalinya Daneen tak ingin mumum dan lebih memilih dibuatkan susu pada sang ayah.
Satu fakta tentang Daneen, sampai saat ini Daneen masih tak bisa lepas dari mumum mamanya. Dhara tak tahu apakah rasanya masih sama seperti ketika ia belum hamil dahulu atau tidak, karena Daneen tidak pernah protes apapun.
"Papa bikinin, Danin tunggu sini."
"Itut, Pa," rengeknya.
"Papa cuma di sana, kok. Deket aja." Arkan menunjuk nakas di sebelah Dhara. Susu dan termos air hangat tersedia di sana yang sengaja dipersiapkan untuk susu Daneen.
"Endaaak... Itut Papaa..."
"Ya udah, ayo."
Dhara masih setia dengan kembungkamannya. Saat Arkan sibuk menyeduh susu, Daneen menatap mamanya takut-takut. Ia tak berhenti menggenggam belakang kemeja ayahnya, dan mengekor kemanapun ayahnya berjalan.
"Ini. Sekarang bobok. Papa mau cepat mandi." Daneen kembali dibaringkan, susu seduhannya diberikan. Selimut bermotif doraemon itu digunakan untuk mengusir hawa dingin menyentuh kulit putri kecilnya.
Tak butuh waktu lama, Arkan berhasil menidurkan Daneen bahkan sebelum susu itu berhasil dihabiskan. Pria itu turun dengan hati-hati.
"Aku sama sekali nggak berniat buat bikin anakku takut sama aku. Tapi tadi aku bener-bener kesakitan sampai harus berteriak."
Langkah Arkan terhenti ketika Dhara tiba-tiba membuka suara.
"Aku tau. Tapi Danin terguncang. Kamu berhasil bikin dia takut sama mamanya sendiri," balas Arkan. "Besok, aku tetap akan membawa Daneen ke rumah mama. Lebih baik kamu di rumah sendiri biar istirahatmu nggak diganggu siapa-siapa."
🍼🍼🍼
Anin kembaliii. Anin begadang lagi Omaa... Anin gak bisa bobok. Jadi Anin danggu Oma tengah malam. Hihihiii...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top