20
Semenjak peristiwa merobohkan tenda di pernikahan Tante bungsunya minggu lalu, Daneen kapok ke rumah nenek. Bahkan ketika nenek mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk penyambutan menantu baru beliau, Daneen ngamuk tak mau ke sana.
Kata Daneen kala itu, "itu kemahnya nakal, hiks. Jatuhkan Anin. Hiks. Anin ndak mau ke lumah Nenek. Anin mau pulaaang. Huaaaa ..."
Mengamuknya Daneen untuk tak mau diajak ke rumah nenek, Dhara dilanda kegelisahan. Satu sisi ia harus meladeni Daneen, sementara sisi lain ia tidak enak hati pada mertua dan keluarga besar beliau jika ia tidak hadir di acara penyambutan menantu baru di rumah tersebut.
Beruntung, mertuanya itu luar biasa pengertian. Mungkin dulu beliau juga merasakan betapa sulitnya meladeni anak banyak dan rewel seperti Daneen.
Alhasil, hanya Arkan dan Davin saja yang datang ke sana mewakili Dhara yang tak bisa bergabung.
"Uhukk uhukk!"
Dhara menghentikan kegiatannya memainkan ponsel dan menoleh ke sumber suara batuk itu berasal. Terlihat putri sulung alias keponakannya itu menuruni anak tangga lantai dua dengan penampilan kacau.
"Kamu batuk, Va?" Dhara bertanya.
Diva melangkah lesu menuju sofa ruang tengah di mana empat adiknya tengah serius menonton kartun di televisi. Gadis beranjak remaja itu duduk di sebelah sang mama, lantas membaringkan kepalanya ke paha mamanya tersebut. "Kepala Diva pusing, Ma. Sama batuk." Suaranya terdengar serak.
"Sejak kapan? Kenapa nggak bilang Mama awal-awal?" cemas Dhara. Dahi Diva diraba, "tuh panas. Pasti karena kemarin sore kamu ekstra renang. Kelamaan di air kamu, nih. Makanya demam sama batuk gini."
Dabia menoleh. Mendengar kakak kesayangannya itu sakit, ia beranjak dari duduknya di lantai, lantas melangkah terseok menuju di mana Diva terbaring di pangkuan Mama. Tanpa suara, satu kecupan di pipi, Dabia berikan untuk Diva.
Diva terkekeh. Rambut tipis Dabia diacak gemas. "Makasih Dek Bia," dan Dabia hanya menampakkan gigi lucunya sebelum berbalik ke tempat semula.
Dhara mengambil bantal sofa dan diletakkan ke bawah kepala Diva, lantas ia beranjak dari sana. "Mama perasin lemon, ya? Biar batuknya berkurang. Nanti pulang Papa dari rumah Nenek baru minum obat. Di rumah, obat demamnya habis."
"Iya, Ma."
"Dek Bia. " Dhara memanggil Dabia yang tengah serius menonton.
"Ng?" Bocah itu menoleh dengan gumaman. Mulutnya penuh oleh biskuit yang tengah dikunyah. "Jagain Kak Diva sebentar, ya?"
"Apa, Ma?" Yang dipanggil Dabia, yang menyahut malah Daneen.
"Kak Diva sakit, jagain sebentar, ya? Mama mau bikinin obat buat Kak Diva," ujarnya sambil berlalu menuju dapur.
Sama seperti Dabia, mengetahui sang kakak sakit, ia beranjak lalu mendekat. "Kak Ipa sakit apa? Napa ndak bilang Anin? Sakit napa? Kak Ipa main ujan? Jangan main ujan, Kakak. Kan Mama udah malahkan. Jadi sakit, deh. Coba Anin liat."
Diva hanya diam membiarkan Daneen berceloteh bak orang dewasa, lalu meraba dahinya. Anak itu hanya bersikap sok dewasa. Padahal beberapa saat lalu anak itu baru saja selesai konser solo karena tidak mau Papa pergi bersama A' Davin. Jika saja tadi mamanya tidak mengancam akan membawa paksa Daneen ke rumah Nenek jika terus mengamuk, konser solo itu akan terus berlanjut hingga sekarang. Bengkak matanya saja masih terlihat jelas, dan ada ingus mengering di gerbang lubang hidungnya.
Daneen itu jauh lebih cengeng dibanding adik kembarnya, dan anak yang paling hobi menjadi biang masalah.
Tak ingin membantah tuduhan Daneen bahwa ia demam karena main hujan, Diva hanya menganggukinya. "Iyaa ... Maafin Kakak, ya? Udah bandel. Jadinya sakit gini, deh. Uhukk! Danin jangan turutin Kak Diva main hujan, ya? Nan ..."
"Napa danan?"
Loh? Diva mengerjap sesaat. Bukankan baru saja anak itu menasehatinya jangan main hujan karena akan demam? Kenapa anak itu malah bertanya 'kenapa' lagi?
Dasar bocah.
"Nanti sakit kayak Kak Diva, loh. Kan Danin bilang gitu tadi."
"Hehehe ... Anin lupa Kakaaak. Tapi, tapi, Anin mau main ujan. Itu, itu ailnya tuluun kayak cowel di kamal mandii. Tapi lebih gedeee ... " Kedua tanganya merentang seolah menggambarkan kata 'gede' yang ia ucapkan. "Jadi Anin mau mandi ujan juga."
"Eh eh eeeh ... Mau coba mandi hujan?"
Daneen menyengir begitu mamanya muncul dan menegur perkataannya.
"Endak, Mamaa. Anin cuma nomongnya ajaa. Endak benel-benel. Sumpah, Mama."
"Eh? Dari mana belajar kata-kata itu?" Dhara salfok dengan kata 'sumpah' yang anaknya ucapkan. Kata baru yang menurut Dhara tidak terlalu sopan diucapkan anak seusia Daneen. "Siapa yang ajarin sumpah-sumpah segala? Ha?"
Bibir Daneen mengerucut. Ia tahu apa kesalahannya kali ini. "Maap, Mamaa." Tapi, Daneen tak tahu kenapa mamanya melarang mengucapkan kata tersebut?
"Nggak sopan ngomong begitu. Masih kecil udah pandai main sumpah-sumpahan. Belajar dari mana?"
Bibir itu semakin maju ke depan. Ia tak ingat pernah mendengar kata itu dari mana. Tapi, otaknya menyimpan apik kosa kata baru yang pernah ia dengar. Ia baru tahu jika kata tersebut tidak sopan.
"Jangan bilang begitu lagi, ya?"
Perlahan kepalanya mengangguk. "Iya, Mama."
"Bagus. Anak Mama ini pinter. Sayang Mama dulu."
Dhara menundukkan wajah, memejamkan mata, lalu sebuah kecupan Daneen berikan di pipinya. Dhara terkekeh. Sebagai balasan kasih sayangnya, ia memberikan kecupan di kedua pipi anak itu.
Melihat kakaknya mendapat kecupan dari mama, si kembar kompak meminta perlakuan yang sama. Mamanya di peluk, gelendotan manja. Dhara yang paham maksudnya, sontak terkekeh lalu memberikan kecupan seperti yang anak-anak itu inginkan.
***
Pukul 1 siang, tak ada ciri-ciri Arkan dan Davin akan pulang. Arkan juga tak membalas chat yang Dhara kirim. Padahal Dhara ingin Arkan singgah ke apotek membeli obat demam untuk Diva. Suhu tubuh anak gadisnya itu semakin tinggi. Diva hanya terbaring tak nafsu makan.
Bersama lima anak gadisnya, Dhara baring di karpet depan tv. Tubuhnya dijadikan bantal, guling, dan juga kasur oleh anak-anaknya. Posisi Dhara yang telentang, diapit oleh Daneen, Diva, Daiba, Deeba, dan Dabia. Diva tidur di sebelah kanan Dhara sembari memeluknya. Daneen baring di kaki kirinya, Deeba di kaki kanannya, Dabia di sisi kirinya bersama Daiba yang dengan santai tengkurap di atas tubuh Mama. Daiba dan Dabia tengah berbagi mimim, sementara Deeba masih menunggu antrian dengan sabar.
Jika Arkan melihat momen tersebut, pria itu akan mengatai mereka mirip induk kucing dan anak-anaknya.
"Papa lamanyaaaa ..." Daneen berteriak bosan. Kepalanya digaruk karena gatal. Lima hari ia tak keramas. Karena Mama tak sempat melakukannya. Saat Mama menyuruhnya keramas bersama Bi Kulsum, anak itu menolak hingga mengamuk. Alhasil, lima hari tak keramas membuat rambut anak itu lepek dan kemungkinan kutu telah menyewa tempat tinggal di sana.
Kesibukan Dhara sebagai ibu dari enam anak membuatnya benar-benar kelabakan. Tak punya waktu santai walau sebentar. Baru saja ia membaringkan tubuh, para kurcaci itu mulai menggelendot dan menjadikan tubuh mamanya sebagai tempat tidur paling empuk dibanding kasur. Mungkin tak masalah jika hanya satu anak yang bertingkah demikian, tapi ini tiga bayi dan satu balita yang selalu sok dewasa tapi nyatanya ingin diperlakukan seperti adik kecil.
Daneen beranjak duduk, dan Dhara merasa lega. Kaki kirinya seolah kehilangan fungsinya selama kepala besar anak itu berbaring di sana. Kebas.
"Kapan Papa puwang, Ma? A' Apin juga mana? Lamanyaaa ... Anin tunggu endak datang-datang," ocehnya kesal. Ia dan Aa Davin selalu bertengkar. Lebih tepatnya Daneen yang sering menciptakan keonaran. Davin yang kesal kadang akan berteriak dan mengadu pada Mama. Namun, jika tak bersama sehari saja, Daneen merasa kehilangan. Tak ada yang bisa ia jahili, karena tiga adik kecilnya itu tak seru jika diajak bermain.
"Dedek endak pandai nomong itu. Ndak suka Anin, tuh," ujarnya ketika itu, karena Davin tengah pergi memancing bersama Papa di sungai.
"Bentar lagi Papa pulang, kok," jawab Dhara. Sejak tadi fokusnya teralihkan karena ulah Daiba yang terus membelai pipinya tanpa melepaskan mimiknya sebentar pun.
"Mama udah tepon Papa? Suluh Papa puwang sekalang, Mama. Anin suluh puwang, ditu," titahnya.
"Udah Mama suruh puwang, eh pulang. Tapi, Papa ndak balas chat Mama."
"Anin suluh tepon, bukan chet. Mama, nih. Dedek Iba apa, sih! Jangan pegang Anin!" Kekesalan anak itu beralih pada Deeba yang tak sengaja menyentuh kaki kakaknya ketika ia menggeliat. Kepalang tanggung kakaknya itu marah, Deeba semakin gencar memegang kaki Daneen hingga amukan Daneen memecah ketenangan di minggu siang kala itu. Bi Kulsum yang tengah menyetrika pakaian di lantai atas sempat terkaget.
Akibat pertengkaran antara kakak dan salah satu adik kembarnya tersebut, Diva terbangun dengan kepala berdenyut. Daiba dan Dabia melepaskan mimimnya, lalu terbahak menertawakan kakak Daneen mereka marah dengan wajah memerah.
Dhara memutar bola mata. Cukup terbiasa dengan pertengkaran yang terjadi. Telinga Dhara sudah kebal. Semoga saja tidak menyebabkan penulian dini.
"Aa' pulaaaaaang ..." Davin mematung di muka pintu, lantas berdecak, "wow. Kekacauan apa ini?"
Beberapa barang belanjaan dalam kantong yang ia pegang dibawa masuk, masih dengan ekspresi bengong.
"Perang saudara lagi?" tanyanya.
"Biasa." Dhara menjawab santai. "Kalian kenapa lama banget baru pulang? Acaranya masih berlangsung? Papa mana?"
"I'm coming." Arkan muncul bersama beberapa lauk pauk dari rumah mamanya. "Nanti sore Bi Kulsum nggak perlu masak. Mama udah ngasih banyak makanan." Lauk pauk itu dibawa ke dapur, lalu kembali ke ruang tengah.
"Papaaa ..." Daneen berlari, memeluk Papa dengan wajah cemberut.
"Eeh? Kenapa lagi? Berantem lagi sama dedek?"
"Dek Bia yang mulai, Paa. Sentuh-sentuh Anin," adunya.
"Ya Allaaah ..." Daneen digendong dan berat anak itu semakin bertambah. "Danin itu udah jadi kakak, kan?"
Daneen tak menjawab. Bibirnya mengerucut dengan mata memerah bekas menangis. Menangis karena kalah bertengkar dengan sang adik kembar.
"Danin sekarang udah kakak. Umurnya udah berapa?"
"Empat taun," jawabnya dengan enggan dan suara serak.
"Nah. Udah empat tahun dan udah sekolah. Masa masih nggak mau kalah sama dedek? Dedek itu masih kecil-kecil, loh. Umurnya baru satu tahun, masih mimim, dan belum sekolah. Seharusnya Danin jagain dedek. Ajarin dedek gambar, ajarin mewarnai, ajarin nyanyi. Seperti yang Bu Guru ajarin sama Danin di sekolah. Bukan malah ngajak dedek berantem. Disentuh dedek dikit aja nggak boleh. Tapi kalo dipegang Sean kok suka?"
"Sean siapa, tuh?"
Dhara angkat suara. Ia bangkit dari posisi baringnya ketika mendengar nama asing disebut sang suami.
Arkan melirik Dhara, lalu menatap Daneen. Terlihat Daneen memelas agar satu rahasianya tersebut disembunyikan dari Mama.
Arkan terkekeh, lalu mengangguk. Pria itu kemudian berbisik pelan pada Daneen. "Asal janji nggak akan berantem lagi sama dedek."
Daneen mengangguk. "Iya. Anin janji, Papa."
"Helloooo ... Mama tadi nanya, ya? Sean itu siapa?"
"Nggak, kook. Sean itu kucingnya guru Danin di sekolah. Suka dipegang-pegang Danin. Kucingnya manja ya, Nak?"
Daneen mengangguk sembari memainkan bibir.
"Awas kalo bo'ong sama Mama, ya?"
"Enggak kook. Mana mungkin Papa sama Danin bohong sama Mama, ya?"
Dhara menjuihkan bibir. Terkekeh, Arkan membawa Daneen duduk di sofa dan langsung diserbu oleh si kembar. Masing-masing ingin duduk di pangkuan Papa. Tak kebagian tempat duduk di pangkuan Papa, Deeba tak kehabisan akal. Gadis kecil jagoan tersebut berusaha memanjat punggung Papa agar bisa naik ke pundak sang papa.
Ibu dari anak-anak tersebut terbahak. Kini giliran Arkan yang mirip seperti bapak kucing dan anak-anaknya.
Ketika Arkan meminta bantuan untuk menurunkan Deeba, Dhara menanggapi dengan mengibaskan rambutnya. "Mama mau ngurus Diva demam. Papa urus sendiri para bocah itu. Selamat bertugas, ya. Ayok, Va. Kita ke atas, minum obat."
Dalam hati Arkan bergumam, "awas nanti malam. Siap-siap nerima pembalasankuh."
***
Dah lama gak berimajinasi, jadi datar gini hasilnya, yak. Sorriii ...
Semoga masih rame nih penunggu kisah Daneen. Hehe ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top