2

"Mamaaa... Noton di luaal... Sini ndak asik. Tipinya keciilll..."

Bosan mulai melanda bocah kecil bernama Daneen. Setelah hampir seharian terkurung dalam kamar, gadis kecil itu merengek untuk ke luar dari kamar. Sayangnya, mamanya itu tak menanggapi rengekannya.

"Mamaa..." Tubuh mamanya digucang pelan. Pipinya ditowel-towel berharap mamanya terjaga dan segera memenuhi ajakannya.

"Ih, Mama nih. Boboook telus. Mama!" kesal tak ditanggapi, Daneen memukul perut mamanya cukup keras. Posisi tidur Dhara yang telentang menjadi sasaran kebrutalan Daneen. Dhara terhenyak. Perutnya terasa sakit.

"Ya Allah..." Dhara meringis. Sebenarnya, ia menyimpan amarah tak terhingga atas apa yang telah Daneen lakukan terhadapnya. Tapi, Dhara berusaha mengontrol diri karena Daneen adalah balita polos yang belum terlalu mengerti dengan apa yang tengah mamanya alami. Bahkan gadis kecil itu masih tak mengetahui jika di dalam perut mamanya ada sang calon adik.

"Mama ndak dengal Anin pagil." Tak ingin disalahkan, Daneen mencoba membuat pembelaan diri.

"Mama dengar, tapi Mama nggak kuat harus berjalan ke luar. Di kamar aja, ya? Tv nya udah gede itu. Anak kecil nggak boleh nonton tv yang gede lama-lama, tuh. Nanti matanya jadi kayak Mama. Rusak." Dhara mencoba menjelaskan.

"Mana yang lusak? Anin mo liat." Daneen merangkak ke atas tubuh Dhara sebelum wanita itu sempat menghindar. Beruntung Daneen tak menekan perutnya. Hal yang dilakukan anak itu ketika ingin melihat secara jelas bahwa mata mamanya rusak adalah dengan membuka paksa kelopak mata sang mama.

"Mana ada? Endak lusak? Mata mama masih ada dua, ada putihnya, ada itamnya juga. Milip mata Anin." Daneen mengedipkan kedua matanya, untuk memperlihatkan pada sang mama bahwa matanya masih lengkap seperti mata mama.

"Tapi, Mama nggak bisa baca kalo nggak pake kacamata. Danin mau pake kacamata terus? Jelek tau."

"Ih, Anin cantiiiik. Mama, nih! Anin mau noton di luaaal, Mamaaa..." Ternyata bocah itu masih keukeuh dengan permintaan sebelumnya. Ia sangat ingin keluar dari dalam kamar, tapi apa yang bisa Dhara lakukan jika untuk bangkit dari atas kasur saja ia tak mampu.

"Mama nggak kuat, Sayaang. Mama sakiit. Tunggu Kak Diva pulang aja, ya? Nanti Danin main sama kakak aja."

Bibir Daneen mengerucut. Bocah itu merajuk. Ia turun dari aras ranjang, lalu melemparkan botol susunya yang sedari tadi berada di atas nakas. "Mamaaaa..." teriaknya marah.

Pusing. Dhara memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Tingkah Daneen sungguh membuatnya gemas bercampur marah. Wanita itu menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Ia mencoba mencari cara untuk membuat putri kecilnya itu berhenti marah. "Kita main petak umpet, yuk?"

Daneen yang tengah berdekap tangan dengan wajah tertekuk marah itu sempat melirik mamanya sejenak. Ia tampak tengah menimbang-nimbang apakah ia harus mengiyakan ajakan sang mama atau tetap dengan rajuknya?

"Mau, nggak??" Dhara sengaja memancing. Ia tahu putrinya tak akan kuat menolak ajakan menggiurkan itu.

"Ayok." Senyum Daneen kembali merekah. Gadis kecil itu dengan semangat berlari menuju dinding lalu berujar, "Mama sembunyi, ya? Anin itung sampe sepuluh."

"Eh? Gimana kalo kita tukeran aja? Mama yang ngitung, Danin sembunyi." Dhara membuat kesepakatan yang sebenarnya sangat menguntung dirinya.

Daneen tampak berpikir dengan jari telunjuk mengetuk dagunya sendiri. Senyumnya kemudian terkembang. "Iya, deh. Mama yang itung, ya? Anin sembunyi."

"Okeee..." Dhara tertawa girang tanpa anak itu sadari.

Ketika Dhara baru saja bersiap hendak menghitung, Daneen sendiri memasang ancang-ancang untuk mencari tempat persembunyiannya. Ia yakin mamanya itu tak akan menemukan bisa menemukan keberadaannya.

"Satuuu... Dua... Tiga... Empat... Lima..." Dhara mulai menghitung. "Udah belooom?"

Tak ada jawaban. Dhara tak ambil pusing. Selama anak itu berada dalam ruang lingkup kamar, Dhara bisa memastikan anak itu aman.

"Mama cari, yaa..." Dhara berpura-pura. Nyatanya wanita itu malah memejamkan mata dan kesadarannya menghilang alias tidur.

🍼🍼🍼

Beberapa menit yang lalu Arkan dan dua anak angkatnya tiba di rumah. Ketika dalam perjalanan mengantar Diva dan Davin pulang, ia menyempatkan diri untuk singgah ke rumah makan dan membeli makan siang untuk istri dan anak-anaknya.

Salam yang diucapkan ketika memasuki rumah tak mendapat jawaban. Arkan bisa menebak jika Dhara tengah tidur. Tapi, Daneen? Apa anak itu masih demam?

Usai menyiapkan makanan ke dalam piring, ia berseru pada Diva dan Davin untuk segera makan. Sementara dirinya masuk ke dalam kamar utama untuk melihat keadaan Dhara dan Daneen. Pria itu tak menaruh rasa curiga ketika pintu kamar yang selalu ditutup saat ada Daneen di dalam, kini telah terbuka.

"Ra." Arkan mengguncang tubuh Dhara pelan. Wanita itu melenguh sebelum membuka mata.

"Kapan nyampe?"

"Baru aja. Masih lemes?"

Dhara mengangguk.

"Nanti malam kita periksa lagi, ya? Sekalian bawa Danin," ujar Arkan. Pria itu merapikan rambut Dhara yang berantakan. Tapi, satu hal yang membuatnya tersadar, "eh, tunggu. Danin mana?"

Dhara mengerjap. Wanita itu mencoba mengumpulkan ingatannya sendiri. Ketika tersadar, wanita itu refleks terduduk. "Ya Allah. Tadi kami main petak umpet. Aku lupa buat nyari dia karena ketiduran."

Mendengar penjelasan Dhara, tentu Arkan juga cemas. Pria itu berdiri, dan Dhara ditatap tak suka. "Kenapa malah diajak main petak umpet? Kamu 'kan tau kalo Danin sembunyi itu susah ditemuin. Kalo dia kenapa-kenapa gimana? Ah."

Arkan marah. Dhara bisa melihat dari cara pria itu bicara dan menatapnya. Setelah sekian lama, kali ini ia melihat sifat Arkan yang dulu. Dhara mulai kecil hati. Kehamilan keduanya sekarang ini perasaannya mudah rapuh. Melihat wajah kecut orang lain saja Dhara anggap orang itu tengah marah terhadapnya. Jika orang itu tak segera menjelaskan, maka Dhara akan menangis sesegukan saat itu juga.

"Aku cuma mau mengajak dia main karena dia terus merengek untuk nonton di luar kamar," lirih wanita itu dengan kepala tertunduk dalam. Air matanya telah menggenang, siap tumpah kapan saja.

Arkan mendengus. Tanpa banyak omong, pria itu bergegas mencari kelibat anak yang dicari sembari menyeru namanya. Kamar mandi, dalam lemari, sebelah nakas, keranjang pakaian kotor, bahkan kolong ranjang juga telah diperiksa. Tapi, kelibat anak itu masih tak bisa dijumpai. Ketika ia memeriksa bawah ranjang, yang ada hanyalah beberapa brangkas dengan jumlah uang tak terhingga miliknya.

Lelah mencari, Arkan kembali meminta penjelasan sang istri. Wajahnya tampak sangat memerah. Pria tengah menahan emosinya agar tak memaki Dhara dengan kondisi sang istri tak berdaya. "Dia sembunyi di mana? Udah berapa lama? Dia nggak ada di kamar ini, berarti dia sembunyi di luar. Kamu nggak sadar dia keluar, ya?"

"Di... Di kamar ini aja. Pintu kamarnya dari tadi pagi ditutup, kok."

"Ditutup? Kalo ditutup kenapa di kamar dia nggak ada? Itu artinya dia keluar tanpa sepengetahuan kamu, Ra."

Dhara merunduk dalam. Ia tak bisa membuat pembelaan karena memang dirinya bersalah dalam kasus menghilangnya Daneen.

Ah, bukan hilang. Daneen hanya sedang bersembunyi di suatu tempat yang tak mereka sadari.

Sementara bocah yang menjadi biang permasalahan asyik cekikikan di suatu tempat. Setelah sekian lama ia menunggu sang mama mencari keberadaannya, maka sekarang ia bahagia karena akhirnya semua orang tengah berusaha menemukan tempat persembunyiannya.

"Hihihiii... Anin pitel sembunyi," ujarnya sembari terkekeh pelan. Ia bangga karena keahliannya dalam permainan petak umpet tersebut.

Jika saja ada pertandingan petak umpet, mungkin Daneen akan menjadi pemenang utama.

Kesal, Arkan memilih meninggalkan Dhara di dalam kamar. Ia tengah pusing karena selain pekerjaan di kantor yang menumpuk, semalam salah satu cabang bisnisnya dibobol maling, dan sekarang Daneen yang turut membuat kepalanya serasa akan meledak saat itu juga.

Arkan mendesah keras sembari memijat dahinya yang berdenyut. Setelah ini ia yakin akan menggantikan Daneen demam. Jika ia demam, ia yakin anak dan istrinya mati kelaparan karena di antara mereka selain Arkan, tak ada yang bisa diandalkan untuk belanja ke luar.

"Ada apa, Pa?" Davin bertanya ketika melihat Arkan dengan raut cemas tengah memeriksa seluruh sudut lantai dasar. Diva mengerutkan dahi, piring yang tengah ia cuci dihentikan sejenak untuk melihat apa yang ayahnya lakukan.

"Adik kalian sembunyi lagi. Kalian bantu cari, ya. Papa bener-bener pusing sama anak itu. Mana Papa harus cepat ke kantor lagi. Kalo Danin belum juga ditemukan, gimana Papa bisa balik kerja dengan perasaan nggak nyaman gini." Arkan berujar kesal tanpa menghentikan kegiatannya memeriksa sudut rumah.

"Diva bantu cari, Pa." Diva mengelap tangan bekas sabun cuci piring, lalu naik ke lantai paling atas untuk memeriksa di sana. Namun, hasilnya nihil. Lantai dua juga demikian.

"Aniin... Udahan sembunyinya. Jangan lama-lama. Nanti Papa, mama, kakak, sama Aa' Davin tinggalin Anin ke rumah nenek, lho. Keluar, Naak. Anin mau ikut ke rumah nenek, nggak?" bujuk Arkan. Ia berharap dengan mengajak anak itu ke rumah nenek dan kakeknya, Daneen akan terbujuk.

Nyatanya, anak itu setia dengan persembunyiannya.

Arkan kembali memijat pelipisnya. Pria itu terduduk di sofa ruang tengah. Pakaian kerja yang dikenakan sejak tadi pagi kini tampak basah oleh keringat.

Merasa bersalah dan pikirannya yang kacau, Dhara memaksakan diri untuk ikut mencari. Ia menguatkan diri menginjakkan kaki ke permukaan lantai, lalu berpegangan pada dinding agar tubuhnya tak melorot ke atas lantai.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Empat langkah.

Dan ketika pada langkah ke lima, kedua kakinya benar-benar tak mampu. Ia jatuh terduduk sembari menahan rasa sakit di area perutnya.

Wanita 29 tahun itu terisak dalam duduknya. Ia merasa menjadi istri dan ibu yang tak berguna. Menjaga satu anak saja ia tak mampu. Bahkan sekarang untuk mengurus dirinya sendiri Dhara tak bisa. Setelah melahirkan nanti, Dhara bersumpah tak akan mau dihamili Arkan lagi jika kondisinya seperti orang sekarat seperti sekarang ini.

Dhara berusaha memijat betisnya yang lemah. Ia berharap dengan begitu ia bisa kembali berdiri untuk mencari keberadaan Daneen.

Ketika Dhara berusaha untuk kembali berdiri, suara cekikikan seseorang terdengar olehnya. Dahi wanita itu berkerut. "Itu Danin," gumamnya.

Ia melangkah pelan dengan susah payah guna mencari sumber suara cekikikan itu. Langkahnya berusaha dipercepat. Ketika ia tiba di depan pintu kamar, lalu melongokkan kepala ke ruang kosong di bawah tangga menuju lantai dua, tepatnya di sebelah kamar utama, terlihat sepasang kaki kecil anak itu di antara celah dua buffet. Pintarnya anak itu ketika di antara celah buffet tempat persembunyiannya, sebuah kipas angin tornado tanpa kaki penyanggah diletakkan guna melindungi tubuh kecilnya di sana. Lalu, ia duduk sembari menundukkan kepala.

"Astaghfirullahal'adziim..." Dhara mengelap peluh mengucur di dahinya, lantas menghela napas.

"Danin. Kenapa sembunyi di sini?" Tanpa basa-basi, Dhara menggeser kipas angin tornado itu dan siap mengomeli anak itu.

Daneen menyengir lebar. "Yah. Tetemuu... Mama hebat."

Dalam hati Dhara bersungut kesal. "Hebat pala lu peyang?" Seandainya Daneen bukan anaknya, mungkin ia akan benar-benar berkata demikian. Gara-gara Daneen, Dhara harus menerima amarah bapak dari anak itu.

"Keluar sekarang. Ngapain sembunyi di situ, ha?"

"Danin udah ketemu, Ma?" Davin melangkah buru-buru ketika mendengar suara omelan sang mama di dekat kamar utama.

Tanpa perlu Dhara jawab, Davin bisa melihat adiknya itu tengah berusaha keluar dari celah buffet sempit itu.

"Keluar, Nin,"tegas Dhara sekali lagi. Wanita itu berkacak pinggang, menahan diri untuk tak menarik paksa Daneen keluar dari sana karena kesal.

"Aduh. Susah, Maa..." Oleh karena celah dua buffet tersebut cukup sempit, Daneen tampak kewalahan untuk membebaskan diri dari sana. Kedua tangannya menjulur ke depan, lalu berusaha mendorong tubuhnya keluar. "Aaaah... Sakiiit... Huaaaaa..."

"Tuh, tuh, tuuuh... Makanya Mama bilang juga apaaa. Ya Allaaah, anak ini."

"Kenapa lagi?" Arkan urung marah pada Dhara ketika melihat anak yang tengah dicari ternyata berusaha membebaskan diri keluar dari tempat persembunyiannya. "Anin kenapa di sana?" cemasnya. Pria itu bergegas membantu.

"Sakit, Paaa... Huaaaaa..."

Tangis kesakitan Daneen cukup membuat Dhara meringis. Ia cukup kesal pada anak itu, tapi melihatnya menangis kesakitan, ia jadi tak tega menambah tangis anak itu dengan amarahnya. Dhara memejamkan mata, tubuhnya kembali lemas. Ia benar-benar tak bisa banyak pikiran.

Melihat mamanya kewalahan kembali ke kamar, Diva bergegas membantu. "Mama jangan khawatir, Diva akan jagain Danin baik-baik. Mama istirahat aja."

Dhara bersyukur memiliki Diva. Setidaknya, dalam ketidakberdayaannya sekarang, Diva bisa diandalkan.

Sementara di luar kamar, Arkan masih berusaha menggeser salah satu buffet guna memberi celah cukup besar untuk Daneen bisa keluar.

"Lagian tadi masuknya gimana? Kok keluar nggak bisa?" omel Arkan sembari membantunya keluar.

Daneen hanya menangis tanpa berniat menjawab pertanyaan sang ayah. Ketika berhasil bebas, ayahnya dipeluk dan Arkan langsung membawa Daneen ke dalam pelukannya. Punggung anak itu ditepuk pelan, dahinya dikecup berulang guna membuat Daneen tenang.

"Besok-besok jangan main-main sembunyi lagi, ya? Danin liat sekarang gimana? Apa ada yang sakit, hm?"

"Hik... Mau mamaaa..." pinta Daneen di tengah tangisnya.

Arkan hanya mampu menghela napas pelan. Walau apapun yang terjadi, jika sedang sakit maka ibu yang akan anak-anak cari. Arkan sadar bahwa tak ada yang bisa menggantikan peran ibu bagi kehidupan anak-anak.

Sembari terus menenangkan Daneen, Arkan membawanya ke dalam kamar utama. Di sana, istrinya tengah berusaha meminum air putih yang Diva berikan. Tangan itu bergetar.

Lihat, Arkan kembali disadarkan oleh pemikirannya sendiri betapa sakitnya seorang ibu ketika tengah mengandung anak mereka. Pria itu duduk di pinggiran ranjang sembari memangku Daneen yang masih terisak. "Belum makan siang, 'kan?"

Dhara menggeleng. Ia kembali terpejam dengan posisi menyandar pada kepala ranjang. "Belum lapar."

Dhara tak sedang merajuk, tapi ia benar-benar tak punya nafsu makan.

"Dikit aja. Nanti Diva bantu suapin."

Dhara kembali membuka mata. "Mau ngantor lagi?"

"Bos udah dua puluh kali nelpon," ujarnya sembari memperlihatkan 20 panggilan tak terjawab dari sang atasan.

Dhara mendesah. "Pergi sana. Udah ada Diva, kamu nggak perlu khawatir lagi."

Mengangguk, Arkan memberikan Daneen pada sang istri. "Jangan ajak dia main petak umpet lagi."

Kemudian ponselnya berdering. Pria itu mengangkatnya, dan... "Kamu masih niat kerja di sini nggak, sih, ha?!!"

🍼🍼🍼

Hayoloooh... Arkan terancam dipecat. Ntar lantai rumahnya berkurang satu tuh. Hahaha....

Btw, peminat Anin dikit aja, yak. Oma ndak asik, ah. Sukanya jadi pembaca dalam diam. Ckck... Tak patooot oma tuh.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top