16

Dahi Arkan berkerut ketika ia tak mendapati siapapun di dalam rumahnya. Hatinya dilanda perasaan cemas tatkala pintu kamar utama dibuka, tak ada kelibat Dhara maupun Daneen di sana.

"Ra??" pintu kamar mandi dibuka, nihil.

Arkan lantas keluar dari kamar lantas mencari kelibat Bi Kulsum, namun tak juga ia temukan di manapun. Kegelisahan hati pria itu semakin menjadi. Ia berlari menelusuri setiap ruang lantai dasar, lantai dua, dan terakhir lantai tiga rumahnya. Rasa lelah mulai mendera. Seketika ia menyesal telah berprilaku tamak dengan membangun rumah sebesar itu. Jika saja bukan karena cintanya untuk sang istri, Arkan tak akan pernah mau membuang uangnya demi membangun rumah tiga lantai seperti itu.

"Orang-orang di rumah ini ke mana, sih?"

Seperti orang kurang waras, Arkan terduduk di tangga menuju lantai dua sembari mengacak rambutnya asal. Lama ia terpaku di sana, hingga kemudian ia teringat akan benda canggih yang bahkan Bi Kulsum saja punya benda itu jauh lebih canggih dari milik sang majikan sekalipun.

"Hape."

Teringat akan ponselnya di dalam kamar, Arkan berlari menuruni anak tangga, lantas mendobrak pintu kamarnya begitu saja. Ia tak peduli jika nanti engsel pintu itu akan rusak. Ia akan menggantinya nanti.

Begitu ponsel itu diambil, ia melihat ada beberapa panggilan dari Bi Kulsum dan juga... Anisa.

Lagi-lagi dahi pria itu berkerut. "Ngapain Bi Kulsum sama Anisa nelpon banyak banget gini?" Tak ingin berlengah, Arkan bergegas menghubungi Bi Kulsum kembali. Beberapa kali panggilan berusaha dilakukan, tapi Bi Kulsum tak mengangkat. Ketika jari tangannya siap untuk menghubungi Anisa, nama Bi Kulsum terpampang di layar ponsel Arkan.

"Bi,..."

"......."

"Ha?? Kenapa bisa di bawa ke rumah sakit?"

"...."

Di seberang sana, Bi Kulsum sempat mengomeli Arkan tanpa suara. Pasalnya, pria itu terlalu banyak tanya saat istrinya sendiri tengah bertarung dengan nyawa di dalam sana. Bi Kulsum sendiri kewalahan menenangkan Daneen yang terus menangis melihat sendiri keadaan sang mama dalam kondisi sekarat.

"Bi, Bibi tunggu di sana dulu, ya. Saya akan berangkat ke rumah sakit sekarang. Tolong tenangin Danin dulu."

Klik.

Tanpa menunggu balasan dari Bi Kulsum, Arkan mematikan panggilannya begitu saja. Perasaan cemasnya benar-benar menjadi kenyataan. Ia tak tahu apa yang tengah terjadi dengan sang istri. Padahal semalam dan tadi pagi kondisi wanita itu tampak baik-baik saja, atau mungkin Dhara sendiri yang tak ingin mengatakan kesakitannya pada Arkan?

"Wanita itu bener-bener keras kepala."

Arkan mengambil dompet dan juga kunci mobilnya, lalu melesat menuju rumah sakit.

***

"Bu Dhara harus dirawat di sini sampai tiba masanya untuk melahirkan, Pak Arkan. Kondisi Bu Dhara benar-benar mengkhawatirkan. Jika Bu Dhara terus mengalami kejadian yang sama, kami nggak bisa menjamin bayi-bayinya akan selamat." Dokter yang menangani Dhara mengajak Arkan bicara dalam ruangan beliau, dan mengatakan apa yang tengah terjadi pada Dhara saat ini. "Kita akan menunggu hingga usia kehamilan Bu Dhara cukup untuk melahirkan, setidaknya sampai pada minggu ke 33 kehamilan beliau. Kami harus melakukan tindakan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Bu Dhara nggak bisa melahirkan secara normal karena pre eklampsia yang beliau derita. Dan juga..." Dokter menjeda perkataan sejena, lantas menatap Arkan dengan senyum terkembang perlahan. "Bayinya nggak hanya dua, Pak. Bapak akan mendapat tiga bayi sekaligus."

"Ha?!" Bukan Arkan tak mendengar apa yang dokter katakan sebelumnya. Pria itu hanya terlalu kaget dengan informasi terakhir yang dokter katakan. "Ke...kembar... tiga?" Perkataan itu terluah dengan tersendat-sendat atas rasa tidak percayanya terhadap apa yang didengar.

"Selama kita melakukan USG sebelumnya, yang satu itu ternyata sangat pemalu sehingga nggak mau nunjukin diri. Tadi, saat dilakukan pemeriksaan lagi, saya juga kaget karena ternyata bayinya ada tiga. Maka dari itu, nggak heran kalau kondisi Bu Dhara bisa separah ini. Beliau benar-benar dalam kondisi tertekan. Saya nggak tau apa pemasalahan yang terjadi dalam rumah tangga Bapak dan Ibu, tapi tolong hal itu dienyahkan sejenak. Demi Bu Dhara dan tiga bayinya. Saya yakin Bapak bisa mengatasi itu, 'kan?"

Arkan menghela napas, lantas mengangguk. Dalam hati ia membatin, "Dokter nggak tau kalo emang Dhara yang keras kepala dan nggak mau dengerin penjelasanku." Namun, walaupun demikian, ia tetap akan mengalah. Arkan tidak pernah berniat untuk kembali menjadi pecundang seperti tiga tahun lalu.

Keluar dari ruangan sang dokter, Arkan dikejutkan akan kemunculan Daneen di depan pintu ruangan tersebut. Wajah anak itu begitu sembab. Matanya bengkak. Wajah imut nan cantiknya berubah seperti dadar gulung dingin yang melempem.

"Papaa..." bocah kecil itu merengek sembari mengulur tangan pada sang ayah. Bi Kulsum menahan rasa encok di pinggang sejak tadi karena terus-terusan menggendong Daneen. Begitu Daneen beralih pada sang ayah, Bi Kulsum terang-terangan melakukan peregangan pinggang hingga terdengar suara retakan dan desahan lega Bi Kulsum.

Arkan dan Daneen sempat mengerjap dengan tatapan cengo melihat ulah Bi Kulsum yang agak aneh tersebut. Tapi, lumayan bisa membuat mereka semua terhibur.

"Apa kata dokternya, Pak? Bu Dhara gimana? Baik-baik aja, 'kan? Nggak ada apa-apa sama bayinya, 'kan? Ya Allah, amit-amiit. Jangan sampai terjadi apa-apa. Ya, 'kan Pak, ya?"

Pertanyaan beruntun itu terucap dari bibir Bi Kulsum. Arkan bahkan hampir kewalahan untuk menjawabnya. Akhirnya, pria itu hanya berkata, "Bi Kulsum tenang aja. Dhara dan bayinya nggak apa-apa, kok. Tapi, Dhara harus dirawat di sini sampai lahiran. Kondisinya nggak memungkinkan untuk pulang ke rumah. Kalo sesuatu terjadi, dokter bisa langsung menanganinya. Dan..." Arkan ragu untuk menyampaikan satu hal. Takut jika Bi Kulsum membuat keribuatan di sana. Bisa-bisa, mereka akan diusir dari rumah sakit.

"Dan... apa, Pak?" tanya Bi Kulsum dengan dahi berlipat.

"Pokoknya, Bi Kulsum harus nemenin kami sampe kapanpun, ya? Bi Kulsum nggak boleh berhenti, karena kami akan sangat membutuhkan bantuan Bibi nanti."

"Ah itu, mah gampang, Paak. Pokoknya rebeslah. Asal gajinya juga beres ya, Pak?" tanpa malu dan tanpa sungkan, Bi Kulsum menaik-turunkan alisnya menggoda sang majikan perihal upah yang harus didapat. Jika saja Arkan tak belajar memaklumi sifat aneh asisten rumah tangganya yang satu ini, mungkin Arkan sudah mendepak Bi Kulsum sejak awal. Kerja Bi Kulsum yang sangat baik, membuat Arkan betah memperkerjakan beliau.

"Oh, ya," Arkan hendak menanyakan satu hal kepada Bi Kulsum sejak tadi, tapi belum sempat ditanyakan. "Siapa yang bawa kalian ke sini tadi?"

"Ooh... dokter di depan rumah itu, loh. Temannya Pak Arkan. Tadi, saat saya sedang kalut nyari bantuan, dokter itu muncul mau berangkat kerja. Dia baik banget ya, Pak. Dia ikutan panik liat Bu Dhara kesakitan gitu. Kalo bukan karena dia, saya nggak tau gimana keadaan Bu Dhara sekarang. Hiks." Bi Kulsum menyeka ujung matanya dari cairan bening yang tak sengaja menitik.

"Begitu? Pantes dia nelpon berkali-kali tadi."

"Iya, Pak. Saya belum sempat ngucapin makasih sama dia, Pak. Habisnya, saya panik dengan keadaan Bu Dhara, ditambah kalut sama Daneen yang nangis terus."

Arkan mengangguk, memahami bagaimana kekalutan Bi Kulsum saat itu. "Nggak apa, Bi. Nanti saya ngucapin makasih langsung sama dia."

"Iya, Pak. Harus itu."

***

Arkan kewalahan menenangkan Daneen yang kembali mengamuk. Pasalnya, anak itu bersikeras untuk ikut masuk ke ruang perawatan mamanya, sementara perawat melarangnya masuk karena Dhara masih dalam tahap pemulihan. Wanita itu masih tak sadarkan diri sejak tiba di rumah sakit. Kondisinya benar-benar mengkhawatirkan. Jika Daneen terus membuah ulah, bagaimana bisa Arkan mendampingi Dhara?

"Anin endak mau sama Bi Acum, Paaa... Huaaaa..."

Tangis itu masih menggema dan mengganggu penghuni rumah sakit yang lain. Arkan meringis, malu. Ia akhirnya meminta Bi Kulsum untuk menjaga Dhara di ruangannya, sementara dia menenangkan Daneen. Masih dengan trik lama, disogok dengan makanan.

Bersama Daneen, ia menuju kantin rumah sakit. "Danin mau makan apa?"

Tangisan itu berhenti seketika. Cairan kental di hidungnya disentak kuat, "mi doyeng."

"Jangan mi lagi. Nggak baik makan mi terus."

"Hik... Huaaaa..."

"Iya, iya. Papa beliin." Arkan mengalah. Daneen selalu berhasil membuat siapapun mengalah jika ia mengeluarkan jurus andalannya tersebut. Alhasil, satu porsi mi goreng permintaan sang anak, Arkan pesan. Namun, karena pesanan cukup banyak, mi goreng Daneen terabaikan cukup lama. Sementara bocah hobi makan itu telah gelisah karena perutnya sudah berontak untuk diisi makanan.

"Lamanyaaaa... Anin lapal, Paaaa..."

"Sabar, dong. Ibunya lagi bikinin, tuh."

"Tapi, Anin lapaaal..." Bocah itu berteriak penuh kekesalan. Ayah dan anak itu kompak menjadi pusat perhatian para pengunjung kantin.

Tak ingin mendapat malu semakin banyak, Arkan memutuskan memesan satu gelas minuman ukuran jumbo untuk Daneen. Tak butuh waktu lama, bocah kelaparan itu berhasil diredamkan amarahnya. Setelah itu, mi goreng pesanannya juga disajikan sang pelayan kantin.

"Maaf lama mi-nya ya, Dek." Pelayan itu mengucapkan permintaan maafnya dengan tulus, namun Daneen menanggapinya dengan dengusan dan tatapan menusuk. "Tatak, nih. Lama bitinnya. Anin lapal, tau!"

"Hush." Cepat Arkan menegur perbuatan anaknya tersebut. "Maaf ya, Mbak. Dia udah kelaparan banget soalnya." Arkan balik meminta maaf pada gadis pelayan kantin itu. Sang gadis membalas dengan senyuman, lantas undur diri dari hadapan kedua pelanggan tersebut.

"Nin, nggak boleh begitu sama orang yang lebih tua. Nggak baik. Kan kakaknya udah minta maaf tadi. Nggak boleh dibentak gitu. Seharusnya Danin maafin. Bukan marah-marah atau bentak-bentak gitu. Papa nggak suka."

Bibir Daneen mengerucut. Ia hanya diam saat ayahnya mulai menegurnya. Ia tau dirinya salah. Oleh sebab itu dia lebih memilih diam. Mi goreng pesanannya mulai disuap. Tak hanya satu atau dua helai, satu kali sendok penuh oleh gumpalan mi dan langsung masuk ke dalam mulut. Arkan bahkan meringis melihat cara makan Daneen yang terlihat rakus.

"Makan pelan-pelan, jangan penuh-penuh gitu. Ntar tersedak."

"Uhuk, uhukk..."

Baru saja Arkan berkata demikian, Daneen benar-benar tersedak. Arkan menghela napas. Perkataan orangtua benar-benar mustajab. Arkan akan belajar berkata yang baik-baik pada anak-anaknya nanti.

Minuman jumbo itu diulur pada Daneen, dan anak itu menyeruputnya hingga tersedaknya hilang. Setelah itu ia lanjut menyuap mi gorengnya dengan pelan dan sedikit-sedikit. Arkan lega melihat itu.

"Nanti, Danin tinggal sama nenek dulu, ya?"

Daneen mendongak, mi yang bergelantungan di mulutnya, ditarik cepat. "Napa?" lalu mengunyah.

"Papa harus nemenin mama di sini. Danin nggak boleh ikut."

"Napa?" kembali anak itu bertanya.

"Dokternya nggak bolehin."

"Napa, Pa?"

Arkan mendesah. Anak itu terus saja bertanya 'mengapa' dan membuatnya geram.

"Mama lagi sakit, Nak. Jadi, nggak boleh ada orang ribut di sana. Mama 'kan mau keluarin adeknya Danin. Danin mau jadi kakak, 'kan?"

"Anin mau jadi kakak."

"Nah, makanya Danin sama nenek dulu, ya? Nanti nenek ke sini sama kakek, Danin pulang sama nenek sama kakek ke rumahnya, ya?"

"Napa ndak ke lumah Anin? Anin mo sama Tak Ipaaa..." rengek bocah itu.

Arkan lupa jika Daneen tak bisa berpisah jauh dari sang kakak. Tapi, jika Diva dan Davin ikut ke rumah Mama Dinda, bagaimana anak-anak itu hendak ke sekolah?

Ah, Arkan akan meminta mamanya untuk tinggal di rumah mereka sementara hingga Dhara selesai melahirkan nanti. Mamanya itu pasti akan menyanggupi permintaannya yang satu itu.

"Nanti Papa ngomong sama nenek lagi, ya?"

Daneen tak menanggapi lagi setelahnya. Mi goreng lebih nikmat daripada memikirkan perihal tempat tinggalnya nanti.

***

Perut telah kenyang. Dahaga telah berlalu. Daneen tampak ceria dalam pegangan sang ayah. Ia tak lagi merengek untuk digendong yang akan membuat pinggang ayahnya encok. Sembari menuju ruangan sang mama, Daneen terus bernyanyi yang hanya anak itu sendiri mengerti.

"Danin nggak boleh masuk, ya? Nanti Danin sama Bi Kulsum di luar nunggu nenek."

"Tapi, tapi Anin mo liat mamaa..." nada bicaranya terdengar lirih. Ia mencemaskan keadaan sang mama sejak tadi. Tapi begitu mamanya masuk ke dalam ruangan entah apa namanya itu, Daneen tak bisa lagi melihat mamanya.

"Anin bilang dotelnya bial Anin bisa liat mama, ya? Anin mo liat mama, Paa..."

"Iya, nanti Danin bisa liat mama. Tapi, nanti. Kalo mama udah bangun."

Kedua bahu Daneen turun. Hendak membantah, tapi ia ingat bahwa dirinya akan menjadi kakak tak lama lagi. Ia mau menjadi kakak yang baik bagi adiknya, seperti Kak Diva yang selalu baik terhadap adik-adiknya. Oleh karena itu, ia akan menuruti semua perkataan sang ayah.

Gemas, Arkan mengacak rambut sang putri kecil. "Anak Papa ini pinter. Sayang Papa dulu, dong?" Arkan berjongkok, menyodorkan pipi kanannya untuk Daneen cium.

Senyum Daneen terkembang. Dengan senang hati ia memberikan sebuah kecupan sayang pada sang ayah, dan kembali melangkah sembari bergandengan tangan.

Tiba di depan ruangan Dhara, Bi Kulsum telah menunggu. Daneen pergi bersama beliau, sementara Arkan masuk ke dalam ruangan Dhara.

Istrinya itu telah membuka mata, tapi tampak jelas terlihat jika Dhara masih begitu tak berdaya. Tubuhnya tergeletak tanpa tenaga. Lagi dan lagi jarum infus itu menjadi perantara asupan tenaganya.

"Gimana keadaanmu?" Arkan menarik kursi di sebelah ranjang, lalu duduk di sana. Perut Dhara diusap lembut, menyapa si kembar tiga kecil di dalam sana. Kemungkinan Dhara belum mengetahui bahwa mereka akan punya tiga anak sekaligus. Apa jadinya jika wanita itu mengetahuinya?

"Danin... mana?" mengabaikan pertanyaan Arkan, Dhara lebih mencemaskan keadaan putri kecilnya tersebut. Sebelum kesadarannya terenggut, ia sempat melihat betapa shocknya Daneen melihat mamanya dalam kesakitan. Itu sebabnya Dhara begitu mencemaskan putri kecilnya tersebut.

"Dokter nggak ngebolehin dia masuk. Jadi, dia sama Bi Kulsum sekarang. Mama juga bakalan ke sini sama ayah. Dan... Danin akan kutitipkan sama mereka sementara aku nemenin kamu di sini."

Dhara memejamkan matanya sejenak. Perutnya masih sedikit sakit. "Bibi 'kan ada."

"Danin nggak mau sama Bibi. Kamu 'kan tau gimana Danin? Kamu tenang aja, mama nggak akan merasa keberatan jika membantu anak dan cucunya. Lagipula, kamu nggak dibolehin pulang sama dokter sampai lahiran nanti. Kondisimu nggak memungkinkan pulang ke rumah."

Dalam keadaan seperti saat ini, Dhara tak bisa membantah suaminya. Ia tak ingin merumitkan masalah kecil jika terus menerus mengedepankan egonya untuk tak ingin merepotkan sang mertua. Cukup kondisinya saat ini yang telah membuat semua orang panik.

"Apa... dokter udah ngasih tau kamu sesuatu?"

Dhara menatap suaminya dengan kedua alis bertaut. "Tentang?"

"Aku nggak tau apakah ini kabar baik buat kamu atau malah sebaliknya."

"Jangan bikin aku penasaran, Kan." Jika saja ia punya tenaga seperti biasanya, mungkin Arkan sudah ia remas-remas karena kesal. Pria itu suka menjeda suatu perkataan yang membuatnya penasaran.

Arkan menatap manik mata sang istri dengan wajah serba salah. Tapi, ia harus mengatakannya bukan?

"Di sini..." Arkan menyentuh perut Dhara. "Ada tiga bayi sekaligus. Kita akan punya tiga anak kembar, Ra."

Tak ada reaksi apapun dari wanita itu. Pikir Arkan, Dhara akan berteriak karena kaget, seperti dirinya ketika mengetahui hal itu pertama kali dari sang dokter. Namun, ketika melihat ekspresi datar Dhara saat ia mengatakan hal itu, sepertinya Dhara tampak baik-baik saja.

"Kamu... Nggak kaget?"

Terdiam sejenak. Dhara menghela napas pelan. "Tadi, saat aku nggak sadar, aku mimpi agak aneh."

Dahi Arkan berkerut. "Mimpi? Apa?"

"Kamu pulang dari kantor, tapi bawa satu butir telur bebek." Dhara meringis ketika rasa sakit pada perutnya kembali terasa. Mengerti akan kesakitan sang istri, Arkan membantu mengusapnya lembut. Dhara sedikit merasa terbantu akan perlakuan suaminya itu. "Kamu bilang, nemu telur itu di teras masjid dalam sepatumu saat kamu mampir buat sholat. Kamu nyuruh aku buat masak telur itu, makan bareng-bareng. Saat aku pecahin telurnya, ada tiga kuning telur dalam satu cangkang itu. Awalnya aku nggak tau arti mimpi itu apa. Tapi, begitu kamu bilang kita akan punya tiga bayi kembar, aku paham maksud mimpi tadi."

Arkan mengangguk-angguk mendengar cerita Dhara. "Jadi, kamu nggak apa-apa 'kan kita punya tiga bayi kembar?"

"Allah udah nitipin mereka ke dalam rahimku buat kita rawat dan didik, kenapa aku harus kesal?"

Arkan memasang senyum. Ia bersyukur karena Dhara bisa menerima kenyataan itu. Pikirnya, wanita itu akan kembali menyalahkan Arkan yang bahkan tak bisa berbuat apa-apa atas titipan yang Allah tiupan ke dalam rahim Dhara.

"Aku... minta maaf sama kamu ya, Kan? Aku tau selama ini aku udah jahat banget sama kamu. Nggak menghargai kamu sebagai suami. Aku sadar aku salah. Cumaa... aku nggak bisa meredam emosi yang tiba-tiba muncul saat sama kamu. Apalagi semenjak kemunculan Anisa. Jujur aku cemburu banget sama dia. Tapi... tadi Anisa sempat ke sini dan membuat pengakuan. Dia emang punya rasa sama kamu, tapi sadar saat merasa perasaannya itu ditujukan pada orang yang salah karena kamu udah punya istri dan juga anak. Dia terbawa perasaan." Dhara menjeda perkataannya sejenak.

"Kalo aja tadi aku punya tenaga, udah kujambak dia. Untungnya Allah nggak ngijinin. Dia udah bantuin aku ke sini. Kalo bukan karena dia, mungkin kita udah kehilangan si kembar ini." Dhara mengusap perutnya. Ia tersenyum di bibir pucatnya.

"Aku udah ngusir dia tadi pagi. Mungkin itu sebabnya dia minta maaf ke kamu. Aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia, Ra. Aku nggak pernah boong soal perasaanku ke kamu. Aku hanya ingin kamu yang jadi ibu bagi anak-anakku. Nggak yang lain. Jangan lagi cemburu akan hal seperti itu."

Dhara mencebikkan bibirnya. "Aku nggak cemburu, kok," bohongnya.

Arkan terkekeh. "Nggak apa-apa cemburu. Aku suka, kok. Itu artinya kamu cinta suamimu ini, 'kan?"

"Ish. Aku nggak cemburu, kubilang."

"Iya, iya. Aku tau. Jangan teriak-teriak. Kasian si kembar. Mereka udah sering kaget saat mamanya mulai teriak-teriak."

Arkan menggenggam telapak tangan Dhara. Kedua mata mereka saling tatap. "Kamu... Jangan manggil aku pake namaku lagi, ya? Nggak enak kedengarannya. Bukan aku mau ngatur, tapi aku takut kamu kualat. Aku sayang kamu loh, Ra. Panggil aku pake 'Mas' kayak kamu manggil aku di depan keluargaku, ya? Atau panggil 'Papa' kayak permintaan Danin? Terserah kamu aja, deh. Panggil 'Sayang' juga boleh." Arkan mengedipkan mata, menggoda.

"Akan kupikirkan," jawab Dhara acuh. Wanita itu melepaskan genggaman tangan Arkan, lantas memejamkan mata sembari menahan senyum di bibir. Ia malu mengakui persetujuannya terhadap permintaan Arkan. Sebenarnya, sudah sangat lama ia ingin bersikap manis seperti itu. Hanya saja, gengsi mengendalikan egonya.

*** 

Itu tuh minuman jumbo si Anin. Liat aja senyumnya tuh. 😂😂😂


Oh, ya. Maap yak, lamaaa baru apdet. Dan... Promo dikit, yah...

Kini Oh, Kids!! Udah ada versi ebook, ya. Gosah susah payah chat akuh buat beli pdf nyah. Udh bisa langsung cari si gugel play book. Harga murah meriah tuh, mumpung diskon. Halamannya buanyaaaakkk... 600-aaan...

Kalo mau versi buku, juga masih bisa beli yaaa... Di Bukuloe. Tersedia di Shopee, Bukalapak, Tokopedia... di lapaknya Bukuloe yaa... Harga 87.000

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top