15
Arkan terbangun ketika suara terompet begitu menggelegar terdengar. Tak lama kemudian aroma tak sedap menyapa kedua lubang penciumannya. Pria itu mengerutkan dahi dalam pejam matanya. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Hawa mengantuk masih kian menguasai. Padahal mentari pagi telah menerpa sejak beberapa menit yang lalu. Suara gaduh dari arah dapur juga tak mampu membuat pria itu berhasil membuka mata.
"Aduh, pengen eek..."
Prooottt...
Ketika suara terompet yang lebih dahsyat itu kembali terdengar dan menebarkan aroma memabukkan, kesadaran akhirnya menyapa diri Arkan. Ia terkejut, lantas terduduk sembari menutup kedua lubang hidungnya. Ketika terbangun, ia baru sadar bahwa sejak tadi Daneen tengah menungging tepat di depan wajahnya.
"Nin! Kamu ngapain?"
Daneen berbalik, wajahnya berkerut menahan sesuatu yang hendak keluar. "Tadi, tadi Anin bajah sowat. Tapi, peyut Anin sakit. Anin tentut. Endak tahan Anin, tuh. Jadi Anin tentut. Napa?" tanya anak itu dengan kerjapan polos sepolos pantat wajan yang baru dibeli.
"Kenapa belajar sholat di depan Papa yang lagi tidur? Mana kentutin Papa lagi. Bau, Nin."
Bibir anak itu mengerucut. Tapi kemudian wajahnya berubah, ia meringis sembari memegangi perut bulatnya. "Aduh. Anin mo eek." Daneen berdiri, lantas berlari menuju dapur. "Bi Acuuum. Anin mo e'eeek..."
"Eh? Buka celananyaaa... Ayooo..."
Arkan hanya menggelengkan kepala ketika suara ribut Bi Kulsum yang panik karena Daneen hendak buang air. Tapi, setidaknya dengan segala tingkah polah Bi Kulsum, suasana rumah berlantai tiga itu tak terlalu tegang atau sunyi. Rumah yang dibangun demi membuktikan rasa sayang dan cintanya terhadap sang istri kini tak lagi memberikan kehangatan. Yang ada hanya pertengkaran dan pertengkaran tiada akhir.
Pria itu meraup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Ia harus bersabar dalam menghadapi tingkah sang istri yang begitu berapi-api. Semalam, dirinya hanya merasa sangat lelah dan begitu banyak beban pikiran. Tiba di rumah disambut wajah kecut sang istri dan tanpa sapaan hangat seperti yang ia harapkan, membuat emosinya tersulut. Ia tak tahan hanya berdiam diri membiarkan Dhara terus bertingkah demikian, seolah membuat diri sang suami tidak berguna sama sekali. Arkan merasa harga dirinya sebagai seorang suami diinjak-injak sesuka hati.
"Sabar, Arkan. Istrimu lagi hamil. Dia begitu mungkin karena pembawaan bayi." Arkan berusaha menyabarkan dirinya sendiri. Ia ingat bahwa ada dua bayi yang harus diperhatikan. Jika ia mengikuti segala emosi yang terpancing, Dhara dan bayinya dalam bahaya.
Ting Tong.
Dahi Arkan berkerut. Pria itu menengok jam yang tergantung di dinding ruang tengah. "Siapa yang bertamu pagi-pagi gini?"
Ting Tong.
Lagi, bell rumahnya kembali dibunyikan. Arkan bangkit. Ia beranjak untuk membuka pintu dan melihat siapa orang yang bertamu pagi-pagi seperti itu. Begitu pintu terbuka, kerutan dahi Arkan semakin bertambah. "Anisa?"
Tamu itu ternyata adalah Anisa. Senyum wanita itu terpahat sempurna. Arkan sempat terhipnotis selama beberapa saat. Maklum, lama dirinya tak diberikan senyum semanis itu oleh Dhara. Tapi, pria itu segera menyadarkan diri. "Ada apa?"
"Ini, aku bikin kue tadi pagi. Kue sederhana, sih. Aku lagi seneng belajar masak akhir-akhir ini. Jadi, ini aku ngasih kalian juga buat nyobain. Siapa tau kalian suka." Anisa mengulurkan kue bolu coklat dengan topping keju itu pada Arkan.
Belum sempat Arkan menolak, bocah kecil hobi makan itu tiba-tiba berlari ke arahnya dan memekik girang. "Kueeeeh... Anin mau kueeeh..." bahkan ia mengabaikan bawahannya yang polos karena Bi Kulsum belum sempat mengenakan anak itu celana.
"Nin. Celananya mana?"
"Eh?" Daneen tersadar, lantas menyengir malu. "Tetinggal di bakang. Hehe... Tapi, Anin mau kuehnyaaa... Bawa siniii... Makasih Ontyyy... Besok bawa lagi, yaaa?" dan berlari kembali ke dapur membawa serta kue bolu coklat bersamanya. Pantat seksinya itu seolah hendak jatuh dari tempatnya saat ia berlari. "Bi Acuuum... Potong kuenyaaa..."
Anisa terkekeh melihat kelucuan anak Arkan yang satu itu. Sementara di balik pintu kamar utama, Dhara mengintip dengan geram. Ternyata marahnya selama ini sama sekali tak diladeni Arkan. Dhara kecewa, sungguh. Pintu kamar ditutup kembali dengan pelan. Masih dengan mukena yang dikenakan usai sholat subuh, wanita itu melangkah pelan menuju ranjang. Perutnya benar-benar tak bisa dikondisikan. Beratnya seolah-olah ia tengah menggendong dua galon air.
Sementara di luar, Arkan masih berhadapan dengan Anisa. Arkan sama sekali tak mempersilakan wanita itu masuk, dan Anisa juga tampak tak ingin segera pergi dari rumahnya. Arkan menjadi serba salah. Namun, ia harus bersikap tegas mulai sekarang. "Nis. Besok-besok, jangan lagi ngasih apapun ke rumahku, ya? Jangan terlalu sering main ke sini, dan juga jangan terlalu dekat dengan anak-anakku."
Anisa tampak tak mengerti. "Kenapa?"
"Maaf. Bukan aku mau memutus hubungan pertemanan kita atau apa, tapi aku harus menjaga perasaan istriku. Akhir-akhir ini dia sangat sensitif dengan kedekatan kita berdua. Kamu juga tau, saat ini istriku tengah hamil tua dan kondisinya sedang tak baik. Aku harus menjaga fisik dan psikisnya agar dia dan anak dalam kandungannya sehat dan baik-baik aja. Jadi, aku mohon banget, kita nggak usah terlalu akrab, ya? Maaf sekali lagi, Nis. Tapi, kamu harus pulang sekarang."
Arkan menutup pintu rumahnya usai berkata demikian. Matanya terpejam, merasa bersalah terhadap Anisa. Seharusnya ia tak boleh memperlakukan tamu seperti demikian. Tapi, demi Dhara ia harus melakukannya. Sementara di luar pintu, Anisa mematung. Seketika ia disadarkan akan kenaifannya dengan mendekati Arkan. Perasaan dari seorang teman yang perlahan menjalar ke perasaan yang lebih dari sekedar teman, ternyata menimbulkan suatu kesalahpahaman.
Sebenarnya, ia akui dirinya salah. Hatinya telah salah memilih orang yang disukai. Ketika secara langsung Arkan menolak kehadirannya, lidah Anisa kelu dan kakinya seolah terpaku di tempat. "Bikin malu." Anisa memukul kepalanya, lalu pulang ke rumah dengan sejuta rasa malu yang Arkan timbulkan.
***
Davin dan Diva turun ke lantai bawah bersama-sama. Mereka masih belum mandi, terlihat dari piyama yang mereka kenakan. Tiba di dapur, Diva mengernyit ketika Daneen begitu bahagia menyaksikan Bi Kulsum memotong kue bolu coklat dengan taburan keju di atasnya.
"Kue? Bibi bikin kue?" Diva bertanya sembari menuangkan segelas air putih ke dalam gelas.
"Bukan Bi Acuuum. Anin dikasih Onty dotelnya tadiii. Onty dotelnya suka bikin kueh, tuh. Anin suka. Sama kuehnya tapi, endak sama Onty dotelnya." Daneen menjawab pertanyaan dari sang kakak, bahkan sebelum Bi Kulsum sempat angkat suara hendak menjawab. Bi Kulsum terkekeh. Beliau merasa lucu akan tingkah yang anak majikannya itu lakukan setiap waktu.
Mendengar pengakuan Daneen yang sama sekali tak merasa bersalah, Davin segera memelototinya. "Jangan makan kuenya." Bahkan potongan kue yang hendak Daneen suap gagal masuk ke dalam mulut dan jatuh ke lantai begitu saja.
"Yaah... datuh. Aa' niiih. Napa datuhkaaan..." marah bocah perempuan itu pada Davin. Daneen tak suka melihat makanan jatuh atau terbuang sia-sia. Menurutnya, setiap makanan itu begitu berharga. Sayang jika dibuang begitu saja. Ketika ia hendak mengambil kembali kue yang terjatuh tersebut, Davin memarahinya. Tangan Daneen dipukul karena adiknya tersebut tak mau mendengarkan perkataannya.
"Aa bilang jangan ambil, jangan makan! Kenapa nggak dengerin kata Aa?"
"Eh?" Bi Kulsum menengahi. "Aa kenapa marah-marah sama adiknya? Daneen 'kan dikasih, bukan minta. Nggak boleh gitu dong sama adiknya."
"Aa nih napaaa? Hik..." Daneen mulai mencebik, dan dalam hitungan ke tiga, tangisan itu pecah membahana. "Huaaaaaa..."
Diva meletakkan gelas minuman yang telah kosong ke wastafel, lantas melangkah mendekati kedua adiknya. Sejak tadi ia hanya melihat pertengkaran yang dimulai oleh Davin. Ia sengaja diam, dan akan beraksi jika salah satu di antara dua adiknya itu ada yang kalah dan menangis.
Daneen dirangkul, Diva berusaha membuat adik kecil kesayangannya itu berhenti menangis sebelum mamanya turun tangan dan memarahi mereka semua. "Jangan nangis lagi, ya? Nanti Aa itu Kakak marahin balik. Kuenya dimakan aja, nggak apa-apa. Mau Kak Diva potongin lagi?" Diva mengambil pisau yang sebelumnya dipegang Bi Kulsum. Kue pemberian dokter Anisa itu dipotong dan diberikan pada Daneen sehingga anak itu berhenti menangis, dan melahap kuenya dengan semangat hingga pipinya menggembung.
"Aa nakal." Di sela kunyahannya yang penuh, Daneen sempat melirik tajam Davin dan mengatainya sebagai kakak yang nakal.
"Kakak kenapa nggak paham apa maksud Davin, sih? Davin nggak suka sama dokter itu. Dia ngatain Davin, Kak!"
Bi Kulsum hanya meringis ketika dua saudara itu saling berdebat. Beliau hendak menengahi, tapi sepertinya Diva akan memberi adiknya itu pemahaman.
"Vin, nggak suka sama orangnya bukan berarti kita boleh membuang atau membenci makanan yang dia kasih. Makanan itu rejeki dari Allah, Vin. Kalo dibuang-buang itu berarti kamu nggak menghargai makanan. Biarin Daneen makan kue yang dikasih, bukan Daneen yang minta, kan? Apa salahnya?" Diva memberi adik laki-lakinya itu sedikit nasehat. Daneen hanya mengangguk-angguk, seolah paham dengan apa yang kakaknya katakan. Sembari kedua kakaknya itu berdebat, lima potong kue itu berhasil masuk ke dalam perutnya. Tak lama berselang, kue itu sama sekali tak berbekas. Remahannya saja ia jilati seolah tak membiarkan secuilpun yang tertinggal.
"Ya ampun." Bi Kulsum kaget saat melihat wadah kue yang telah kosong melompong.
Di tengah perdebatan Diva dan Davin di ruang makan, Arkan muncul. Pria itu sebelumnya berada di dalam kamar. Mandi dan sholat subuh. Pertengkaran dan tangisan Daneen di ruang makan hampir membuat sholatnya kacau. Ketika Dhara hendak turun dan melihat keributan di ruang makan, Arkan melarang. "Biar aku yang urus anak-anak." Dan Dhara diam tanpa tanggapan. Namun, ia patuh untuk tak keluar dari kamar.
"Kalian ngapain, sih? Pagi-pagi gini udah ribut aja. Ributin apa?"
Davin mengerutkan dahi hingga kedua alisnya hampir menyatu, lalu berdekap tangan di depan dada. Ia marah pada sang kakak.
"Coba jelaskan," pinta Arkan.
"Aa loh, Paa..." Daneen memeluk kaki ayahnya, menempel di sana meminta dukungan. "Anin makan kue, kuehnya buang Aa. Anin endak boleh makan katanyaa..."
"Sekarang mana kuenya?"
"Abis. Dalam peyut Anin kuehnya. Enak, Pa. Nanti bikin kuehnya ya, Pa? Mama bikin."
Davin bedecak. Selama ini Davin tak pernah mengajak Daneen bertengkar, tapi karena masalah Anisa, keduanya tiba-tiba tak sepemahaman. "Danin loh. Kue itu jangan dimakan. Davin nggak suka sama dokter itu, Pa. Kenapa dia harus ke sini terus, sih? Ngasih ini-itu. Tapi Davin nggak suka dia, Pa. Kalo Danin terus nerima pemberian dokter itu 'kan, nanti dokter itu semakin suka ke sini. Davin nggak suka dia, Pa."
Helaan napas Arkan terdengar. Ia terduduk ke atas kursi makan, dan Bi Kulsum dengan tanggap memberinya segelas air putih agar emosi majikannya itu tetap stabil meski harus menghadapi kekeraskepalaan anak-anaknya. "Kalian jangan ribut-ribut lagi, dong anak-anak. Mama lagi nggak bisa banyak pikiran. Mama itu sebentar lagi mau lahiran. Kalo mama terus-terusan mikirin masalah kita, kondisi mama makin parah."
"Anin, Anin endak bikin mama sakit, Paa... Anin makan kueh ajaa." Daneen takut mendengar mamanya sakit, sehingga ia berusaha meyakinkan papa bahwa dirinya tidak nakal dan tidak membuat mamanya sakit. "Anin endak nakal, Papa. Aa nakal. Aa buang kueh Anin. Aa pukul tangan Anin. Dini nih Aa, Pa. Takk takk, dituu..." ujarnya sembari mempraktekkan bagaimana Davin memukul tangannya hingga terdengar seperti bunyi 'takk-takk'. Suara yang Daneen karang sendiri. Luar biasa sekali.
"Udah. Jangan berantem lagi, oke? Dengerin apa kata Kak Diva. Nanti, Papa itu lebih banyak ngurusin mama, jadi kalian harus nurut sama Kak Diva dan Bi Kulsum. Ya? Jangan membantah mereka."
Bibir Davin mengerucut, lalu mengangguk patuh.
"Anin juga?" Anak itu masih bertanya.
"Iya, Danin juga harus dengerin kata Kak Diva dan Bi Kulsum."
"Kalo endak?"
Arkan tampak bepikir beberapa saat. Jawaban apa yang harus ia jawab?
"Kalo nggak mau dengerin kata Kak Diva atau Bibi, Diva boboknya sama Bibi aja."
"Aaaah. Endak mauuuuu! Anin mau dengal Tak Ipa sama Bi Acuuum. Tapi, tapi, tapi Anin ndak mau bobok sama Bi Acuuum. Anin mau bobok sama Papa sama mamaaaa..."
Semua yang ada di sana terkekeh. Mereka bahagia karena pada akhirnya mereka berhasil membuat Daneen menjadi anak penurut. Selama Bi Kulsum ada bersama mereka, Daneen bisa diancam dengan melibatkan Bi Kulsum. Jika tidak demikian, maka Daneen akan terus membuat ulah tanpa bisa dikendalikan.
***
"Mamaaa..." Daneen masuk ke dalam kamar dan menganggu sang mama yang tengah gelisah di atas tempat tidur. Bocah itu datang dengan wajah tak bersahabat. "Mama. Anin endak nakal, Maa... Aa nakal. Anin endak mau Mama sakit. Jadi, Mama janan sakiiit." Mamanya dipeluk dengan susah payah karena perut besar sang mama menghalangi.
Rengekan Daneen tak Dhara tanggapi. Ia tengah berusaha menenangkan kondisinya sendiri. Kepalanya berdenyut, suhu tubuhnya menurun drastis. Ia menggigil, dan juga perutnya mulai menunjukkan tanda-tanda tak bersahabat. Bayinya berulah lagi.
"Nak, panggil papa sekarang," pintanya dengan napas terengah. Keringat mulai bercucuran di dahinya.
"Ng? Mama napa?"
"Panggil papa, Niiin. Mama nggak kuat lagi. Panggil papa, cepat."
Melihat wajah mamanya kian memucat dan tampak meringis kesakitan, Daneen cemas. Gadis kecil itu bergegas turun dari ranjang dan keluar mencari kelibat sang ayah. Anak itu hampir menangis ketika tak menemui ayahnya dimanapun. Ketika ia bertanya pada Bi Kulsum, ternyata ayahnya baru saja mengantar dua kakaknya ke sekolah.
"Kenapa, Neng? Ada apa?" Bi Kulsum cemas ketika Daneen mencebik dalam, kemudian mulai menangis. "Ya Allah, kenapaa?"
"Hik hik. Bii... Mamaaa... Huaaa... Mama sakiit. Papa manaa?"
"Ha? Mama sakit? Ayo kita liat mama." Bi Kulsum berlari bersama Daneen menuju kamar utama dimana Dhara tengah meringkuk kesakitan di atas ranjang. Peluh sebesar biji jagung mulai membasahi sebagian rambut dan juga pakaian yang dikenakannya.
Bi Kulsum panik bukan main. Apalagi ketika melihat darah merembes mengotori seprai tempat tidur. Dengan tangan bergetar, Bi Kulsum mencoba membantu Dhara, tapi mendadak ia kehilangan akal. "Aduh, gimana ini, Bu? Saya takuut. Hiks..."
Dhara berusaha mengendalikan pernapasannya. Melihat Bi Kulsum menangis ketakutan, ditambah tangisan Daneen, membuat Dhara kian pusing. "Ha...pe." Terbata-bata Dhara mencoba memberitahu Bi Kulsum untuk mengambil ponselnya di nakas, dan menghubungi siapapun yang ada di dalam kontak yang bisa membantu mereka saat ini.
Ketika Bi Kulsum mencoba menghubungi Arkan, ponsel itu berdering tak jauh dari mereka. Ponsel Arkan tertinggal di meja kamar tersebut. Bi Kulsum kemudian mencoba menghubungi mertua Dhara, tapi beberapa kali panggilan dilakukan, Mama Dinda tak mengangkat. Bi Kulsum yang semakin panik, berlari keluar dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Beliau mencoba meminta bantuan orang-orang di kompleks perumahan tersebut, sayangnya tak ada siapapun yang terlihat.
"Ya Gustiii... Kenapa nggak ada siapa-siapa, siih?" keluh Bi Kulsum hampir putus asa.
Namun, Tuhan tak sekejam pemikiran para manusia kebanyakan. Dalam keadaan gawat penuh ketegangan tersebut, Sang Pencipta mengirim sebuah pertolongan dari seseorang yang tak pernah diduga.
Anisa bersiap hendak berangkat ke rumah sakit. Ketika ia hendak memasuki mobil, tak sengaja ia melihat asisten rumah tangga Arkan tampak seperti menunggu seseorang dan dalam keadaan menangis. Anisa menggigit bibir bawahnya, ia tengah menimbang-nimbang apakah ia harus bertanya atau mengabaikannya saja? Pasalnya ia masih begitu malu untuk menampakkan diri di hadapan sahabat dan keluarga sahabatnya tersebut. Ia telah diusir tadi pagi karena dianggap sebagai penyebab kecemburuan sang istri.
Anisa mendesah. Berusaha mengabaikan. Namun, ketika asisten rumah tangga tersebut melihatnya, beliau mendatanginya meminta pertolongan dengan keadaan kacau. "Maaf, Bu Dokter. Hiks. Tolong majikan saya. Tolong bantu dia. Hiks."
Dahi Anisa berkerut. Ia menutup kembali pintu mobilnya, urung masuk ke sana. "Siapa? Dan kenapa?"
"Bu Dhara, Dok. Nggak ada siapa-siapa di rumah yang bisa saya pintai bantuan. Bu Dhara berdarah."
Usai mendengar penjelasan wanita paruh baya tersebut, Anisa berlari tanpa pikir panjang. Jiwa pahlawannya sebagai seorang dokter membuatnya melupakan segala masalah pribadi yang terjadi sebelumnya. Ia menerobos masuk, meminta pada Bi Kulsum untuk menunjukkan dimana letak kamar Dhara. Ketika masuk ke dalam, ia melihat Daneen berjongkok di pojok kamar sembari menangis sesegukan. Ibu anak itu hampir tak sadarkan diri. Ia begitu pucat. "Bantu saya bawa ke dalam mobil, Bi. Sebentar, saya keluarin mobil saya."
Wanita itu berlari lagi keluar rumah, mengeluarkan mobil dari halaman rumahnya. Setelah itu ia masuk kembali ke rumah Dhara dan memapah Dhara dibantu oleh Bi Kulsum. Keduanya tampak sangat kewalahan. Dhara yang tak berdaya sama sekali tak mampu menggerakkan kedua kakinya. Dan Arkan juga tak tampak akan segera tiba di rumah. Pria itu seolah sengaja Tuhan tutup kepekaannya hingga tak punya firasat aneh perihal keadaan sang istri di rumah.
"Kita akan bawa ke rumah sakit, Bi. Arkan mana, sih?" di tengah kekalutan itu, Anisa seperti hendak menelan Arkan yang tak memunculkan diri sejak tadi.
"Pak Arkan lagi ngantar anak-anak ke sekolah, Dok. Nggak bawa hape. Nelpon keluarga yang lain juga nggak diangkat. Ini makanya saya minta bantuan tetangga sini. Hiks. Saya takut, Dok."
Anisa menghela napas. "Ya udah, buruan masuk, Bi. Itu, anaknya yang kecil jangan lupa dibawa. Arkan akan kita hubungi lagi nanti. Ayo, buruan."
"Iya, Dok."
***
Anggap itu Anin lg makan bolu buatan Tante Dotel.
Seharusnya ini diposting sabtu malam. Eeeh, begitu mau apdet petir menggelegar disertai hujan lebaaat bgt. Besok subuhnya, mau apdet, eeeh sinyal error.
Tau tau, ternyata tower Tsel kesambar petir. Ada beberapa tower yg tersambar. Saking hebatnya petir malam itu. Tunggu2 sampe hari ini, sinyal telkomsel msh error. Akhirnya, ku terpaksa isi kuota kartu lain.
Makanya ini baru bisa apdet.
Dan ngerinya, tiap malam selama empat malam ini petir yg sama dahsyatnya terus muncul. Jd jarang pegang benda elektronik beberapa hari ini. Ngeriii...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top