14
Keringat dingin Arkan perlahan membasahi kaos yang dikenakannya. Ia cemas, bukan takut akan kemarahan sang istri. Ia hanya cemas jika Dhara salah paham sebelum mendengar penjelasan darinya.
Dhara menghela napas pelan. Ia berusaha mengontrol emosinya sendiri. Walau bagaimanapun, ia harus menjaga kesehatannya dan juga bayi dalam kandungannya sesuai pesan dari dokter. Jika saja ia tak sedang hamil, ia tak akan pernah memberikan kesempatan pada pria itu untuk menyengir polos tanpa dosa.
"Ra, Ra. Sumpah, demi Allah. Aku nggak tau kenapa Anisa bisa ke sini. Dan aku nggak tau kenapa dia tau alamat rumah kita. Sumpah bukan aku yang kasih tau." Arkan berusaha menjelaskan pada sang istri bahwa dirinya tak tahu menahu perihal kedatangan Anisa ke rumah mereka. Dhara setia dengan kebungkamannya. Ia tak ingin mendengarkan alasan apapun dari suaminya itu, yang malah akan membuat emosinya kian memuncak. Sungguh, jika terjadi sesuatu terhadap kandungannya, Arkan adalah orang pertama yang akan ia salahkan.
"Itu temen Papa, Paa... Tapi Anin ndak sukaaa... Papa dangan temankan dotel itu lagiii... Anin ndak mauu..." Seolah paham dengan maksud dan tujuan dokter Anisa mendekati sang ayah, Daneen menyerukan ketidaksukaannya terhadap wanita itu. Sejak awal, Daneen tak suka dokter tersebut. Padahal Anisa selalu menyapanya dengan ramah.
Kegelisahan Arkan semakin menjadi. Ketukan pintu kamar mereka dan seruan dari Bi Kulsum bahwa seorang tamu tengah menanti di ruang tamu, semakin membuat Arkan tak karuan.
"Pak, Bu. Ada tamu." Sekali lagi Bi Kulsum memberitahukan dari balik pintu kamar ketika tak ada tanggapan dari dua majikannya di dalam sana. Bi Kulsum hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa mereka tidur atau tidak mendengar seruannya? Lantas, bagaimana dengan tamu yang tengah menunggu di depan sana? Apa iya harus ia usir?
Bi Kulsum mencoba kembali mengetuk pintu, baru saja ia hendak membuka mulut untuk berseru, pintu tersebut terbuka. "Ada tamu, Pak."
"Dia mau apa, Bi?" Arkan bertanya to the point pada Bi Kulsum.
"Nggak tau, Pak. Dia cuman bilang, mau main. Katanya Bapak itu temennya. Jadi, mau main," terang Bi Kulsum apa adanya.
Arkan mendesah. Ia memutuskan untuk menemui Anisa di ruang tamu, sementara di ruang tengah, Davin dan Diva mengawasi. Dua anak itu tak terlalu menaruh curiga seperti mama mereka menaruh curiga yang besar terhadap wanita itu. Hanya saja, tetap mereka tidak bisa membiarkan ayah angkat mereka berduaan bersama tamu wanita. Davin memutuskan membawa rubiknya ke ruang tamu. Ia duduk di sebelah sang ayah dengan santai, tanpa merasa bahwa mungkin saja kehadirannya di ruang tamu bisa mengganggu keduanya. Kepalanya disandarkan pada lengan Arkan. Arkan melerai dan menggantinya dengan memberikan sebuah rangkulan.
"Oh iya, Nis. Ada apa datang ke sini? Dan tau rumahku dari mana? Aku nggak pernah kasih tau alamatku, 'kan?" Arkan membuka pembicaraan tanpa basa-basi. Ia tak nyaman membiarkan Anisa berada di rumahnya dalam waktu yang lama. Ia memberanikan diri keluar menemui Anisa saja butuh sejuta keberanian. Bahkan sebelum memutuskan membuka pintu kamar, kedua lututnya sempat lemas.
"Pa, ini susunannya akan benar, 'kan? Davin udah coba seminggu, tapi belum bisa nyatuin warnanya." Davin menyela percakapan ayahnya sebelum Anisa menanggapi pertanyaan yang diajukan Arkan.
"Dicoba aja, Vin. Papa juga belum nyoba yang itu," tanggap Arkan dengan lembut.
"Keponakan istrimu cukup nempel sama kamu, ya? Pasti kamu merawat mereka dengan penuh kasih sayang. Jarang-jarang ada pria yang mau nerima wanita serta anak-anaknya, meskipun anak-anak itu adalah bukan anak kandungnya."
Mendengar perkataan wanita itu, Davin spontan menghentikan kegiatannya memainkan rubik. Ia menatap Anisa dengan delikan tak suka. Davin berdiri, rubik dalam genggamannya dilemparkan ke lantai hingga pecah. Anak laki-laki enam tahun itu marah atas ucapan Anisa. "Aku nggak suka sama omongan Tante. Enggak sopan!" lalu beranjak meninggalkan ruang tamu.
Davin marah. Arkan meringis melihat respons Davin.
Satu hal yang sangat sensitif bagi seorang Davin adalah ketika orang lain tiba-tiba mengungkit bahwa dirinya adalah anak dari saudara mamanya. Bagi Davin, meski ia tahu bahwa ia tidak terlahir dari rahim Mama Dhara, ia tetap tak mau orang lain mengungkit hal itu. Davin marah. Anak berusia enam tahun itu berusaha menerima hakikat bahwa dirinya bukan anak kandung Mama Dhara. Menerima kenyataan itu sangat menyakitkan untuk anak sekecil Davin. Jadi, orang lain tak perlu terus mengingatkannya. Hatinya sakit.
"Kenapa sama dia?" Anisa cukup kaget melihat respons marah yang anak angkat Arkan lakukan. Apa dirinya salah bicara?
"Maaf, Nis. Sebaiknya kamu nggak perlu mengungkit masalah asal usul anak itu. Davin nggak suka orang lain mengatakannya." Arkan menjelaskan.
Anisa menutup bibir menggunakan telapak tangannya. Ia tampak kaget. Ia tak tahu, sungguh. "Maafin aku, Kan. Aku nggak tau kalo perkataanku akan melukai hatinya dan membuat dia begitu marah. Aku nggak tau dia nggak suka hal itu."
Arkan memberikan anggukan singkat. Dirinya juga mulai gelisah. Sedari tadi duduknya tak nyaman. Pikirannya terus berkelana memikirkan keadaan sang istri di dalam kamar sana. "Oh, ya. Pertanyaanku sebelumnya belum kamu jawab. Kenapa kamu bisa sampai ke sini?"
"Oh, itu? Itu terjadi tanpa sengaja. Sungguh. Kamu tau, rumah di depan rumahmu ini adalah rumahku. Aku baru aja menempati rumah itu. Selama aku pindah ke Jakarta, sebelumnya aku tinggal di kosan. Sampe akhirnya aku liat iklan di beranda, ada yang jual rumah di kompleks ini. Lokasinya juga nggak jauh-jauh amat dari Rumah Sakit tempatku kerja." Anisa menceritakan semuanya tanpa mengarang atau mengada-ada. Ia murni menceritakan apa adanya. "Aku pindah baru kemarin. Dan hari ini aku mencoba menjalin tali silaturahim sama tetangga di sini. Saat aku datang ke rumah ini, aku nggak tau kalo ini rumahmu. Sampe akhirnya aku ngeliat Daneen sama wanita paruh baya bukain pintu. Aku nggak nyangka, sungguh."
"Jadi, rumahmu ada di depan rumahku? Bisa kebetulan gitu, ya?" Arkan juga tampak tak pecaya dengan kebetulan itu. Jadi, setelah ini ia dan teman lamanya itu akan menjadi tetangga. Arkan tak tahu apakah ini sebuah yang patut ia syukuri atau sesali? Ia takut Dhara semakin murka jika mengetahui bahwa Anisa akan menjadi tetangga mereka hingga waktu yang tak diketahui.
Anisa tersenyum menanggapi perkataan Arkan. "Kita bisa saling mengunjungi nanti."
"Ng? Umm... Ehehe... Yaa, yaa... Hehehee..." Arkan tertawa miris. Miris akan nasib rumah tangganya di kemudian hari. Bertetangga dengan Anisa hanya akan membawa musibah bagi keharmonisan rumah tangganya. Di tengah kecemburuan Dhara yang tinggi, tak mungkin rasanya ia dan Anisa bisa saling mengunjungi seperti yang Anisa ucapkan sebelumnya.
***
Sepulang Anisa dari rumahnya, Arkan menyandar di sofa ruang tamu. Ia tak beranjak sedikitpun dari sana. Kepalanya sakit. Tengkuknya terasa berat. Mungkin saja kolestrol Arkan naik. Ia belum memeriksakan diri lagi sejak beberapa waktu terakhir. Hidupnya terlalu sibuk dengan urusan rumah tangganya yang selalu diterpa masalah. Mengurus Dhara yang tengah hamil saja ia sudah cukup pusing, belum lagi ditambah dengan urusan anak-anak, calon anak, dan juga pekerjaannya yang tak sedikit. Seharusnya yang sekarat saat ini bukanlah Dhara, tapi dirinya. Arkan hanya berusaha menahan segalanya selama ia masih mampu dan tak membuat sang istri mengkhawatirkan keadaannya.
Teringat akan Davin, Arkan memutuskan bergegas menuju kamar anak itu. Ia harus menenangkan Davin, dan berusaha membuat anak itu tak terlalu tersinggung dengan perkataan Anisa.
Tok tok tok
"Vin?" Arkan memanggil anak itu di depan pintu kamarnya. Yakin bahwa seruannya tak akan mendapat tanggapan, kenop pintu kamar khas anak laki-laki itu dipulas. Davin tak pernah mengunci kamarnya meski sedang merajuk.
Tiba di dalam kamar anak laki-laki itu, Arkan melihat Davin tengah mencoret asal buku gambarnya. Davin marah, mencurahkan kemarahannya pada sebuah kertas.
Arkan melangkah mendekat. Surai hitam sang putra dibelai lembut. "Kamu marah sama ucapan Tante Anisa tadi, ya? Maafin Tante Anisa, ya? Tante Anisa nggak tau kalo Davin nggak suka orang lain mengungkit hal itu."
Davin mendengus. Pensilnya diletakkan ke atas meja cukup kasar. "Davin nggak suka dia, Pa. Papa jangan dekat-dekat dia lagi. Baru datang ke rumah kita sekali kok udah nggak sopan gitu. Davin nggak mau Papa temenan sama dia. Meskipun dia seorang dokter yang udah nyelamatin Kak Diva."
"Papa ngerti perasaan Davin, tapi Davin nggak boleh marah atau benci sama seseorang hanya karena orang itu nggak sengaja melukai hati Davin. Tadi Tante Anisa udah minta maaf kok. Papa disuruh buat sampein permintaan maafnya. Maafin, ya?" Arkan berusaha melembutkan hati anak laki-laki itu.
"Nggak."
"Loh? Bukannya Papa selalu bilang kalo kita harus memaafkan kesalahan orang lain? Agar kita terhindar dari penyakit hati. Kalo penyakit hati udah bersarang dalam diri kita, susah buat ngilangin. Dampaknya nggak keliatan, tapi di akhirat Allah bakal liatin semuanya. Allah akan kasih kita balasan yang setimpal. Davin nggak takut sama balasan dari Allah?"
Bibir Davin mengerucut. Jika ayah angkatnya telah bicara soal balasan Allah, Davin selalu takut. Pada akhirnya, anak itu mengangguk pelan. "Iyaa... Davin maafin."
"Nah. Bagus itu. Itu baru anaknya Papa. Weekend nanti, kita belanja buat keperluan adik bayi, ya? Karena bakal ada dua, jadi kita harus nyiapin serba dua. Davin suka sama calon adik bayinya, nggak?"
"Suka." Davin mengangguk mantap. Senyumnya mulai kembali berkembang. Ia melupakan kejadian sebelumnya, dan Arkan cukup lega akan hal itu. Setidaknya membujuk Davin jauh lebih mudah dibanding membujuk ibu dari anak itu.
"Ya udah, sekarang udahan ngambeknya. Kita turun dan main bareng Kak Diva di bawah."
"Okee..."
***
Vitamin yang dokter berikan dikonsumsi Dhara dengan cukup teratur. Meskipun begitu, sakit di kepalanya tak kunjung reda. Besok jadwalnya menemui dokter kandungan. Seperti saran sang dokter, dia harus memeriksakan kondisinya secara rutin untuk mencegah pre eklampsia berat.
Kecemburuannya terhadap hubungan Arkan sang Anisa membuat Dhara sakit sendiri. Arkan berusaha menjelaskan maksud kedatangan Anisa ke rumah mereka kala itu, namun ia sengaja tak mengindahkan alasan apapun yang wanita tersebut ucapkan. Bagi Dhara, Anisa hanya mencari alasan agar bisa dekat-dekat dengan suaminya.
Ck. Bertetangga secara tak sengaja?
Dhara berdecih. Alasan klasik calon pelakor. Ia selalu melihat hal itu dalam drama kebanyakan. Tak peduli meski ia termakan drama yang ditonton, demi kewasapadaan.
Brakk!!
Wanita hamil itu sungguh terkejut ketika pintu kamarnya dibuka kasar hingga membentur dinding di belakangnya. Jika hal itu terjadi, bisa dipastikan karena ulah Daneen. Ketika sang mama terkejut akibat perbuatannya, bocah itu malah dengan santai menjilat es krim batang di tangannya.
"Nin, kalo buka pintu jangan kasar-kasar kayak gitu lagi. Ntar lama-lama Mama bisa jantungan gara-gara itu. Mama kaget, Nin." Dhara menasehati.
Bukannya mendengarkan, Daneen dengan santai melangkah masuk tanpa menghentikan jilatannya pada es krim tersebut. "Ma, Anin makan es tim."
"Iya, Mama tau. Nggak usah dikasih tau lagi. Mama udah liat. Tapi, siapa yang beli? Bi Kulsum ke pasar? Kapan?"
"Endaak. Bukan Bi Acuum..." jawab anak itu, es krimnya kembali dijilat nikmat.
"Lalu siapa? Papa kan belum pulang kerja."
"Tadi tuuuhhh..." jeda. Daneen menjilat es krim dulu. "Onty siniii... kasih Anin inii... Onty nya bitin sendiliii... enak, Ma. Lasa tobeli."
Dahi Dhara berkerut. Onty siapa lagi yang anak itu maksud? "Onty siapa?"
"Ih Mama, nih. Tanya telus. Endak tau telus. Onty loooh... temen Papa."
"APA?" Dhara spontan memekik. Darahnya kembali naik. Emosinya membuncah. Lagi dan lagi wanita itu datang mencari simpati anggota keluarganya. Dhara semakin yakin jika Anisa itu sengaja melakukan pendekatan demikian agar secara perlahan bisa memiliki hati suami dan anak-anaknya.
Dhara geram. Sungguh. Jika saja dirinya sehat, dia tidak akan tinggal diam seperti ini. Wanita itu harus dilenyapkan. Sayangnya, ia tengah hamil besar. Ia harus menjaga segala perbuatannya agar tak mempengaruhi sang janin.
"Sabarkan hati ini, ya Allah." Doa Dhara dalam hati. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya kasar.
"Nin, kalo tante itu kasih apa-apa lagi, jangan diambil apalagi dimakan atau dipake. Jangan. Mama nggak suka."
"Ih, Mama nih. Mama kata tuh, endak boleh buang-buang makan. Halus habiskan. Napa Mama suluh janan makan? Mama buang-buang makan ituuu..." Anak cerdas itu membalas perkataan sang mama dengan kesal. Ketika mamanya menasehati, dia balik menasehati dengan membalik perkataan sang mama suatu ketika dulu.
Dasar anak pinta. Dhara mengetap bibir menahan kekesalan.
"Maksud Mama, jangan diambil. Kalo nggak diambil, biar tante itu kasih ke orang lain aja. Jangan ke rumah kita. Di rumah kita 'kan banyak makanan lain. Nanti Danin makin gendut."
"Kata Bi Acum tuh, Anin udah kulus. Endak endut. Jadi, Anin bisa makan yang banyaaak..." Ia merentangkan kedua tangan kotor bekas es krim itu selebar-lebarnya. "Kalo Ontynya kasih Anin banyak makanan, Anin ambil aja. Enak itu, Maa..'
Menepuk dahi, Dhara frustrasi menasehati putrinya sendiri. Sungguh, lebih baik Dhara punya sepuluh anak seperti Diva dan Davin daripada punya satu anak seperti Daneen.
"Nanti Mama masakin Anin yang enak-enak kalo Mama udah sembuh. Masakan Mama jauh lebih enak dari masakan siapapun di dunia ini."
Bibir Daneen mengerucut. "Lama Mama tuh sembuhnyaa... Anin ndak suka makanan Bi Acum buat."
"Iyaa... Nanti Mama pasti masakin Danin, ya? Tapi, jangan makan masakan tante siapapun itu. Mama nggak bolehin."
"Tapi, tapi, Maaa... Enaaak..." Anak itu dilema. Makan adalah hobinya. Bagaimana dia bisa menolak makanan enak di depan mata?
"Pokoknya jangan, ya?"
"Mama niiih..." Daneen hendak protes, tapi urung dilakukan. Ia akan menuruti perkataan sang mama, karena mama telah memberinya pelototan menyeramkan. Daneen takut mata besar mamanya yang membelalak.
"Cuci tangan mulut sana sama bibi."
Daneen turun dari ranjang, keluar menemui Bi Kulsum untuk mencuci tangan dan mulut berkas es krim yang dimakan. Dhara mendesah ketika melihat bekas lelehan es krim mengotori seprai. Jika ia tak segera menggantinya, maka para kawanan semut akan berebut memanjat ranjang dan mengerumuni lelehan es krim tersebut.
"BII... GANTI SEPRAI KAMAR INII..." Dhara berteriak nyaring hingga terdengar oleh Bi Kulsum yang tengah asik menyanyi di dapur.
Seketika Bi Kulsum menghentikan nyanyiannya, dan menyahut tak kalah kencang. "SIAP IBUU..."
***
Arkan tiba di rumah lebih lambat dari biasanya. Seharian ini dirinya juga tak kembali ke rumah. Diva dan Davin pulang dijemput Bi Kulsum yang kebetulan bisa mengendarai mobil. Tak menyesal Arkan memperkerjakan Bi Kulsum. Wanita paruh baya itu bisa diandalkan dalam segala hal. Seharian ini pula Arkan tak mengabari Dhara sedikitipun. Pria itu tak tahu jika Dhara menyimpan segala amarah terhadapnya.
Begitu menginjakkan kaki ke dalam kamar, ia melihat Dhara tengah menyandar sembari membaca buku kehamilan. Melihat suaminya masuk, ia hanya menatap sekilas. Tak berkeinginan untuk menyapa sekedar bertanya kabar sehari ini.
Arkan langsung membuka pakaian kerjanya, memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor, lalu masuk ke kamar mandi. Ia harus menyegarkan diri setelah seharian sibuk dengan pekerjaan di kantor. Aroma kecut dari keringat kerja keras Arkan sebenarnya cukup membuat Dhara tergiur. Ia menyukai aroma keringat pria itu semenjak hamil. Hanya saja, Dhara terlalu gengsi untuk merendahkan diri mengakui hal itu.
Tak lama kemudian, Arkan keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang lebih segar dari sebelumnya. Ia mengambil stelan piyama, lalu mengenakannya. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, dan keluar dengan sebagian anggota tubuhnya basah oleh air segar. Pria itu mengambil peci dan sarung, menghamparkan sajadah, lalu melakukan sholat isya yang belum sempat dikerjakan.
Pria itu begitu khusyu dalam sholatnya. Dhara cukup dibuat terharu terhadap apa yang ia lihat saat ini. Hatinya sempat merasa luluh. Tapi tetap saja rasa cemburu itu berhasil mengambil alih emosinya.
"Sampai kamu akan marah sama aku kayak gini? Apa sebegitu jahatnya aku sampai kamu nggak mau mempertimbangkan penjelasanku? Apa iya aku harus memaksa Anisa pergi dari rumahnya itu karena rasa cemburumu?"
Dhara menutup bukunya. Selimut Daneen dibenarkan, agar anak itu tak terbangun di tengah perdebatan antara dirinya dan Arkan kembali dimulai. "Arkan. Perempuan itu, bisa menyimpan perasaan suka saat laki-laki mulai memberinya perhatian walau sedikit. Perempuan itu mudah baperan, Kan. Aku yakin dengan jalinan pertemanan kalian itu, Anisa mulai menyimpan perasaan suka sama kamu. Wajar seorang istri melarang suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain. Aku aja nggak pernah ngeladenin temen-temenku yang cowok, kok. Kalo tadi aku suka ngeladenin temen cowok, wajar kamu melakukan hal yang sama ke temen cewekmu. Tapi, aku enggak. Aku begitu menjaga perasaan suamiku, loh."
"Demi Allah, Ra. Kami nggak seakrab yang kamu sangka. Kami ini jarang ketemu. Aku sibuk, dia apalagi. Kapan waktu kami untuk ketemuan terus?"
Dhara memutar bola matanya. "Nggak ketemuan, makanya sekarang dia nekat beli rumah di depan rumah kita. Biar bisa deket-deket sama kamu. Awal-awal, hatimu direbut, besok lusa hati anak-anak. Kamu nggak pernah mikirin perasaanku sebagai istri, ya? Buat apa kita rujuk dulu kalo kamu masih dengan kelakuan burukmu itu?"
"Ra! Kelakuan buruk apa yang kamu maksud? Aku udah berupaya menjadi suami seperti yang kamu inginkan. Aku berusaha belajar untuk berubah. Tapi kenapa kamu seolah nggak pernah bisa menerimaku? Di matamu aku selalu saja salah. Apapun yang kulakukan itu selalu salah dan kamu yang benar." Arkan disulut emosi. Jika sedang tak ingat istrinya tengah hamil dan Daneen yang tertidur, mungkin suaranya akan terdengar menggelegar ke seisi rumah itu.
Arkan masih berusaha untuk sabar menghadapi segala tingkah Dhara yang menyakiti hatinya.
"Udah, deh. Aku capek berantem terus sama kamu. Kamu berhak untuk nggak percaya sama orang jahat ini selagi itu bisa bikin kamu puas." Arkan mengambil bantal, dan keluar dari kamar. Ia akan tidur di luar sembari menenangkan dirinya sendiri.
Permasalahan rumah tangga mereka seolah tak kunjung reda semenjak mereka kembali menjalani pernikahan yang sempat gagal sebelumnya. Lantas, akankah mereka mampu bertahan atau mungkin salah satu dari mereka akan menyerah untuk yang kedua kalinya.
Sifat keduanya yang sama-sama memilik tingkat keegoisan tinggi, sulit untuk mengalah. Bahkan ketika Arkan sudah mengalah, Dhara seolah tak berhenti memancing pertengkaran. Arkan semakin frustrasi dengan pernikahannya ini.
***
Aigooo beranteeem terus. Kapan damainya seh? 😆😆
Btw, diriku butuh asupan drama korea yg keren pake bangeeeet.... Ku udh coba obok2 yg kmaren kalian sarankan, cuma beberapa yg srek.
Nunggu apdetan terbaru Extraordinary You, lamaaaa... Mana lagi tegang-tegangnya pulak episode selanjutnya tuh.
Drama yg mirip kyk genre Extraordinary you ada gak??? Yg cowoknya cakeep, ceweknya cakeep... Yg muda muda tapiii... Jgn yg om om. Gak suka akutuh. Hihihiiii...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top