13

"Enak rotinya?"

Daneen mengangguk mantap menanggapi pertanyaan sang ayah. Enak, tentu saja. Apa Ayah tidak bisa melihat ekspresi Daneen saat menikmati roti itu?

"Habis makan roti, kita ke mama, ya. Jangan bikin ulah lagi. Kalo masih nakal, Papa bawa pulang beneran. Tinggal sama Bi Kulsum di rumah."

"Endaaak. Anin endak mau sama Bi Acuum, Papaa. Ih, Papa, nih. Bi Acum aja. Anin mo sama mamaa..." protes anak itu kesal. Ia tak suka tinggal bersama Bi Kulsum. Padahal Bi Kulsum tidak galak. Malah Bi Kulsum suka meladeni Daneen bermain. Tapi, Daneen hanya akan mau diasuh Bi Kulsum jika ada mama di rumah. Jika mama pergi, tentunya Daneen juga harus ikut bersama mama.

"Makanya, janji sama Papa untuk nggak nakal atau nangis lagi di ruangan dokter. Mama lagi diperiksa itu. Kalo Danin ganggu, dokternya nggak bisa periksa mama. Danin mau mama sakit terus?"

"Endak mau. Anin endak nakal, koook."

Arkan berdecak. Putri kecilnya itu selalu tak mau disalahkan. Padahal jelas dia bersalah. "Ya udah. Cepat habiskan. Kita temenin mama."

"Tapi, Anin masih lapal, Paa. Ndak cukup satu lotinyaa... Anin mau dua." Daneen mengacungkan tiga jari tangannya.

"Itu tiga, Nin." Arkan memutar bola matanya.

"Ah, iya. Tida. Anin mo tambah tida lotinya. Enak lotinya."

"Ya ampun, Nin. Itu rotinya udah gede, belum kenyang juga? Di rumah tadi 'kan udah sarapan nasi uduk dua piring. Diet, Nin. Jangan makan mulu. Nanti nggak kuat jalan kayak mama, mau?"

Gadis kecil itu spontan menggeleng. "Anin ndak mau kayak mama. Tapi, tapi... Anin suka makan, Paa." Bibir gadis itu mengerucut. Roti di tangannya yang masih separuh, ditatap sayu. Ia suka makan, tapi ia tak mau seperti mamanya yang tak kuat berjalan. Kata Aa', Daneen itu gendut. Selama ini Daneen tak masalah kakaknya katai seperti apa. Tapi, saat melihat mamanya kian membengkak dan tak kuat berjalan, Daneen jadi takut sendiri.

"Anin ndak mau, Paa..." lirih anak itu dalam kebingungan. Semangatnya untuk melahap roti itu sirna sudah.

"Kalo satu nggak apa-apa. Tapi, jangan dua, tiga, atau empat. Itu kebanyakan. Demikian juga dengan makan nasi. Nggak boleh lebih dari satu piring. Satu piringpun nggak boleh penuh-penuh. Biar badannya nggak bengka kayak mama." Arkan menjelaskan. Ia bahagia karena Daneen sadar akan bahaya dari bertubuh gendut. Sehat, memang. Tapi, jika berat badan itu melebihi batas normal, bisa membawa banyak dampak buruk pada tubuh. Obesitas contohnya.

"Mau nurutin kata Papa?"

Perlahan dan masih dengan keraguan, Daneen mengangguk menyetujui kesepakatan yang ayahnya ajukan. "Anin mau. Tapi, tapi... loti ini boleh Anin abiskan? Nanti kalo ndak abis, Awoh malah. Kata mama tuh, ndak boleh buang makanan."

Arkan tersenyum. "Iya. Yang itu bisa dihabiskan."

Cengiran bahagia itu terpatri jelas di wajah gadis kecil hobi makan tersebut. Di tengah keseruan ayah dan anak itu di kantin rumah sakit, seseorang datang dan menyapa mereka.

"Eh, Arkan? Danin? Kalian ke sini lagi? Siapa lagi yang sakit?"

Seseorang itu adalah Anisa. Teman lama Arkan yang sempat Dhara cemburui itu kembali melihat Arkan dan putrinya di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Eh, hai. Iya. Duduk dulu, Nis." Arkan dengan ramah mempersilakan wanita itu duduk bersama mereka. Daneen memberikan lirikan tajam, sebelum melahap rotinya dengan kesal.

"Aku bawa istriku chek up. Dari dulu kami selalu ke rumah sakit ini kalo ada apa-apa. Sekarang, istriku lagi hamil tujuh bulan. Semakin sering mengalami flek. Ini juga dia lagi diperiksa."

"Kamu nggak nemenin?" Anisa bertanya.

"Maunya juga gitu, dampingin dia terus. Tapi, ni anak nggak bisa diajak kerja sama. Bikin ulah di ruangan dokter. Makanya ini dibawa ke sini. Kasih makan dulu, biar rewelnya hilang," jelas Arkan. Anak gadisnya itu dilirik, rotinya belum juga habis.

"O, ya? Danin sama Tante aja. Mau? Biar papanya nemenin..."

"Endak!" anak itu menjawab cepat dan galak, bahkan sebelum Anisa menyelesaikan perkataannya. Roti yang masih cukup banyak itu dimasukkan ke dalam mulutnya hingga penuh. Ia bangkit dari kursi, tangan ayahnya ditarik. "Ke mumumu..."

"Nggak boleh makan gitu, Nin. Nanti kesedak gimana? Dan satu lagi, kalo mulut penuh jangan ngomong. Duduk dulu. Telan dulu roti dalam mulutnya." Arkan berkata tegas. Ia kesal melihat putrinya itu makan seperti itu karena ia tak pernah mengajarkan hal demikian. Hanya karena tak suka dengan dokter Anisa, Daneen bergegas menghabiskan rotinya meski mulutnya penuh hingga tak bisa bicara dengan jelas.

Baru saja selesai Arkan bicara demikian, Daneen benar-benar tersedak. Roti yang masih belum berhasil ia telan, menyembur keluar. Hingga Arkan panik sementara Anisa bergegas mengambil air putih dan menyuruh anak itu meminumnya.

"Tuh, Papa bilang juga apa." Punggung putrinya diusap-usap pelan. Arkan membawa anak itu ke dalam pangkuannya. Tak lama setelah berhasil menenangkan perasaannya usai tersedak, tangis Daneen pecah. Anak itu juga tak kalah cemas dan takut. Ia sempat kesulitan bernapas saat ia tersedak oleh roti yang dimakannya. Untung, dokter Anisa segera memberinya air minum. Daneen bisa bernapas lega. Setelah kejadian itu, Daneen bersumpah tak akan pernah menyentuh roti itu lagi.

"Ya ampun, Sayang. Danin nggak apa-apa. 'kan? Jangan nangis gitu. Udah aman, kok. Jangan nangis lagi, ya?" Anisa membelai poni lurus Daneen dengan penuh kasih sayang. Daneen tak menolak saat itu. Ia seolah terbujuk oleh bantuan yang sempat dokter itu berikan sebelumnya.

"Nggak apa-apa. Kita ke mama aja, ya? Jangan nangis lagi. Kita 'kan mau liat dedek bayinya. Danin mau liat juga, nggak?" bujuk Arkan. Punggung putrinya terus diusap. Perlakuan Arkan dan Anisa terhadap Daneen saat itu terlihat seperti pasangan suami-istri yang tengah menenangkan putri mereka menangis. Sungguh, jika Dhara melihat apa yang suami dan wanita itu lakukan, tekanan darah Dhara bisa dipastikan akan semakin melonjak naik.

"Anin, hiks... Mau mamaa... Hik hik..." jawab Daneen disela isak tangisnya.

"Iya. Kita ke mama sekarang, ya? Ayo. Danin jalan sendiri."

"Endaak... dendong. Hiks..." leher Arkan dipeluk erat. Daneen tak mau ayahnya lepas. Ia mau digendong ayah.

"Iya, iya. Papa gendong. Ayo." Arkan berdiri. Susah payah ia menggendong putrinya yang tak lagi seringan bayi 6 bulan tersebut. Sebelum ia beranjak dari sana, terlebih dahulu ia berpamitan pada Anisa. Walau apapun, ia tak bisa mengabaikan Anisa begitu saja. "Aku pergi dulu, ya? Makasih udah bantuin tadi."

Anisa tersenyum, lalu mengangguk. "Iya. Nggak masalah. Salam sama istrimu, ya?"

Arkan mengangguk. Ia beranjak meninggalkan kantin dan juga Anisa di sana. Tanpa pria itu sadari, usai kepergiannya, Anisa mendesah tampak kecewa. Setitik air mata yang menggenang di pelupuk mata ia seka.

"Ingat, Nisa. Dia sekarang milik orang lain."

***

"Baik, Bu Dhara. Seperti serangkaian tes yang dilakukan tadi, tekanan darah Ibu 140/100. Cek urine, dan ditemukan kandungan protein berlebih dalam urine atau proteinuria positif 1. Kemudian, ada edema atau penimbunan cairan pada area betis, dan juga tangan Ibu. Dari hasil tes tersebut dengan berat hati saya katakan bahwa Ibu mengalami pre eklampsia ringan."

Dhara mengepalkan kedua telapak tangannya yang mendingin. Wajahnya memucat mendengar penjelasan yang dokter sampaikan. Seharusnya, dalam kondisinya seperti demikian, ada suami yang menemani dan membantu menenangkannya. Namun, karena Arkan harus menenangkan Daneen, maka Dhara terpaksa menenangkan perasaannya sendiri, meski pada kenyataannya itu tak mudah. Ia tetap butuh Arkan.

Seolah ada insting tersendiri, tak lama kemudian pintu diketuk, Arkan masuk bersama Daneen dalam gendongannya. Namun, Dhara sedikit cemas ketika mendengar putrinya itu terisak dan matanya yang bengkak.

"Kenapa?" tanyanya.

"Habis kesedak. Makannya buru-buru. Makanya sampe kesedak gitu," jelas Arkan. Ia kemudian duduk di sebelah Dhara dan Daneen di atas pangkuannya. "Gimana? Udah selesai tesnya? Apa hasilnya? USG nya gimana? Kembar dua 'kan? Nggak lebih?" tanya pria itu beruntun. Ia penasaran, sungguh.

Mendengar pertanyaan Arkan, raut wajah Dhara kembali murung. Ia tak bisa mengabaikan penjelasan sang dokter beberapa saat lalu.

"Jadi begini, Pak. Dari USG kita tadi, bayinya kembar dua, Pak. InsyaaAllah cuman dua. Soalnya banyak kejadian dimana kadang saat di USG, satu bayinya nggak keliatan. Tapi, untuk Bu Dhara saya yakin bayinya cuman dua."

Arkan berucap syukur spontan. Ia lega, sungguh. Cukup bayinya kembar dua saja. Jika lebih, bagaimana ia merawat tiga bayi sekaligus? Itu sungguh merepotkan.

"Dan satu hal lagi, Pak. Saya harus mengatakan ini, karena kalau tidak, itu akan membawa dampak buruk pada ibu dan juga di bayi. Jadi, Bu Dhara ini benar menderita pre eklampsia ringan."

"Ha?" Arkan tampak cemas.

"Jadi, Bapak dan Ibu bisa milih mau rawat jalan atau inap? Jika rawat jalan, setidaknya setiap minggu harus periksa. Tapi, kalau tekanan darahnya masih sama dan juga proteinuria juga masih sama selama lebih dari 2 minggu, Ibu harus dirawat inap."

"Rawat jalan aja, Dok." Dhara menyahut cepat. Ia tak mau dirawat di rumah sakit terlalu lama. Cukup nanti ia dirawat di rumah sakit selama masa pemulihan usai melahirkan, tidak sekarang jika masih memungkinkan.

"Apa nggak sebaiknya kamu di sini aja dulu, Ra?" Arkan mencoba bernegosiasi dengan sang istri. Ia melakukannya demi kebaikan wanita itu sendiri dan juga bayi mereka. Namun, ketika melihat penolakan Dhara, Arkan mengalah. Sebaiknya ia harus menjaga perasaan sang istri demi kesehatan wanita itu juga.

"Baiklah. Emm... Dok, kalau misal kami milih rawat jalan, apa ada hal-hal yang nggak bisa Dhara makan atau lakukan?"

"Bu Dhara tetap harus bed rest tentunya. Nggak boleh capek-capek. Istirahat total, tapi nggak harus baring terus. Perawatan dilakukan seperti keinginan aja. Tapi, tetap harus dijaga dengan baik. Soal makanan dan minuman bernutrisi seperti biasa, nggak perlu diet ini dan itu. Nggak usah mikirin berat badan kalo lagi hamil. Nanti saya juga kasih vitamin, itu harus diminum secara teratur, ya. Karena tekanan darah tinggi, biasanya identik dengan garam, ya? Tapi, Ibu nggak perlu mengurangi konsumsi garam, kok. Takaran seperti biasa, tapi jangan sampai terlalu asin. Dan yang terpenting, tiap minggu harus periksa ke rumah sakit untuk memantau perkembangan kehamilannya. Itu saja."

Penjelasan sang dokter ditanggapi Arkan dengan anggukan kepala. Ia menyimak semua penjelasan tersebut dengan sungguh-sungguh. Ia akan mengingat itu semua meski tak dicatat.

"Oh, ya. Di rumah ada alat tensi darah, nggak? Kalo enggak ada, usahakan dibeli, ya? Alat itu nanti bisa digunakan untuk memeriksa tekanan darah Bu Dhara setiap harinya." Dokter menambahkan.

"Baik, Dok."

***

Suasana di dalam mobil begitu sunyi. Daneen telah nyenyak tidur di jok belakang. Berkali-kali ia melirik Dhara di sebelah, memastikan wanita itu tidak tertekan dengan penjelasan dari dokter sebelumnya. Telapak tangan Dhara digenggam, sementara sebelahnya lagi digunakan untuk memegang stir. "Jangan terlalu dipikirkan. Nanti malah jadi beban. Kamu nggak boleh terlalu banyak pikiran, Ra. Ingat bayi kita di dalam sana. Relaks aja, ya? Mending sekarang kamu tidur, kalo udah nyampai nanti aku bangunin."

Dhara menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. "Gimana aku nggak bisa berhenti mikirinnya? Perkataan dokter tadi bikin aku tegang dan takut. Gimana seandainya pre eklampsia ringan ini berubah jadi berat?"

"Makanya kamu jangan mikir ke sana dulu. Kan belum terjadi. Pikirkan cara kamu mengatasinya, bukan malah mikir penyakit itu makin berat. Dengan begitu, sama aja kamu mancing di berat itu buat datang. Udah, deh. Mending kamu tenangin pikiran. Aku bukain murrotal, kamu dengarkan dan resapi. Insya Allah pikiranmu akan tenang."

Dhara mengikuti saran dari Arkan. Murrotal yang Arkan setel itu didengarkan dengan mata terpejam hingga ia tertidur. Begitu bangun, ia telah berada di dalam kamarnya sendiri. Suara ribut dari luar kamar membuat wanita itu terusik, hingga ia berusaha bangkit dan keluar menemui anak-anak yang tengah bahagia di luar sana. Sayang, kedua kakinya yang membengkak tak mengijinkannya beranjak dari atas ranjang.

Wanita itu mendesah. Ia ingin masa kehamilannya ini cepat berlalu. Ingin rasanya ia suruh si bayi keluar dengan segera, sehingga Dhara tak perlu merasa tersiksa seperti saat ini. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Arkan masuk sembari membawa sepiring potongan apel dan juga segelas susu.

"Udah lama bangun?"

"Baru aja. Apa yang membuat anak-anak ketawa riang kayak gitu?" Dhara bertanya pada Arkan perihal tawa menggema yang terdengar di luar.

Arkan meletakkan piring apel dan susu ke atas nakas. "Bi Kulsum bikin cerita lucu. Makanya mereka bertiga ketawa ngakak gitu. Kamu mau makan apa malam ini? Nanti Bi Kulsum mau belanja."

"Aku cuman mau makan telur dadar. Kalian aja yang pesan sama Bibi, mau makan apa. Davin sama Diva tanyain. Mereka itu sebenarnya milih-milih makanan kalo yang masak orang lain. Aku kasian aja liat mereka nggak berani komentar apa-apa bahkan saat makanan itu nggak mereka sukai. Kalo makan mereka dikit, pasti makanan itu nggak pas ke lidah mereka. Kalo Danin nggak perlu ditanya, makanan apa aja dia mau. Malah yang bikin aku susah adalah dua kakaknya itu."

"Oke. Nanti aku tanyain mereka. Sekarang, kamu makan buah ini sama susunya. Nutrisi kamu tetap harus dipenuhi. Demi kesehatan kalian bertiga." Arkan mengusap pelan perut bulat Dhara. Potongan apel dalam piring diulur pada wanita itu dan dituntaskan Dhara setelah beberapa menit.

"Aku harus belanja buat persiapan kelahiran mereka. Mungkin besok aku belanja. Kira-kira, yang dibutuhkan mereka itu apa aja ya, Ra? Kamu bikin daftarnya aku yang beli, deh." Setelah sempat mengabaikan Daneen semasa dalam kandungan dahulu, kini Arkan seolah ingin membayar segala perlakuan buruknya tiga tahun silam. Saat Daneen dalam kandungan, Arkan sama sekali tak membantu apapun. Peralatan bayi yang Daneen gunakan saat baru lahir hanya menggunakan peralatan bekas Diva dan Davin dahulu. Cukup tua, tapi masih layak digunakan. Mengingat hal itu, Arkan miris. Miris terhadap dirinya sendiri. Maka, sekarang saatnya Arkan bertindak layaknya seorang ayah yang benar-benar menantikan bayi mereka akan lahir.

"Punya Danin yang dulu masih bagus, kok." Dhara menjawab.

"Punya Danin itu, bekas Diva waktu bayi dulu. Udah berapa tahun usia barang itu? Ganti, dong. Beli yang baru. Apalagi, nanti bayinya nggak hanya satu. Tapi, dua. Jadi, kita harus beli serba dua."

"Emangnya kamu tau barang yang dibutuhkan apa aja?"

"Nah, maka dari itu, kamu yang kasih tau. Kamu tulis, aku yang beli."

Dhara menghela napas. Ia mengalah untuk kali ini.

Brakk!

Pintu kamar terbuka hingga membentur dinding di belakangnya. Daneen berdiri di sana dengan wajah tak bersahabat. Tawa yang beberapa saat lalu menggema, hilang entah ke mana.

"Kenapa?"

"Tante itu tuh, ngapa sini?"

Dahi Arkan berkerut. "Tante siapa?"

"Papa nih. Endak tau telus. Tante dotelnyaa. Yang tetemu Papa di lumah sakit tadiii..."

Arkan merasa bulu kuduknya berdiri. Begitu ia berbalik, Dhara telah memberinya tatapan tajam setajam samurai. Seketika Arkan bergumam di dalam hati, "mampus aku."

*** 

Anin diet kok oma. Tenang ajaa... Cuma es tim, kok. Endak bikin endut. Hehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top